Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William.
“Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya.“Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati.Pria paruh baya itu menghela napas panjang.“Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?”“Apa itu penting untuk Papa?”Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas.“Kamu harus membuka lembaran baru, Nak. Jangan terjebak dengan masa lalu. Papa inngin kamu mengenal dunia baru tanpa wanita itu,” tutur Respati, menatap sendu putranya yang masih terjebak dengan masa lalunya. Juandra berdecak, Respati seolah menyesali perbuatannya, tetapi selalu mengulang kesalahan yang sama.“Kalau begitu bawa dia kembali! Hanya dengan begitu aku bisa melanjutkan hidupku kembali!” pungkas Juandra.Dia bergegas menjauh, sebelum dadanya semakin sesak. Mengingat masa lalu yang belum juga bisa dia lupakan. Respati menatap sendu punggung putranya yang semakin menjauh.“Ke mana, Bang?” tanya wanita paruh baya yang lengkap dengan pakaian tidur. Juanndra menatap lembut wanita tersebut. Berbeda saat berhadapan dengan Respati.“Juan malam ini tidur di apartemen, Ma. Mama jangan lupa makan obat sebelum tidur. Abang pergi dulu,” pamitnya menyalami tangan wanita itu, mencium pipinya sebelum berlalu.Juandra menyayangi wanita yang melahirkannya dan membesarkannya itu. Dia bertahan hanya agar wanita itu juga bertahan. Sesungguhnya sejak seseorang di masa lalunya pergi, Juandra sudah kehilangan harapan untuk menjalani hidup.Dia menyetir mobilnya. Menginap di apartemen pribadinya adalah pilihan yang lebih tepat.Juandra memarkirkan mobil di parkiran, sebelum memasuki apartemen yang berada di lantai lima. Apartemen itu dia beli agar lebih dekat dengan kampus. Sehingga saat ada urusan yang teramat penting, Juandra bisa bergegas ke kampus.Pintu apartemen terbuka, menampilkan ruangan yang amat rapi. Meski tinggal sendiri, pria itu tetap merawat dan menjaga kebersihan apartemennya. Dia mengambil bungkus sisa makanan ringan di atas meja, merapikan lalu membersihkan apartemennya. Tidak lupa menyisihkan pakaian kotor untuk dicuci kemudian.Fasilitas di apartemen sangat memadai, membuat dia yang suka kenyamanan bisa mendapatkannya.Usai beres, pria itu memilih masuk ke kamar, membaringkan tubuhnya dalam posisi terlentang, menghadap langit-langit.Wajah memelas mahasiswi bimbingannya itu kembali muncul dalam benaknya.“Bapak mengancam dengan mudah, menyuruh saya ini itu, menyuruh saya mengulang mata kuliah terus menerus. Saya lelah, Pak! Saya juga udah berusaha keras untuk mengerjakan tugas dari Bapak!”Mengingat perkataan jujur Diva membuat sedikit rasa bersalah menyusup dalam dadanya.“Apa aku keterlaluan sama dia? Ck, dia sendiri yang salah, apa susahnya menuruti permintanku dan mengikuti kuliah dengan benar, malah ke klub dan bekerja sebagai model,” gumamnya meyakinkan diri.Diva adalah mahasiswi yang cukup terkenal, bukan karena prestasi tetapi sebagai top model yang wajahnya sering muncul di majalah fashion. Terkadang, Diva mengabaikan panggilan darinya saat penting. Hal yang membuat Juandra cukup kesal.“Biarkan saja, toh dia bisa membaya biaya kuliah dari hasil sebagai seorang top model,”Dibanding terus memikirkan Diva, lebih baik dia memejamkan mata.Baru saja menutup mata, bayangan seseorang kembali. Sebuah mimpi buruk yang terus saja mengganggu malamnya. Pria itu terbangun, tidurnya selalu berakhir seperti ini. Selelah apa pun, tetap saja dia kesulitan untuk tertidur. Matanya sulit terpejam.“Ck, mau sampai kapan begini terus?”..Cahaya yang menyusup lewat celah jendela, mulai mengganggu ketenangan gadis yang masih memejamkan matanya itu gadis itu menarik selimut guna menghindarkan cahaya yang terus mengganggunya.Dia menyerah, menyibaak selimut hingga menyisakan pakaian dalamnya saja. Gadis itu bergegas ke kamar mandi, membersihkan tubuh dan mengganti dengan pakaian yang lebih santai. Selalu begitu, setiap tidur dia hanya akan mengenakan dalaman saja. Katanya lebih nyaman dan tidak gerah.Tidak kebayang kalau dia menikah dan harus berpakaian seperti itu setiap akan tidur di hadapan orang lain.Diva menggeleng kuat, tidak ingin memikirkan terlalu jauh.“Skripsi aja belum beres, wisuda belum, udah mikir nikah aja,” dumelnya mengingatkan diri sendiri.Pantulan cermin menunjukkan seorang gadis yang tengah mengeringkan rambutnya dengan hair dyer. Gadis itu bersenandung kecil, sembari menapaki anak tangga satu per satu. Dia tersenyum, mengecup pipi wanita paruh baya yang tengah menyiapkan sarapan.“Ada rencana pagi ini?” tanya Mutia. Diva berpikir sejenak. Memilih mengecek jadwal di ponselnya. Dia sungguh pelupa, sehingga lebih sering memasang alaram pengingat.“Ada jadwal pemotretan hari ini, Ma,” sahutnya.Jadwalnya cukup padat hari ini. Akan menghabiskan waktu seharian di luar rumah.Mutia menarik kursi di hadapan putrinya.“Kamu bertengkar lagi dengan Papa?”Diva kehilangan selera makan saat masalah itu diungkit lagi. Gadis itu meneguk air minum, guna menenangkan diri.“Mulai sekarang Diva akan membiayai kuliah Diva sendiri, jadi Mama gak perlu cemas lagi,” ucap gadis itu, mengulas senyum tipis.Mutia menatap putrinya sedih.“Kamu tidak harus melakukan ini. Kamu hanya perlu menjelaskan segalanya sama Papa. Dia akan mengerti, Nak,”“Enggak, Ma! Papa gak akan mengerti. Dia hanya menginginkan anak yang jenius dan berprestasi, bukan putri yang gak bisa apa-apa. Putri yang bahkan belum juga lulus kuliah,” sanggah gadis itu tersenyum kecut.Mutia menarik Diva ke dalam dekapannya.“Maafkan Mama,”“Bukan salah Mama. Ini udah keputusan yang Diva ambil, jadi Mama harus menghargainya,” pinta gadis itu.Mutia hanya mengangguk pasrah. Satu hal yang tidak berubah dalam diri putrinya yaitu pendiriannya yang selalu teguh.“Makan lagi, Mama sengaja masak banyak, biar kamu gak diet terus,”Diva terkekeh, mulai menikmati sarapan yang Mutia siapkan. Badannya tidak akan bertambah jika dia makan banyak, jadi tidak akan menjadi masalah.“Oh iya, soal pria yang mengantar kamu kemarin, lumayan tampan juga. Apa dia pacar barumu?” tanya Mutia tiba-tiba.Diva tersedak, segera meneguk air untuk menelan makanannya.“Maksud Mama?”“Loh kamu gak ingat? Kemarin malam kamu diantar sama seorang pria, kalau gak salah namanya..”“Johan?” wanita paruh baya itu menggeleng, masih berusaha mengingat nama pria tampan itu. Diva sendiri mulai merasa tidak enak.“Juandra, itu namanya,”Deg!Kabar buruk di pagi hari. Habislah sudah riwayat Diva sebagai mahasiswi bimbingan pria itu. ternyata itu bukan mimpi semata. Dia yang meneriaki Juandra dan menolak diantar pulang, ternyata benar-benar terjadi.Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka