Cahaya dari lighting memenuhi ruang pemotretan. Gadis itu mengganti gaya photoshoot lagi. Wajah yang terlukis sempurna dipadukan dengan pakaian dari desainer ternama. Kali ini, wajah cantiknya akan tertera lagi di cover majalah fashion. Gadis itu menghela napas lega, pemotretan hari itu selesai.
Dia menerima air mineral dan segera meneguknya. Matanya sedikit perih karena cahaya dari lighting.
“Diva!” panggil seseorang. Tanpa menoleh pun, dia sudah tau siapa pelakunya.
“Kenapa menerima tawaran photoshot tanpa memberitaku aku dulu?” cecar wanita itu. Diva memutar bola matanya. Sangat malas menghadapi manajer yang terkadang melewati batas. Arinda sering sekali mengurusi hidupnya, membuat Diva kadang muak.
“Memangnya ada yang salah?” tanya gadis itu setelah meletakkan minumannya. Arinda membulatkan matanya. Diva tertawa kecil, sudah menebak penyebab sang manajer marah.
“Kamu tau kalau pemilik desainer brand ini adalah musuh lama kamu, kenapa masih kukuh menerima tawarannya? Kamu tau kan kalau tawaran yang mereka berikan di bawah standar kamu sebagai top model,” dumelnya.
Diva terheyak sejenak, memperhatikan raut kesal di wajah Arinda. Sekilsh manajernya itu terlihat peduli dan memikirkannya. Namun, setelah mengetahui kebenarannya, Diva justru merasa lucu dengan reaksi yang Arinda pertunjukkan.
“Begitukah? Kenapa tidak memberitahuku?”
Diva ingin melihat sejauh mana dia bisa mengikuti drama yang sedang simainkan oleh Arinda.
“Itulah kenapa kamu harus izin dulu sama aku, Div. Kita harus diskusikan apa pun terkait karier kamu sebagai model. Untuk sampai di titik ini gak mudah, jadi jangan asal mengambil keputusan, Div,”
“Ya sih, tapi yang melalui tahap untuk sampai ke titik ini kan aku, Rin! Kamu hanya pendamping dan gak tau rasanya berjuang mati-matian dari nol,” sahut Diva blak-blakan. Dia tersenyum ramah.
“Kok kamu ngomong gitu sih, Div? Kamu gak menghargai aku sebagai manajer kamu lagi?” tanyanya dengan wajah sendu. Diva memutar tutup botol minumannya. Setiap kali Diva menjelaskan keluh kesahnya, Arinda pasti akan mengatakan hal yang sama, seolah dia adalah tokoh paling tersakiti.
“Siapa bilang? Tetapi dibandingkan kamu, aku lebih hak atas kontrak yang akan aku terima atau tolak. Aku tau kamu marah, bukan karena dia musuhku atau karena tawarannya yang kecil,” Diva menjeda sejenak.
Sesuai dugaan, Arinda pasti tidak terima saat Diva mulai keluar dari zonanya dan melakukan segalanya sendiri.
“Kamu membencinya! Kamu ingin mereka hancur seperti yang mereka lakukan padamu dulu. Mereka membuangmu dan sekarang kesempatan besar untukmu membalas mereka, melalui aku. Namun, sayang sekali aku bukan robot yang bisa kamu kendalikan sesuka hati, Rin,” sambungnya menohok hati sang manajer. Arinda terheyak, terdiam dan tidak bisa mengeluarkan satu kata pun.
Diva berdiri.
“Aku akan ganti baju. Tolong atur ulang jadwalnya ya, manajerku yang tercinta. Aku harus ke makam Saka, hari ini hari ulang tahunnya dia,”
“Oh iya, jangan lupa untuk menemui desainer-nya, pastikan dia membuat pakaian sesuai request yang aku buat, dan pastikan juga sesuai ciri khasku. Terima kasih,” ucapnya menepuk bahu Arinda sebelum berlalu.
Awalnya Arinda adalah orang yang sangat dia percaya. Tepatnya setelah dia terjun ke dunia modelling, Arinda yang mendampinginya. Semakin hari mereka semakin dekat, membuat Diva mulai percaya dan terbuka padanya. Namun, Arinda ternyata tidak setulus itu bersahabat dengannya.
Seperti orang di luar sana, Arinda hanya mendekatinya karena dia berguna. Sebagai top model yang tentu memberi nama besar untuk Arinda.
Diva tersenyum kecut.
“Hanya Saka yang tulus menerima aku apa adanya, bahkan saat aku masih jelek,” lirihnya.
..
Dia membatalkan semua jadwal pemotretan dan bahkan mengabaikan panggilan dari semua orang. Sore ini akan dia habiskan untuk sang sahabat. Meski sudah berbeda alam, Diva tetap bisa merasakan kehadiran Saka di sisinya. Pria yang sejak dulu ada untuknya, bahkan hingga akhir hayatnya.
“Selamat ulang tahun, Saka!” uucapnya meletakkan bunga di atas makam.
“Kenapa ya gak ada yang tulus sama aku, Ka? Btw aku datang seperti biasa, tidak terlambat sedikit pun. Aku bahkan membatalkan beberapaa jadwal pemotretan untuk datang ke sini. Aku akan berkunjung ke rumah Bunda nanti,”
Diva menghela napas. Jika Saka masih hidup, cowok itu pasti akan mengoloknya, karena selalu memprioritaskan hari ulang tahun cowok itu. tidak sekali pun Diva melupakannya.
“Kue coklat kesukaan kamu, Ka. Aku tiup lilinnya ya,”
Seolah semesta merestui ikatan keduanya. Diva dan Saka lahir di tanggal dan bulan yang sama. Hari ini, untuk kedua kalinya dia merayakan hari ulang tahun seorang diri.
Gadis itu menutup mata, membuat harapan dan kemudian menutup lilin. Air mata mengalir begitu saja, membasahi pipinya.
“Saka, aku benar-benar merindukanmu,” lirihnya.
Sakit, satu kata yang menggabarkan keadaannya saat ini. Kehilangan seseorang dan tidak lagi bisa melihatnya di dunia adalah duka terbesar. Saat merindukannya, Diva hanya bisa memutar kenangan bersama Saka. Namun, semua berbeda karena wajah yang tidak lagi sama.
“Mungkin jika kamu tiba-tiba muncul, kamu juga gak akan mengenaliku, Ka. Wajahku berbeda, begitupun dengan kemampuan yang aku punya. Aku bukan gadis jenius kebanggan kamu lagi. Sebaliknya, aku adalah gadis cantik yang dulu aku inginkan,”
Dia selalu mencurahkan isi hatinya.
“Namun, semua gak sebanding dengan apa yang diambil dari aku, Ka. Semesta mengambil kamu, mengambil kemampuan yang aku punya dan yang tersisa hanya gadis cantik yang gak bisa apa-apa. Gadis yang direndahkan karena terlalu polos dan bodoh. Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan studiku,” sambungnya sembari terisak.
Ponselnya yang terus berbunyi, mengganggu ketenangan. Gadis itu mematikan suara ponselnya dan kembali fokus membagikan isi hatinya pada Saka. Setiap butuh tempat bersandar dan berbagi, Diva hanya akan mendatangi tempat peristirahatan sang sahabat.
“Iam the top model, now! Kalau ada kamu pasti akan aku angkat jadi manajerku.” Cerita terus mengalir, sampai petang berakhir. Matahari sore itu begitu indah, seolah mendukung persahabatan yang terus bertahan, meski sudah berbeda alam.
“Saka awas!”Terlambat, mobil yang melaju kencang dan kehilangan kendali itu, menabrak pembatas jalan, hingga hancur berkeping-keping. Belum sempat menyadari apa yang tengah terjadi, tubuhnya sudah terdorong kuat, keluar dari mobil. Tubuhnya terlempar sangat kuat, hingga menyentuh aspal.“Saka!” teriak gadis itu. sang sahabat masih tersisa di dalam mobil yang sebentar lagi akan meledak. Tertatih, dia mencoba bangkit, meski tubuhnya terasa sangat sakit.Duar! Suara ledakan muncul bersama api. Tubuh gadis itu kembali terpental, cukup jauh. Wajahnya penuh luka bukan saja sebab terkena aspal yang keras, tetpi juga akibat ledakan yang membuat wajahnya hampir tidak dikenali.“Saka!” gadis itu terbangun dengan keringat membasahi keningnya. Gadis itu menoleh, menemukan foto dua orang berlawanan jenis yang tengah tersenyum lebar.“Ka, maaf,” lirihnya.Dadanya seperti dihimpit oleh sesuatu membuat dia sedikit sulit mengatur napas. Gadis itu meraih gelas dan meneguk isinya sampai habis. Merasa m
Dia meneguk lagi minuman berwarna, beralkohol kadar tinggi. Dia sudah sempoyongan, tetapi tidak terbesit niat untuk berhenti. Satu gelas terisi dan diteguk sampai habis.Hari ini benar-benar menjadi hari terburuk. Diva akan menandainya di kalender dengan tinta hitam, sesuai warna yang amat dia benci. Sudah jatuh, tergelincir, tertimpa tangga pula. Satu pepatah yang cocok menggambarkannya hari ini.“Kak Johan!” panggilnya, cowok setinggi 170 cm itu menoleh. Dia menaikkan alisnya, mempertanyakan siapa gadis yang memanggilnya. Diva berlari, mendekat. Cowok itu sama sekali tidak berubah bahkan setelah tiga tahun tidak bertemu. Masih tampan dan penuh karisma.“Kakak gak ingat Diva?”“Diva? Aku hanya kenal Diva Ariesta, yang tidak sebaik kamu. Maaf dari segi wajah,”Diva terdiam, benar juga dua tahun tidak bertemu dengan Johan. Cowok itu pasti tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenali wajah barunya. Gadis itu menghela napas, mencoba tersenyum. orang mengenal Diva yang berwajah pas-pasan
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Perasaan Diva baru aja keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu, sekarang malah sudah kembali dengan kondisi yang lebih mengenaskan. Gadis itu beruntung, meski tulang belakang mengalami keretakan, tidak membuatnya lumpuh total. Paling tidak, kondisinya aman sekarang, meski butuh waktu untuk pulih kembali.“Dia sering masuk rumah sakit?”Pria bernama Jonson itu mengangguk, sudah sering menemukan Diva sebagai pasien, dalam waktu kadang kurang dari satu bulan.“Beberapa minggu yang lalu masuk rumah sakit karena gak makan seharian. Kalau menurut keterangan cowok yang mengantarnya, dia menemukan Diva pingsan di parkiran TPU. Naasnya lagi hari udah hampir malam, gak lucu kalau dia di sana terus ditemani sama penghuni tempat itu ‘kan,” lontar Jonson diringi tawa recehnya.Pria berjas putih itu tergolong dokter muda yang juga ramah. Terkadang malah Diva bercerita padanya kalau dia sedang diperiksa.“Begitu ya? Selain itu, dia pernah masuk rumah sakit untuk alasan lain lagi?”Entah seja
Oke percobaan pertama gagal dan Diva berakhir menjadi asisten dadakannya Juandra. Bukan asisten seperti Raya yang bertugas merekap dan mengawasi mahasiswa yang tengah ujian. No way, Diva tidak sepintar itu mendapatkan kepercayaan serta mandat dari Juandra. Sebaliknya, gadis itu kini harus merapikan rak buku milik Juandra dengan diawasi pria itu sendiri. Catat diawasi oleh pria itu, hanya mengawasi tanpa niat sedikit pun untuk membantu.Diva mengulurkan tangan yang terkepal, seolah berharap bisa memukul wajah sok tampan si dosen super galak itu. Kesempatan tidak datang dua kali dong, langsung saja di tengah kesibukan, Diva mencoba menghafal ulang mantranya.“Kali ini harus berhasil,” gumamnya.Gadis itu bergegas merapikan buku di rak, sankin terburu-buru, raknya bahkan mulai tidak seimbang. Diva sama sekali tidak menyadari hingga tubuhnya ditarik oleh seseorang. Sangat cepat dan kini dia berada dalam pelukan yang lumayan nyaman.Dia mendongak untuk menatap sosok tinggi yang masih seti
Diva menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya secara perlahan. Hal yang sama dia lakukan berkali-kali, sampai merasa cukup tenang. Dia kembali memandang penampilannya di cermin, sudah cukup sempurna dan seharusnya cukup untuk menarik perhatian Juandra.“Oke Div, tenang jangan sampai lupa mantranya lagi,” gumamnya berusaha keras mengingat barisan kata yang disebut mantra. Terbesit keraguan dalam benak Diva, juga kekhawatiran yang menggerogoti perasaannya. Jika gagal, maka semua akan berantakan.Mantra kali ini adalah jalan terakhir yang dia miliki, dan dia harus berhasil jika tidak mau dinikahkan dengan seseorang yang tidak dikenalnya.“Aku pasti sudah gila, memilih menikah dengan dosen galak itu, tapi aku juga gak mau kehilangan mimpi sebagai model, apalagi menikah sama orang gak dikenal. Dih amit-amit dah, syukur kalau ganteng, kalau jelek gimana?”Gadis berbandana biru itu kembali menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran buruk dari otak mungilnya.“Oke, mari menjala
Menyerah? Kata itu tidak pernah terlintas dalam benak Diva. Dulu, saat sakit pun, tidak jadi penghalang untuk mengikuti olimpiade antar provinsi. Alhasil, dia selalu memperoleh hasil terbaik dari jerih payahnya. Namun, sepertinya semesta sedang mempermainkannya. Dia seolah dipaksa untuk menyerah kali ini.“Jadi aku sungguh tak mendapatkan apa pun?” ulang Diva memastikan, manik matanya mulai berkabut, siap meluncurkan air mata.Athena menghela napas, sangat tidak tega melihat gadis di depannya itu. Masalahnya, tidak semua orang berhasil terkena mantra buatannya. Apalagi mengingat kalau target yang Diva tuju, belum selesai dengan masa lalunya, bahkan masih terbayang dengan sosok itu.Sungguh berat tantangan yang harus dihadapi oleh gadis itu.“Masa aku harus menuruti permintaan Papa untuk menikah dengan anak kolega bisnisnya sih. Aku gak mau Bunda, bantu aku,” pinta Diva cenderung merengek. Otaknya sudah tidak sanggup untuk memikirkan cara lain. Mantra ini satu-satunya hal yang dia hara
Diva mengetukkan jemari di atas meja, menunggu seseorang yang seharusnya bisa membantunya meluluhkan hati si dosen galak, yang sudah menolak semua usahanya mentah-mentah. Seseorang melambaikan tangan, membuat gadis itu melakukan hal yang sama.“Mbak Diva ya?” tanya orang itu, logat bicaranya lebih lembut.“Nisa ‘kan?”Wanita itu mengangguk. Nisa adalah putri dari supir taksi beberapa waktu sebelumnya. Nisa adalah anak yang tidak seperti saudaranya. Tidak beruntuk soal paras dan akademik. Namun, sebuah matra berhasil mengubah jalan hidup Nisa menjadi lebih baik. Nisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih bagus dari saudaranya yang lain, bahkan suami yang kaya dan sangat mencintainya.Berdasarkan pada cerita itu, Diva ingin mencoba keberuntungannya.“Jadi kamu ingin meluluhkan hati dosen galak? Apa dia tampan?” tanya Nisa setelah mendengar singat cerita lika-liku hidup Diva menghadapi dosen menyebalkan satu itu.“Sangat galak dan mungkin tidak memiliki hati. Dia terbilang tampan, masih
Kelopak matanya mulai menunjukkan adanya pergerakan, pertanda mata gadis yang tengah berbaring di atas bangsal itu akan segera bangun. Benar saja, manik matanya akhirnya tampak jelas, menatap langit-langit rumah sakit. Cukup lama, hingga kejadian beberapa waktu sebelum dia berakhir di rumah sakit, kembali terputar bak kaset dalam pikirannya.Dia mengangkat sebelah tangannya yang bebas, lantas menutup matanya. Dia menangis dalam diam. Lagi-lagi dia mendapatkan kegagalan. Dia berjuang mati-matian, bahkan harus masuk rumah sakit, demi kue yang berakhir di tong sampah tersebut.“Kenapa Bapak gak pernah menghargai usaha saya sedikit aja?” gumamnya mulai terisak.Juandra benar-benar tidak memiliki hati nurani sepertinya. Kalaupun tidak menyukai kuenya, paling tidak diterima dulu, jangan langsung dibuang di depan mata sang pemberi. Pintu ruangan yang dibuka ditambah langkah kaki yang mendekat membuat gadis itu membuka matanya.“Kak Johan?” gumamnya terkejut mendapati kakan kelas yang disukai
Weekend biasa Juandra habiskan dengan menenangkan pikirannya. Pagi-pagi sekali pria itu sudah siap untuk jogging. Mata memerah ditambah kantung mata yang semakin menebal, mempertegas bahwa dia tidak tidur semalaman.Pertama-tama, pria dengan leging putih dan kaus hitam itu melakukan pemanasan sebelum lari kecil, memutari kompleks apartemen pribadinya. Dia menyugar rambutnya, membuat mata semua orang yang tengah lari pagi tertuju adanya. Khususnya para wanita. Pupil mereka melebar, terpesona akan ketampanan pria itu.“Indahnya ciptaanmu, Tuhan!”“Pak Juan, bukan? Yang tinggal di apartemen ujung kompleks? Ganteng banget!”“Gak pernah keluar, sekalinya keluar bikin melting! Mas, nikahi aku sekarang juga!”Juandra mengabaikan mereka yang terus menatapnya penuh harap. Pria itu memilih duduk, membuka botol minum yang dia bawa dan mulai meneguk isinya. Bahkan saat minum pun, pria itu masih menjadi pusat perhatian. wanita-wanita di sana terus saja membicarakannya. Mambuat dia mulai tidak nya
Gadis itu mondar-mandir tidak jelas bak setrikaan. Jika benar Juandra yang membantunya malam itu, sudah pasti Juandra akan mem-blacklist dia lagi. Ke sekian kalinya, semesta mempertemukan mereka dalam situasi yang tidak tepat.“Ayo berpikir, Diva! Kamu harus melakukan sesuatu!”Semakin dipikikan, kepalanya semakin berdenyut. Gadis itu menyerah, membaringkan tubuhnya di atas kasur. Hari ini yang seharusnya jadwalnya padat, tidak lagi penting. Beberapa panggilan dari Arinda masuk, disertai dengan spam pesan, diabaikan begitu saja. Biarlah manajernya itu kesusahan karena tingkahnya.Hal terpenting sekarang adalah mencari cara agar Juandra tidak mem-blacklist dia dari nama mahasiswa terpelajar. Jika Juandra mau, pasti sekarang gadis itu sudah di drop out dari kampus sudah dua kali mengulang dan belum tuntas. Judul belum juga rampung, dan sekarang kepergok ke klub. Malah hampir dirusak oleh pria tidak dikenal.Diva mengacak rambutnya frustrasi. Hancur sudah image sebagai seorang mahasiswa
Pria itu memarkirkan mobilnya, setelah mengantar gadis menyusahkan yang akhir-akhir sering muncul daalam kehidupannya. Dia menyugar rambut hitam yang terpangkas rapi, sebelum memasuki kediaman keluarga William. “Dari mana saja? Baru pulang selarut ini?” tanya seseorang membuat Juandra mendengkus. Selalu saja, pria paruh baya itu ikut campur urusan pribadinya. “Aku bukan anak kecil yang harus ditanyai dari mana dan kenapa baru pulang! Aku bisa mengurus hidupku sendiri!” tukas Juandra tidak senang dengan kehadran Respati. Pria paruh baya itu menghela napas panjang. “Dari klub lagi? Sampai kapan begini terus? Kamu itu seorang dosen yang punya nama baik, bagaimana kalau orang tau kamu sering ke dunia haram itu? bagaimana kalau nama kamu rusak karena sering ke sana?” “Apa itu penting untuk Papa?” Hening, keduanya hanya adu tatap, tanpa seorang pun ingin melepas kontak mata itu. Ayah dan anak itu memiliki sifat yang mirip, sama-sama keras kepala dan teramat tegas. “Kamu harus membuka