Jadi, dia melanjutkan langkahnya saja untuk pulang. Akan tetapi, sesuatu hal yang tak terduga terjadi. Sosok yang tadi sempat terlintas di benaknya kini muncul dari arah lift berada.Olivia sepertinya baru akan kembali ke ruangannya.Sesaat pandangan mereka bertemu dan saat itu juga dada Amora bergemuruh penuh dengan amarah. Namun, dia sadar bahwa dirinya sekarang sedang berada di rumah sakit. Jadi, sebisa mungkin Amora harus menjaga sikap."Amora," panggil Olivia saat melihat wanita itu bukan berlalu begitu saja.Amora tidak membalas, tetapi langkahnya terhenti."Aku mau minta—“"Minta maaf?" sambut Amora dingin. Matanya melirik tajam pada sosok wanita berwajah pucat."Apa itu artinya kamu sadar kalau apa yang kamu lakukan adalah sebuah kesalahan?" Jelas itu sindiran penuh amarah. Meski suaranya kecil, tetapi penuh dengan penekanan.Hidung Olivia mulai terasa masam, pandangan matanya pun ikut memburam. Kata-kata itu seakan menjurus tepat di jantungnya."Jangan sok lemah! Kamu pada d
Amora pulang dengan perasaan dongkol. Amarahanya semakin berpacu ketika mengingat pertemuannya dengan Olivia di rumah sakit. Namun, paling tidak dia sudah dapat mengungkapkan isi hatinya pada wanita itu.Dia jadi teringat akan sesuatu. Saat itu Olivia sendirian tanpa Rehan. Mungkinkah Rehan sedang berada di tempat lain?Terlepas dari itu, Amora sudah memutuskan untuk menandatangani surat cerai itu.Memang belum dia lakukan, karena masih ada yang perlu dia bahas dengan Rehan.Setelah berhari-hari dalam masa terpuruk dan hilang arah, berkat dorongan dari Dokter Rina dirinya bisa berpikir lebih dalam untuk masa depannya.Benar apa kata mantan dosennya itu. Amora juga berhak bahagia.Amora sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahannya bahkan sampai dia kehilangan janin di dalam perut. Rasanya sudah cukup baginya untuk berusaha yang hanya akan membuat hidupnya jauh lebih menderita.Amora yang sedang duduk di ruang tamu kini menghubungi Rehan. Berharap kali ini lelaki itu mau menjawabn
Amora menarik nafas dalam-dalam. Benar juga, dia lupa kalau suaminya ini tidak peduli. Anak?Lebih seperti beban bagi Rehan. Alasan mereka menikah juga karena tidak ingin nama baik keluarga Dwipangga tercoret. Kalau anak ini telah tiada, bukankah sama saja dengan membebaskan diri dari beban?"Tunjangan," ujar Amora pada akhirnya."Ah, jadi ini soal uang?" Rehan terkekeh geli.Tangannya bersedekap dan punggung bersandar pada kepala sofa."Benar juga. Memangnya ada orang yang nggak tertarik sama uang? Bukankah ini kesempatan bagimu untuk memerasku?"Amora sudah menduga kalau Rehan akan berpikiran seperti itu."Terserah apa katamu." Sejak awal, nilai dirinya di mata lelaki itu hanyalah tentang materi. Begitu juga dengan pandangan keluarga Rehan terhadapnya."Kenapa nggak bilang sejak awal, hah? Kalau kamu mau hartaku, aku akan memberikan lebih besar dari yang kamu mau." Dia memajukan tubuhnya, kemudian berbisik, "Asalkan kamu menghilang dari kehidupanku." Lalu, berlanjut dengan suara din
“Apa katamu?! Tunjangan?!” Sofia berseru tak setuju dengan yang dikatakan Rehan.Dia sudah cukup senang mendengar bahwa Amora bersedia untuk bercerai, tetapi kenapa harus ada embel-embel perjanjian hingga tunjangan? Dia tidak akan pernah sudi mengeluarkan uang untuk menantu tak berguna itu. Kira-kira begitulah yang ada di benak Sofia. Ya, meskipun pada dasarnya bukan dia yang akan mengeluarkan uang, tetapi tetap saja dia tidak rela.“Bu, hanya ini yang dia mau agar bersedia bercerai denganku,” kata Rehan berusaha untuk meyakinkan ibunya.“Tapi, Rehan—“ Sofia menggeser sedikit posisi tubuhnya agar lebih berhadapan dengan putranya. Dia menatap serius, kemudian berkata dengan nada sedikit berbisik, “Dia saja nggak mau menyebutkan nominalnya. Kalau dia menguras semua harta kamu gimana? Dia itu pintar. Nggak mungkin cuma mau uang kamu aja.”Rehan juga tidak bisa menafikan hal itu. Memang ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan di sini, tetapi jika sampai Amora berubah pikiran lagi, bis
“Sibuk mengurus wanita tercinta di rumah sakit dan terobsesi untuk menikahinya. Iya, ‘kan?!” sindir Amora.“A-apa katamu? O-obsesi?”Amora tidak menjawab.“Hei!” sentaknya yang sudah hilang kesabaran. “Jaga bicaramu!”Tidak ada tanggapan berarti dari wanita cantik itu. “Lupakan kalau sulit bagimu untuk sadar diri.”Rehan sudah siap untuk berteriak lagi, tetapi sadar kalau hal ini tidak akan membuatnya cepat menyelesaikan masalah. “Oke, balik lagi ke masalah awal. Jadi, jelaskan kenapa kamu mendadak bersedia untuk bercerai dariku dan apa tujuanmu setelahnya?”"Kamu nggak berhak bertanya begitu. Aku aja nggak tahu bahwa kamu berniat menikah dengan Olivia setelah kita cerai, kalau saja bukan sekretarismu yang ngasih tahu.""Amora—""Terserah." Amora mengambil secangkir teh di depannya. Menghirup aroma hangat itu, kemudian melanjutkan, "Kalau nggak setuju, lupakan aja tentang perceraian itu."Rehan mengepalkan tangan hingga jarinya memutih, sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh A
Bi Minah yang berada di dapur segera memenuhi panggilan Sofia, tetapi dia juga tidak tega melihat Amora."Apa yang kamu lakukan?! Cepat ambil semua barangnya!""Bu, aku belum resmi bercerai dengan Rehan. Kenapa Ibu mengusirku?""Apa pentingnya? Pada akhirnya kamu akan keluar juga, 'kan?!" Dia menoleh ke Bi Minah untuk memperingatkan, "Kamu hanya boleh mengemasi barang-barang miliknya saja. Dia tidak berhak membawa barang-barang yang dibeli dengan uang keluarga kami!." Merasa geram karena tidak disahuti, dia berteriak lagi."Cepat! Tuli, ya?!"Amora merasa kasihan dengan pembantunya. Saat ini wanita paruh baya yang memakai celemek itu pasti sedang bingung antara mengikuti perintah Sofia atau memikirkan Amora. Karena itulah dia memberi isyarat kepada Bi Minah agar menurut saja.Dia mengangguk samar selagi Sofia tidak memperhatikannya.Terpaksa Bi Minah naik ke kamar Amora."Jangan bermimpi untuk bisa memengaruhi Rehan. Kamu bukan apa-apa baginya sampai dia patuh dengan permintaanmu." S
“Kamu nggak capek tiap pulang kerja ke sini terus?” tanya wanita itu saat Rehan duduk di sampingnya.“Justru karena aku capek, jadi aku ke sini. Kamu itu udah jadi obat penawar rasa sakitku,” katanya dengan tatapan nakal.Olivia merasa tersanjung mendengarnya, tetapi dia tidak benar-benar bisa merasa bahagia saat ini. Pernyataan Rehan tentang ajakan menikah, itu tidak berselang lama setelah lelaki itu mengatakan akan bercerai dengan Amora.“Gimana harimu? Apa ada keluhan? Dokter bilang apa?”Dia menggelengkan kepala pelan. “Nggak ada, kok. Sekarang aku jauh lebih baik … karenamu.” Dia sendiri merasa muak dengan apa yang barusan dia lakukan.Teringat pertemuannya dengan Amora, kata-kata temannya itu masih membekas dalam hati. Mungkin memang benar bahwa dirinya ini sangat egois.“Tapi, yang aku lihat malah berbeda.” Rehan menelisik wajah wanita tercintanya. “Apa terjadi sesuatu?”“Nggak, Rehan. Aku beneran baik-baik aja.” Olivia memaksakan senyum di wajahnya yang pucat.Rehan menghela n
Amora tidak bisa lagi mempertahankan dirinya untuk berada di rumah Rehan. Sofia tidak memberi dia belas kasihan sedikitpun, wanita itu mengusir Amora pun layaknya mengusir kucing jalanan.Di situasi seperti ini tidak ada yang bisa menolong Amora jadi dia terpaksa untuk pergi dalam keadaan terhina. Tidak sampai di sana, begitu Amora keluar dari gerbang rumah Rehan beberapa tetangganya tampak memperhatikan.Amora sudah bisa menilai apa yang telah mereka pikirkan tentang dirinya, jadi dia melangkah pergi tanpa menghiraukan mereka. Namun, para tetangga itu tidak membiarkan dia pergi dengan tenang.Salah satu di antara mereka menghampirinya. "Kamu mau ke mana, Bu Amora? Jangan-jangan kamu diusir, ya?" Wanita baru apa ya berambut pendek sebahu itu memperhatikan penampilan Amora di ujung kaki hingga kepala kemudian beralih pada koper."Aduh, aduh kasihan sekali kamu ini. Ternyata keluarga suamimu mengusirmu, ya?"Amora berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang saat ini masih sembab."Apa s