Malam ini, harta paling berharga yang dimiliki Sally akan lenyap. Kesucian yang selama 20 tahun dijaga dengan baik, dalam hitungan jam akan diambil alih oleh pria keturunan Amerika yang sangat kaya. Banka, panggilannya.
Terlihat para pelayan sangat sibuk dengan ratunya malam ini. Sally tengah terduduk di antara para pelayan yang asyik mendandaninya. Kakinya dipoles dengan cat kuku, rambutnya dirapikan, wajahnya dirias oleh ahlinya, tubuhnya begitu harum dengan berbagai varian parfum yang dipakai, serta gaun mewah yang dikenakan olehnya. Malam ini, sebutan ratu bahkan layak untuk Sally.“Pelayan,” panggil Sally. Menatap kaca besar di hadapannya.Pelayan yang tengah merias wajah majikannya itu, seketika berhenti dan meluangkan waktu untuk menjawab panggilan Sally. “Ya, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” sahut Mona, sang pelayan perias wajah.“Calon suamiku bilang, acara pernikahan kami tidak terlalu meriah dan akan digelar sederhana saja. Tetapi, sepertinya tidak. Lihat saja, lebih dari sepuluh pelayan hanya sibuk untuk melayaniku,” tuturnya. Memainkan gaun pengantin putih yang dikenakannya. “Apa benar, pernikahanku digelar secara sederhana? Bagaimana kondisi di luar sana?” sambung Sally. Begitu penasaran.Mona tersenyum, kemudian menjawab pertanyaan majikannya. “Tentu, Nona. Saya tahu betul bagaimana tuan memperlakukan wanita yang dicintainya. Acaranya memang sederhana, tetapi membiarkan calon istrinya tidak istimewa, itu bukan Tuan Banka,” jawab Mona. Kembali merias wajah.“Mmmm … baiklah. Aku hanya ingin acara malam ini cepat selesai. Ngomong-ngomong, apa kau tahu runtunan acara malam ini?” tanyanya.“Tahu. Bukan hanya saya. Seluruh pelayan pun tahu,” timpal Mona.“Curang! Kenapa hanya aku yang tidak tahu. Bisakah kamu memberitahuku, Mona?” pinta Sally.“Tidak bisa Nona. Maafkan aku. Seluruh pelayan di sini memakai kalung di lehernya masing-masing. Kau melihat kalung yang ada di leherku, bukan?” tanya Mona.Sally mengangguk.“Ini bukan kalung biasa. Seluruh kalung di leher kami memiliki cctv dan perekam suara. Kami tidak bisa sembarangan dalam berbicara dan melakukan apapun. Mungkin itu saja yang bisa kuberitahu. Selebihnya, mungkin aku akan kena hukuman jika membeberkannya padamu,” sambung Mona. Menuntaskan.“Apa?! Benarkah? Kenapa kamu mau bekerja di sini, jika seperti itu caranya? Bukankah privasimu jadi tidak terjaga?”“Iya, teta-.” Perkataan Mona dipotong oleh pelayan lain.“Mona, pergilah. Aku akan mempersiapkan Nona untuk segera bertemu mempelai pria,” kata Satga. Pemimpi para pelayan perempuan.Mona mengangguk. Kemudian pergi meninggalkan Sally bersama Satga.“Hei! Dia belum selesai berbicara denganku! Kau ini tidak sopan sekali!” Kesal Sally. Bangkit dari kursi rias.“Maaf, Nona. Tuan ingin segera bertemu denganmu,” cetus Satga. Menggenggam tangan Sally keluar dari kamar.Jantung Sally berdegup kencang, nafasnya mulai tidak karuan. Ia benar-benar cemas dengan apa yang akan dihadapinya. Terlebih, ini adalah pernikahan pertama dan untuk seumur hidup.“Cintaku … cantiknya dirimu.” Banka mendekat. Terlihat rangkaian bunga di tangan kanannya. “Terimalah, Sayang … ini untukmu,” sambungnya. Memberikan rangkaian bunga mawar merah.Sally mengambil bunga itu, kemudian menghirup aroma bunga yang dibawanya. “Terima kasih.” Sally tersenyum. Menatap Banka. “Ada yang ingin aku bicarakan. Bisakah?” pinta Sally.Banka tersenyum. Menggenggam tangan calon istrinya. “Apa yang tidak bisa, untukmu?” katanya. Membawa Sally ke balkon. “Lihat … indah bukan, tempat pernikahan kita?” tutur Banka. Menunjuk ke arah taman di depan balkon.“Wah … indah sekali. Aku tidak menyangka akan seindah itu,” kata Sally. Antusias menatap tempat pernikahannya.“Ayo … katakan pertanyaanmu.” Banka mengingatkan Sally yang masih fokus menatap dekorasi taman.Sally tersentak. “Oh, iya. Aku sampai lupa,” ujarnya. “Apakah benar, kalung para pelayanmu ada cctv dan perekam suara?” tanya Sally.Banka mengangguk dengan santai. “Benar. Mona-kan yang mengatakannya padamu?”Sally terkejut mengetahui Banka yang benar-benar mengendalikan pelayannya. “Bagaimana bisa? Perbuatanmu keterlaluan. Mereka punya privasi yang perlu kau hargai.” Sally melepaskan tangannya dari genggaman Banka.“Haha … jika mereka keberatan. Mereka tidak perlu menandatangani kontrak kerja denganku sendari awal. Lagipula aku tidak mempergunakan itu sebagai hal yang buruk. Terlebih, aku memberikan seluruh pelayanku rumah dan aset sesuai dengan kinerja mereka masing-masing.” Jelas Banka dengan santai. Lelaki itu menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. “Ayo … kita ubah status kita malam ini. Sebentar lagi kau akan resmi menjadi miliku, Sally. Ayo … kita mulai acaranya,” tutur Banka. Menggandeng tangan Sally, menuju taman pernikahan.Lampu-lampu tergantung di taman, balon-balon bergoyang searah hembusan angin, bangku tamu telah tertata dengan rapih. Keramaian terlihat. Namun, Sally menyadari sesuatu yang janggal. “Ha?!” Sally memperhatikan seluruh sudut taman itu.Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tidak ada tamu satu pun. Keramaian yang tercipta berasal dari para pelayan yang mengganti kostum pelayan dengan gaun pesta. Acara pernikahan sally dan Banka, hanya disaksikan oleh para pelayannya.Melihat hal itu. Seketika Sally melepaskan gandengan Banka. “Apa ini? Ke mana para tamu?” Kesal Sally merasa terus -menerus dibohongi.“Ini tamu kita. Cukup nikmati. Aku harap tidak ada pertanyaan lagi setelah ini,” cetus Banka. Membuat Sally menahan rasa kesal di hatinya.Acara pernikahan dimulai. Para pelayan dalam semalam menjadi tamu-tamu yang elegan. Mereka terlihat sangat terdidik.Akhirnya Sally dan Banka telah resmi menjadi sepasang suami istri.Setelah peresmian pernikahan selesai. Tiba-tiba situasi yang ramai, canda tawa yang terdengar dari para pelayan kini hening. Tak ada suara sedikit pun. Para tamu berbaris, kemudian pergi meninggalkan pengantin baru begitu saja. Terlihat Robert si tangan kanan menghampiri. “Tuan. Kamera sudah siap. Apa kita akan mulai sekarang?” tanya Robert. Berekspresi datar.Banka mengangguk. Menjentikan jarinya, mengisyaratkan Robert agar meninggalkan Banka dan Sally berdua. Setelah Robert pergi, Banka memulai obrolannya. “Istriku,” panggilnya.“Ya?” Sally menengadah, menatap sang suami.“Maaf,” ucap Banka. Dengan wajah yang murung.Sally yang nampak bingung pun pada akhirnya bertanya kembali. “Ada apa?” tanya Sally. Mengusap halus wajah Banka.“Aku memang jahat. Aku bahkan melibatkan istri kesayanganku untuk ikut menuntaskan dendamku. Maaf, tapi aku sudah menanti momen ini sejak lama. Sayangku … kau bebas berteriak, jika kau merasa sakit.” Tuntas Banka membopong Sally.“HEI! Aku tidak mengerti!” keluh Sally. Tak berdaya.Banka membawa Sally ke kamar pengantin yang berada di lantai 4. Pria itu tidak kesulitan sedikit pun ketika membopong istrinya.Sesampainya di kamar pengantin, Sally dapat melihat taburan bunga di atas ranjang serta wewangian yang mendukung keromantisan malam pertamanya. Sang suami memulai aksi. Satu persatu dimainkan dengan penuh rasa cinta.Sampai di saat Banka ingin melepas segel kesucian Sally. Barulah wanita itu berkata. “Pelan-pelan. Aku takut,” ucapnya. Memejamkan mata.Banka mengecup Sally. Ia tahu istrinya mungkin akan menjerit. Maka dari itu kecupan tersebut ia pergunakan untuk membungkam sang istri. Sally sibuk dengan rasa sakitnya, tubuhnya sudah tidak dapat dikontrol.Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Alangkah terkejutnya Sally melihat tamu yang tak diundang masuk ke kamar. Gadis itu turun dari ranjang dan bersembunyi.Sally melihat Mona tengah membawa Maya menggunakan kursi roda. Selain itu, Robert ikut di belakangnya dengan membawa sebuah kamera.“Keluar!” Teriak Sally.Melihat hal itu, Banka yang telah merencanakan semuanya hanya diam dengan wajahnya yang terlihat santai. Laki-laki yang baru saja resmi menjadi suami Sally, memulai rencana busuknya untuk membalaskan dendam kepada Maya-istri pertamanya. Sementara itu, Robert yang membawa kamera mulai merekam aktivitas yang terjadi.Sally hanya bisa pasrah karena Banka memulai permainannya kembali. Hanya tangis yang dapat terlihat di wajahnya.Setelah malam pertama bercampur dengan balas dendam itu berakhir. Mona membawa pergi Maya beserta Robert yang mengikutinya. Di kamar pengantin hanya tersisa pasangan suami istri yang telah selesai bersenggama.Sinar matahari pagi yang menembus jendela kamar, tidak membuat Sally dan suaminya terbangun. Pengantin baru itu terlelap begitu lama. Sampai ketika hari ingin menyambut datangnya waktu siang. Tok … tok ….Tak ada balasan dari dalam kamar. Suara ketukan pintu masih terdengar, hingga Sally bangun dari tidurnya.“Ya?” sahut Sally. Mengusap-usap matanya dengan perlahan.“Selamat siang, Nyonya. Aku datang membawa makanan,” ucap seorang pelayan dari luar kamar.“Ya. Tunggu sebentar!” pintanya. Bangkit dari ranjang dan segera mengenakan pakaian. “Makanan apa yang dibawa?” tanya Sally. Membukakan pintu.Kriet ….Terlihat Satga membawa troli yang dipenuhi oleh makanan. “Ini makanan untuk Tuan dan Nyonya. Selamat menikmati ….” Satga pamit. Meninggalkan troli makanan di kamar Sally. “Oiya. Nyonya?” panggil Satga. Membalikkan tubuhnya dan membuka obrolan baru dengan Sally.“Ya?” Satga melirik ke arah ranjang. Wanita berambut hitam lurus itu kemudian berkata. “Tolong segera bangunkan tuan. Pukul
“Sudah siapkah, Sayang?” Banka melirik ke arah toilet. Sang istri ada di dalamnya, dengan waktu yang cukup lama.“Emm ... sebentar lagi,” jawab Sally. Dari dalam toilet.“Kamu tidak apa? Aku khawatir,” ucap Banka. Menunggu di depan pintu toilet.Kriet ....Sally yang telah berada di dalamnya kurang lebih 45 menit, akhirnya keluar dari toilet.Banka menyadari sesuatu. Mata sang istri terlihat memerah. Pria itu seketika menunjukan sikapnya yang sangat khawatir. “Hei ... kenapa? Bisa katakan padaku?” pinta Banka. Berlutut di hadapan istrinya. “Tolong ...,” sambungnya.“Aku gak apa kok. Ayo! Kamu akan mengajakku keliling pulau, bukan?” ujar Sally. Mengalihkan pembicaraan. Banka bangkit dari posisinya. Pria berusia 35 tahun itu memeluk Sally dengan erat, mengusap rambutnya dengan halus kemudian dengan lembut mengecup keningnya. “Ada apa? Aku merasa gagal menjadi suami untukmu. Tolong katakan,” pinta Banka. Menuntun Sally untuk duduk di atas ranjang. Berharap sang istri akan menceritakan a
Pagi hari di saat Banka dan istrinya berbincang bersama di atas ranjang."Sally, semenjak putraku datang kamu selalu murung. Ada apa?" tanya Banka. Menatap Sally yang duduk di sampingnya.Sally menggelengkan kepala secara perlahan. Ia belum dapat mengikhlaskan apa yang terjadi padanya. "Aku tidak apa. Hanya terkejut sedikit, ternyata anak angkatmu benar-benar seusia denganku," sambungnya. Menutupi kegelisahan.Banka membalas dengan senyuman, sembari mendekap Sally, sang istri.Tok ... tok ... tok ...."Ayah, ini aku," ucap Adez. Dari luar kamar Banka."Putraku, kemarilah," sahut Banka. Mengajak Adez untuk masuk ke dalam kamarnya. "Ada apa?" Banka bertanya kembali, setelah melihat Adez memasuki kamar.Melihat kedatangan Adez, Sally yang menyadari bahwa dirinya baru saja terbangun dari tidur, segera merapikan tampilannya. "Pagi, Adez." Sapa Sally tersenyum ramah.Adez tak menggubris sapaan ibu tirinya, bahkan lelaki itu memalingkan wajahnya dari Sally. Dengan segera, ia berkata. "Pacarku
"Selamat makan semuanya," ajak Banka. Meminta seluruh orang yang ada di meja makan menyantap hidangan.Sally, Adez dan Yuna mengangguk. Kemudian menyantap santapan malam. Mereka tengah menghabiskan waktu bersama. "Sayang ... sini aku suapin." Yuna mengarahkan sendok tepat di depan mulut pacarnya, Adez.Respon baik ditunjukan oleh Adez yang langsung membuka mulutnya. Laki-laki itu hanya diam dan berusaha menyingkirkan tatapannya, jika tak sengaja membuat kontak dengan Sally."Sepinya .... Kita ini keluarga, loh. Momen seperti ini belum tentu akan terjadi lagi. Jadi pergunakan ini dengan baik, utarakan apa yang ingin diungkapkan," kata Banka. Menyantap makanannya. "Kalau begitu, obrolan ini saya buka dengan pertanyaan. Menurut Yuna, Adez cocok punya adik berapa?" tanya Banka. Menyambung perkataan. Mendengar hal itu, spontan Adez terbatuk-batuk dan hampir menyemburkan makanan di dalam mulutnya. Dengan sigap Yuna-sang kekasih, membantu Adez. "Uhuk-uhuk." Adez terbatuk cukup lama."Eh-eh
"Sayang, hati-hati ya. Semangat kerjanya, aku nunggu kamu di sini, ok?" kata Sally. Menyemangati suaminya yang hendak pergi bekerja. Kecupan di dahi diberikan Banka pada Sally. "Terima kasih, Sayangku. Aku pasti semangat dong," ucap Banka. "Aku berangkat dulu, ya. Kalau kamu butuh sesuatu, kamu boleh telepon Robert. Hari ini aku ada pertemuan bisnis, jadi maaf kalau kamu telepon aku, mungkin akan sulit teleponmu terjawab." Jelas Banka mengambil tas koper yang diberikan oleh istrinya. "Mmm ... baiklah. Hari ini sepertinya aku akan di rumah saja. Jadi, suami fokus kerja saja, ya. Aku akan baik-baik saja," cetus Sally. Menyakinkan sang suami. Banka mengangguk, lelaki itu mengecup bibir istrinya kemudian pergi masuk ke dalam mobil. Melihat suaminya yang telah berangkat kerja, Sally kembali masuk ke dalam rumah. 'Hari ini kegiatan apa yang bisa aku lakukan, ya?' tanyanya dalam hati. 'Eh?' Langkah Sally terhenti ketika melihat Adez yang tengah berbicara pada Maya. Karena merasa penasaran
"Nak, besok kami akan pergi berlibur," ucap Banka. Menatap Adez-putranya dengan tajam. Adez tak bergeming, kemudian bertanya. "Ke mana?" Belum sempat Banka menjawab pertanyaan itu, Sally datang membawa sarapan untuk suami dan anak tirinya yang telah lama menunggu di meja makan. "Sarapan ... sarapan ...." Sally berjalan mendekat, dengan wajah sumringah. Membawa dua piring nasi goreng. "Wah ... hebat sekali istriku yang rajin memasak ini," puji Banka. Tersenyum sembari mempersilakan sang istri untuk duduk di samping kursinya. "Di sini duduknya, Sayang." "Memangnya ini enak?" ejek Adez. Memainkan timun yang menjadi hiasan nasi goreng buatan Sally. "Dicoba dulu .... jangan mengejek!" Sally kesal. Menekuk wajah cantiknya. "Haha ... iya, Dez. Dicoba dulu masakan mamamu ini," cetus Banka. "Ayo kita makan bersama, Sayangku," sambungnya. Membuka mulut untuk melahap sesuap nasi goreng. Banka dan Adez secara bersamaan melahap sesuap nasi goreng buatan Sally. Seketika mereka mengeluarkan re
'Untuk apa Adez ikut berlibur di sini, ya?' tanya Sally dalam hati. "Suamiku ... tolong bawakan handukku ke sini," pintanya. Banka yang tengah asyik menonton televisi sembari berbaring di atas ranjang pun berkata. "Tidak perlu pakai handuk, Sayang. Aku juga sudah biasa melihatnya. Adegan film ini sangat asyik, aku tidak mau melewatkannya." Banka menolak. Lelaki itu lebih mempedulikan tontonannya. "Ah, kamu gitu deh! Aku minta tolong malah dicuekin. Awas ya, kamu ...." Sally mengancam. Perempuan itu berjalan keluar kamar mandi untuk mengambil handuknya. "Haha ... iya ambil saja handuknya, Sayang .... Kalau begini aku jadi bisa melihatmu tanpa busana bukan,' cetus Banka. "Dasar cabul!" celetuk Sally. Meninggalkan Banka. Melihat istrinya yang hendak pergi, Banka bertanya. "Sayang, mau ke mana?" "Ke mana saja. Asal tidak dekat-dekat si cabul ini!" Ledek Sally pergi dari kamar hotelnya. Dress putih polos dikenakan oleh Sally. Saat ini, gadis itu tidak mementingkan style dan riasan wa
“Hati-hati, Sayang,” ucap Banka. Menuntun Sally. “Iya suamiku,” Balas Sally. “Maaf ya, malam itu aku ceroboh. Makanya kakiku terkilir,” sambungnya. “Tidak, Sayang. Harusnya aku yang meminta maaf padamu. Malam itu, saat filmnya selesai aku malah tertidur,” tutur Banka. Mendudukan Sally di sofa ruang tamu. Pasangan itu telah kembali ke rumah setelah 2 hari berlibur. “Sayang, aku haus. Tolong ambilkan aku minum,” pinta Sally. Banka mengangguk. “Robert!” panggilnya berteriak. “Tidak mau diambilkan oleh Robert. Kamu saja yang ambil minum,” ucap Sally. Robert datang menghampiri. “Ya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Robert. “Tidak, Rob. Kamu pergi saja. Aku meminta suamiku untuk mengambil minum,” kata Sally. “Cepat ambilkan aku minum. Kamu ini malas sekali, aku ingin kamu yang ambilkan minum, Sayang ….” Rengek Sally. “Huft. Baiklah. Robert, kau bisa pergi,” cetus Banka. Bangkit dan hendak pergi ke dapur. “Tuan,” panggil Robert. “Tuan muda tidak ada di rumah, sejak Tuan dan Nyo
Malam itu di bawah sinar rembulan. Adez, Sally, dan Luzzi tengah berkumpul di rooftop. Meow ... meow ....“Luzzi, sudah! Itu makanan ibuku,” ujar Adez menghentikan kucingnya yang terus meminta jatah otak-otak.Sally menekuk wajahnya. Hatinya masih terkejut dengan tingkah laku kucing Adez yang nakal. Selain itu, otak-otak hasil gorengannya pun terus diambili Luzzi sehingga makanannya kian sedikit.“Maaf, besok akan kuganti.” Adez berjalan menjauhi luzzi. “Eh, tidak apa. Otak-otak itukan memang punya dia. Aku yang seharusnya tidak makan,” cetus Sally. Adez tersenyum. “Boleh juga. Sekarang sudah bisa bersikap dewasa yak.” Ledek Adez.“Tuh,kan. Kalo aku serius kamu seperti itu.” Sally bangkit memukul-mukul Adez. Mereka berdua tertawa bersama, sebelum Adez membuat suasana hening dengan pernyataannya. “Aku akan pergi, besok.”“Apa?!” Sally terkejut tak percaya. Sebelumnya Adez tidak membicarakan apapun dengannya. “Kenapa? Kok tiba-tiba mau pergi?” sambungnya bertanya.Adez tersenyum, ta
"Kamu sejak kapan ada di depan kamarku, Dez?" tanya Sally. Berjalan mengikuti langkah Adez."Aku baru saja tiba saat kamu keluar kamar. Kenapa memangnya?" Tanya Adez membalikkan pertanyaan."T-tidak apa," jawab Sally. "Ngomong-ngomong, kamu tidak ikut bisnis ayahmu?" tanyanya.Adez menggelengkan kepala. "Tidak. Bahkan aku tidak tahu sama sekali projek ayah kali ini," kata Adez."Ouh, iyakah. Kenapa bisa begitu? Aku kira kamu selalu tahu dan menjalankan bisnis yang sama," ujar Sally."Tidak, kami berbeda bidang. Bidang bisnisku di bidang properti sedangkan ayah di bidang pengelolaan uang," tuturnya. Pintu lift terbuka. Seperti biasa Sally dapat melihat pemandangan dari atap rumahnya yang begitu indah. "Pemandangan di sini tidak pernah mengecewakan," kata Sally.Adez tersenyum. "Jelas. Karena Mama Maya yang memilih rumah ini. Dia sangat memperhatikan estetika setiap sudut yang dapat dipandang di dalam ataupun di luar rumah," kata Adez."Mama Maya? Dia yang memilih rumah ini?" Adez meng
Hari demi hari, kondisi kesehatan mental Sally semakin membaik. Wajah cantik wanita itu mampu memperlihatnya ukiran bibirnya lagi. Berkat kerjasama yang dilakukan oleh Banka dan Adez, Sally dapat sedikit melupakan kejadian naas yang menimpanya. Tetapi rasa tenang hatinya tak bertahan lama, hari ini kecemasannya kembali lagi."Sayang ... kamu akan baik-baik saja," ujar Banka. Mengelus-elus istrinya yang tengah memeluknya dengan erat. "Jangan pergi ...." Sally terus meminta agar suaminya tidak jadi berangkat ke luar kota."Aku tidak bisa, Sayangku .... Aku harus menjalankan bisnis ini," kata Banka. Mengusap air mata Sally yang mulai tumpah."Kamu tidak sayang ya sama aku? Aku takut kalau sendirian, sejak kejadian itu kamu selalu menemani aku." "Hei ... aku sangat mencintaimu, aku sayang padamu. Kamu mau ikut aku pergi ke luar kota?" tanya Banka. Meyakinkan istrinya.Sally menggelengkan kepala. "Tidak mau. Aku mau kamu di sini menemaniku! Kalau tidak aku marah," gumam Sally. Mengancam s
Dua hari setelah pemeriksaan kejiwaan .... Banka, Sally, Adez dan para pelayan berkumpul mengadakan bakar-bakar di taman samping rumah. "Sayang, bagaimana kalau kita pergi mencari tempat yang penuh dengan ketenangan?" tanya Banka. Sembari melahap makanan di meja makan."Ke mana?" Sally mengembalikan pertanyaan suaminya. "Adez, Sabrina wanita yang baik. Aku merasa memiliki teman yang sangat menenangkan pikiranku," sambung Sally. Menatap Adez yang tengah makan bersama Sally dan Banka."Iya, dia teman sekolahku. Kalau kamu mau, nanti akan aku berikan nomor teleponnya. Siapa tahu bisa membantumu untuk mempermudah konsultasi," jawab Adez."Iya, baiklah. Terima kasih," ucap Sally. Menyantap nasi goreng."Bagaimana kalau kita pergi berlibur ke daerah pegunungan. Suasananya pasti sangat asri dan sejuk. Rasa lelah dan stres kita pasti akan terbantu, tutur Banka."Boleh. Kapan kita akan pergi?" tanya Sally. "Apakah Adez akan ikut?" "Malam ini pun boleh," kata Banka."Aku tidak ikut, Sally. K
"Sally, maafkan aku," ucap Banka. Terus memohon kepada istrinya.Sally tak membalas perkataan suaminya, wanita itu hanya diam seribu bahasa. Banka yang melihat istrinya marah mencoba untuk mendekatkan diri. "Sayang, ayolah ... maafkan aku. Aku berjanji tidak egois lagi," ucap Banka. "Loh, kamu kenapa berkeringat dingin seperti ini? Padahal AC sudah dinyalakan. Kamu sakit, Sayang?" tanyanya. Memeriksa suhu tubuh Sally dengan punggung tangannya."Takut ....""Takut kenapa, Sayang?" tanya Banka. Memeluk istrinya. "A-aku tidak mau di kamar ini. Aku mau pindah," ujarnya berusaha bangkit dari ranjang. Namun sayangnya tubuh Sally tak seimbang kemudian jatuh tersungkur. Brug!"Ya ampun, Sayang!" teriak Banka. Segera menggendong istrinya. Tlit ... tlit ..../Ada apa, Ayah?/(Aku ingin menanyakan tentang istriku.)/Istrimu kenapa?/(Dia baru saja jatuh pingsan. Tubuhnya penuh dengan keringat tetapi suhu tubuhnya dingin. Apa kamu tahu penyebabnya? Mungkin kau salah memberi dia suatu makanan.)
"Di mana istriku?" tanya Banka. Menabrak tubuh Adez yang ada di depan pintu, kemudian segera mencari keberadaan istrinya. "Pelankan suaramu, Ayah. Istrimu sedang tidur," jawab Adez."Sayang ... kasihan sekali istri cantikku ini," cetus Banka. Mengusap lembut rambut Sally."Pelaku sudah ditangkap?" tanya Adez. Mendekati sang ayah."Itu urusanku," sahut Banka."Jawab saja pertanyaanku! Ini juga bagian dari urusanku," celetuk Adez. Menginginkan jawaban pasti dari ayahnya."Akan kuurus semua. Tenang saja," kata Banka."Seberapa sulit menjawab pertanyaanku, Ayah? Jangan bilang kalau kau membebaskan pelayan pengkhianat serta anak dari rekan bisnismu itu!" "Aku sudah memikirkan jalan terbaik. Yang terpenting istriku tidak apa," katanya."Tidak apa? Mungkin bisa terlihat jika fisik Sally masih baik-baik saja. Tetapi psikisnya? Jiwanya mungkin tidak, Ayah. Sudah aku pastikan jika mentalnya sangat rapuh saat ini. Cobaan bertubi-tubi bahkan menghancurkan semangatnya," tutur Adez."Aku tahu apa
"Adez, kenapa kamu tidak bilang saja kalau darahku menempel di mana-mana? Kalau beginikan aku yang malu," cetus Sally. Tengah mencuci pakaian dan barang-barang yang terkena darah haidnya."Maaf, aku tidak tega membangunkanmu," jawab Adez. "Sally, aku tidak ada pembalut," sambungnya."Oh, ya. Bagaimana ini, tolong carikan pembalut untukku secepat mungkin!" pintanya. Mendekam di kamar mandi."Apa aku harus meminta pembalut ke tempat aku meminjam celana?" tanya Adez."Huh, apa di apartemen ini tidak ada minimarket?" tanya Sally. "Kalau tidak ada pembalut aku tidak bisa keluar dari kamar mandi ini," sambungnya."Baiklah, tunggu. Aku akan pergi membeli pembalut. Adakah yang mau kamu beli selain itu?""Kamu mau ke minimarket?""Ya," sahut Adez."Baiklah kalau begitu aku titip ramen, sosis dan makanan-makanan ringan," jawab Sally."Banyak juga," kata Adez."Loh, tadi kamu tanya. Aku jawab semua keinginanku," ujar Sally."Iya, tunggu, " ucap Adez. Pergi keluar kamar.'Huh! Ada-ada saja. Kalau
"Berhenti! Kembalikan pisau itu ke kantung celanamu!" pinta Sally. Sedikit membentak pria misterius itu."Aku akan menghabisi nyawa lelaki yang sok menjadi pahlawan kesiangan ini," cetusnya. Memainkan pisau dengan jari jemarinya."Tidak, hentikan! Kau akan mendapat penyiksaan seumur hidupmu jika kamu melakukan itu, aku bersumpah!" Sally penuh amarah. "Haha ... lucunya kamu," kata lelaki misterius. Brak! "Shit! " Pria misterius itu terjatuh dengan kencang ke belakang hingga kepalanya membentur lantai. Rupanya Adez membalas hal yang sama yang dilakukan lelaki misterius itu padanya. Kini Adez merebut pisau yang terjatuh milik sang lelaki misterius. Tanpa basa basi Adez memukulinya hingga terluka parah. Tak lupa ia membuka topeng kucing lelaki itu. "Akan kubongkar identitasmu!" cetus Adez. Membelah topeng kucing menggunakan pisau yang digenggamnya. Topeng kucing itu retak dan terbelah. Sally dan Adez dapat melihat dengan jelas siapa dalang di balik kejadian kala itu. "Sa-satria," ce
"Siapa kamu?!" Sally terkejut, segera bangkit dari posisi terlentang. "Sutt ... diam saja!" sahut lelaki misterius itu. Melanjutkan aksinya. Pria bertopeng kucing itu tengah memakaikan pakaian pelayan ke tubuh Sally. "LEPASKAN!" teriak Sally. Meronta-ronta. Sally berhasil bangkit dari ranjang tidurnya. Namun ternyata ....Brug!Sally terjatuh dengan kondisi kakinya yang terjerat rantai. "Aww ....""Mau ke mana, Sayang?" tanya pria itu. Mengembalikan posisi Sally ke tempat semula."Siapa kau? Beraninya kamu menyentuhku! Aku akan mengadukan kejahatanmu ini kepada suamiku!" cetus Sally. "SUAMIKU ... TOLONG AKU ...." teriaknya. Terus memanggil-manggil Banka."Haha ...." Pria misterius itu tertawa sembari mendekat ke arah Sally. "Kamu panggil siapa? Memangnya ada yang dengar?" sambungnya memainkan rambut Sally."Jangan sentuh aku lagi, lepaskan!" Brontak Sally. Menepis tangan pria itu. "Aku memang sengaja membuatmu sadar kembali, karena aku ingin melihat ekspresimu ketika berhubungan bad