"Berhenti di sini aja, Pak." Selena menginterupsi tukang ojek online yang mengantarnya pulang ke rumah almarhum papanya.
Rumah peninggalan yang kini ditempati oleh ibu tirinya. Selena bergegas turun, dan melepas helm milik tukang ojek. Dia mengembalikannya, lalu menyodorkan selembar uang warna merah. "Helm-nya, Pak. Terus ini ongkosnya. Kembaliannya buat Bapak aja."Diberi uang tip yang lumayan besar, senyum sang tukang ojek seketika mengembang lebar. "Makasih, Neng.""Sama-sama, Pak."Tukang ojek berlalu, Selena lekas memasuki halaman rumah tersebut. Baru tiga langkah, seketika gadis itu menyendu. Ingatannya kembali pada kepulangannya tahun lalu. Waktu itu, dia mendapat kabar jika papanya meninggal karena kecelakaan.Kepulangannya pada hari itu di sambut oleh jenazah papanya yang sudah terbujur kaku. Yang lebih mengejutkan lagi ialah—mamanya tiba-tiba memberikan surat wasiat terakhir sang papa. Surat wasiat yang berisi perihal permintaan terakhir Satria kepada Selena untuk berhenti kuliah, dan menikahi pria yang sudah dipilihkan untuknya.Siap tidak siap. Mau tidak mau Selena pun memenuhi wasiat itu. Akan tetapi, baktinya kepada sang papa justru malah mendapat penghianatan dari suami dan kakak tirinya."Selama ini aku udah mengalah. Menikah di usia muda, dan berhenti kuliah demi mewujudkan baktiku pada Papa. Tetapi, yang kudapat bukan kebahagiaan melainkan sebuah penghianatan."Selena menarik napas dalam-dalam. Bayangan Darwin dan Rania saat bergumul di atas tempat tidurnya kembali terlintas. Rasa panas kembali menjalari hatinya."Aku akan aduin kelakuanmu ke Mama, Kak." Telapak tangan Selena mengepal kuat, tekatnya sudah bulat. Mama tirinya harus tahu bagaimana kelakuan anak perempuan tersayangnya. "Mama pasti di rumah."Dengan keyakinan penuh, jika sang mama akan mau membelanya kali ini, Selena kembali melangkah sampai ke depan pintu. Sejenak, dia menghela napas pendek, lalu mengangkat tangan dan mengetuk pintunya."Maaa ..." Suara Selena terdengar sedikit lantang.Pintu baru terbuka di ketukan ketiga. Herlin muncul dari balik pintu, keningnya mengernyit, lalu menyorot tak suka pada Selena. "Kamu ... ngapain ke sini?" tanyanya datar."Emang gak boleh, ya, pulang ke rumah sendiri?" Jawaban Selena sangat ketus dan sinis. Dia sudah menebak akan sambutan dari Herlin—mama tirinya ini.Sudut bibir Herlin seketika berkedut. "Boleh, kok." Rautnya sama sekali tak sinkron dengan ucapannya barusan. Tatapan Herlin lantas berlarian ke luar rumah. "Kamu sama siapa ke sini? Sendirian?""Hmm." Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, Selena lebih dulu menerobos pintu, dan melewati Herlin dengan santai.Sementara Herlin seketika berdecak keras dengan sikap anak tirinya. "Suamimu gak nganterin?" Herlin bertanya, setelah ikut mendaratkan bokongnya pada sofa di ruang tamu."Enggak." Selena menatap Herlin serius. "Ada yang mau kukasih tau sama Mama. Ini soal Kak Rania dan Mas Darwin," ucapnya berusaha untuk tetap tenang, meski sisa-sisa gemuruh di dada masih mendominasi."Kenapa sama mereka?" Sepasang alis Herlin terangkat bersamaan, tangannya terlipat di dada"Kak Rania sama Mas Darwin selingkuh. Mereka selingkuh, Ma," ujar Selena, berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, meski nada bicaranya sedikit bergetar. Setegar-tegarnya dia, tetap saja hatinya terasa sangat sakit."Selingkuh?" Herlin terkejut, tetapi dia tidak percaya begitu saja. "Kalo ngomong jangan asal. Mana mungkin Rania dan suamimu selingkuh?"Sudah Selena duga, jika Herlin tidak akan percaya padanya. "Aku gak ngasal, Ma. Aku mergokin sendiri. Kak Rania sama Mas Darwin lagi ...""Lagi apa?" Herlin mencondongkan tubuhnya.Manik Selena memicing. "Mama pasti tau, kalo laki-laki normal berduaan sama cewek di dalem kamar, pasti ngelakuin apa?" Raut pura-pura tidak mengerti Herlin, membuat Selena mendengkus.Herlin lantas berdecak. Dia tentu paham apa yang terjadi jika itu benar adanya. Akan tetapi, egonya sebagai ibu yang tidak mau anaknya disalahkan justru membuat Herlin bersikap egois. "Jangan nuduh kakakmu yang bukan-bukan! Nanti, kalo sampe orang-orang denger, akan jadi Boomerang. Ngerti!""Aku gak nuduh, Maa ..." Selena membela diri. Kesabarannya selalu diuji oleh sikap pilih kasih Herlin selama ini. "Buat apa aku nuduh, kalo kenyataannya memang begitu? Asal Mama tau, pernikahanku sama Mas Darwin selama ini gak harmonis, Ma. Aku gak bahagia. Enggak.""Kamu itu bisa-bisanya ngomong begitu. Kamu harusnya bersyukur, dinikahin laki-laki kaya. Hidupmu terjamin. Rumah ada, mobil tinggal pake. Ini, baru ada masalah dikit aja udah ngeluh. Ngadu terus nuduh. Ck!" Herlin melengos tak acuh."Ma, percuma juga aku cerita sama Mama. Kalo ujung-ujungnya aku juga yang disalahin. Jelas-jelas anak Mama yang udah berulah. Anak kesayangan Mama yang udah ngerusak rumah tanggaku." Selena mengeluarkan semua isi kepalanya. Tak peduli akan reaksi Herlin yang langsung melotot tajam.Faktanya, selama menjadi ibu sambung, Herlin tak sekali pun menyayangi Selena. Perempuan itu hanya mencintai Satria—papa Selena.Herlin bangkit dari duduknya, matanya menyalak tajam. Telunjuknya mengacung di depan muka putri tirinya. "Hei! Harusnya kamu itu yang introspeksi diri. Benahi diri kamu. Mikir! Kenapa bisa suamimu itu selingkuh sama kakakmu? Kalo kamu bener-bener istri yang bisa nyenengin suami, gak mungkin suamimu cari kesenangan sama perempuan lain. Paham?"Bukannya dibela dan didukung, yang ada Herlin malah menyudutkan Selena. Namun, meskipun begitu, dia tidak mau ambil pusing. Karena dia sudah terbiasa dengan ketidakadilan semacam ini.Daripada kepalanya tambah pusing, lebih baik Selena akhiri saja perdebatan tak berguna ini. Dia bangkit, lalu berkata, "Makasih, karena Mama udah bikin aku semakin sadar. Kalo laki-laki brengsek macam Mas Darwin memang cocok sama perempuan gatal kayak Kak Rania.""Selena!" Herlin murka. Tak terima Selena menghina putrinya."Apa, Ma? Apa! Mama gak terima, aku sebut Kak Rania begitu? Hah?" Tak ada rasa takut sama sekali di diri Selena."Kurang ajar!" Tangan Herlin sudah terangkat tinggi. Namun, berhenti di udara karena Selena langsung menahannya."Aku bukan anak kecil lagi yang bisa Mama pukul kayak dulu." Selena menghempas tangan Herlin dengan kasar.Diperlakukan demikian, Herlin tentu tak terima. "Pergi kamu! Mama udah gak mau liat mukamu! Anak kurang ajar!" Pergi!" Dia menarik paksa lengan Selena, lalu menyeretnya ke pintu."Lepasin!" Lagi-lagi Selena menghempas tangan Herlin dari lengannya. Dia menyesal karena sudah mengadu pada orang yang salah. Selena berkata, "Aku akan pergi dari rumah ini, tapi, inget! Suatu saat aku akan kembali untuk mengambil rumah Papa."Herlin tertawa masam. "Rumah? Kamu udah gak ada hak di rumah ini. Ngerti! Karena papamu udah ngasih rumah ini buat mama dan kakakmu." Herlin melayangkan tatapan remeh.Inilah yang Selena tidak suka dari papanya, sebab papanya itu terlalu dibutakan cinta. Seharusnya, dulu dia tidak pernah setuju dengan pernikahan kedua papanya."Baik. Kalo gitu, aku akan rebut kembali rumah Papa. Dan Mama siap-siap jadi gelandangan!" Setelah puas membuat muka mamanya pucat, Selena bergegas pergi meninggalkan rumah itu.Herlin mematung di depan pintu, memandang punggung Selena yang lenyap di pandangan.***"Dari mana kamu?"Suara Darwin dari arah ruang tamu menginterupsi langkah Selena yang baru saja masuk. Dia melangkah menghampiri sang istri dengan raut datar.Bola mata Selena berputar malas. "Bukan urusanmu!" jawabnya ketus. Lalu, Selena pun melewati Darwin begitu saja. Dia muak berlama-lama dengan lelaki ini.Tetapi, Darwin tak membiarkannya pergi. Ditariknya paksa lengan Selena, kemudian mendorongnya sampai punggungnya membentur tembok.Selena mendesis saat punggungnya terasa sakit. "Lepasin aku! Minggir!" Tangannya berusaha lepas dari cengkeraman Darwin, tetapi sia-sia.Darwin tak peduli, malah tersenyum sinis. "Selama ini aku udah sabar. Aku capek pura-pura baik sama kamu. Dan sekarang, kayaknya aku udah gak perlu lagi pura-pura." Cengkeramannya menguat. Dia makin mendesak tubuh Selena di tembok."Aku juga udah muak sama kamu, Mas! Aku muak! Aku muak sama sikapmu! Aku jijik! Cuih! Playing fictim!" Tak segan Selena berdecih di depan muka sang suami."Sialan!" Darwin meradang. Tingkah Selena sungguh di luar dugaannya selama ini. Dia mengira jika istrinya ini tipe perempuan yang lemah dan cengeng. Namun, ternyata dia sudah salah menilai. "Kamu itu emang gak tau diri, Selena!" Bentak Darwin, meninju tembok tepat di sisi wajah Selena. Napasnya tersengal-sengal, emosinya ingin meledak."Aku tau diri, Mas! Yang gak tau diri itu kamu! Kamu! Kamu yang brengsek! Kamu yang udah selingkuh!" Balas Selena tak kalah meninggi.Keberanian Selena membuat amarah Darwin tak bisa terkontrol lagi. Tangannya melayang tinggi, dan akan mendarat di pipi mulus itu lagi seperti tadi siang. Reflek, Selena memejamkan mata erat-erat, bersiap menerima pukulan yang kedua kali dari suaminya yang playing fictim ini.Namun suara tegas tiba-tiba menginterupsi. "Darwin!"Darwin seketika memucat melihat keberadaan Dev di depan pintu. "Daddy?"_bersambung ....bugh!"Dev!" Monica hanya bisa memekik nyaring saat suaminya memukul sang anak di depan matanya. Sementara Darwin yang tidak siap dengan pukulan dari ayahnya spontan terduduk di lantai sambil memegangi pipi yang terasa berdenyut. Sakit. Pukulan sang ayah benar-benar terasa sakit di area sekitar rahangnya. Sial! Kenapa tiba-tiba daddy-nya datang ke rumah? Pikir Darwin. Dev membuang napas kasar seraya menyalak tajam ke arah Darwin yang berada di bawah kakinya. Pria itu sungguh tak habis pikir dengan Darwin yang selalu bersikap seenaknya. Bahkan, putranya itu mulai berani menyakiti seorang perempuan. Terlebih, perempuan itu adalah istrinya sendiri. ck! Beruntung, Dev datang di saat yang tepat, dan bisa mengendalikan Darwin. "Kamu udah mulai berani main tangan sama istrimu, hah! Apa selama ini daddy ngajarin kamu seperti itu? Coba tadi daddy gak dateng, entah gimana nasib Selena." Dev menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku bergantian sambil melirik tajam ke arah Monica. "Liat
Sepasang manik bulat Selena tak berkedip, menatap pria yang baru saja mengatakan bila apartemen mewah ini adalah miliknya. Selena lantas mengerling seraya memerhatikan raut Dev yang nampak begitu serius dengan perkataannya barusan."Selena, kamu … dengar perkataan daddy barusan 'kan?" Dev memastikan jika gadis di hadapannya ini sungguh-sungguh mendengar perkataannya barusan dengan sedikit mencondongkan wajahnya.Selena spontan beringsut mundur karena jaraknya dengan Dev terlalu dekat saat ini. "Selena denger, kok, Dad," sahutnya.Jawaban Selena membuat Dev mengangguk dan tersenyum. "Terus, gimana? Kamu … Suka 'kan sama apartemennya?""Hmm …" Sejenak, Selena mengalihkan pandangannya ke sekitar unit dengan pencahayaan yang sangat terang itu. Dari segi manapun, unit yang dibelikan Dev untuknya terbilang sangat mewah dan luas. Semuanya sudah tersedia di sana. "Bukankah ini terlalu besar kalau Selena yang tinggal di sini sendirian, Dad?" ujar Selena yang kembali menatap mertuanya.Kening D
"Kamu itu memang bodoh, Darwin!" Monica tak bisa lagi menahan kekesalannya pada putra satu-satunya itu. "Bisa-bisanya kamu selingkuh sama kakak tirinya Selena. Di mana otak kamu, Darwin? Di mana? Kayak gak ada perempuan lain aja! Ck!" Gelas kosong di hadapan, Monica isi dengan bir, lalu dia meneguknya.Darwin melakukan hal yang sama—mengisi gelasnya dengan bir kemudian meminumnya. "Mom, Rania itu hot-nya luar biasa. Mana mungkin Darwin gak tertarik sama dia," cicit Darwin sambil meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja minibar di rumah Monica. Lelaki itu tak menyesal sama sekali sudah berselingkuh dengan kakak tiri istrinya.Monica menggeleng tak percaya dengan jawaban Darwin yang terkesan santai. "Darwin, kamu gak bisa sesantai itu. Kamu tadi lupa, daddy-mu udah marah besar sama kamu karena menantu kesayangannya minta cerai dari kamu?"Kemarahan Dev tadi, jelas sangat mengganggu pikiran Monica. Dia takut apabila suaminya benar-benar menendang Darwin dari perusahaannya."Mami tenang
Tadinya, begitu tiba di gedung apartemen yang sudah lama dia sewa, Dev ingin bergegas naik ke unitnya, lalu beristirahat. Namun, ketika mematikan mesin mobil, dan tak sengaja menoleh ke belakang, dia melihat tas selempang Selena yang ternyata tertinggal di jok beserta koper yang masih berada di bagasi. Lantas, mau tak mau Dev pun kembali lagi ke gedung apartemen Selena yang letaknya memang tak terlalu jauh dari gedung apartemen yang disewa. Hanya menempuh sekitar lima belas menit, Dev sudah berada di sana lagi. Dengan dibantu pihak keamanan gedung, Dev membawa koper Selena yang ukurannya tidak terlalu besar menuju lantai atas. Sementara tas selempang gadis itu dibawa sendiri oleh Dev. Akses unit yang belum sempat diganti memudahkan Dev untuk masuk. Dia buka pintunya, lalu menggeret gagang koper dan membawanya masuk. Dev menutup pintunya kembali, lalu berjalan menuju kamar Selena yang rupanya tidak tertutup. "Dia belum tidur?" Dev mendorong pin
"Pak PresDir memerintah supaya semua barang-barang Pak Manager yang ada di dalam di pindah. Lalu letakkan di meja staf sebelah sana. Paham?" titah salah satu sekretaris Dev bernama Marvin pada dua office boy yang baru saja tiba di ruangan GM(General Manager)."Paham, Pak." Kedua office boy mengangguk dan menjawab serentak. Meski penasaran, tetapi mereka memilih diam. Menuruti perintah dari atasan mereka yang diketahui sangat-sangat disiplin. "Saya tinggal dulu." Marvin keluar dari ruangan yang selama ini ditempati Darwin setelah beres memerintah. Pagi-pagi sekali, Dev menghubunginya dan memberikan perintah di luar dugaannya. Yang Marvin tidak mengerti, 'Mengapa tiba-tiba atasan sekaligus sahabatnya itu menurunkan jabatan Darwin secara mendadak', padahal dia pikir Dev tidak akan pernah bertindak demikian. "Pagi, Om." Darwin langsung menyapa ketika berpapasan dengan Marvin di depan pintu ruangannya. Pemuda itu terlihat ramah seperti biasa.
Penurunan jabatan yang dilakukan sang daddy benar-benar membuat Darwin merasa terkejut sekaligus malu luar biasa. Bagaimana bisa, dia yang tadinya menjabat sebagai General Manager, sekarang hanya menjadi staf biasa? Belum lagi, telinganya harus mendengar suara-suara sumbang yang secara tidak langsung merasa senang akan nasibnya. Rupa-rupanya, semua ucapan dan ancaman daddy-nya tak main-main. Darwin sampai tak habis pikir, 'mengapa daddy-nya begitu membela Selena' Sementara yang berstatus anaknya adalah dirinya. CK!"Sialan! Gara-gara Selena, aku jadi bahan ejekan di kantor." Mulut Darwin tak berhenti menggerutu sejak tadi, duduk pun dia merasa tidak nyaman. Seluruh mata kini tertuju padanya. Melempar tatapan remeh. Yang awalnya mereka semua hormat padanya, saat ini rasa hormat itu telah berubah menjadi rasa kasihan. "Aku harus minta penjelasan sama Daddy. Gak bisa aku kayak gini," putus Darwin seraya bangkit dari duduknya. Setidaknya, dia bisa bernegosiasi. Bagaimanapun, statusnya
Suara bel berulang-ulang dari arah luar, membuat Selena setengah berlari keluar dari kamarnya. Gadis itu baru saja selesai mandi, terlihat dari kepalanya yang masih terbungkus handuk warna pink. "Ya ... sebentar!" Selena bergegas membuka pintu dari dalam dengan berbagai macam pertanyaan di kepala. Siapa gerangan yang bertamu di unitnya? pikirnya. Alisnya menaut ketika mendapati perempuan paruh baya yang wajahnya cukup familiar ada di depannya. "Mbok Nung?" Perempuan dengan perawakan sedikit gemuk dan beberapa helai rambut yang memutih itu tersenyum, lalu menyapa, "Selamat pagi menjelang siang, Non? Boleh saya masuk?" "Eh, ayo masuk, Mbok." Saking terkejutnya, Selena sampai lupa mempersilakan Mbok Nung masuk. Dia pun membuka lebar-lebar pintunya."Makasih, Non." Mbok Nung mengangguk lantas melangkah masuk, Selena menyusulnya setelah menutup kembali pintunya. "Mbok Nung kenapa ke sini?" tanya Selena yang sudah tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Duduk sini, Mbok." Setelah memp
"Mau ngapain kamu ke sini, Mas?" tanya Selena datar. Tatapannya begitu dingin pada sosok laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya. Gadis itu juga enggan membuka pintu lebih lebar lagi. Sambutan Selena membuat sepasang alis Darwin naik. Sebenarnya, dia sendiri malas menemui istrinya ini untuk mengemis minta maaf. Darwin benar-benar terpaksa melakukan hal yang tidak dia sukai, seandainya tidak mengingat jabatannya. "Ekhm!" Darwin berdeham sebentar, lalu memasukkan tangan kirinya ke saku celana. "Aku pengen ketemu sama istriku. Emangnya gak boleh?" ujarnya, lantas tersenyum palsu. Selena mendengkus jengah. 'Cih, sejak kapan lelaki berkulit putih pucat ini menganggapnya istri? Pikirnya."Semenjak aku liat kamu sama Kak Rania lakuin hal menjijikan. Sejak saat itu, aku udah gak anggep kamu sebagai suamiku. Hubungan kita udah berakhir. Aku bukan lagi istrimu. Ngerti!" Manik Selena melotot tajam, sementara Darwin bersikap sangat tenang. Lelaki itu tengah menahan dirinya a
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at