Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.
Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.
“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”
“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”
“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”
Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nyaman.
Merasa lebih baik setelah berolahraga, Juandra memutuskan untuk mandi. Hari ini dia haanya ingin bersantai tanpa melakukan apa pun. Namun, schedulenya berubah ketika melihat foto seseorang di ponselnya.
Juandra menghela napas berat. Sesungguhnya masih sulit menerima kenyataan bahwa wanita itu sudah pergi untuk selamanya. Wanita yang teramat dia cinta dan ada dalam bayangan akan menjadi masa depannya, menjadi ibu dari anak-anaknya.
Manusia punya rencana dan semesta punya kenyataan.
Juandra mengambil kunci mobilnya, bergegas turun. Tujuannya adalah tempat peristirahatan sang kekasih. Sampai hari ini, hatinya masih milik wanita itu. Tidak seorang pun yang berhasill memikat hatinya, mungkin tidak akan pernah ada.
“Jun, maaf,”
Setiap kali berkunjung, hanya itu yang bisa dia gumamkan. Penyesalan terdalamnya adalah tidak ada di sisi wanita itu. Dia juga tidak bisa menjadi alasan agar wanita itu tetap bertahan.
Kepala Juan tertunduk dalam. Sangat menyakitkan ketika merindukan seseorang yang sudah tidak lagi bisa dilihat raganya. Juandra merasa matanya panas dan siap meluncurkan air mata.
“Aku benar-benar minta maaf, Jun,” gumamnya mulai terisak.
Dia akan menjadi lemah saat berhubungan dengan Juni, wanita yang sangat dia cintai. Masa lalu yang terus menghantui, memerangkapnya begitu erat sampai rasanya sulit untuk merangkak keluar.
Juandra menghabiskan waktu hanya menangisi wanitanya. Dia memilih beranjak saat matahari semakin tinggi. Waktu yang dia rencanakan untuk bersantai, malah habis untuk menemani wanitanya.
Mata pria itu memicing, memastikan penglihatannya. Seorang gadis yang amat familiar tengah berjongkok di sisi sebuah makam. Gadis itu terlihat bebricara panjang lebar, lalu berdoa sebelum beranjak dari sana.
“Diva, apa yang dia lakukan di tempat ini?” gumam Juandra.
Yup, gadis itu adalah Diva, gadis yang akhir-akhir ini sering masuk dalam kehidupannya. Juandra menghela napas, mengingat pertemuan terakhir mereka. Hari ini adalah saat yang tepat untuk mempertegas banyak hal.
Dia memilih menunggu sampai Diva selesai. Gadis itu terlihat bersiap pergi. Tidak jelas apa yang Diva bicarakan, yang pasti setelah bercerita, wajah Diva tampak lebih berbinar dan penuh kelegaan.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Juandra membuat gadis itu terkejut.
“Bapak membuat saya kaget aja ih,” dumelnya.
Gadis yang mengenakan topi hitam itu menggaruk telinganya, mengurangi kegugupan yang muncul tanpa aba-aba. Dia memuskan untuk ke makam Saka terlebih dahulu, sebelum mengunjungi apartemen milik Juandra. Namun, semesta sedang mempermainkan dia sepertinya. Seperti takdir yang terus terjalin, keduanya malah bertemu di parkiran TPU.
“Pak, soal kemarin malam,”
Diva menghela napas, mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Wajah Juandra masih sangat tenang. Namun, Diva sadar, semakin tenang wajah seseorang, semakin berbahaya.
“Bisa tolong dilupakan saja? Maksud saya begini, saya ke tempat itu di luar jam kampus, juga tidak mengenakan identitas kampus, jadi gak akan berdampak apa pun,”Diva mencoba menyusun kalimat yang masuk akal sebagai alibi.
“Kamu mabuk dan hampir diecehkan. Apa itu masih menggambarkan karakter seorang mahasiswi?”
“Saya pusing, Pak! Saya gak tau mau melampiaskannya ke mana lagi,” ungkap Diva tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Gadis itu memejamkan mata, rasa pusing terus saja menghampiri, entah apa yang salah dengannya.
“Maaf, Pak,” ucapnya lirih.
“Kamu tetap harus dihukum, karena sudah bertingkah menyebalkan dan membuat saya kesal kemarin malam,”
Diva mengerutkan keningnya. Dia tidak begitu ingat apa saja yang dia katakan atau lakukan saat bersama Juandra.
“Kamu muntah dan membuat jas kesayangan saya kotor,”
“Akan saya ambil dan cuci, Pak,” ucap Diva cepat, berharap akan mendapat keringanan. Juandra tidak merespon, hanya menatap gadis itu intens. Wajah gadis itu terbentuk sangat sempurna.
“Tidak perlu! Kamu hanya perlu bersiap menunggu hukumanmu saja!” pungkas Juandra. Akhir-akhir ini mengerjai Diva dan membuat gadis itu kesal menjadi cukup menyenangkan. Tanpa sadar sudut bibir pria itu melengkung, memunculkan segaris senyum yang amat tipis.
“Oh tunggu sebentar,”
Diva bergegas ke mobil, mengambil sesuatu yang mungkin bisa jadi penyelamatnya.
“Sekotak kue manis kesukaan Bapak. Saya gak bermaksud menyogok, kok. Anggap saja sebagai permintaan maaf dari saya,” jelas Diva, berharap penuh para Juandra.
Juandra menerima sekotak kue tersebut. Raut wajahnya berubah drastis. Rahangnya menegang, mata pria itu memerah, seperti menahan amarah.
Diva dibuat bingung dengan reaksi Juandra.
“Ada yang salah, Pak?” tanyanya hati-hati. Juandra menatapnya sangat tajam, melempar kue tersebut ke tempat sampah, tepat di hadapan gadis itu.
Diva membeku, tak mampu berkata lagi.
“Saya benci kue manis!” pungkas Juandra sebelum berlalu.
Tangan pria itu terkepal kuat. Daripada melampiaskan kemarahannya pada Diva, lebih baik dia pergi.
Kini tersisa Diva yang menatap nanar kue yang berujung di tempat sampah. Perjuangannya sia-sia. Dia mati-mati, menahan sakit demi mendapatkan kue itu.
“Kenapa dia tidak bisa menghargai usahaku sedikit saja? Kenapa dia sangat kejam? Dasar monster sialan!” teriak Diva melampiaskan kekesalannya. Gadis itu menendang tempat sampah.
“Kenapa sih, Pak? Kenapa memperlakukanku begini?” gumamnya lirih. Gadis itu terduduk, dengan wajah di atas lipatan kaki. Rasanya sangat sakit ketika perjuangannya berakhir sia-sia.
Bukan hanya satu kali, Juandra tidak menghargai usahanya. Semua yang Diva lakukan selalu salah di mata pria itu.
Gadis itu menepuk dadanya yang mulai terasa sesak. Baru ingat hari ini dia bahkan belum mengisi amunisi sama sekali, ditambah minum es yang memperburuk keadaannya.
Dia mencoba berdiri, menjadikan badan mobil sebagai penyangga. Namun, naas kakinya yang seperti jelly tidak lagi mampu menahan berat tubuhnya.
“Saka, tolong,” gumamnya lirih.
Keadaannya sangat menyedihkan. Seorang diri di parkiraan dengan tubuh yang tidak lagi mampu untuk sekedar berdiri.
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Kakinya terus melangkah, sementara kepalanya terus menunduk. Hanya melangkah tanpa tujuan pasti. Tangannya menggenggam sebuah kertas. Mulai lelah berjalan, dia duduk begitu saja, tidak peduli jika kemeja yang dia kenakan akan berdebu. Kepalanya terangkat, menatap kerumunan mahasiswa berkemeja putih.“Diva!” panggil seseorang, menghampiri gadis itu.Berbeda dengan Diva yang lusuh, gadis berkemeja putih itu terlihat lebih fresh dan ceria. Satu langkah lebih unggul dibanding Diva, membuatnya bangga.“Re,” gumam Diva.“Udah acc?” tanya Rere. Diva menyembunyikan kertas yang tadi dia pegang ke balik tubuhnya. Rere yang melihat hal itu, malah menarik kertas tersebut. Gadis itu hendak tertawa, tetapi mencoba menetralkan wajahnya kembali.“Kamu bahkan belum lulus mata kuliah dia juga? Padahal ini kali kedua kamu mengikutinya, ‘kan? Sebenarnya ada masalah apa sih kamu dan Pak Juan?”Jangankan Rere, gadis itu sendiri juga tidak mengetahui di mana letak kesalahannya, hingga pria bernama Juandra
Cahaya dari lighting memenuhi ruang pemotretan. Gadis itu mengganti gaya photoshoot lagi. Wajah yang terlukis sempurna dipadukan dengan pakaian dari desainer ternama. Kali ini, wajah cantiknya akan tertera lagi di cover majalah fashion. Gadis itu menghela napas lega, pemotretan hari itu selesai.Dia menerima air mineral dan segera meneguknya. Matanya sedikit perih karena cahaya dari lighting.“Diva!” panggil seseorang. Tanpa menoleh pun, dia sudah tau siapa pelakunya.“Kenapa menerima tawaran photoshot tanpa memberitaku aku dulu?” cecar wanita itu. Diva memutar bola matanya. Sangat malas menghadapi manajer yang terkadang melewati batas. Arinda sering sekali mengurusi hidupnya, membuat Diva kadang muak.“Memangnya ada yang salah?” tanya gadis itu setelah meletakkan minumannya. Arinda membulatkan matanya. Diva tertawa kecil, sudah menebak penyebab sang manajer marah.“Kamu tau kalau pemilik desainer brand ini adalah musuh lama kamu, kenapa masih kukuh menerima tawarannya? Kamu tau ka
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka