Mobil dengan kap ringsek berhenti di depan bangunan apartemen. Mesin telah mati, meninggalkan keheningan yang menusuk.
Tok tok. Seorang wanita berambut pendek mengetuk kaca mobil. "Fasco, kamu nggak apa-apa?" Evora membuka pintu mobil, menarik napas lega. Kejadian tadi masih membekas di kepalanya. “Fasco, bagaimana keadaanmu?” Wanita yang tadi mengetuk pintu mobil segera menghampiri pria yang hampir menabrak Evora. “Aku baik-baik saja, kamu urus dia!” Dengan tubuh yang masih lunglai, Fasco lebih dulu masuk ke dalam apartemen. "Fasco sedikit mabuk tadi, jadi nyetirnya ngawur. Aku beneran minta maaf, ya. Kamu nggak kenapa-kenapa?" Evora menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja.” Wanita itu mengangkat alis. "Kamu kelihatan shock." Evora menghembuskan napas. Shock? Itu bahkan nggak cukup buat menggambarkan perasaannya sekarang. “Perkenalkan, namaku Grace.” Wanita itu mengulurkan tangan. “Aku Evora….” “Ini sudah malam, kamu istirahat di apartemenku dulu, ya? Bahaya jika kamu di jalan malam-malam begini,” tawar Grace. “Nggak perlu, aku akan pulang naik taksi saja.” “Oke, biar aku yang mengantarmu.” Wanita itu sedikit memaksa yang membuat Evora pun akhirnya mengangguk. ••• Mobil Grace sampai di kediaman keluarga Mordie. Evora pun turun. “Terima kasih, Grace,” ucap Evora. “Sama-sama, ini nomor teleponku. Jika kamu ada masalah, segera hubungi aku.” Evora mengangguk dan Grace pun pergi. Saat ini sudah hampir larut malam. Hanya ada security yang berjaga di depan gerbang. “Silakan, Nona Evora.” Security membuka pintu gerbang rumah keluarga Mordie dan mempersilakan Evora untuk masuk. Evora terlihat letih dan pucat. Salah satu pembantu menghampirinya. “Anda tampak lelah, saya akan buatkan teh hangat.” “Terima kasih, Lala. Antar saja ke kamarku.” Suara Evora sedikit serak dan lemah. "Kita nggak punya pilihan lain.” Dari ruang tamu, Evora mendengar suara berat ayahnya. Ia pun menghentikan langkahnya seraya mendengar percakapan serius ayahnya. “Jika tidak segera bertindak, perusahaan kita akan bangkrut dalam hitungan bulan." Nada Roldie terdengar gusar. “Bagaimana dengan kontraknya?” Meyla, Ibu Evora, menimpali. "Perusahaan kita akan mendapat suntikan dana besar, beberapa proyek kita yang sempat terbengkalai bisa kita mulai lagi. Dengan Lizi menikahi Vernon Roys, kita akan terikat dengan Roys Corporation. Ini satu-satunya cara.” Tubuh Evora menegang. Ia tidak salah dengar, kan? "Ini langkah yang bagus.” Nada Meyla terdengar senang. "Walaupun Lizi seorang model terkenal, ia masih membutuhkan relasi yang banyak. Jika Lizi menikah dengan pewaris keluarga Roys, perusahaan kita akan mendapatkan investasi besar dari keluarga Roys. Kita bisa mengamankan masa depan keluarga Mordie." Dada Evora terasa sesak, napasnya tercekat. Di belakang Evora, keluarganya telah menyiapkan perjodohan untuk kakaknya, Lizi? Percakapan dua orang itu berhenti ketika Evora melangkah masuk ke ruang tamu. Seketika suasana pun hening. Evora menatap kedua orang tuanya dengan pandangan berbeda. Meyla terkejut, tapi ia segera berkata, “Bagus, pulang larut malam sekali. Apa kau lembur?” tanya Meyla. “Apa maksud kalian menjodohkan Kak Lizi dengan pewaris keluarga Roys?” ucap Evora tanpa basa-basi. “A-apa maksudmu?” Meyla berusaha menampilkan raut wajah biasa. “Aku sudah dengar semuanya, Bu!” “Kakakmu akan dijodohkan dengan pewaris keluarga Roys, yaitu Vernon Roys,” jawab Roldie tanpa menatap Evora. “Ayah ingin memberitahumu nanti tapi terpaksa mengatakannya sekarang karena kamu sudah terlebih dulu bertanya,” sambung Roldie. Evora tersenyum miris. Bertepatan dengan itu, Lizi turun dari lantai dua. “Evora, kau sudah pulang—” “Puas sekarang, Kak?” suara Evora parau, matanya tajam. Lizi berhenti di tangga, ekspresinya seolah kebingungan. “Apa maksudmu?” Evora tertawa pendek. "Jangan pura-pura nggak tahu." Lalu, raut Evora berubah dingin. “Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kalian menyembunyikan hubungan ini di belakangku? Sejak dulu atau baru sekarang?” “Evora!” Meyla berdiri dari duduknya. “Aku tahu kamu dekat dengan Vernon, tapi ini sudah keputusan dua keluarga,” balas Lizi dengan nada santai. “Dekat?” Evora menatap kakaknya dengan tatapan tak percaya. “Kak, kamu tahu yang sebenarnya. Hubunganku dengan Vernon lebih dari itu.” “Evora, kau bicara apa? Kedua keluarga sudah memutuskan ini. Lagi pula, Vernon mengaku bahwa dia sedang nggak menjalin hubungan dengan siapapun. Jadi untuk apa kamu mengada-ngada?” ucap Meyla seraya menatap Evora tajam. Evora berdiri kaku di tempatnya. Lizi menghela napas panjang. "Aku tahu kau menyukai Vernon. Tapi kamu harus dengar, hidup ini bukan dongeng di mana cinta selalu menang. Kau hanya harus menerima kenyataan. Aku tidak mengambil Vernon darimu—dia yang memilihku.” Evora tertawa pahit. “Dia memilihmu? Atau kalian yang sengaja mengkhianatiku diam-diam?” Mata Lizi sedikit melebar sebelum dengan cepat menguasai ekspresinya. Ia tersenyum kecil seraya berjalan mendekat. “Percayalah apapun yang kau mau. Tapi pada akhirnya, Vernon tetap bersamaku.” "Kalian nggak punya hati!" suara Evora pecah, matanya memerah. “Evora, lebih baik kamu diam dan terima ini semua!” bentak Meyla. Evora menatap ibunya dengan sorot kekecewaan. “Apakah Ibu pernah peduli padaku? Apa Ibu pernah tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya? Tidak, Ibu hanya mengutamakan Kak Lizi.” Ketegangan sangat terasa di situasi saat ini. “Apa setidaknya kalian pernah memikirkan Nenek yang stroke dan dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan? Jika Nenek pulang ke rumah, aku yang mengurusnya. Aku di sini karena Nenek. Tapi kalian hanya mementingkan diri kalian sendiri!” “Evora, jika kamu masih mau dianggap sebagai bagian keluarga Mordie, maka terima semua ini dan jangan protes!” Roldie berkata dengan tegas disusul dengan keheningan. Evora menatap ayahnya dengan sorot kecewa yang mendalam. Ia melangkah mundur perlahan-lahan lalu berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh lagi. Di depan pintu kamarnya, matanya jatuh pada gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. Nama itu masih terukir di sana. Dulu, ini simbol harapan. Namun, sekarang hanya mengingatkannya tentang luka. Tanpa ragu, ia melepasnya. Ia sempat terdiam sejenak, lalu melemparkannya ke tempat sampah. "Janji kosong," gumamnya lirih. “Nona, ini teh untukmu.” Suara Lala dari arah belakang menyadarkannya. Evora menoleh dengan senyum tipisnya. “Lala, bisa bantu aku sebentar?” Suaranya terdengar bergetar. “Ya, Nona?” “Tolong bantu aku bereskan beberapa barang yang harus dibuang.”“Lala, kalau truk sampah datang, buang semua barang ini!” kata Evora pada Lala yang membantunya membawa barang ke luar.“Baik, Nona.”Evora melirik jam di tangannya. Lima belas menit lagi ia harus masuk kantor. Ia pun segera kembali ke dalam untuk bersiap.Di ruang tamu, Meyla dan Lizi sibuk menata undangan. Mereka menghentikan Evora yang hendak pergi.“Evora, ini gaunmu.” Lizi menyerahkan sebuah gaun untuk acara pertunangan nanti.Evora menatap gaun itu dengan enggan, tapi ia teringat perkataan ayahnya tadi malam. ‘Evora, jika kamu masih mau dianggap sebagai bagian keluarga Mordie, maka terima semua ini dan jangan protes!’Jemarinya mengepal sebelum akhirnya mengambilnya.Lalu ia berkata kepada Lala yang baru kembali dari luar. “Tolong taruh gaun ini di atas nakas.”Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Evora pun pergi.•••Sepulang dari kantor, Evora tidak langsung pulang. Ia masuk ke bar, tempat yang tak pernah terlintas dalam pikirannya sebelumnya.“Aku ingin memesan sebotol wine.”Usai
“Apa kamu nggak bisa diam?”Fasco melirik ke kaca jendela mobil yang mulai berkabut karena hujan gerimis. Di sampingnya, Evora terisak keras, bahunya bergetar. Fasco mendesah pelan, berusaha mengabaikan suara tangis itu. Ia tidak tahu cara menenangkan seseorang, apalagi wanita yang baru dikenalnya.“Uh, Grace….” Fasco akhirnya meraih ponselnya dan menekan panggilan. “Aku butuh bantuanmu. Segera ke mobilku.”Tak lama, pintu belakang terbuka. Grace menatap Evora yang terisak dengan bingung, lalu menoleh ke Fasco. "Apa yang kau lakukan padanya?"“Aku? Nggak ada! Dia tiba-tiba menangis begitu saja.” Fasco mengangkat tangan seolah tak bersalah, alisnya berkerut, tak tahu harus berbuat apa. Suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Grace melirik Evora yang terus terisak. Ia pun mengambil tisu di dashboard mobil lalu menyerahkannya. “Tenanglah. Apa yang terjadi?”Evora meraih tisu itu dengan tangan gemetar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. “D
Kejam.Kata itulah yang terlintas di benak Evora tentang Fasco.Tapi sebelum ia sempat membalas, Grace muncul membawa air kelapa.“Sudahlah, lebih baik kau minum ini sebelum mendengar lebih banyak kuliah darinya.”.“Terima kasih, Grace.”“Aku sudah memasak nasi goreng untuk kalian, ayo makan dulu!”“Grace, bisakah aku pulang setelah ini? Ini sudah hampir larut malam.”“Baiklah, Fasco akan mengantarmu,” balas Grace.“Kenapa harus aku? Biarkan dia naik taksi saja.” Fasco mendengus, jelas tidak tertarik.“Jangan begitu, dia baru saja mabuk. Bagaimana kalau ada orang jahat?”Fasco menatap Evora sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Bukan urusanku.”“Oh, jadi kalau terjadi sesuatu, kamu mau disalahkan?” Grace melipat tangan di dada.Fasco mendesah, mengusap tengkuknya dengan malas. “Terserah.”“Tolong jangan berdebat, aku nggak mau kalian ribut karena aku. Kalian terlihat sebagai pasangan serasi, aku nggak akan mengganggu.”Grace tertawa seraya menutup mulutnya dengan tangan. "Pasangan? Ak
Vernon dan Lizi masih berdiri di atas panggung dengan Lizi yang merangkul lengan Vernon layaknya pasangan serasi. Lizi mengambil mikrofon lalu berkata, “Terima kasih kepada semua yang hadir di hari spesial ini. Berkat dukungan kalian, acara ini berjalan dengan lancar. Aku juga ingin berterima kasih kepada Ayah dan Ibu yang sudah mendukungku selama ini. Aku sangat menyayangi kalian.”Evora membuang muka. "Tapi aku juga ingin berterima kasih kepada seseorang yang sangat berarti dalam hidupku....” Lizi berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada penuh kelembutan. "Adikku, Evora."Tepuk tangan meriah kembali terdengar.“Evora adalah adik yang luar biasa. Aku sangat beruntung memiliki dia di sisiku.”Tubuh Evora menegang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Matanya melirik sekeliling, menyadari bahwa semua orang kini menatapnya.Seakan terjebak dalam panggung sandiwara, Evora hanya bisa diam, menahan debaran jantungnya yang tak menentu. Apa yang direncanakan Lizi?Lizi mel
Fasco mengulurkan tangannya. Evora menatapnya dengan ragu.Ia melirik ke sekitar. Beberapa tamu mulai melirik ke arah mereka, termasuk Vernon yang kini menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak.Evora menerima uluran tangan Fasco. “Baiklah.”Senyum tipis muncul di wajah pria itu. Dengan gerakan ringan, ia menarik Evora ke tengah lantai dansa.Musik klasik mengalun lembut, mengiringi para tamu yang tengah berdansa di ballroom.Fasco memegang pinggangnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Evora dengan mantap.“Kau bisa berdansa?” tanya Fasco.“Tentu saja.”Langkah mereka begitu selaras, seolah-olah tubuhnya sudah mengenal irama ini. Namun, ada sesuatu yang aneh. Sejenak, suasana ballroom mengabur di matanya, berganti dengan bayangan lampu-lampu taman yang berkelap-kelip.Ia seperti berada di tempat yang berbeda, di waktu yang lain.Lebih tepatnya, ia teringat malam ulang tahunnya setahun lalu."Aku akan selalu bersamamu, Evora,” ucap Vernon kala itu.Inga
"Kenapa pesanku nggak dibalas? Dia sibuk atau sengaja mengabaikanku?”Evora menatap ponselnya dengan kesal. Ia gelisah menunggu kabar dari Vernon, kekasihnya.Sepulang lembur dan mampir sebentar ke minimarket, ia duduk di bangku depan, menyesap soda dingin yang sudah tak berasa.“Besok ulang tahunku... apa dia sengaja bikin kejutan? Atau malah lupa?” gumamnya. Namun, ia masih berpikir positif.“Tapi, tidak biasanya dia sibuk sekali sampai tidak mengingatku.”Ia menghela napas lalu beralih menatap jalan raya di depannya. Di antara lampu-lampu di pinggir jalan tampak seorang pria dan wanita sedang berjalan bergandengan dengan mesra.Awalnya Evora tak menghiraukannya, sampai ia mengenali kemeja yang dikenakan pria itu.“Vernon…?”Evora lantas terpaku saat menyadari siapa wanita yang sedang dirangkul pria itu di pinggang. Itu adalah Kakak Evora."Kenapa Vernon bersama … Kak Lizi?”Apakah ini sebuah kebetulan?Evora pun bangkit dan melangkah pelan ke arah mereka.Tanpa ia sangka, Vernon me
Fasco mengulurkan tangannya. Evora menatapnya dengan ragu.Ia melirik ke sekitar. Beberapa tamu mulai melirik ke arah mereka, termasuk Vernon yang kini menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak.Evora menerima uluran tangan Fasco. “Baiklah.”Senyum tipis muncul di wajah pria itu. Dengan gerakan ringan, ia menarik Evora ke tengah lantai dansa.Musik klasik mengalun lembut, mengiringi para tamu yang tengah berdansa di ballroom.Fasco memegang pinggangnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam tangan Evora dengan mantap.“Kau bisa berdansa?” tanya Fasco.“Tentu saja.”Langkah mereka begitu selaras, seolah-olah tubuhnya sudah mengenal irama ini. Namun, ada sesuatu yang aneh. Sejenak, suasana ballroom mengabur di matanya, berganti dengan bayangan lampu-lampu taman yang berkelap-kelip.Ia seperti berada di tempat yang berbeda, di waktu yang lain.Lebih tepatnya, ia teringat malam ulang tahunnya setahun lalu."Aku akan selalu bersamamu, Evora,” ucap Vernon kala itu.Inga
Vernon dan Lizi masih berdiri di atas panggung dengan Lizi yang merangkul lengan Vernon layaknya pasangan serasi. Lizi mengambil mikrofon lalu berkata, “Terima kasih kepada semua yang hadir di hari spesial ini. Berkat dukungan kalian, acara ini berjalan dengan lancar. Aku juga ingin berterima kasih kepada Ayah dan Ibu yang sudah mendukungku selama ini. Aku sangat menyayangi kalian.”Evora membuang muka. "Tapi aku juga ingin berterima kasih kepada seseorang yang sangat berarti dalam hidupku....” Lizi berhenti sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada penuh kelembutan. "Adikku, Evora."Tepuk tangan meriah kembali terdengar.“Evora adalah adik yang luar biasa. Aku sangat beruntung memiliki dia di sisiku.”Tubuh Evora menegang, keringat dingin membasahi telapak tangannya. Matanya melirik sekeliling, menyadari bahwa semua orang kini menatapnya.Seakan terjebak dalam panggung sandiwara, Evora hanya bisa diam, menahan debaran jantungnya yang tak menentu. Apa yang direncanakan Lizi?Lizi mel
Kejam.Kata itulah yang terlintas di benak Evora tentang Fasco.Tapi sebelum ia sempat membalas, Grace muncul membawa air kelapa.“Sudahlah, lebih baik kau minum ini sebelum mendengar lebih banyak kuliah darinya.”.“Terima kasih, Grace.”“Aku sudah memasak nasi goreng untuk kalian, ayo makan dulu!”“Grace, bisakah aku pulang setelah ini? Ini sudah hampir larut malam.”“Baiklah, Fasco akan mengantarmu,” balas Grace.“Kenapa harus aku? Biarkan dia naik taksi saja.” Fasco mendengus, jelas tidak tertarik.“Jangan begitu, dia baru saja mabuk. Bagaimana kalau ada orang jahat?”Fasco menatap Evora sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Bukan urusanku.”“Oh, jadi kalau terjadi sesuatu, kamu mau disalahkan?” Grace melipat tangan di dada.Fasco mendesah, mengusap tengkuknya dengan malas. “Terserah.”“Tolong jangan berdebat, aku nggak mau kalian ribut karena aku. Kalian terlihat sebagai pasangan serasi, aku nggak akan mengganggu.”Grace tertawa seraya menutup mulutnya dengan tangan. "Pasangan? Ak
“Apa kamu nggak bisa diam?”Fasco melirik ke kaca jendela mobil yang mulai berkabut karena hujan gerimis. Di sampingnya, Evora terisak keras, bahunya bergetar. Fasco mendesah pelan, berusaha mengabaikan suara tangis itu. Ia tidak tahu cara menenangkan seseorang, apalagi wanita yang baru dikenalnya.“Uh, Grace….” Fasco akhirnya meraih ponselnya dan menekan panggilan. “Aku butuh bantuanmu. Segera ke mobilku.”Tak lama, pintu belakang terbuka. Grace menatap Evora yang terisak dengan bingung, lalu menoleh ke Fasco. "Apa yang kau lakukan padanya?"“Aku? Nggak ada! Dia tiba-tiba menangis begitu saja.” Fasco mengangkat tangan seolah tak bersalah, alisnya berkerut, tak tahu harus berbuat apa. Suaranya terdengar datar, tapi ada sedikit kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan.Grace melirik Evora yang terus terisak. Ia pun mengambil tisu di dashboard mobil lalu menyerahkannya. “Tenanglah. Apa yang terjadi?”Evora meraih tisu itu dengan tangan gemetar, mencoba mengatur napasnya yang tersengal. “D
“Lala, kalau truk sampah datang, buang semua barang ini!” kata Evora pada Lala yang membantunya membawa barang ke luar.“Baik, Nona.”Evora melirik jam di tangannya. Lima belas menit lagi ia harus masuk kantor. Ia pun segera kembali ke dalam untuk bersiap.Di ruang tamu, Meyla dan Lizi sibuk menata undangan. Mereka menghentikan Evora yang hendak pergi.“Evora, ini gaunmu.” Lizi menyerahkan sebuah gaun untuk acara pertunangan nanti.Evora menatap gaun itu dengan enggan, tapi ia teringat perkataan ayahnya tadi malam. ‘Evora, jika kamu masih mau dianggap sebagai bagian keluarga Mordie, maka terima semua ini dan jangan protes!’Jemarinya mengepal sebelum akhirnya mengambilnya.Lalu ia berkata kepada Lala yang baru kembali dari luar. “Tolong taruh gaun ini di atas nakas.”Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Evora pun pergi.•••Sepulang dari kantor, Evora tidak langsung pulang. Ia masuk ke bar, tempat yang tak pernah terlintas dalam pikirannya sebelumnya.“Aku ingin memesan sebotol wine.”Usai
Mobil dengan kap ringsek berhenti di depan bangunan apartemen. Mesin telah mati, meninggalkan keheningan yang menusuk. Tok tok.Seorang wanita berambut pendek mengetuk kaca mobil. "Fasco, kamu nggak apa-apa?"Evora membuka pintu mobil, menarik napas lega. Kejadian tadi masih membekas di kepalanya.“Fasco, bagaimana keadaanmu?” Wanita yang tadi mengetuk pintu mobil segera menghampiri pria yang hampir menabrak Evora.“Aku baik-baik saja, kamu urus dia!” Dengan tubuh yang masih lunglai, Fasco lebih dulu masuk ke dalam apartemen."Fasco sedikit mabuk tadi, jadi nyetirnya ngawur. Aku beneran minta maaf, ya. Kamu nggak kenapa-kenapa?"Evora menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja.”Wanita itu mengangkat alis. "Kamu kelihatan shock."Evora menghembuskan napas. Shock? Itu bahkan nggak cukup buat menggambarkan perasaannya sekarang.“Perkenalkan, namaku Grace.” Wanita itu mengulurkan tangan.“Aku Evora….”“Ini sudah malam, kamu istirahat di apartemenku dulu, ya? Bahaya jika kamu di jalan malam-m
"Kenapa pesanku nggak dibalas? Dia sibuk atau sengaja mengabaikanku?”Evora menatap ponselnya dengan kesal. Ia gelisah menunggu kabar dari Vernon, kekasihnya.Sepulang lembur dan mampir sebentar ke minimarket, ia duduk di bangku depan, menyesap soda dingin yang sudah tak berasa.“Besok ulang tahunku... apa dia sengaja bikin kejutan? Atau malah lupa?” gumamnya. Namun, ia masih berpikir positif.“Tapi, tidak biasanya dia sibuk sekali sampai tidak mengingatku.”Ia menghela napas lalu beralih menatap jalan raya di depannya. Di antara lampu-lampu di pinggir jalan tampak seorang pria dan wanita sedang berjalan bergandengan dengan mesra.Awalnya Evora tak menghiraukannya, sampai ia mengenali kemeja yang dikenakan pria itu.“Vernon…?”Evora lantas terpaku saat menyadari siapa wanita yang sedang dirangkul pria itu di pinggang. Itu adalah Kakak Evora."Kenapa Vernon bersama … Kak Lizi?”Apakah ini sebuah kebetulan?Evora pun bangkit dan melangkah pelan ke arah mereka.Tanpa ia sangka, Vernon me