“Apa katamu?! Tunjangan?!” Sofia berseru tak setuju dengan yang dikatakan Rehan.Dia sudah cukup senang mendengar bahwa Amora bersedia untuk bercerai, tetapi kenapa harus ada embel-embel perjanjian hingga tunjangan? Dia tidak akan pernah sudi mengeluarkan uang untuk menantu tak berguna itu. Kira-kira begitulah yang ada di benak Sofia. Ya, meskipun pada dasarnya bukan dia yang akan mengeluarkan uang, tetapi tetap saja dia tidak rela.“Bu, hanya ini yang dia mau agar bersedia bercerai denganku,” kata Rehan berusaha untuk meyakinkan ibunya.“Tapi, Rehan—“ Sofia menggeser sedikit posisi tubuhnya agar lebih berhadapan dengan putranya. Dia menatap serius, kemudian berkata dengan nada sedikit berbisik, “Dia saja nggak mau menyebutkan nominalnya. Kalau dia menguras semua harta kamu gimana? Dia itu pintar. Nggak mungkin cuma mau uang kamu aja.”Rehan juga tidak bisa menafikan hal itu. Memang ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan di sini, tetapi jika sampai Amora berubah pikiran lagi, bis
“Sibuk mengurus wanita tercinta di rumah sakit dan terobsesi untuk menikahinya. Iya, ‘kan?!” sindir Amora.“A-apa katamu? O-obsesi?”Amora tidak menjawab.“Hei!” sentaknya yang sudah hilang kesabaran. “Jaga bicaramu!”Tidak ada tanggapan berarti dari wanita cantik itu. “Lupakan kalau sulit bagimu untuk sadar diri.”Rehan sudah siap untuk berteriak lagi, tetapi sadar kalau hal ini tidak akan membuatnya cepat menyelesaikan masalah. “Oke, balik lagi ke masalah awal. Jadi, jelaskan kenapa kamu mendadak bersedia untuk bercerai dariku dan apa tujuanmu setelahnya?”"Kamu nggak berhak bertanya begitu. Aku aja nggak tahu bahwa kamu berniat menikah dengan Olivia setelah kita cerai, kalau saja bukan sekretarismu yang ngasih tahu.""Amora—""Terserah." Amora mengambil secangkir teh di depannya. Menghirup aroma hangat itu, kemudian melanjutkan, "Kalau nggak setuju, lupakan aja tentang perceraian itu."Rehan mengepalkan tangan hingga jarinya memutih, sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh A
Bi Minah yang berada di dapur segera memenuhi panggilan Sofia, tetapi dia juga tidak tega melihat Amora."Apa yang kamu lakukan?! Cepat ambil semua barangnya!""Bu, aku belum resmi bercerai dengan Rehan. Kenapa Ibu mengusirku?""Apa pentingnya? Pada akhirnya kamu akan keluar juga, 'kan?!" Dia menoleh ke Bi Minah untuk memperingatkan, "Kamu hanya boleh mengemasi barang-barang miliknya saja. Dia tidak berhak membawa barang-barang yang dibeli dengan uang keluarga kami!." Merasa geram karena tidak disahuti, dia berteriak lagi."Cepat! Tuli, ya?!"Amora merasa kasihan dengan pembantunya. Saat ini wanita paruh baya yang memakai celemek itu pasti sedang bingung antara mengikuti perintah Sofia atau memikirkan Amora. Karena itulah dia memberi isyarat kepada Bi Minah agar menurut saja.Dia mengangguk samar selagi Sofia tidak memperhatikannya.Terpaksa Bi Minah naik ke kamar Amora."Jangan bermimpi untuk bisa memengaruhi Rehan. Kamu bukan apa-apa baginya sampai dia patuh dengan permintaanmu." S
“Kamu nggak capek tiap pulang kerja ke sini terus?” tanya wanita itu saat Rehan duduk di sampingnya.“Justru karena aku capek, jadi aku ke sini. Kamu itu udah jadi obat penawar rasa sakitku,” katanya dengan tatapan nakal.Olivia merasa tersanjung mendengarnya, tetapi dia tidak benar-benar bisa merasa bahagia saat ini. Pernyataan Rehan tentang ajakan menikah, itu tidak berselang lama setelah lelaki itu mengatakan akan bercerai dengan Amora.“Gimana harimu? Apa ada keluhan? Dokter bilang apa?”Dia menggelengkan kepala pelan. “Nggak ada, kok. Sekarang aku jauh lebih baik … karenamu.” Dia sendiri merasa muak dengan apa yang barusan dia lakukan.Teringat pertemuannya dengan Amora, kata-kata temannya itu masih membekas dalam hati. Mungkin memang benar bahwa dirinya ini sangat egois.“Tapi, yang aku lihat malah berbeda.” Rehan menelisik wajah wanita tercintanya. “Apa terjadi sesuatu?”“Nggak, Rehan. Aku beneran baik-baik aja.” Olivia memaksakan senyum di wajahnya yang pucat.Rehan menghela n
Amora tidak bisa lagi mempertahankan dirinya untuk berada di rumah Rehan. Sofia tidak memberi dia belas kasihan sedikitpun, wanita itu mengusir Amora pun layaknya mengusir kucing jalanan.Di situasi seperti ini tidak ada yang bisa menolong Amora jadi dia terpaksa untuk pergi dalam keadaan terhina. Tidak sampai di sana, begitu Amora keluar dari gerbang rumah Rehan beberapa tetangganya tampak memperhatikan.Amora sudah bisa menilai apa yang telah mereka pikirkan tentang dirinya, jadi dia melangkah pergi tanpa menghiraukan mereka. Namun, para tetangga itu tidak membiarkan dia pergi dengan tenang.Salah satu di antara mereka menghampirinya. "Kamu mau ke mana, Bu Amora? Jangan-jangan kamu diusir, ya?" Wanita baru apa ya berambut pendek sebahu itu memperhatikan penampilan Amora di ujung kaki hingga kepala kemudian beralih pada koper."Aduh, aduh kasihan sekali kamu ini. Ternyata keluarga suamimu mengusirmu, ya?"Amora berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang saat ini masih sembab."Apa s
Dokter Rina menyahut dari seberang telepon, "nggak apa-apa, lagi pula ini juga aku sedang istirahat untuk bergantian shift. Ada apa Amora?""Ini mengenai beasiswa itu. Kapan kira-kira saya bisa berangkat ke sana Dok?""Kurang lebih satu minggu. Ada apa Amora? Suaraku terdengar lesu apa ada masalah?""Nggak ada, Dok. Saya hanya ingin tahu kapan tepatnya saya bisa berangkat agar bisa mempersiapkan semuanya." Padahal sidang perceraiannya pun belum dilaksanakan. Entah apakah dalam waktu satu minggu itu semuanya berjalan dengan lancar."Apa ini masih tentang perceraian namun dengan Rehan?""Sebenarnya sekarang saya tinggal di hotel, Dok.” Dia menatap gamang koper di depannya. “Lusa kami mungkin akan resmi bercerai.”“Begitu rupanya. Aku turut prihatin tentang masalahmu.”“Nggak apa-apa, Dok. Saya rasa memang sudah menjadi jalanku.” Meski hatinya getir, dia tetap tersenyum.“Kamu selalu bilang begitu, padahal yang terjadi justru sebaliknya.” Jeda sesaat.“Aku salut padamu karena bisa bertah
“Apa aku bilang? Pada akhirnya Rehan akan membuangmu, ‘kan? Seharusnya kamu menyerah dari dulu, Amora.”“Apa hakmu mengatakan itu? Kamu nggak lebih dari pesuruh Rehan dan karyawan biasa di kantornya.” Dia menyerahkan kembali dokumen itu setelah ditandatangani.Rahmi menatap tajam. “Dasar wanita murahan!” Merasa jengkel, dia segera melangkah pergi.Sekarang, Amora sudah resmi bercerai.Hatinya mendadak hampa, dia pikir tidak akan sesakit ini karena rasa benci dan kecewanya pada Rehan.Rehan tersenyum bahagia setelah melihat surat perceraiannya telah disetujuai Amora.Artinya dia sudah bebas dari wanita itu lagi. Hari ini adalah hari di mana Olivia akan pulang. Tentu saja Rehan ada untuk menyiapkan segala keperluan wanita kesayangannya.“Mama dan Papa akan ke sini, ‘kan?” tanya Olivia yang sudah siap.Dia memakai sweater berwarna krem dan celana jeans panjang. Wajah cantik dia terlihat lebih ceria dari sebelumnya. Bagaimana tidak? Dia sudah sangat merindukan rumah.Terlalu lama berada
Fajar tampak merasa sedikit keberatan untuk menjawab iya dengan cepat. Bukan karena dirinya tidak percaya dengan Rehan tetapi ada sedikit keraguan mengenai perceraian Rehan dengan mantan istrinya.Pernikahan akan dilaksanakan 3 hari lagi, dan hal tersebut mungkin saja akan mendapatkan pandangan negatif dari beberapa pihak.Agaknya Rehan tahu apa yang dikhawatirkan oleh Fajar. "Paman, saya pastikan Olivia nggak akan mendapatkan cercaan dari siapapun. Orang yang bersangkutan tentang kehidupan pernikahan saya di masa lalu nggak akan hadir di acara pernikahan kami." Orang yang dimaksud oleh lelaki itu tentu saja Amora. Mantan istrinya tidak boleh tahu dan meskipun tahu, wanita itu tidak boleh datang."Paman percayakan hal itu padamu. Tapi, bukan berarti kamu akan lepas dari pengawasan kami."Entah itu candaan atau bukan, Rehan menanggapinya dengan senyum."Tenang saja, Paman, Bibi. Kalian bebas untuk memperhatikan atau mengawasi saya, kok." Rehan sudah sangat percaya diri bahwa ia akan m