“Apa ... Kak Aro suka main kasar ya?” gumam Veren. “Mungkin nggak sih kalo dia suka mukul Kak Freya gitu?” “Nggak mungkin lah, KDRT namanya!” bantah Deo. “Kak Aro emang dingin orangnya, tapi gue yakin dia nggak mungkin main tangan sama kakak ipar.” “Kalian ngomongin apa, kok kasak kusuk gitu?” terdengar suara Gennaro dari arah samping, membuat Deo dan Veren terlonjak kaget. Gennaro dan Freya sudah tiba di depan Deo dan Veren yang sedang duduk di anak tangga. “Kalian ngapain kasak kusuk gitu?” ulang Gennaro dengan nada heran. “Eh anu, itu ...” “Deo laper, Kak. Buru-buru ngajakin pulang!” potong Veren asal. “Lah ...?” Deo bengong, namun Veren buru-buru menyikutnya. “Tapi kalo Kakak masih mau di sini, kita duluan aja pake taksi online.” “Iya, Kak.” Mau tidak mau, Deo mengangguk membenarkan ucapan Veren. “Kita duluan aja ya?” “Nggak usah, kita bareng aja.” Freya menggeleng. “Udah selesai kan, Mas?” “Udah, cuma ninjau doang kok.” Gennaro mengangguk kemudian memimpin kel
Disentuhnya layar ponsel itu untuk melihat jam berapa dia terbangun. Ternyata sudah lewat tengah malam. Tiba-tiba ponsel Deo merosot saat dia mengubah posisinya, dan ponsel itu sukses menimpa wajah Veren yang terlelap tidur di sebelahnya. “Aduh!” rintih Veren dengan mata yang masih terpejam. “Soriii,” bisik Deo seraya memungut ponselnya kembali. “Lo ‘napa sih, cuilan tempe? Kebangun tengah malem buta ...” racau Veren dengan suara yang tidak jelas. “Gue mimpi nikah lagi,” kata Deo jujur. “Baru aja mau ijab qobul ...” “Dasar lo ... cerai aja belom, udah kebelet nikah aja.” Veren bergumam. “Kelarin dulu yang lama, baru lo ambil yang baru ...” Deo menaikkan sebelah alisnya, bingung. Isterinya ini sadar atau mengigau sambil tidur? Kenapa responnya seperti orang yang sedang diajak ngobrol? “Tau deh, Ver. Jodoh gue yang asli udah nggak sabar kali ya?” komentar Deo sambil berusaha mengingat-ingat mimpi itu lagi. “Elo kali ... yang nggak ... sabaran ...” gumam Veren dengan in
“Oh, di antara dua negara?” ulang Deo. “Berarti si Maladewa ini pihak ketiga dong? Kan kata kamu dia letaknya di antara dua negara itu ...” Tania terdiam sejenak, ekspresi wajahnya lucu sekali saat dia berusaha keras untuk mencerna ucapan Deo barusan. “Serius Kei, malah ngajak bercanda!” katanya tertawa. “Abisnya saya cuma bisanya ngajak kamu bercanda, saya mana bisa ngajak kamu liburan?” komentar Deo ikut tertawa. “Makanya biar saya yang ngajakin kamu,” ucap Tania blak-blakan. “Eh ...?” “Sama isteri kamu juga, maksud saya!” sambung Tania cepat-cepat. “Gimana Kei, apa kamu sama isteri kamu bersedia?” “Tapi Tan, ‘napa kamu nggak ngajak temen-temen kamu dulu?” kata Deo heran. Agak janggal aja, sekalinya ada yang ngajakin liburan tujuannya langsung ke Maldives. “Justru saya ini lagi ngajakin temen saya,” sahut Tania. “Kamu sama isteri kamu kan temen saya. Gimana?” “Oh ...” Deo meringis. “Boleh juga tuh, Tan. Tapi nunggu celengan tuyul saya penuh dulu, ya? Entar baru kita nyampe
“Lo sendiri kapan berangkat ke Maldives?” Kali ini Veren yang bertanya. “Boro-boro berangkat, gue aja belom bilang apa-apa sama Tania.” Deo mengangkat bahunya. “Menurut lo aneh nggak sih, dia tiba-tiba ngajak elo liburan ke Maldives?” ujar Veren dengan nada heran. “Lo udah berapa lama kenal sama dia?” “Baru beberapa bulan sih,” kata Deo apa adanya. “Gue juga nggak tau, tapi kalo gue lihat dia kayak nggak punya banyak temen di kampus. Gue jarang lihat dia jalan sama temennya.” Veren kelihatan berpikir. “Lo bilang dia mahasiswa baru, ya?” katanya. “Mungkin dia masih kesulitan beradaptasi.” Deo terdiam. Mungkin juga, batinnya. Tidak semua mahasiswa baru bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan kampus, apalagi kalau dia sangat pemalu atau pendiam. *** Di tempat yang berbeda di kediaman orang tua Deo, Gennaro mengulurkan beberapa botol skincare mahal kepada Freya yang sedang menotol-notol bekas memar yang ada di pelipisnya. “Aku kan udah bilang, tiap kamu keluar kamar, kamu tutu
“Buat apa kamu sembunyikan keindahanmu itu, Frey?” tanya Gennaro yang kini berdiri tegak menjulang di depan Freya yang seolah menciut menjadi lebih kecil dari biasanya. “Kamu udah cukup banyak melihat keindahan yang aku punya,” jawab Freya dengan suara bergetar. “Sekarang jauh-jauh dariku.” “Keindahan yang kamu berikan belum sebanyak uang yang udah aku kucurkan buat kamu,” ujar Gennaro seraya menyingkirkan tangan Freya yang sedang memagari dirinya sendiri dari jangkauannya. “Jadi kamu menilai aku dari sebatas uang?” kecam Freya. “Orang seperti kamu lebih cocok bermain dengan banyak wanita di luar sana!” Gennaro berdecak. “Aku kan udah bilang kalau aku hanya setia pada satu wanita,” kata Gennaro seraya bersiap mengeksekusi tubuh mungil Freya yang terbalut gaun tidur merah menyala yang justru membuat gairah dalam dirinya meluap-luap. “Udah Mas, tolong hentikan siksaan kamu ini ...” mohon Freya. “Sssshhh ... siapa yang mau nyiksa kamu?” Gennaro menggelengkan kepala. “Aku cuma ma
Deo memandangi mejanya yang bersih karena sedari tadi dia memang belum memesan apa-apa. Baru saja dia berdiri dari kursinya, seorang wanita dewasa datang menghampirinya. “Kamu yang namanya Amadeo ... Amadeo Keita?” tanya wanita itu lambat-lambat, namun intonasinya tegas, setegas wajahnya yang saat ini memandang Deo dengan tatapan menilai. “Iya, saya sendiri.” Deo menganggukkan kepala sambil balas memandang wanita itu dengan tatapan ingin tahu. “Bisa saya bicara sebentar?” tanya wanita itu. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Dengan canggung, Deo ikut duduk di depan wanita yang berambut bob itu. “Nama saya Liora, saya ini tantenya Tania.” Dia memperkenalkan diri. “Kamu ... ada hubungan apa sama keponakan saya?” Deo mengangkat sebelah alisnya dengan sangat heran. “Kami teman,” katanya lugas. “Teman?” ulang Tante Liora dengan nada sangsi. “Lalu dalam rangka apa kalian mau liburan bareng ke Maladewa?” Astaga! Pekik Deo dalam hatin
“Tante cuma melindungi kamu dari orang-orang yang suka manfaatin kamu aja, Tania ...” ujar Tante Liora. “Sekarang kita ke rumah sakit dulu, yuk?” “Aku nggak mau,” tolak Tania. “Kamu mimisan lagi, Tan. Ayo, kamu berobat dulu.” Tante Liora terus membujuk. “Tan, nurut deh sama kata tante kamu.” Deo ikut membujuk. “Tapi kamu nggak marah sama saya kan?” tanya Tania sambil memandang Deo. “Nggak ada alasan buat marah sama kamu,” jawab Deo. “Sana, kamu ke rumah sakit dulu.” Dengan berat hati Tania mengangguk dan melepas pegangannya pada lengan Deo. Saat dia baru maju beberapa langkah ke arah Tante Liora, mendadak tubuhnya oleng dan ambruk ke tanah. “Tania!” pekik Tante Liora sementara Deo menangkap tubuh Tania sesaat sebelum menyentuh tanah. “Mobilnya dibawa ke sini aja, Pak!” usul Deo seraya membopong Tania. “Saya bawa Tania neduh dulu, kasian kalo tiba-tiba ujan.” “Iya Mas!” Sopir pribadi Tania langsung balik badan dan buru-buru pergi untuk mengambil mobilnya. “Ayo Tante
“Di tempat futsal itu juga saya pertama kali ketemu Tania,” kata Deo. “Jadi gimana, Kei? Saya mohon banget sama kamu untuk bisa menemani Tania pergi ke Maldives, saya ingin melihatnya bahagia kayak dulu. Sebelum orang tuanya meninggal dan sebelum kesehatannya melemah karena penyakitnya itu. Kamu mau ya?” “Maaf Tante,” kata Deo dengan berat hati. “Saya mau melakukan apa pun agar Tania bisa bahagia, tapi kalo untuk pergi ke Maldives gratisan, saya nggak bisa.” Tante Liora terus memutar otak agar Deo mau menerima ajakan Tania untuk berlibur di Maldives, tempat yang sangat ingin Tania kunjungi sejak lama. “Kamu bisa menyetir mobil, Kei?” tanya Tante Liora kemudian. “Nggak bisa Tante,” jawab Deo. “Tapi kakak saya bisa.” “Gini aja, gimana kalo kamu belajar nyetir mobil dulu sama kakak kamu?” usul Tante Liora. “Setelah itu saya kasih kamu kerjaan sebagai sopir pribadi Tania. Nah, dari situ kamu bisa dapet gaji buat nyicil semua biaya liburan ke Maldives. Gimana?” Deo berpikir sebentar,