Deo memandangi mejanya yang bersih karena sedari tadi dia memang belum memesan apa-apa. Baru saja dia berdiri dari kursinya, seorang wanita dewasa datang menghampirinya. “Kamu yang namanya Amadeo ... Amadeo Keita?” tanya wanita itu lambat-lambat, namun intonasinya tegas, setegas wajahnya yang saat ini memandang Deo dengan tatapan menilai. “Iya, saya sendiri.” Deo menganggukkan kepala sambil balas memandang wanita itu dengan tatapan ingin tahu. “Bisa saya bicara sebentar?” tanya wanita itu. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Dengan canggung, Deo ikut duduk di depan wanita yang berambut bob itu. “Nama saya Liora, saya ini tantenya Tania.” Dia memperkenalkan diri. “Kamu ... ada hubungan apa sama keponakan saya?” Deo mengangkat sebelah alisnya dengan sangat heran. “Kami teman,” katanya lugas. “Teman?” ulang Tante Liora dengan nada sangsi. “Lalu dalam rangka apa kalian mau liburan bareng ke Maladewa?” Astaga! Pekik Deo dalam hatin
“Tante cuma melindungi kamu dari orang-orang yang suka manfaatin kamu aja, Tania ...” ujar Tante Liora. “Sekarang kita ke rumah sakit dulu, yuk?” “Aku nggak mau,” tolak Tania. “Kamu mimisan lagi, Tan. Ayo, kamu berobat dulu.” Tante Liora terus membujuk. “Tan, nurut deh sama kata tante kamu.” Deo ikut membujuk. “Tapi kamu nggak marah sama saya kan?” tanya Tania sambil memandang Deo. “Nggak ada alasan buat marah sama kamu,” jawab Deo. “Sana, kamu ke rumah sakit dulu.” Dengan berat hati Tania mengangguk dan melepas pegangannya pada lengan Deo. Saat dia baru maju beberapa langkah ke arah Tante Liora, mendadak tubuhnya oleng dan ambruk ke tanah. “Tania!” pekik Tante Liora sementara Deo menangkap tubuh Tania sesaat sebelum menyentuh tanah. “Mobilnya dibawa ke sini aja, Pak!” usul Deo seraya membopong Tania. “Saya bawa Tania neduh dulu, kasian kalo tiba-tiba ujan.” “Iya Mas!” Sopir pribadi Tania langsung balik badan dan buru-buru pergi untuk mengambil mobilnya. “Ayo Tante
“Di tempat futsal itu juga saya pertama kali ketemu Tania,” kata Deo. “Jadi gimana, Kei? Saya mohon banget sama kamu untuk bisa menemani Tania pergi ke Maldives, saya ingin melihatnya bahagia kayak dulu. Sebelum orang tuanya meninggal dan sebelum kesehatannya melemah karena penyakitnya itu. Kamu mau ya?” “Maaf Tante,” kata Deo dengan berat hati. “Saya mau melakukan apa pun agar Tania bisa bahagia, tapi kalo untuk pergi ke Maldives gratisan, saya nggak bisa.” Tante Liora terus memutar otak agar Deo mau menerima ajakan Tania untuk berlibur di Maldives, tempat yang sangat ingin Tania kunjungi sejak lama. “Kamu bisa menyetir mobil, Kei?” tanya Tante Liora kemudian. “Nggak bisa Tante,” jawab Deo. “Tapi kakak saya bisa.” “Gini aja, gimana kalo kamu belajar nyetir mobil dulu sama kakak kamu?” usul Tante Liora. “Setelah itu saya kasih kamu kerjaan sebagai sopir pribadi Tania. Nah, dari situ kamu bisa dapet gaji buat nyicil semua biaya liburan ke Maldives. Gimana?” Deo berpikir sebentar,
“Oh iya, aku lupa!” Deo menepuk jidatnya. “Nanti bertahap kamu urus SIM juga, karena itu penting.” Gennaro mengingatkan. “Mahal nggak, Kak?” tanya Deo. “Enggak, nanti aku bantuin ngurus,” jawab Gennaro tenang. “Yang penting kamu bisa nyetir dulu.” Deo mengangguk setuju. *** Karena pikirannya mulai sibuk memikirkan soal keberangkatannya ke Maldives yang entah kapan, Deo nyaris lupa menghitung sisa waktu pernikahannya dengan Veren yang hanya tinggal tiga bulan saja. Veren sendiri tidak kalah sibuknya dengan kegiatan di kampusnya, sehingga dia dan Deo sudah sama-sama lelah untuk membicarakan soal perceraian ketika bertemu di kamar saat malam harinya. Tania sendiri sudah jauh lebih sehat sejak menjalani perawatan intensif di rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Ditambah kesanggupan Deo untuk menemaninya liburan ke Maldives, semakin membuat dirinya bersemangat kuliah. Deo sudah tidak segan lagi untuk memperlihatkan keakrabannya dengan Tania di kampus, dia menghentikan kebiasaann
“Gue sama Tania cuma temen,” kilah Deo. “Jangan bandingin Tania sama mantan lo, mereka jelas beda kelas lah.” “Beda kelas apanya, mana ada cewek baik-baik yang nempel terus sama suami orang?” sindir Veren. Raut wajah Deo langsung berubah drastis. “Hati-hati kalo ngomong ya, Ver?” Deo menunjuk wajah Veren dengan jarinya. “Seenggaknya Tania masih punya semangat hidup di saat sakitnya sedang parah-parahnya. Sedangkan elo? Lo malah mau mengakhiri hidup lo di saat elo dianugerahi kesehatan yang bagus.” “Elo juga jangan seenaknya ngehakimi orang,” kata Veren tajam sambil menusukkan jarinya ke dada Deo. “Seenggaknya Hanan udah pernah ngasih kebahagiaan dalam hidup gue. Sementara elo? Pernah nggak elo ngebahagiain gue?” Deo tersenyum sinis. “Elo lupa tujuan kita menikah itu buat apa?” katanya dingin. “Kita nikah itu cuma buat bercerai!” Veren menatap Deo dengan pandangan buas. “Kalo gitu lo nggak usah ngurusin mantan gue sampe segininya!” kata Veren ketus. “Kita udah mau cerai, kan?
Dia nggak tidak tahu apa makanan kesukaan Veren, barang favorit, bahkan hal yang paling pribadi seperti ukuran bra dan celana dalam isterinya pun dia tidak tahu sama sekali. Namun, ada bisikan lain yang sengaja lewat dan mampir menyapa telinga Deo dengan halus, ‘udah nggak usah dipikirin, kan bentar lagi kalian juga mau cerai.’ “Biarin aja dulu, Ma.” Deo mematikan tivi kemudian merenggangkan kedua tangannya tinggi-tinggi. “Aku sama Veren juga mau ada acara kampus, nginep beberapa hari. Jadi biarin aja lah kita misah sementara.” “Kapan, Yo?” tanya mama ingin tahu. “Dalam waktu dekat ini kayaknya,” jawab Deo. “Ma, aku ke kamar dulu ya? Udah ngantuk, nih.” “Jangan lama-lama berantemnya,” kata mama. “Iyaaaa ...” sahut Deo sambil berjalan pergi ke kamarnya. Deo terus memikirkan kata-kata mama tadi kepadanya. Selama ini dia sering mengatai Veren cablak, preman pasar, papan setrika, dan sebutan lain yang tidak sepantasnya dia ucapkan kepada istrinya. Deo mengharapkan perlakuan lembu
“Tante Liora udah mulai ngurus persiapan keberangkatan kita ke Maldives!” jawab Tania dengan wajah bahagia yang baru sekali ini Deo lihat. “Kamu sama istri kamu ... siapa namanya, maaf?” “Veren.” “Iya, Kak Veren. Nanti sekalian paspornya diurus Tante Liora,” kata Tania. “Veren kayaknya nggak bisa ikut,” kata Deo memberi tahu. “Gimana, kamu masih mau ke Maldives tanpa Veren?” “Saya sih nggak masalah, justru kamu sendiri gimana kalo pergi tanpa Kak Veren?” tanya Tania dengan wajah sedikit redup. “Kamu tetep jadi pergi sama saya, kan?” Deo tidak segera menjawab. “Biar saya minta izin sama Kak Veren ya, Kei?” Tania buru-buru berdiri dari kursinya dan bersiap pergi. Deo ikut berdiri dan memegang tangannya untuk mencegah Tania pergi. “Kamu mau ke mana?” tanya Deo heran. “Mau ketemu Kak Veren, minta izin sama dia biar kamu dibolehin pergi,” jawab Tania polos. “Boleh kan?” “Veren nggak kuliah di sini, Tan.” Deo tertawa. “Dia kuliah di kampus lain.” “Oh, saya baru tau ...” Wajah Tan
“Sama asisten rumah tangga saya, kadang juga Tante Liora sekeluarga nginep di sini rame-rame,” jawab Tania. “Kamu mau minum apa?” “Apa ya? Terserah tuan rumah aja lah,” kata Deo. “Kalo gitu kamu duduk dulu,” pinta Tania. “Saya mau ke dapur sebentar.” Deo mengangguk kemudian duduk di salah satu sofa mahal yang tersedia di situ. Sambil menunggu, dia mengeluarkan ponselnya dan mengecek apakah Veren menghubunginya atau tidak. Deo membuka salah satu aplikasi pesan instan yang ada di ponselnya untuk melihat kapan terakhir kali Veren online. Dia hanya penasaran dan tidak berniat untuk mengiriminya pesan lebih dulu. Tidak berapa lama kemudian Tania muncul dan pikiran Deo tentang Veren langsung buyar begitu saja. “Lama nunggu ya, Kei?” sapa Tania sambil menghidangkan dua cangkir minuman di atas meja. “Enggak kok,” sahut Deo. “Wah, kayaknya seger. Itu apa?” “Coba deh kamu minum,” pinta Tania sambil menyodorkan satu cangkir berisi minuman hangat kepada Deo yang menerimanya dengan