"Nathalie milikku. Dan selamanya adalah milikku. Kau tidak memiliki hak untuk menyukainya karena dia akan menjadi bibimu."
Kai memandang penuh ke arah keponakannya. Ingin mengatakan hal tersebut dengan lantang agar Jordi sadar diri dan segera menjauhi Nathalie. Namun, keinginan itu masih tertahan dalam hatinya. Ia bisa membayangkan bagaimana wajah Jordi yang pias ketika dirinya berkata sesuatu yang menyinggung batin pria itu.
Alhasil. Kai hanya mendengkus dan kembali meminum alkohol entah sudah yang ke berapa kali. Untung saja dirinya memiliki toleransi yang tinggi pada alkohol. Membuatnya kuat minum beberapa gelas tanpa merasakan mabuk.
Kai mengerutkan keningnya tipis saat melihat pria di sebelahnya itu tersenyum sembari memandang layar ponselnya. Mengetikkan sesuatu pada ponsel tersebut dengan mata berbinar-binar.
"Jordi. Ayahmu terus mencarimu. Meskipun kau begitu membencinya, setidaknya sesekali kembalilah ke Amerika." Kai mengalihkan atensi
"Aku akan mengantarmu pulang." Kai menggeleng. Menolak kebaikan Jordi setelah mereka berdua keluar dari bar. "Bagaimana dengan mobilmu?" "Aku bisa meninggalkannya di sini. Mark akan menjaganya untukku." Pria itu masih saja bersikukuh untuk menggantikan Kai menyetir. Khawatir jika pamannya itu terlalu banyak minum dan mabuk ketika menyetir nanti. Hal tersebut hanya akan mendatangkan bahaya. "Tidak. Aku perlu pergi ke suatu tempat." Kai masih saja menolak. Ia melepaskan tangan Jordi yang memapahnya meski ia tidak perlu. "Kalau begitu aku akan menemanimu ke sana." Jordi masih bernapas lega. Untung saja Kai tidak benar-benar mencekik wanita tadi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Untunglah wanita itu menyadari bahaya dan langsung pergi setelah Kai mengucapkan satu kata saja. "Kembalilah sendiri. Jangan pedulikan aku." Kai menutup pintu mobil dan mengucinya dari dalam. Meninggalkan
"Jadi, siapa sebenarnya mantan kekasihmu, Nathalie?" Nathalie terdiam. Terpaku di tempat. Tidak tahu apakah dirinya harus mengatakannya atau tidak. Selama ini ia tidak pernah ingin mengungkit lagi apa yang pernah menjadi masa lalunya. Karena mau tidak mau, semua kejadian buruk yang pernah terjadi akan teringat kembali. Ia tidak dapat memilah sesuai yang ia inginkan. Semuanya berjalan begitu saja. Ia menghela napas. "Dia bukan orang biasa." Nathalie melepaskan bunganya. Memberikan mawar tersebut pada Ariska seolah berkata 'ambil saja jika kau mau'. "Hey, semua orang yang pernah singgah di hati kita tentu saja bukan orang biasa. Apa kau masih tidak dapat melupakannya?" Ariska terkekeh pelan. Mencium kelopak bunga yang ada di pelukannya itu seraya memejamkan mata. "Aku sudah melupakannya." "Siapa namanya?" Jordi kembali bertanya. Benar-benar penasaran dengan sosok yang pernah memenangkan hati batu wanita itu. Setid
Hans berjalan dengan wajah sumringah menuju ruangan Kai berada. Ini adalah hal langka yang terjadi padanya. Kai jarang sekali berinisiatif untuk menghubunginya lebih dulu untuk melakukan sesuatu. Pasti dirinya yang pertama kali memberitahukan pada Kai tentang jadwal pria itu. Hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan penting dalam diri Kai tersebut adalah sesuatu yang berarti baginya. Meskipun ia harus membatalkan pertemuan dengan orang penting demi panggilan Kai kali ini. Tinggal tiga langkah lagi sebelum dirinya masuk. Pintu ruangan Kai terbuka dan munculah sosok yang pernah ia lihat sebelumnya. Entah mengapa Hans merasa hubungan antara Dalton dan atasannya itu tidak biasa. Pria bertatto itu sering kali datang kemari dan mengobrol di ruangan Kai seolah mereka sangat dekat. Kai bahkan tidak menyuruh Dalton untuk menunggunya di lobi atau tempat lain. Namun, malah membiarkan saja pria itu datang ke ruangannya. Yang Hans tahu selama ini, Kai tidak akan senang den
"Aku akan bersamamu sampai kau sembuh." Tidak mengerti. Mengapa Kai merasa dirinya begitu senang mendengar apa yang baru saja Nathalie katakan. Meski ia sendiri tahu jika wanita itu ingin bersamanya bukan karena ingin kembali 'bersama'. Melainkan sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang ia derita. Kai tidak akan memperhitungkan apapun. Karena ia tahu semua ini pasti akan berawal tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Namun, satu langkah yang kini mereka jalani bersama bukan tidak mungkin untuk memperbaiki hubungan mereka. "Aku mengeri." Kai tersenyum tipis. Menutupi luka batinnya yang sedikit teriris. Pria itu memandang Nathalie lekat-lekat. Ingin membagi betapa kerinduan yang ia rasakan selama ini. "Kalau begitu, tolong lepaskan tanganmu. Aku harus segera kembali bekerja." Kai menyadari jika ia masih belum melepaskan wanita itu. Tidak. Ia memang berniat tidak melepaskan Nathalie. "Aku akan mengunj
Nathalie menggeleng. Yang membuat pria di hadapannya itu terkekeh setelahnya. "Benarkah? Aku lihat kau memberikan es krim milikmu pada anak kecil tadi." Kedua mata Nathalie melebar. Tidak menyangka Kai telah memperhatikannya sejak tadi. "Bukankah kau menginginkannya?" Kai kembali bersuara. Dan membiarkan Nathalie mengalihkan pandangan ke arah lain. Menahan malu. "Kau tidak perlu mengatakannya." "Ayo pergi." Kai berdiri. Mengulurkan tangan yang membuat Nathalie mengernyit. "Aku akan membawamu ke suatu tempat." Nathalie tampak keberatan. Namun, ketika melihat sorot mata pria itu yang begitu meyakinkan. Akhirnya Nathalie mengikuti pria tersebut. Ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mendahului pria tersebut. Sementara Kai hanya menatap tangannya yang kosong dengan senyum miring. Sementara itu, sekitar lima puluh meter dari halte, seseorang meng
Nathalie tidak tahu mengapa dirinya harus berakhir di sini. Suatu tempat yang sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk ia pijakkan kaki kembali. Bangunan megah nan luas yang mengelilinginya menjadikan dirinya seolah kecil. Belum lagi seseorang yang kini baru keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi yang menutupi tubuhnya. Meski tidak dapat dikatakan menutupi semua bagian yang ada. Seperti dada bidang yang mengintip di balik kain berwarna hitam tersebut. Membuatnya mendadak menahan napas. "Kenapa kau menatapku begitu?" Kai mengernyitkan dahi. Harus menelan rasa kecewa ketika melihat reaksi Nathalie tidak sesuai yang ia harapkan. "Kenapa kau tidak mandi di kamarmu?" Wanita itu menatap heran. Sangat konyol jika Kai mengatakan kamar mandi kamarnya sedang rusak dan tidak dapat berfungsi. Seingat Nathalie, pria itu bahkan memiliki banyak kamar mandi di lantas atas. Tidak mengerti mengapa ia menggunakan kamar mandi di lantai bawah. Pria
"Kau semakin tua. Untuk apa begitu bangga?" "Bukan hanya semakin tua. Namun, juga semakin berwibawa. Kharismaku semakin terlihat jika usiaku lebih dewasa lagi." Memandang pria itu dengan wajah setengah tak percaya. Tidak tahu dari mana datangnya sikap Kai yang begitu percaya diri seperti itu. "Sudah larut. Tampaknya aku harus pulang." Nathalie melirik jam dinding yang menggantung di ruang tamu. Bersiap untuk pergi sebelum Kai meraih lengannya tanpa mengatakan sepatah kata. "Bagaimana jika kau pertimbangkan untuk tinggal di sini?" Kai mendongak. Memandang Nathalie dengan wajah penuh harap. Meski pria itu tak sedang memohon padanya dengan sangat. Namun, Nathalie tahu jika Kai benar-benar serius dalam hal ini. "Aku akan kembali untuk berpikir." Ia menghela napas pendek. Melepaskan tangan Kai yang menahannya pergi. "Aku akan mengantarmu." Pria itu ikut bangkit. Dan Nathalie hanya mengangg
Peluh menetes melewati dahi putihnya. Yang membuat Nathalie mengusapnya pelan. Ia berjongkok, kembali memfokuskan diri pada apa yang sedang dilakukannya. Tangannya terus bergerak untuk memberikan hasil yang terbaik. Terlihat sorot puas dari kedua matanya. Meski badannya lelah karena sejak tadi tidak beristirahat. Namun, Nathalie tidak mempermasalahkan hal itu. "Selesai!" Ia berdiri dan berkacak pinggang. Kembali menyeka keringatnya dengan punggung tangan. Kedua sudut bibirnya tidak berhenti tertarik. Sampai suara yang terdengar di belakangnya membuat ia hampir terperanjat di tempat. "Apa yang kau lakukan?" Jika bukan karena saat ini ia sedang kelelahan. Mungkin sekop kecil yang ada di tangannya sudah melayang pada pria itu. "Kau masih bertanya? Aku sedang berkebun!" Nathalie memutar bola mata. Berjalan melewati pria itu dan meletakkan sekopnya. Membuka sarung tangan yang ia kenakan dan mencuci tangannya pa