Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.
Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.
“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.
Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.
“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukainya ada di ruangannya.
Dia bahkah mengucek matanya berkali-kali, menghapus jejas air bening yang menghalangi pandangannya. Dia berusaha meyakinkan diri sendii kalau Johan, sosok yang dikauinya itu memang nyata, bukan sekedar ilusi.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya suara itu lagi.
“Ah, jauh lebih baik. Jadi Kak Johan yang membawaku ke rumah sakit?”
“Heum, aku sedang ke TPU kemarin sore dan menemukanmu di di parkiran. Kalau aja hari itu aku mengikuti rasa malas untuk berjiarah, entah siapa yang akan menolongmu,” jelas Johan. Diva tersenyum kaku. Entah suatu keberuntungan atau apa, membayangkan Johan menggendongnya dari TPU, membuat hatinya berdesir hangat.
“Kenapa kamu bisa pingsan di sana?” tanya Johan mengerurkan dahinya.
Dalam pikirannya, mungkin Diva bertemu sosok mahluk halus, sampai akhirnya tidak sadarkan diri. Diva sendiri berpikir keras, memikirkan jawaban yang tepat.
“Entahlah, mungkin karena kecapean aja,”
“Dokter bilang selain kecapean, kamu juga kehilangan banyak amunisi. Ssibuk apa sih, sampai lupa makan? Kalau sakit, siapa yang rugi coba?” omel Johan.
Hati Diva mendadak rapuh, mendengar omelan Johan. Dia seperti merasakan kehadiran Saka lagi. Sahabatnya itu biasa akan mengomel kalau Diva sakit. Dulu, Diva sering masuk rumah sakit karena terlalu sibuk mengukir prestasi, sampai lupa kesehatan sendiri.
“Janji gak akan diulangi lagi,” sahut Diva mengukir senyum tulus.
Kehadiran Johan seperti penyembuh untuknya. Meski setelahnya, rasa sakitnya kembali melihat kehadiran Raskal. Wajah pria paruh baya itu menunjukkan amarah yang besar. Di sisinya, Mutia menahan lengan sang suami, berusaha menenangkan pria tersebut.
“Kamu keluar dulu, saya ingin bicara dengan putri saya,” suruhnya pada Johan.
Johan hanya mengangguk kecil, kemudian berpamitan. Dia menoleh sekilas, sebelum berbalik dan menghilang di balik pintu. Tersisa sepasang suami istri dan putrinya di ruangan itu. Hening, tak ada yang membuka suara. Mutia terus mengusap punggung Raskal, agar tidak keterlaluan pada putri mereka yang masih sakit.
“Kalau Papa datang hanya untuk memarahi Duva, lebih baik gak usah deh. Diva juga bisa mengurus diri sendiri,” ucap Diva memecah keheningan.
Raskal memejamkan mata, menahan gejolak emosi yang tersulut kembali oleh perkataan lancang putrinya sendiri.
“Mau sampai kapan kamu seperti ini?”
“Apa? Gagal lagi? Itu maksud Papa? Pernah gak sih Papa bertanya kabar Diva gimana? Apa Diva kesulitan menghadapi hidup atau tidak? Papa selalu nuntut agar Diva berhasil, lulus kuliah, tanpa pernah tau apa yang Dia alami! Diva juga capek, Pa,” hardik Diva. Suaranya melemah di akhir.
Jikalau bisa memilih, Diva ingin hidupnya yang dulu sekali. Dia ingin hidup sebagai gadis biasa kebanggan orang tua dan keluarganya. Dia ingin hidup sebagai gadis yang berguna untuk banyak orang. Bukan gadis pembangkang yang hanya mengandalkan kecantikan belaka.
Raskal tercenung mendengar keluhan putrinya. Sebagai orang tua, dia hanya menginginkan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya.
“Diva gak tau harus melakukan apalagi, Pa, Ma,” gumam gadis itu.
Mutia peka, lantas meraih putrinya itu ke dalam dekapannya. Mutia menyadari kalau tidak mudah menerima perubahan yang terlalu signifikan dalam hidu putrinya.
“Udah, kamu istirahat dulu aja. Gak usah terlalu dipikirkan,” ucap Mutia menenangkan.
“Kamu gak bisa seperti ini terus,” ucap Raskal membuka suara.
“Maksud Papa?”
“Mas, nanti aja bahasnya,” tegur Mutia memberi kode lewat mata, agar Raskal berhenti. Diva perlu istirahat, dan bukan sekarang saat untuk membahas masalah tersebut. Raskal seolah tidak peduli pada peringatan dari istrinya.
“Masalah ini harus diselesaikan sekarang. Kalau kamu capek kuliah, maka tidak perlu dilanjutkan, tetapi Papa akan menikahkan kamu dengan anak kolega Papa, jadi silakan pikirkan baik-baik keputusannya. Kamu bebas memilih, karena kamu bukan anak-anak lagi,” tukas Raskal.
“Pa..”
Diva menatap Mutia, memohon bantuan dari wanita paruh baya itu. Menikah atau kuliah dengan tekanan? Diva bahkan tidak pernah memiliki pemikiran untuk segera menikah, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya.
Seberapa keras pun dia memikirkannya, tak kunjung memperoleh jawaban. Keputusan Raskal sudah tidak dapat diganggu gugat. Masalahnya dua pilihan itu sama-sama berisiko. Diva mengepalkan tangan kuat. Juandra bukan orang yang mudah untuk diluluhkan, begitu juga dengan Raskal.
Gadis itu menghela napas gusar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang.
“Tunggu, mantra itu, mungkin aku bisa mencobanya ‘kan?”
Teringat nomor seseorang yang diberikan oleh supir taksi beberapa hari yang lalu, Diva lantas meraih ponselnya, mencoba mengingat nama kontak tersebut.
Di dering kedua, terdengar suara seseorang dari seberang sana. Diva sedikit basa-basi dengan memperkenalkan dirinya.
“Boleh kita bertemu? Aku butuh mantra untuk meluluhkan hati seorang dosen galak.”
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Kakinya terus melangkah, sementara kepalanya terus menunduk. Hanya melangkah tanpa tujuan pasti. Tangannya menggenggam sebuah kertas. Mulai lelah berjalan, dia duduk begitu saja, tidak peduli jika kemeja yang dia kenakan akan berdebu. Kepalanya terangkat, menatap kerumunan mahasiswa berkemeja putih.“Diva!” panggil seseorang, menghampiri gadis itu.Berbeda dengan Diva yang lusuh, gadis berkemeja putih itu terlihat lebih fresh dan ceria. Satu langkah lebih unggul dibanding Diva, membuatnya bangga.“Re,” gumam Diva.“Udah acc?” tanya Rere. Diva menyembunyikan kertas yang tadi dia pegang ke balik tubuhnya. Rere yang melihat hal itu, malah menarik kertas tersebut. Gadis itu hendak tertawa, tetapi mencoba menetralkan wajahnya kembali.“Kamu bahkan belum lulus mata kuliah dia juga? Padahal ini kali kedua kamu mengikutinya, ‘kan? Sebenarnya ada masalah apa sih kamu dan Pak Juan?”Jangankan Rere, gadis itu sendiri juga tidak mengetahui di mana letak kesalahannya, hingga pria bernama Juandra
Cahaya dari lighting memenuhi ruang pemotretan. Gadis itu mengganti gaya photoshoot lagi. Wajah yang terlukis sempurna dipadukan dengan pakaian dari desainer ternama. Kali ini, wajah cantiknya akan tertera lagi di cover majalah fashion. Gadis itu menghela napas lega, pemotretan hari itu selesai.Dia menerima air mineral dan segera meneguknya. Matanya sedikit perih karena cahaya dari lighting.“Diva!” panggil seseorang. Tanpa menoleh pun, dia sudah tau siapa pelakunya.“Kenapa menerima tawaran photoshot tanpa memberitaku aku dulu?” cecar wanita itu. Diva memutar bola matanya. Sangat malas menghadapi manajer yang terkadang melewati batas. Arinda sering sekali mengurusi hidupnya, membuat Diva kadang muak.“Memangnya ada yang salah?” tanya gadis itu setelah meletakkan minumannya. Arinda membulatkan matanya. Diva tertawa kecil, sudah menebak penyebab sang manajer marah.“Kamu tau kalau pemilik desainer brand ini adalah musuh lama kamu, kenapa masih kukuh menerima tawarannya? Kamu tau ka
“Saka awas!”Terlambat, mobil yang melaju kencang dan kehilangan kendali itu, menabrak pembatas jalan, hingga hancur berkeping-keping. Belum sempat menyadari apa yang tengah terjadi, tubuhnya sudah terdorong kuat, keluar dari mobil. Tubuhnya terlempar sangat kuat, hingga menyentuh aspal.“Saka!” teriak gadis itu. sang sahabat masih tersisa di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak. Tertatih, dia mencoba bangkit, meski tubuhnya terasa sangat sakit.Duar! Suara ledakan muncul bersama api. Tubuh gadis itu kembali terpental, cukup jauh. Wajahnya penuh luka bukan saja sebab terkena aspal yang keras, tetpi juga akibat ledakan yang membuat wajahnya hampir tidak dikenali.“Saka!” gadis itu terbangun dengan keringat membasahi keningnya. Gadis itu menoleh, menemukan foto dua orang berlawanan jenis yang tengah tersenyum lebar.“Ka, maaf,” lirihnya.Dadanya seperti dihimpit oleh sesuatu membuat dia sedikit sulit mengatur napas. Gadis itu meraih gelas dan meneguk isinya sampai habis. Merasa m
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka