Dokter Rina menyahut dari seberang telepon, "nggak apa-apa, lagi pula ini juga aku sedang istirahat untuk bergantian shift. Ada apa Amora?""Ini mengenai beasiswa itu. Kapan kira-kira saya bisa berangkat ke sana Dok?""Kurang lebih satu minggu. Ada apa Amora? Suaraku terdengar lesu apa ada masalah?""Nggak ada, Dok. Saya hanya ingin tahu kapan tepatnya saya bisa berangkat agar bisa mempersiapkan semuanya." Padahal sidang perceraiannya pun belum dilaksanakan. Entah apakah dalam waktu satu minggu itu semuanya berjalan dengan lancar."Apa ini masih tentang perceraian namun dengan Rehan?""Sebenarnya sekarang saya tinggal di hotel, Dok.” Dia menatap gamang koper di depannya. “Lusa kami mungkin akan resmi bercerai.”“Begitu rupanya. Aku turut prihatin tentang masalahmu.”“Nggak apa-apa, Dok. Saya rasa memang sudah menjadi jalanku.” Meski hatinya getir, dia tetap tersenyum.“Kamu selalu bilang begitu, padahal yang terjadi justru sebaliknya.” Jeda sesaat.“Aku salut padamu karena bisa bertah
“Apa aku bilang? Pada akhirnya Rehan akan membuangmu, ‘kan? Seharusnya kamu menyerah dari dulu, Amora.”“Apa hakmu mengatakan itu? Kamu nggak lebih dari pesuruh Rehan dan karyawan biasa di kantornya.” Dia menyerahkan kembali dokumen itu setelah ditandatangani.Rahmi menatap tajam. “Dasar wanita murahan!” Merasa jengkel, dia segera melangkah pergi.Sekarang, Amora sudah resmi bercerai.Hatinya mendadak hampa, dia pikir tidak akan sesakit ini karena rasa benci dan kecewanya pada Rehan.Rehan tersenyum bahagia setelah melihat surat perceraiannya telah disetujuai Amora.Artinya dia sudah bebas dari wanita itu lagi. Hari ini adalah hari di mana Olivia akan pulang. Tentu saja Rehan ada untuk menyiapkan segala keperluan wanita kesayangannya.“Mama dan Papa akan ke sini, ‘kan?” tanya Olivia yang sudah siap.Dia memakai sweater berwarna krem dan celana jeans panjang. Wajah cantik dia terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Dia sudah sangat merindukan rumah.Terlalu lama berada
Fajar tampak merasa sedikit keberatan untuk menjawab iya dengan cepat. Bukan karena dirinya tidak percaya dengan Rehan tetapi ada sedikit keraguan mengenai perceraian Rehan dengan mantan istrinya.Pernikahan akan dilaksanakan 3 hari lagi, dan hal tersebut mungkin saja akan mendapatkan pandangan negatif dari beberapa pihak.Agaknya Rehan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Fajar. "Paman, saya pastikan Olivia nggak akan mendapatkan cercaan dari siapapun. Orang yang bersangkutan tentang kehidupan pernikahan saya di masa lalu nggak akan hadir di acara pernikahan kami." Orang yang dimaksud oleh lelaki itu tentu saja Amora. Mantan istrinya tidak boleh tahu dan meskipun tahu, wanita itu tidak boleh datang."Paman percayakan hal itu padamu. Tapi, bukan berarti kamu akan lepas dari pengawasan kami."Entah itu candaan atau bukan, Rehan menanggapinya dengan senyum."Tenang saja, Paman, Bibi. Kalian bebas untuk memperhatikan atau mengawasi saya, kok." Rehan sudah sangat percaya diri bahwa ia akan m
“Rahmi, kamu tahu di mana alamat Amora yang sekarang?” tanyanya langsung begitu panggilan terjawab.“Kamu menelepon pakai ponselnya Rehan?”Olivia mendesak dengan pertanyaan alih-alih menjawab.“Di mana alamatnya? Ini lagi genting. Tolong kasih tahu aku.”Rahmi dengan malas menyebutkan sederet alamat Amora.“Rahmi, dengar, jangan beritahu hal ini ke Rehan, ya. Aku mohon sama kamu.” Melihat Rehan yang keluar dari kamar mandi, Olivia segera memutus panggilan itu.***Keesokan paginya, Olivia meminta sopir untuk mengantarnya ke alamat yang sudah diberikan Rahmi.Tentu saja itu tanpa sepengetahuan baik kedua orangtuanya maupun Rehan. Mereka tengah sibuk dengan persiapan menuju hari pernikahannya.Di tangannya sudah ada undangan. Mungkin ini ide gila dan jahat. Namun, dia hanya ingin mengikuti kata hatinya.Amora berhak tahu karena dia juga sahabat dekatnya. Olivia juga merasa dirinya pantas dihujat, bersembunyi seolah-olah orang suci hanya akan menjadi beban baginya.Setelah perjalanan ku
Olivia memejamkan mata dan saat itu juga air matanya kembali deras."Kalian akan menikah di saat baru tiga hari aku bercerai dengan Rehan! Kalian benar-benar nggak punya perasaan!" Dia sadar bahwa berteriak seperti ini juga tidak akan mengubah apa pun.Rehan tidak akan kembali ke sisinya dan dia juga akan segera pergi meninggalkan negara ini.Mereka tidak memberi waktu bagi Amora untuk merasa tenang, seolah-olah mereka memang sengaja melakukan hal ini untuk menghancurkannya.Olivia menundukkan kepala. "A-aku mengundangmu secara diam-diam." Seakan-akan Olivia bia mendengar apa yang saat ini Amora pikirkan. "Rehan dan keluarga kami nggak mau kamu hadir di pesta pernikahan. Tapi, aku bertekad untuk menghampirimu dan memberikan undangan."Amora terdiam menatapnya dingin."Mereka nggak mau menanggung malu, terutama khawatir kalau aku akan jatuh sakit kalau sampai masalah ini kembali menyerang mentalku." Dia kemudian menatap Amora. "Tapi, aku nggak bisa kayak gitu. Aku datang bukan cuma u
"Nggak. Aku udah memutuskan koneksi yang bisa bikin aku kembali terhubung dengannya. Buat apa juga dia tahu? Nggak akan ada gunanya.""Baguslah kalau begitu. Wanita sepertinya lebih baik menghilang dari kehidupan kita. Keberadaannya itu cuma merepotkan saja." Dia berdecak berkali-kali sambil menggelengkan kepala."Ibu nggak akan tinggal diam kalau dia berani buat masalah sama kalian."Rehan mengibaskan tangannya tidak peduli. "Nggak perlu mikirin dia lagi, Bu. Kita fokus aja sama apa yang sekarang. Keluarga Olivia sangat berharap kalau aku bisa membahagiakan dia, menjadi pengganti Liam di sisi Oliv dan ayah yang baik buat bayinya.""Ibu cuma penasaran aja sama kamu." Punggungnya yang semula bersandar, kini tegak dan menatap penuh penilaian anaknya tersebut. "Kamu benar-benar nggak masalah sama anak itu?"Rehan tersenyum dan mengangkat kedua bahunya."Kenapa harus menjadikannya masalah? Dia memang anak Liam, tapi Liam udah nggak ada di dunia ini. Olivia akan jadi istriku dengan sah,
Olivia tidak mau anaknya terlahir tanpa seorang ayah. Naluri alami seorang ibu yang juga pernah dialami oleh Amora."Aku minta maaf." Kalimat yang terus berulang dari bibir ranum Olivia. Penyesalannya tak terbendung, demikian juga dengan air matanya. Di samping itu, dia tidak tahu kalau ponsel lnya yang berada di dalam tas bergetar.Panggilan dari Rehan telah lewat sebanyak 5 kali."Kamu nggak punya rasa takut, ya?" tanya Amora tanpa memedulikan ucapan Olivia."Apa maksudmu?""Aku bisa saja membuatmu celaka di sini. Melukaimu yang akan menjadi pengantin tiga hari lagi dengan mantan suamiku."Sesaat tubuh Olivia menegang."Kamu pikir hanya kamu aja yang punya tekanan mental?! Aku juga! Aku keguguran, diceraikan karena suamiku mencintai wanita lain yang ternyata sahabat kami sendiri! Dan sekarang ... kamu datang untuk mengantarkan undangan pernikahan kalian. Apa itu nggak kurang ajar?!" Nafasnya kembali memburu.Olivia diam, dalam hati dia membenarkan apa kata Amora."Aku juga bisa ter
Hari di mana pernikahan Rehan dan Olivia tiba. Amora awalnya ragu untuk datang. Lagi pula dia tahu bahwa menghadiri acara itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri.Membayangkan betapa bahagianya senyum mereka, orang-orang yang sudah membuangnya bak sampah dan binatang jalan. Mantan ibu mertua, kemudian keluarga Olivia yang sangat egois, terlebih mantan suami yang jelas tidak mengharapkan kehadirannya di acara itu.Tempo hari Olivia yang datang dengan memohon maaf memintanya juga ahar datang sebagai seorang teman. Di saat seperti ini wanita itu masih menganggapnya teman? Jujur saja, Amora sangat muak, tetapi melihat betapa putus asanya Olivia sampai berlutut kepadanya, itu cukup membuat Amora merasa luluh.Dia terpaksa menahan amarah dan sakit hati.Dia membawa sebuah kotak cincin, hadiah yang akan diberikannya kepada mempelai pengantin. Entah bagaimana jadinya nanti, Amora akhirnya melangkah keluar kamar hotelnya.Dia mengenakan gaun berpayet lengan pendek dengan bawahan panjang