Darwin kembali ke rumah sekitar pukul sembilan pagi bersama Rania yang ikut serta. Namun, saat tiba di rumah pemberian papinya, dia tidak mendapati siapa pun termasuk sang istri.
"Rumahmu sepi, pada ke mana? Selena juga gak keliatan." Rania mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu. Pandangannya mengelilingi seluruh rumah yang ditempati adik tirinya selama satu tahun terakhir.Rasa iri selalu menggelapkan hati perempuan itu. Baginya, Selena sangat beruntung, sebab bisa menikah di usia muda dan mendapatkan suami tajir. Lalu, keinginan untuk merebut apa yang dimiliki oleh Selena tak bisa terbendung. Rania mulai merayu Darwin, dan berhasil membuat pria itu menidurinya selama tiga bulan ini.Darwin yang baru saja mengecek kamar untuk mencari keberadaan Selena, melangkah menuju dapur. Mengambilkan minum untuk Rania karena di jam segini biasanya asisten rumahnya sedang pergi ke pasar."Lagi pergi kali," sahut Darwin, sambil melangkah ke ruang tamu. Di tangannya ada dua minuman kemasan kaleng. "Minum, Ran." Dia menyodorkan salah satunya ke depan Rania."Makasih." Rania mengambilnya, dan tak perlu susah payah membukanya karena Darwin sudah membukanya lebih dulu.Darwin duduk di sebelah Rania, dan tidak merasa takut sama sekali jika ada orang yang bisa saja memergoki kedekatannya dengan kakak tiri istrinya. Kaleng minuman dia teguk isinya sedikit-sedikit, sambil merentangkan satu tangannya ke pundak kekasih gelapnya.Sudut mata Rania melirik tangan Darwin, yang menempeli pundaknya. "Santai, ya, Pak. Mumpung gak ada orang di rumah." Dia berseloroh lalu terkekeh. Kaleng di tangan dia letakkan di meja. Rania lantas menyenderkan kepalanya ke dada Darwin."Kalo gitu, bisalah kita main sebentar. Mumpung belum pada pulang." Hasrat Darwin selalu tidak bisa dibendung apabila Rania sudah menempel-nempel macam lintah. "Mau 'kan?" bisiknya serak, lalu menciumi pipi Rania."Gak, ah! Bahaya! Nanti tau-tau Selena pulang, gimana?" Meski menolak ajakan Darwin, tetapi telunjuk Rania tak berhenti menggoda lelaki itu. Malah sengaja menelusuri rahang, sampai tengkuk.Darwin berdecak keras, sebab hanya sentuhan sebatas itu saja, dia sudah kembali on. "Ayolah, Ran. Aku janji mainnya sebentar," bujuknya sambil menelusupkan telapak tangannya ke rok mini ketat Rania. Telunjuknya dengan mudah menemukan titik kelemahan setiap wanita. "Punya kamu juga udah basah." Darwin menekan celah lembab kenikmatan itu dengan telunjuknya, hingga Rania mengeluarkan erangan."Darwin ..." Sekujur tubuhnya dengan cepat merespon, lalu meminta lebih dari sekadar usapan dan belaian. "Kamu emang paling bisa." Tatapan Rania mulai sayu."Ya udah, ayo. Kita gas di kamar bentar. Mau 'kan?" Bibir Darwin tak berhenti mengendusi lekukan leher Rania yang wangi.Lagi-lagi, Rania tak bisa menolak rayuan itu. "Iya-iya. Cepetan. Keburu ada orang."Dalam sekejap, Rania sudah berada di dalam gendongan Darwin. Lelaki itu membawa masuk Rania ke kamarnya. Padahal, kamar itu adalah tempatnya bersama Natasya.Saking tak sabarannya, Darwin bahkan sampai lupa tidak menutup pintu kamar atau menguncinya. Pikirannya sudah tertutup kabut gairah yang harus segera dituntaskan saat ini juga. Darwin mencumbu bibir Rania dengan tergesa dan rakus sambil melucuti satu persatu kain yang menempel di tubuh berisi itu.Beberapa saat kemudian, mereka pun sudah sama-sama polos. Darwin tengah memacu tubuh Rania dengan gerakan sangat cepat. Desahan, erangan menggema di dalam kamar itu. Kedua sejoli itu tidak sadar dengan kedatangan seseorang.Di tengah-tengah aktivitas panas tersebut, mulut Rania pun tak pernah berhenti mendesah dan meracau. Dia tidak tahu jika suaranya itu mengundang rasa penasaran bagi seseorang yang memiliki status dengan Darwin."Mas Darwin! Kak Rania!" pekik Selena dengan mata menyalak tajam. Perempuan itu berdiri di depan pintu kamar, seraya mengepalkan tangan.Darwin dan Rania seketika menoleh, lalu menyebut nama Natasya bersamaan. "Selena!"Seperti maling yang terpegok, keduanya kelabakan dan kebingungan. Darwin menggeram rendah, kesal karena kesenangannya terganggu. Dia lekas mencabut miliknya dari milik Rania, lalu meraih selimut yang sempat dia singkirkan ke lantai, kemudian menutupi tubuh telanjang Rania. Selesai dengan urusan Rania, baju yang berceceran di lantai, Darwin pungut satu persatu. Dia masuk ke dalam kamar mandi, lalu membanting pintunya.bruakk!Selena berjengit kaget, tetapi amarahnya belum sirna. Dia lantas melangkah menghampiri Rania yang bangkit dari ranjang dengan selimut melilit tubuhnya. Kakak tirinya itu menatap remeh sambil tersenyum miring."Kakak tega! Kakak tega sama aku! Hah? Kenapa Kakak tega tidur sama suamiku? Kenapa!"Selena membentak Rania, sekuat tenaga dia menahan diri agar air matanya tidak tumpah. Meskipun pandangannya mulai mengabur, dan dadanya semakin terasa sangat sesak. Ditambah dengan bercak merah di sekitar area leher kakaknya, membuat kewarasan Natasya makin tak terkendali. Dia maju, mendekati Rania, lalu menarik paksa selimut yang menutupi tubuh telanjang Kakak tirinya itu."Lepas! Lepasin selimut itu! Itu selimutku! Kakak jahat! Kakak murahan! Minggir! Jangan duduk di ranjangku! Awas!" Selena terus menarik paksa Rania hingga terseret dan terjatuh di lantai."Auw! Sakit!" Rania meringis saat bokongnya menyentuh lantai. "Kurang ajar kamu, Selena!" Rania tak terima diperlakukan seperti itu.Selena a tertawa sarkas. "Apa kakak bilang? Aku kurang ajar? Gak salah? Kakak yang gak punya otak! Kakak yang gak tau malu!""Selena!" Darwin yang sudah berpakaian lengkap menegur istrinya dengan suara lantang. Dia marah dan tak terima mendengar Selena menyebut Rania demikian.Selena menatap sinis Darwin. "Apa? Kenapa, Mas? Kamu gak terima kalo aku manggil dia dengan sebutan itu? Kamu gak terima, hah! Lalu, sebutan apa yang cocok untuk perempuan murahan kayak dia? Apa? Jalang? Atau—""Selena! Jaga mulutmu! Dia kakakmu!" Darwin melangkah maju, melewati Selena begitu saja, lalu membantu Rania memakai pakaiannya.Pemandangan tersebut membuat Selena makin tidak waras. Bisa-bisanya Darwin malah membantu Rania, bukannya malah menenangkannya. Baik! Sekarang Selena mengerti, jika Darwin memang tak pernah menganggapnya sebagai istri. Lalu, untuk apa lagi dia mempertahankan suami yang sudah tidur dengan kakak tirinya.Tidak! Selena tidak bisa menerima pengkhianatan sebesar ini. Masa depannya masih sangat panjang. Masa mudanya pun tak boleh berakhir sia-sia hanya karena laki-laki brengsek seperti Darwin."Dia memang kakakku. Tapi kakak tiri! Kami bukan saudara kandung! Kalian berdua menjijikan! Cuih!" Selena berdecih, dan tiba-tiba ...plak!Muka Selena terlempar ke samping ketika telapak tangan Darwin mendarat sempurna di pipinya. Sakit bercampur rasa perih tentu mendominasi kulit mulusnya saat ini. Akan tetapi, dia tidak boleh menangis. Tidak!Darwin mendekat, lalu mencengkeram kuat-kuat rahang Selena. Maniknya mengilatkan amarah yang begitu besar. Dia terkejut saat mengira jika istrinya itu akan menangis atau merintih memohon ampun. Justru sebaliknya, Selena menatapnya dengan tanpa rasa takut sedikitpun."Kamu itu harus jaga sikap di depan suamimu. Ngerti!"Bibir Selena tersenyum sinis. Meski kulitnya terasa perih karena kuku-kuku Darwin menancap di pipinya. Walupun mulutnya susah payah untuk bicara. Dia tetap menjawab perkataan suaminya dengan berani. "Mungkin aku akan bersikap demikian kalo suamiku bukan laki-laki brengsek kayak kamu, Mas! Buat apa aku hormat sama laki-laki brengsek dan menjijikan kayak kamu, hah?""Sialan!" Darwin mengumpat, lalu menghempas Selena. Istrinya itu jatuh menelungkup di atas tempat tidur. "Kenapa Daddy harus nikahin aku sama perempuan gak waras kayak kamu. Sial!""Darwin." Rania mendekat, mengamit lengan Darwin. Dia berbisik pelan, "Tahan emosi kamu. Jangan sampe kamu lukain dia. Daddy-mu pasti akan marah besar."Benar. Daddy-nya pasti akan marah karena sudah membuat menantu kesayangannya terluka. Akan tetapi, Darwin tidak peduli. Dia sudah tidak kuat dengan pernikahan terpaksa ini."Biarin. Aku juga udah muak sama pernikahan ini.""Bagus!" Selena yang sudah berdiri tegak, dan terlihat baik-baik saja menyahut lantang.Darwin dan Rania menatap tak percaya.Selena melangkah dengan dagu terangkat tinggi. Ini kesempatan untuknya terbebas dari manusia tak beradab seperti Darwin. Maka dia pun akan mengambil keputusan."Kalo menurut Mas pernikahan ini udah memuakkan, lebih baik kita akhiri. Ceraikan aku! Dan kalian bisa melanjutkan hubungan tanpa perlu repot sembunyi-sembunyi kayak maling!"_bersambung ..."Berhenti di sini aja, Pak." Selena menginterupsi tukang ojek online yang mengantarnya pulang ke rumah almarhum papanya.Rumah peninggalan yang kini ditempati oleh ibu tirinya. Selena bergegas turun, dan melepas helm milik tukang ojek. Dia mengembalikannya, lalu menyodorkan selembar uang warna merah. "Helm-nya, Pak. Terus ini ongkosnya. Kembaliannya buat Bapak aja." Diberi uang tip yang lumayan besar, senyum sang tukang ojek seketika mengembang lebar. "Makasih, Neng." "Sama-sama, Pak." Tukang ojek berlalu, Selena lekas memasuki halaman rumah tersebut. Baru tiga langkah, seketika gadis itu menyendu. Ingatannya kembali pada kepulangannya tahun lalu. Waktu itu, dia mendapat kabar jika papanya meninggal karena kecelakaan.Kepulangannya pada hari itu di sambut oleh jenazah papanya yang sudah terbujur kaku. Yang lebih mengejutkan lagi ialah—mamanya tiba-tiba memberikan surat wasiat terakhir sang papa. Surat wasiat yang berisi perihal permintaan terakhir Satria kepada Selena untuk berhent
bugh!"Dev!" Monica hanya bisa memekik nyaring saat suaminya memukul sang anak di depan matanya. Sementara Darwin yang tidak siap dengan pukulan dari ayahnya spontan terduduk di lantai sambil memegangi pipi yang terasa berdenyut. Sakit. Pukulan sang ayah benar-benar terasa sakit di area sekitar rahangnya. Sial! Kenapa tiba-tiba daddy-nya datang ke rumah? Pikir Darwin. Dev membuang napas kasar seraya menyalak tajam ke arah Darwin yang berada di bawah kakinya. Pria itu sungguh tak habis pikir dengan Darwin yang selalu bersikap seenaknya. Bahkan, putranya itu mulai berani menyakiti seorang perempuan. Terlebih, perempuan itu adalah istrinya sendiri. ck! Beruntung, Dev datang di saat yang tepat, dan bisa mengendalikan Darwin. "Kamu udah mulai berani main tangan sama istrimu, hah! Apa selama ini daddy ngajarin kamu seperti itu? Coba tadi daddy gak dateng, entah gimana nasib Selena." Dev menggulung lengan kemejanya sampai sebatas siku bergantian sambil melirik tajam ke arah Monica. "Liat
Sepasang manik bulat Selena tak berkedip, menatap pria yang baru saja mengatakan bila apartemen mewah ini adalah miliknya. Selena lantas mengerling seraya memerhatikan raut Dev yang nampak begitu serius dengan perkataannya barusan."Selena, kamu … dengar perkataan daddy barusan 'kan?" Dev memastikan jika gadis di hadapannya ini sungguh-sungguh mendengar perkataannya barusan dengan sedikit mencondongkan wajahnya.Selena spontan beringsut mundur karena jaraknya dengan Dev terlalu dekat saat ini. "Selena denger, kok, Dad," sahutnya.Jawaban Selena membuat Dev mengangguk dan tersenyum. "Terus, gimana? Kamu … Suka 'kan sama apartemennya?""Hmm …" Sejenak, Selena mengalihkan pandangannya ke sekitar unit dengan pencahayaan yang sangat terang itu. Dari segi manapun, unit yang dibelikan Dev untuknya terbilang sangat mewah dan luas. Semuanya sudah tersedia di sana. "Bukankah ini terlalu besar kalau Selena yang tinggal di sini sendirian, Dad?" ujar Selena yang kembali menatap mertuanya.Kening D
"Kamu itu memang bodoh, Darwin!" Monica tak bisa lagi menahan kekesalannya pada putra satu-satunya itu. "Bisa-bisanya kamu selingkuh sama kakak tirinya Selena. Di mana otak kamu, Darwin? Di mana? Kayak gak ada perempuan lain aja! Ck!" Gelas kosong di hadapan, Monica isi dengan bir, lalu dia meneguknya.Darwin melakukan hal yang sama—mengisi gelasnya dengan bir kemudian meminumnya. "Mom, Rania itu hot-nya luar biasa. Mana mungkin Darwin gak tertarik sama dia," cicit Darwin sambil meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja minibar di rumah Monica. Lelaki itu tak menyesal sama sekali sudah berselingkuh dengan kakak tiri istrinya.Monica menggeleng tak percaya dengan jawaban Darwin yang terkesan santai. "Darwin, kamu gak bisa sesantai itu. Kamu tadi lupa, daddy-mu udah marah besar sama kamu karena menantu kesayangannya minta cerai dari kamu?"Kemarahan Dev tadi, jelas sangat mengganggu pikiran Monica. Dia takut apabila suaminya benar-benar menendang Darwin dari perusahaannya."Mami tenang
Tadinya, begitu tiba di gedung apartemen yang sudah lama dia sewa, Dev ingin bergegas naik ke unitnya, lalu beristirahat. Namun, ketika mematikan mesin mobil, dan tak sengaja menoleh ke belakang, dia melihat tas selempang Selena yang ternyata tertinggal di jok beserta koper yang masih berada di bagasi. Lantas, mau tak mau Dev pun kembali lagi ke gedung apartemen Selena yang letaknya memang tak terlalu jauh dari gedung apartemen yang disewa. Hanya menempuh sekitar lima belas menit, Dev sudah berada di sana lagi. Dengan dibantu pihak keamanan gedung, Dev membawa koper Selena yang ukurannya tidak terlalu besar menuju lantai atas. Sementara tas selempang gadis itu dibawa sendiri oleh Dev. Akses unit yang belum sempat diganti memudahkan Dev untuk masuk. Dia buka pintunya, lalu menggeret gagang koper dan membawanya masuk. Dev menutup pintunya kembali, lalu berjalan menuju kamar Selena yang rupanya tidak tertutup. "Dia belum tidur?" Dev mendorong pin
"Pak PresDir memerintah supaya semua barang-barang Pak Manager yang ada di dalam di pindah. Lalu letakkan di meja staf sebelah sana. Paham?" titah salah satu sekretaris Dev bernama Marvin pada dua office boy yang baru saja tiba di ruangan GM(General Manager)."Paham, Pak." Kedua office boy mengangguk dan menjawab serentak. Meski penasaran, tetapi mereka memilih diam. Menuruti perintah dari atasan mereka yang diketahui sangat-sangat disiplin. "Saya tinggal dulu." Marvin keluar dari ruangan yang selama ini ditempati Darwin setelah beres memerintah. Pagi-pagi sekali, Dev menghubunginya dan memberikan perintah di luar dugaannya. Yang Marvin tidak mengerti, 'Mengapa tiba-tiba atasan sekaligus sahabatnya itu menurunkan jabatan Darwin secara mendadak', padahal dia pikir Dev tidak akan pernah bertindak demikian. "Pagi, Om." Darwin langsung menyapa ketika berpapasan dengan Marvin di depan pintu ruangannya. Pemuda itu terlihat ramah seperti biasa.
Penurunan jabatan yang dilakukan sang daddy benar-benar membuat Darwin merasa terkejut sekaligus malu luar biasa. Bagaimana bisa, dia yang tadinya menjabat sebagai General Manager, sekarang hanya menjadi staf biasa? Belum lagi, telinganya harus mendengar suara-suara sumbang yang secara tidak langsung merasa senang akan nasibnya. Rupa-rupanya, semua ucapan dan ancaman daddy-nya tak main-main. Darwin sampai tak habis pikir, 'mengapa daddy-nya begitu membela Selena' Sementara yang berstatus anaknya adalah dirinya. CK!"Sialan! Gara-gara Selena, aku jadi bahan ejekan di kantor." Mulut Darwin tak berhenti menggerutu sejak tadi, duduk pun dia merasa tidak nyaman. Seluruh mata kini tertuju padanya. Melempar tatapan remeh. Yang awalnya mereka semua hormat padanya, saat ini rasa hormat itu telah berubah menjadi rasa kasihan. "Aku harus minta penjelasan sama Daddy. Gak bisa aku kayak gini," putus Darwin seraya bangkit dari duduknya. Setidaknya, dia bisa bernegosiasi. Bagaimanapun, statusnya
Suara bel berulang-ulang dari arah luar, membuat Selena setengah berlari keluar dari kamarnya. Gadis itu baru saja selesai mandi, terlihat dari kepalanya yang masih terbungkus handuk warna pink. "Ya ... sebentar!" Selena bergegas membuka pintu dari dalam dengan berbagai macam pertanyaan di kepala. Siapa gerangan yang bertamu di unitnya? pikirnya. Alisnya menaut ketika mendapati perempuan paruh baya yang wajahnya cukup familiar ada di depannya. "Mbok Nung?" Perempuan dengan perawakan sedikit gemuk dan beberapa helai rambut yang memutih itu tersenyum, lalu menyapa, "Selamat pagi menjelang siang, Non? Boleh saya masuk?" "Eh, ayo masuk, Mbok." Saking terkejutnya, Selena sampai lupa mempersilakan Mbok Nung masuk. Dia pun membuka lebar-lebar pintunya."Makasih, Non." Mbok Nung mengangguk lantas melangkah masuk, Selena menyusulnya setelah menutup kembali pintunya. "Mbok Nung kenapa ke sini?" tanya Selena yang sudah tidak bisa menahan diri untuk bertanya. "Duduk sini, Mbok." Setelah memp
Setelah lama menyandang status duda dari pernikahan sebelumnya. Pada akhirnya, Darwin memantapkan diri—melangsungkan pernikahan untuk yang kedua kali dengan gadis pilihannya. Emma—seorang gadis yang berprofesi sebagai model majalah dan catwalk telah menjerat hati seorang Darwin. Bisa dikatakan, jika Darwin jatuh cinta pada pandangan pertama waktu pertama kali dia bertemu sang calon istri di sebuah acara amal yang diadakan di Singapur. Pada hari itu, Darwin sangat yakin jika Emma adalah jodoh yang dikirim Tuhan untuknya. Bagaimana tidak? Di saat dia bertahun-tahun menyandang status duda serta mencoba memperbaiki diri, takdir dengan segala perannya telah menuntunnya pada sosok Emma. Bak gayung bersambut, tak membutuhkan waktu yang lama Darwin mencoba mendekati Emma kala itu. Perempuan berparas indo itu menerima pinangan Darwin enam bulan yang lalu. Prosesnya pun begitu singkat. Darwin tak ingin berlama-lama menyendiri lagi.Dan, pernikahan yang seharusnya digelar dua pekan lagi, terpa
"Daddy ...." Seorang gadis kecil berusia enam tahun, yang baru saja tiba memanggil sang daddy sambil berlarian di ruangan yang seluruhnya didominasi kaca. Sang ibu yang membuntuti sampai kewalahan. "Naomi, jangan lari-lari, Nak!" Selena menggeleng berkali-kali, merasa gemas dengan gadis kecilnya yang selalu tidak sabaran menemui daddy-nya. Dev yang siang itu baru saja selesai meeting, dan masih mengobrol dengan dua orang kolega bisnisnya seketika menoleh ke arah putrinya. "Naomi ...." Kedua kolega bisnis Dev pun melakukan hal yang sama. Mereka tersenyum melihat tingkah lucu Naomi yang tak malu-malu di hadapan orang asing. "Daddy!" Naomi menghambur memeluk Dev. "Daddy kenapa gak jadi jemput Naomi?" protes gadis kecil itu, dengan raut cemberut. Bibir mungilnya mencebik. Merasa bila sang anak protes, Dev pun lekas meminta maaf. "Maafin daddy, ya? Daddy lagi ada tamu. Tuh!" Dev mengedikkan dagu ke arah kedua tamunya.Bibir mungil Naomi mengatup rapat, seraya menelengkan kepala ke a
Beberapa bulan kemudian...."Mbok ... Mbok Nung." Siang itu Selena terlihat baru saja keluar dari kamar sambil berulang kali mengusap perut yang sudah makin membesar. Dia juga sesekali meringis seperti orang menahan sakit. Yang paling terasa ialah di bagian perut dan pinggang. Mbok Nung muncul dari dapur, kemudian tergopoh-gopoh menghampiri istri Dev itu. "Ya, Non ....""Mbok, perut aku kok kenceng-kenceng terus, ya?" adu Selena, lantas dibantu mbok Nung gadis itu duduk di sofa ruang tamu. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya perlahan. Mbok Nung duduk di samping Selena, lalu memegang perut gadis itu. Mbok Nung terlihat sedang berpikir sambil meraba perut yang memang mengencang. "Iya, Non. Kenceng-kencengnya timbul hilang gitu, Non? Kayaknya dedeknya mau keluar, Non. Soalnya 'kan udah lewat dari perkiraan lahir." Selena terus mencoba mengatur napasnya, kendati dia begitu gugup saat ini. "Iya-ya, Mbok? Kayaknya gitu. Pas aku cek tadi udah ngeflek di celana." ujarnya."
Setelah menghubungi pihak kepolisian, Marvin juga menghubungi Dev. Sementara Darwin terlihat sedang berjaga-jaga di depan pintu utama. Security rumah yang sempat kecolongan pun diperintahkan untuk mengawasi di bagian halaman belakang. Sedangkan Lexy yang tidak menyadari jika dirinya akan digelandang masih terlihat duduk bersama Monica di ruang tamu rumah itu. Keduanya masih terlibat perdebatan yang tak kunjung selesai. Lexy merasa kecewa sekaligus marah dengan mantan selingkuhannya yang selama bertahun-tahun menyembunyikan kebenaran. Suasana siang itu cukup menegangkan bagi Darwin, yang baru kali pertama akan menyaksikan penangkapan pelaku penembakan sang ayah secara langsung. 'Apa aku sudah melakukan hal yang tepat?' Benak pemuda itu tak berhenti bertanya-tanya sendiri, memikirkan sesuatu yang telah dia putuskan dengan matang. Melaporkan pria yang baru dia ketahui sebagai ayah kandungnya, merupakan hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Darwin. Namun, dia pun tak
"Aku bisa minta tolong, Vin. Tolong kamu ke rumahnya Monica. Tanya keberadaan Darwin sama dia." Dev berbicara dengan Marvin lewat panggilan telepon sejak sepuluh menit yang lalu. Sejak dia tidak bisa menghubungi Darwin, Dev merasa khawatir. Dia hanya ingin mengabarkan jika dia sudah kembali dari rumah sakit. "Baik, Dev. Kebetulan banget aku lagi perjalanan ke rumahnya." Marvin menyahut. Kening Dev mengernyit, "Oh, ada urusan apa?" tanyanya sambil beranjak dari tempat tidur, lalu berjalan ke arah balkon."Aku mau minta tanda tanda Monica. Ini 'kan mau akhir bulan. Kamu lupa kalau dia juga pemilik saham di perusahaan?" Terdengar kekehan dari Marvin, dan suara-suara bising kendaraan. "Hmm, ya ... ya ... Aku bahkan gak sadar kalau udah mau akhir bulan. Baiklah. Nanti, kalau kamu udah dapet kabar soal Darwin langsung hubungi aku aja. Oh, ya ... Gimana soal asisten rumah yang aku minta kemarin?" Dev hampir lupa menanyakan perihal itu. "Nanti siang orangnya diantar ke tempatmu. Namanya
"Perutku laper banget." Pagi-pagi sekali Selena terlihat sudah memasuki pantry sambil mengusap-usap perut. Sejak subuh tadi Selena merasa sangat lapar, karenanya dia pergi ke pantry untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Pertama-tama yang gadis itu lakukan adalah membuka kulkas, kemudian mengambil satu buah apel merah. Setelah mengambil apel, tak lupa dia turut mengambil susu hamil kemasan siap minum rasa mocca. Selena lantas menduduki kursi meja makan, lalu meminum susu hamil terlebih dahulu, baru setelah itu mengigit apel."Non ..." Mbok Nung muncul di pantry dan agak kaget melihat Selena yang sudah berada di sana. Rupa-rupanya, istri majikannya itu tengah menyantap buah dan minum susu. "Non Selena laper, ya?" "Iya, Mbok. Dari tadi subuh perutku laper banget," cicit Selena sambil mengunyah apel. "Tau-tau kayak gini, padahal kemarin-kemarin enggak, Mbok." Selena merasa aneh, sebab sejak awal-awal hamil dia tidak pernah merasa kelaparan seperti ini."Hormon, Non. Biasanya bawaan
Marvin mendorong kursi roda Dev sampai ke kamar. Beberapa saat yang lalu mereka baru saja tiba di apartemen setelah melakukan perjalanan cukup jauh. "Akhirnya, habis ini kamu bisa tidur nyenyak," cicit Marvin menggoda sang sahabat. Marvin yang tahu betul—bagaimana kacaunya jadwal tidur Dev selama Selena pergi. Hari-hari Dev hanya diisi dengan mencari keberadaan sang istri, sampai-sampai tidak memerhatikan penampilan serta kesehatannya. Namun, setelah Selena ditemukan, tentu saja semua itu tidak akan terjadi lagi. Selena sudah ditemukan dan sudah mau kembali padanya. Mulai detik ini Dev akan mengisi hari-harinya bersama sang istri dan calon anaknya. "Aku bisa minta tolong, Vin?" tanya Dev, menatap Marvin dengan serius. "Apa?" "Tolong carikan satu lagi asisten rumah tangga buat bantuin mbok Nung. Soalnya nanti mbok Nung cuma aku minta ngurusin Selena," kata Dev. Niat itu sudah Dev pikirkan sejak dia tahu Selena hamil. Berhubung ada masalah tak terduga, dia jadi harus menundanya."
"Kondisi Pak Dev sudah cukup baik. Tinggal menunggu jahitannya kering." Dokter yang selama tiga hari ini memantau kondisi Dev berkata sambil mengecek bekas jahitan luka tembak Dev. "Itu artinya saya sudah diperbolehkan pulang?" Dev nampak antusias mendengar keterangan dokter. Dia benar-benar sudah bosan berada di rumah sakit. Terlebih, Dev tidak bisa leluasa berinteraksi dengan sang istri saat berada di ruangan rawat itu. Selena menghela panjang seraya menggeleng. Heran dengan suaminya yang begitu terburu-buru ingin pulang. Padahal, dia berharap jika Dev bisa berada di rumah sakit dua atau tiga hari lagi, sampai kondisinya benar-benar pulih. "Dad, bukankah lebih bagus kita tunggu sampai kondisi Daddy benar-benar pulih?" ujar Selena terpaksa menyela perbincangan antara suaminya dan dokter. Dev menatap sang istri, kemudian menggeleng. "Daddy udah pulih, Selena. Lagi pula ini bukan yang pertama kalinya Daddy kena tembak. Daddy sudah terbiasa dengan ini." Tatapan Dev berubah penuh art
"Daddy ... Selena temenin tidur, ya?" Setelah mendapat izin dari dokter, Selena langsung mendatangi ruangan sang suami dengan perasaan bahagia. Malam ini dia akan tidur di samping Dev, dan berharap akan ada keajaiban. "Daddy cepetan bangun, karena Selena udah gak sabar pengen cerita banyak sama Daddy." Selena naik ke bed dengan perlahan, dan hati-hati. Tubuhnya yang mungil tidak mengalami kesulitan berarti saat mencoba berbaring di samping Dev. Selena tidur dalam posisi miring, tangan kanannya melingkar di pinggang suaminya. "Selama Selena jauh dari Daddy, jujur Selena gak bisa tidur. Selena terus kepikiran Daddy. Tapi, akal dan hati Selena bertolak belakang. Selena benci sekaligus cinta mati sama Daddy," kata Selena, seakan-akan Dev mendengarnya. Gadis itu meletakkan kepalanya tepat di dada Dev. Meresapi kehangatan yang begitu dia rindukan. Selena tak menampik, jika hatinya benar-benar sudah tertambat pada satu nama yakni Dev. "Dad, kira-kira Daddy pengen punya anak laki-laki at