Dia meneguk lagi minuman berwarna, beralkohol kadar tinggi. Dia sudah sempoyongan, tetapi tidak terbesit niat untuk berhenti. Satu gelas terisi dan diteguk sampai habis.
Hari ini benar-benar menjadi hari terburuk. Diva akan menandainya di kalender dengan tinta hitam, sesuai warna yang amat dia benci. Sudah jatuh, tergelincir, tertimpa tangga pula. Satu pepatah yang cocok menggambarkannya hari ini.
“Kak Johan!” panggilnya, cowok setinggi 170 cm itu menoleh. Dia menaikkan alisnya, mempertanyakan siapa gadis yang memanggilnya. Diva berlari, mendekat. Cowok itu sama sekali tidak berubah bahkan setelah tiga tahun tidak bertemu. Masih tampan dan penuh karisma.
“Kakak gak ingat Diva?”
“Diva? Aku hanya kenal Diva Ariesta, yang tidak sebaik kamu. Maaf dari segi wajah,”
Diva terdiam, benar juga dua tahun tidak bertemu dengan Johan. Cowok itu pasti tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenali wajah barunya. Gadis itu menghela napas, mencoba tersenyum. orang mengenal Diva yang berwajah pas-pasan.
“Ini aku, Johan. Diva Ariesta, putri dari Papa Raska dan Mama Mutia. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku punya kakak laki-laki yang sekarang menjadi dosen di salah satu universitas ternama di Jakarta. Apa kamu mengingatnya sekarang?” jelas Diva berharap Johan akan mempercayai perkataannya.
Cowok di depannya belum memberi reaksi apa pun.
“Data pribadi bisa diambil dari mana saja. Aku bisa melaporkanmu yang berpura-pura menjadi orang lain,” ancam Johan.
Benar juga, tidak semudah itu mendapatkan kepercayaan dengan wajah barunya.
“Saka Pramudyono, meninggal akibat kecelakaan sekitar tiga tahun lalu, begitu juga dengan aku. Ada hal yang terjadi, hingga wajahku harus dioperasi. Awalnya aku berpikir akan mendapat wajah yang sama, tetapi dokter yang menanganiku salah menerima foto. Ini aku, Johan. Diva Ariesta, gadis yang sampai detik ini masih menyukaimu,” tutur Diva menatap sendu tepat di mata Johan. Mata yang membuat dia jatuh hati di detik pertama pertemuan mereka.
“Bahkan cowo yang aku suka, tidak mengenali wajahku,” gumamnya menghela napas berat.
Dia tertawa, meneguk minumannya yang ke sekian. Satu botol wine berkadar alkohol cukup tinggi sudah kandas.
“Div, ke dance floor kuy!”
“Enggak ah, aku udah gak kuat!” tolak Diva.
Dia merebahkan tubuhnya di sofa. Rasa pusing menghampirinya. Diva terkekeh dengan air mata yang tanpa sadar turun begitu saja. Dia menertawai kehidupan yang tidak pernah adil padanya.
“Aku kehilangan Saka. Tidak lagi jenius seperti dulu, dan sekarang orang tua aja gak sudi punya anak bodoh sepertiku. Teman-temanku pergi satu per satu karena merasa aku semakin tidak berguna untuk mereka,” rancaunya.
People come and go, seharusnya mudah untuk diterapkan. Ketika berguna, mereka akan datang, lalu pergi setelah tidak lagi membutuhkan kehadiran kita.
“Hai manis,” sapa seseorang, berjalan sempoyongan ke arah Diva.
Gadis itu memperbaiki posisinya, mulai was-was. Orang itu sepertinya sudah mabuk juga.
“Mau ke mana sih? Duduk dulu, temani aku ngobrol, “ ucap pria itu menahan tangan Diva yang hendak beranjak. Gadis itu berusaha keras melepas genggaman tangan pria yang semakin erat.
“Tolong lepas!” perintahnya. Pria itu tertawa, menarik Diva yang dalam sekali hentakan jatuh ke pangkuannya.
Pria itu semakin menjadi, mulai menyentuh wajah Diva yang sangat sempurna. Gadis itu tentu saja memberontak, berusaha keluar dari kukungan pria tidak dikenalnya itu.
“Kumohon lepaskan!”
Diva mulai terisak. Hari ini sungguh berat untuknya. Raskal yang terus mendesak. Dosen pembimbing yang tidak menghargai kerja kerasnya. Cowok yang disukai tidak mengenalinya dan sekarang, dia dalam masalah besar.
“Dia bilang lepas!” ucap seseorang.
Diva yang tadinya menutup mata sembari berdoa, mulai memiliki harapan. Suara itu meski samar, terasa familier untuknya. Dia sudah sering mendengarnya, jadi tanpa melihat pun, dia bisa menebak dari suaranya.
Pertanyaannya, apa yang dilakukan pria yang terkenal perfeksionis dan kritis itu di dunia malam yang jauh dari kehidupannya sebagai seorang dosen? Atau Diva yang salah mengenalinya?
“Mau sampai kapan di situ?” tanya suara itu. Diva menoleh dan menemukan Juandra yang menatapnya dingin. Pria itu mengulurkan tangan untuk menarik mahasiswi bimbingannya itu.
“Hei, kenapa mengganggu kesenangan kami?” cecar pria tadi tidak terima. Juandra menyembunyikan Diva di balik punggungnya. Menjauhkan gadis itu dari jangkauan pria mabuk di depannya.
“Kesenangan? Apa membuat seorang menangis adalah sebuah kesenangan?’ tanya Juandra tajam.
“Ck, ayolah! Aku hanya ingin bersenang-senang. Jangan menggangguku!” tukas pria itu hendak menarik paksa tangan Diva.
“Dia milikku malam ini, jadi jangan mengganggunya atau anda akan tau akibatnya!” pungkas Juandra tidak kalah mengerikan. Pria itu menarik tangan Diva.
Gadis itu berjalan terseok-seok, beberapa kali hampir jatuh karena tidak bisa berjalan dengan benar. Juandra mendengkus, menatap tajam gadis yang teramat menyusahkan itu.
“Apa ini kerjaan seorang mahasiswa? Apa ini karakter yang menggambarkan seseorang yang terpelajar?” cecarnya.
Diva menggerucutkan bibirnya. Memang siapa yang membuatnya seperti sekarang? Dia pusing dan butuh pelampiasan. Alhasil dia memilih untuk ke klub daripada pulang. Yang ada dia akan semakin stress.
“Bapak tadi mempertanyakan tentang kesenangan yang membuat seseorang menangis, bukan? Bapak sendiri bagaimana? Apa membuat saya stress, pusing dan nyaris tidak bisa bertahan adalah sebuah kesenangan?” rancau Diva mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.
Gadis itu berjongkok, membuat Juandra kebingungan karenanya.
“Berdiri atau mau saya tinggal?” ancam Juandra.
“Pergilah! Aku juga gak mau pulang, nanti pasti kena masalah lagi,” sahut gadis itu tanpa ragu.
Gadis itu meletakkan kepala di lipatan lututnya, persis seperti anak hilang. Juandra menghela napas. Gadis itu selalu saja menyusahkannya. Tidak di kampus, juga di luar kampus.
“Bangun! Saya antar kamu pulang atau saya tidak akan pernah meluluskan kamu!” Ancaman yang seharusnya ampuh untuk membuat gadis itu menurut.
“Ancam aja terus! Desak aja terus! Bapak gak pernah tau kan apa yang saya alami? Bapak gak tau seberapa keras saya berusaha? Seberapa keras saya mencoba dan akhirnya tidak berarti di mata Bapak!” teriak Diva berani.
Gadis itu mencoba berdiri, membalas tatapan dingin yang Juandra tujukan padanya.
“Bapak mengancam dengan mudah, menyuruh saya ini itu, menyuruh saya mengulang mata kuliah terus menerus. Saya lelah, Pak! Saya juga udah berusaha keras untuk mengerjakan tugas dari Bapak!” cecar Diva lagi. Mata gadis itu mengembun, siap meluncurkan air mata.
Orang mabuk biasanya sangat jujur.
“Ayo pulang,”
Tanpa menunggu respon dari Diva, pria itu mengangkat tubuh gadis itu tanpa izin. Awalnya Diva memberontak, sampai akhirnya mengalah. Gadis itu bahkan mulai terisak dalam pelukan Juandra.
“Saya juga gak mau ada di posisi ini, Pak. Saya juga ingin menjadi diri saya yang dulu, tetapi saya gak bisa,” lirihnya.
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka