Angelista menarik kedua sudut bibir saat netranya menangkap suatu grafik yang bagus dalam tablet yang ada di tangannya. Menampilkan penjualan busana rancangan miliknya yang laris dan meraup keuntungan besar. Tidak dapat menyembunyikan rasa bangga yang muncul dalam benaknya, Angelista terkekeh pelan.
Melihat pencapaian miliknya yang begitu nyata seperti ini, ia masih saja tidak mengerti dengan apa yang ada dalam isi kepala Irine.
"Mungkinkah dia sedang menyesali perkataannya?" Angelista tersenyum miring. Membayangkan bagaimana wajah putus asa Irine karena telah memperlakukan dirinya dengan buruk.
Wanita bersurai pirang tersebut menggeleng pelan. Lantas menyentuh layar dan kembali memeriksa.
Sedangkan suara langkah sepatu yang beradu dengan lantai membuat dirinya cepat-cepat mengangkat kepala. Menemukan Kai tengah mengenakan jam tangan dan bersiap untuk berangkat kerja.
Angelista tersenyum lebar. Namun, tak lama kemudian wajahnya ber
"Kau ... kenapa kau ada di sini?" ujar seseorang yang berdiri di depan pintu tersebut seraya menatap dingin ke arah Jordi. Sementara Jordi tidak bergerak. Separuh bibirnya tampak terbuka. Masih tidak percaya dengan siapa yang saat ini tengah beradu pandang dengannya. "Jordi, mengapa kau lama sekali membukakan pintu?" Tiba-tiba saja Nathalie datang. Setelah beberapa saat menunggu dan Jordi tidak segera kembali, ia menjadi khawatir dengan siapa yang datang. "Nathalie, sebaiknya kau bisa membuat alasan yang bagus nanti. Mengapa ada pria di rumahmu sepagi ini." Ekspresi Irine berubah manis. Ia tersenyum pada wanita di belakang Jordi yang saat ini balas menyapa dirinya dengan kaku...."Jadi, kemarin kau tidak memberitahuku jika kau sedang sakit?" Irine meletakkan sendok dan menghela napas putus asa. "Kau pikir aku orang asing? Mengapa kau membiarkan pria seperti ini berada di sisimu daripada aku? Kau anggap aku apa?"
"Hei, kau mengenali siapa diriku, bukan?" Kepala Jordi keluar dari jendela mobil. Memandang ke arah Irine yang hampir saja terperanjat di tempat. "Apa itu merugikan mu?" Wanita itu mendecih pelan. Sebelum kemudian berjalan ke arah mobilnya. "Bagaimana bisa kau mengenaliku?" Pria itu tidak puas dengan jawaban Irine sebelumnya. Karena kenyataan tentang siapa ia sebenarnya sangatlah rahasia. Dan Nathalie bukan tipe seseorang yang akan membeberkan rahasianya pada orang lain. Maka, tidak ada pilihan lain selain Irine sendiri yang mengerti dengan sendirinya. Dengan kata lain, wanita bersurai ungu tersebut bukanlah orang biasa karena telah mengenalinya. Bahkan ekspresi terkejutnya tadi pagi saat bertemu dengannya begitu kentara. "Kau benar-benar tidak mengingatku, Tuan Muda?" Irine mencibir dengan ekspresi sebal. Sementara Jordi hanya menggelengkan kepala. Merasa tidak pernah bertemu dengan Irine sebelumnya. "Tentu saja kau tidak mengenal
"Nathalie milikku. Dan selamanya adalah milikku. Kau tidak memiliki hak untuk menyukainya karena dia akan menjadi bibimu." Kai memandang penuh ke arah keponakannya. Ingin mengatakan hal tersebut dengan lantang agar Jordi sadar diri dan segera menjauhi Nathalie. Namun, keinginan itu masih tertahan dalam hatinya. Ia bisa membayangkan bagaimana wajah Jordi yang pias ketika dirinya berkata sesuatu yang menyinggung batin pria itu. Alhasil. Kai hanya mendengkus dan kembali meminum alkohol entah sudah yang ke berapa kali. Untung saja dirinya memiliki toleransi yang tinggi pada alkohol. Membuatnya kuat minum beberapa gelas tanpa merasakan mabuk. Kai mengerutkan keningnya tipis saat melihat pria di sebelahnya itu tersenyum sembari memandang layar ponselnya. Mengetikkan sesuatu pada ponsel tersebut dengan mata berbinar-binar. "Jordi. Ayahmu terus mencarimu. Meskipun kau begitu membencinya, setidaknya sesekali kembalilah ke Amerika." Kai mengalihkan atensi
"Aku akan mengantarmu pulang." Kai menggeleng. Menolak kebaikan Jordi setelah mereka berdua keluar dari bar. "Bagaimana dengan mobilmu?" "Aku bisa meninggalkannya di sini. Mark akan menjaganya untukku." Pria itu masih saja bersikukuh untuk menggantikan Kai menyetir. Khawatir jika pamannya itu terlalu banyak minum dan mabuk ketika menyetir nanti. Hal tersebut hanya akan mendatangkan bahaya. "Tidak. Aku perlu pergi ke suatu tempat." Kai masih saja menolak. Ia melepaskan tangan Jordi yang memapahnya meski ia tidak perlu. "Kalau begitu aku akan menemanimu ke sana." Jordi masih bernapas lega. Untung saja Kai tidak benar-benar mencekik wanita tadi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Untunglah wanita itu menyadari bahaya dan langsung pergi setelah Kai mengucapkan satu kata saja. "Kembalilah sendiri. Jangan pedulikan aku." Kai menutup pintu mobil dan mengucinya dari dalam. Meninggalkan
"Jadi, siapa sebenarnya mantan kekasihmu, Nathalie?" Nathalie terdiam. Terpaku di tempat. Tidak tahu apakah dirinya harus mengatakannya atau tidak. Selama ini ia tidak pernah ingin mengungkit lagi apa yang pernah menjadi masa lalunya. Karena mau tidak mau, semua kejadian buruk yang pernah terjadi akan teringat kembali. Ia tidak dapat memilah sesuai yang ia inginkan. Semuanya berjalan begitu saja. Ia menghela napas. "Dia bukan orang biasa." Nathalie melepaskan bunganya. Memberikan mawar tersebut pada Ariska seolah berkata 'ambil saja jika kau mau'. "Hey, semua orang yang pernah singgah di hati kita tentu saja bukan orang biasa. Apa kau masih tidak dapat melupakannya?" Ariska terkekeh pelan. Mencium kelopak bunga yang ada di pelukannya itu seraya memejamkan mata. "Aku sudah melupakannya." "Siapa namanya?" Jordi kembali bertanya. Benar-benar penasaran dengan sosok yang pernah memenangkan hati batu wanita itu. Setid
Hans berjalan dengan wajah sumringah menuju ruangan Kai berada. Ini adalah hal langka yang terjadi padanya. Kai jarang sekali berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu untuk melakukan sesuatu. Pasti dirinya yang pertama kali memberitahukan pada Kai tentang jadwal pria itu. Hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan penting dalam diri Kai tersebut adalah sesuatu yang berarti baginya. Meskipun ia harus membatalkan pertemuan dengan orang penting demi panggilan Kai kali ini. Tinggal tiga langkah lagi sebelum dirinya masuk. Pintu ruangan Kai terbuka dan munculah sosok yang pernah ia lihat sebelumnya. Entah mengapa Hans merasa hubungan antara Dalton dan atasannya itu tidak biasa. Pria bertatto itu sering kali datang kemari dan mengobrol di ruangan Kai seolah mereka sangat dekat. Kai bahkan tidak menyuruh Dalton untuk menunggunya di lobi atau tempat lain. Namun, malah membiarkan saja pria itu datang ke ruangannya. Yang Hans tahu selama ini, Kai tidak akan senang den
"Aku akan bersamamu sampai kau sembuh." Tidak mengerti. Mengapa Kai merasa dirinya begitu senang mendengar apa yang baru saja Nathalie katakan. Meski ia sendiri tahu jika wanita itu ingin bersamanya bukan karena ingin kembali 'bersama'. Melainkan sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang ia derita. Kai tidak akan memperhitungkan apapun. Karena ia tahu semua ini pasti akan berawal tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Namun, satu langkah yang kini mereka jalani bersama bukan tidak mungkin untuk memperbaiki hubungan mereka. "Aku mengeri." Kai tersenyum tipis. Menutupi luka batinnya yang sedikit teriris. Pria itu memandang Nathalie lekat-lekat. Ingin membagi betapa kerinduan yang ia rasakan selama ini. "Kalau begitu, tolong lepaskan tanganmu. Aku harus segera kembali bekerja." Kai menyadari jika ia masih belum melepaskan wanita itu. Tidak. Ia memang berniat tidak melepaskan Nathalie. "Aku akan mengunj
Nathalie menggeleng. Yang membuat pria di hadapannya itu terkekeh setelahnya. "Benarkah? Aku lihat kau memberikan es krim milikmu pada anak kecil tadi." Kedua mata Nathalie melebar. Tidak menyangka Kai telah memperhatikannya sejak tadi. "Bukankah kau menginginkannya?" Kai kembali bersuara. Dan membiarkan Nathalie mengalihkan pandangan ke arah lain. Menahan malu. "Kau tidak perlu mengatakannya." "Ayo pergi." Kai berdiri. Mengulurkan tangan yang membuat Nathalie mengernyit. "Aku akan membawamu ke suatu tempat." Nathalie tampak keberatan. Namun, ketika melihat sorot mata pria itu yang begitu meyakinkan. Akhirnya Nathalie mengikuti pria tersebut. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendahului pria tersebut. Sementara Kai hanya menatap tangannya yang kosong dengan senyum miring. Sementara itu, sekitar lima puluh meter dari halte, seseorang meng