Rehan tidak pulang tiga hari berikutnya pada saat yang sama Olivia sudah sadar dari komanya.
Amora sudah pasrah dengan nasib rumah tangganya.
Amora tidak ingin mengunjungi rumah sakit jika hanya untuk makan hati melihat suaminya sendiri merawat temannya dan bahagia karena Olivia sudah sadar.
Cukup menyakitkan bagi Amora dengan sikap suaminya lebih perhatian pada perempuan lain, dibandingkan dia, istrinya sendiri. Bahkan tetangganya mulai kepo dan begitu usil bagaimana rumah tangga Amora dan Rehan menambah depresinya.
Seperti pagi ini, Amora tidak berjalan-jalan lagi untuk menghindari bertemu ibu-ibu Komplek yang suka bergosip. Tapi mereka yang menghampirinya dengan alasan lewat untuk mengusik urusan rumah tangganya.
“Aduh Amora, tenang banget sih kamu di rumah, sementara suami kamu tuh jaga perempuan lain. Nggak sakit hati apa?”
Ibu-ibu komplek baik muda dan tua berdiri di luar pintu pagar rendah rumahnya saat Amora sedang menyiram bunga di halaman.
Amora berpura-pura tidak mendengar dan terus menyiram bunga di tamannya dengan selang air mengabaikan ocehan ibu-ibu komplek yang suka bergosip.
Dia sudah pasrah dengan rumah tangganya dan tidak ingin mendengar mulut usil tetangga mengganggu mentalnya yang sedang hamil.
“Amora, bukan kita usil atau pun kepo dengan urusan rumah tanggamu, tapi kita kasihan sama kamu sedang hamil tapi suami kamu malah jaga perempuan lain.”
“Benar, jadi perempuan harus tegas dan jaga suami sendiri agar nggak direbut oleh perempuan lain.”
“Olivia juga kenapa sih, sudah tahu Rehan punya istri mau-mau aja dirawat suami orang. Apa nggak kasihan dia sama Amora?”
“Emang Olivia sudah siuman?”
“Olivia sudah sadar kemarin pas aku dan suami aku jenguk di rumah sakit. Kamu juga udah tau kan Amora?”
Deg.
Tentu saja Amora tidak tahu. Tidak ada yang memberinya kabar bahwa Olivia sudah siuman.
Dia tetap menunduk menyiram aman bunganya, namun tangannya menggenggam selang air mengencang.
“Aiss, mana mungkin Amora nggak tahu. Kan dia temannya Olivia, pasti tau, dong.”
“Nggak mungkin Olivia kasih tau Amora kalau dia sudah sadar dan Rehan rawat dia sampai bangun. Amora akan marah kalau dia tahu.”
Mereka kemudian cekikikan.
Amora tiba-tiba berdiri dan mengarahkan selang air ke arah ibu-ibu komplek yang bergosip di depan pagarnya.
Mereka berseru kaget dan buru-buru menjauh dari pagar rumah Amora sambil menggerutu.
“Hey! Apa-apan sih Amora siram kita, emang kita tanaman!”
“Bajuku jadi basah padahal aku mau ke gym!”
Amora menatap mereka tanpa ekspresi.
“Maaf, kukira tamanku. Aku nggak sadar kalian berdiri di depan pagar.”
“Tsk, pura-pura aja kamu! emang kita bodoh? Kamu itu ya ...” Salah satu wanita berkata marah.
“Apa kalian nggak ada kerjaan lain suka usil urusan rumah tangga orang?”
“Amora, nggak usah pura-pura nggak dengar kita ngomong apa dari tadi. Kita ngomongin ini demi kebaikan kamu! Kamu hanya ngapain diam di rumah? Tuh si Olivia sudah bangun, hati-hati jangan sampai dia ambil suami kamu!”
“Aku bisa urusan sendiri urusan rumah tanggaku. Tolong pergi, jangan bergosip di depan rumahku.” Amora mengusir mereka dari depan pagarnya.
“Alah, nggak usah sok kuat. Jangan bilang kita nggak ngasih tau kamu kalo Olivia sampai ambil Rehan dan kamu diusir dari rumah ini.”
Ibu-ibu lain mengangguk.
“Tolong pergi!” Amora mendorong mereka keluar dari pintu pagarnya dan hendak menutup pintu pagarnya ketika sebuah mobil berhenti di depan gerbang dan membunyikan klakson.
Ibu-ibu komplek yang ingin marah tiba-tiba menoleh ke arah mobil itu.
“Bukankah itu mobilnya si Rehan?” mereka berbisik menatap mobil itu dengan penasaran.
Amora terkejut melihat mobil Rehan. Apa Rehan sudah pulang?
Dia merasa lega karena Rehan akhirnya pulang dan menutup mulut-mulut ibu-ibu Komplek tukang gosip.
Namun sayang seribu sayang yang keluar dari mobil bukan Rehan, melainkan seorang wanita cantik.
Ekspresi ibu-ibu Komplek berubah aneh melihat wanita itu dan melirik Amora sambil berbisik-berbisik dengan tatapan ingin tahu pada wanita yang keluar dari mobil Rehan
Mengapa ada wanita lain menggunakan mobil suami Amora?
“Amora, siapa perempuan itu? Dia pake mobil suamimu loh ...”
Wajah Amora terlihat pucat dan kecewa. Dia menatap wanita itu dengan ekspresi kaku.
“Rahmi, kenapa kamu datang? Dan kenapa kamu pake mobil suamiku?”
Wanita yang dipanggil Rahmi tersenyum manis.
“Maaf, Rehan yang suruh aku pake mobilnya datang ke rumah untuk ambil baju ganti.”
Amora terdiam dengan wajah pucat.
Sebaliknya ibu-ibu Komplek jadi semakin kepo dan ingin mengorek informasi dari Rahmi.
“Oh, Rehan nggak pulang lagi?”
Rahmi melirik mereka dengan ekspresi ramah sambil mengangguk.
“Iya, soalnya Olivia sudah siuman tapi dia terguncang karena mendengar kematian suaminya. Rehan kasihan takut dia depresi, makanya tetap di rumah sakit jaga Olivia,” katanya lalu melirik Amora.
“Maaf ya Amora, Rehan ingin aku ambil baju gantinya. Bisakah kamu bungkuskan bajunya?” ujarnya dengan ekspresi ramah
Ibu-ibu kompleks mengalihkan pandangan pada Amora, ada tatapan kasihan dan ejekan di mata mereka melihat wajah Amora sangat pucat.
Amora mengepalkannya, namun mencoba memaksakan senyum palsu.
“Tunggu di sini.”
Setelah mengatakan itu dia berbalik dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya meninggalkan tetangga dan wanita bernama Rahmi di luar pagar. Dia tidak membuat Rahmi masuk ke dalam rumahnya.
Mata Rahmi menyipit dengan ekspresi mencemooh di wajahnya menatap punggungnya yang menghilang ke dalam rumah.
“Kasihan ya liat Amora, tapi salah dia sendiri sih biarin suaminya jaga perempuan,” salah satu tetangga Amora berkata.
“Hehe, sudah dibilangi jaga suaminya dia tetap diam aja Rehan di rumah sakit ngerawat Olivia. Liat Rehan jadi semakin perhatian sama Olivia.”
“Amora kenapa juga sebagai istrinya nggak protes dan marah Rehan ngerawat Olivia. Jika itu suamiku aku, sudah aku seret dia pulang dan beri perempuan itu pelajaran untuk jangan ngerayu suami orang.”
Rahmi dengan tenang mendengar percakapan ibu-ibu itu. Namun sudut bibirnya melengkung dengan ekspresi mencemooh.
Amora, Amora, kamu tetap saja pengecut.
“Oh iya, kamu siapanya Rehan kok sampai pake mobilnya Rehan?” Salah satu ibu-ibu itu bertanya pada Rahmi dengan ingin tahu.
Rahmi segera tersenyum memperkenalkan dirinya
“Rahmi, sekretarisnya Rehan.”
“Oh pantes saja.”
Ibu itu berdecak melihat penampilan cantik Rahmi seperti sekretaris pada umumnya dalam tayangan drama di TV.
“Bahkan sekretarisnya sendiri cantik. Aku bertaruh Amora harus lebih sabar.” Dia berbisik pada temannya yang disambut dengan tatapan penuh arti mereka.
Mereka tidak segera pergi dari depan pagar rumah Amora. Mereka tidak ingin melepaskan kesempatan gosip tentang rumah tangga Amora dan Rehan.
Sementara itu Amora di dalam kamar mencoba mati-matian menahan air saat memasukkan pakaian-pakaian penting Rehan ke dalam tas.Jangan menangis, batinnya berbisik.Mengapa rumah tangganya harus berakhir seperti ini?Apa belum cukup pengorbanannya menahan hinaan Ibu mertua dan ketidakpedulian Rehan, suaminya mulai terang-terangan menunjukkan perhatiannya sama Olivia pada orang lain.Bibir Amora bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya keras menahan dirinya agar tidak menangis terus melanjutkan pekerjaan memasukkan pakaian Rehan ke dalam tas.Namun tak bisa dicegah air matanya mengalir di pipi jatuh di atas kemeja Rehan.Dadanya sungguh sesak. Amora mencengkeram erat kemeja Rehan membiarkan air matanya mengalir.Sakit di hatinya sungguh tak tertahankan.Amora mencengkeram erat dadanya di mana sumber rasa sakitnya.Tok, tok, tok.Amora tersentak dan dengan cepat menghapus air matanya.“Siapa?” tanyanya. Suaranya serak.Pintu kamar terbuka dan sosok wanita cantik muncul sambil tersenyum mani
“Kamu harus menjaga emosi Anda saat lagi hamil. Emosi ibu berpengaruh pada jabang bayi. Beruntung Anda hanya mengalami komplikasi ringan hingga tidak menyebabkan keguguran,” omel seorang dokter wanita pada Amora yang berbaring di tempat tidur pasien.Aria mendengar penjelasan sambil memejamkan mata.“Aku tahu Dokter, terima kasih,” bisiknya dengan suara lemah.Dokter meliriknya lalu menyerahkan grafik medis pada asistennya dan menyuruhnya keluar.“Apa yang sebenarnya terjadi sampai tertekan seperti ini?”Amora tidak menjawab hanya menutupi matanya dengan lengannya.“Pada saat kondisimu seperti ini, mengapa suamimu tidak datang?” lanjut Dokter tidak melihat pria yang menjadi suami Amora di mana pun. Saat dia datang pun, Amora hanya ditemani oleh pembantu rumah tangga.Dia bahkan tidak melihat keluarga mertua Amora.Amora masih menjawab, namun dokter itu melihat pundaknya sedikit bergetar.“Amora, apa yang terjadi? Kamu nangis?” Dia mencoba menarik tangan Amora agar dia bisa melihat waj
Di tempat lain, Rehan yang berada di ruang rawat Olivia. Wanita itu sudah sadar, tetapi keadaannya masih terlihat lemah dan pucat masih berduka setelah menerima berita kematian suaminya.Rehan senantiasa menemani dan merawat agar Olivia tidak terpuruk setelah menerima berita kematian Liam.“Via, makanlah ….” Di samping ranjang Rehan menyodorkan sesuap sendok bubur.Olivia menoleh wajah pucat sambil tersenyum lemah. “Rehan, terima kasih sudah merawatku selama beberapa hari ini. Tapi apa kamu tidak lelah? Mengapa kamu tidak pulang? Amora pasti mengkhawatirkanmu,” ujarnya sedikit cemas karena Rehan sudah beberapa hari ini tidak pulang dan merawatnya di rumah sakit.“Apa Amora tahu kamu sudah merawatku selama ini, dia tidak marah?” lanjut Olivia berkata dengan pelan.Selama Rehan merawatnya, dia tidak melihat sahabatnya, Amora datang mengunjunginya ketika sadar dari koma.Rehan berkata acuh tak acuh.“Jangan khawatirkan tentang Amora.”Olivia mengerutkan keningnya.“Mengapa ka
Amora memedam kekecewaannya karena Rehan mengangkat teleponnya dan mengabaikan pesan-pesannya.Amora akhirnya hanya menghubungi pembantunya untuk menjemput. Dia sudah menyerah dengan berharap kalau Rehan akan datang ke sini. Jangankan datang, lelaki itu bahkan tidak membaca pesan yang dia kirim. Mungkin terlalu asyik dengan wanita itu, batin Amora merana.Sungguh menyedihkan. Baik suami mau pun ibu mertuanya, tidak ada yang peduli. Amora pasrah. Dipikir-pikir sejak pernikahannya dengan Rehan, memang tidak ada yang bisa diharapkan. Kebahagiaan? Memangnya ada istilah itu dalam rumah tangga yang pernikahannya saja karena terpaksa?Namun, meskipun Amora sadar betul akan hal itu, dia tidak bisa untuk mundur. Pernikahan ini memang tidak diharapkan oleh Rehan, tetapi tidak dengan dirinya. Anak yang tengah dikandung memerlukan sosok ayah dan dirinya juga teramat mencintai lelaki itu.Amora sebelumnya tidak tahu kalau Rehan memiliki perasaan lebih kepada Olivia, tetapi setelah
“Kamu ngapain ada di sini?” tanya Rehan bingung bercampur kesal melihatnya.Ucapan itu membuat sang ibu mertua juga sadar dan kini menatap menantunya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sorot matanya saja sudah jelas ketidaksukaannya saat melihat Amora.“Aku … aku mau jenguk Olivia.” Tepat setelah Amora mengatakan itu, perawat tadi berpamitan usai melakukan tugasnya. Amora melanjutkan, “Apa … dia baik-baik aja?” Sofia mengendus sinis. “Kalau kamu ke sini mau buat keributan, jangan harap! Mending pulang aja, sana!” Amora mengelak, “Enggak, Bu. Aku cuma mau lihat kondisinya aja.”Saat Sofia akan mengatakan hal lain, Rehan lebih dulu bersuara, “Dia lagi butuh banyak istirahat. Kamu bisa ketemu dia nanti.” Suaranya dingin dan menusuk, bahkan setelah mengatakan itu, dia berpaling dari menatap istrinya, kembali memerhatikan Olivia yang dalam pengaruh obat penenang.Amora tidak bisa untuk tidak merasa sakit saat ini. Mereka memperlakukan dirinya sangat bertolak belakan
"Jangan banyak menuntut dariku karena alasanku untuk menikahimu tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan dan tanggung jawab untuk menjaga hatimu. Memiliki status sebagai istriku saja sudah lebih dari cukup. Jangan mencoba-coba untuk serakah!"Serakah katanya? Apakah meminta hak adalah bentuk keserakahan? Bukankah aku juga patut untuk diperjuangkan? Mengapa posisinya selalu saja salah dimata orang lain? Amora membua nafasnya kasar dan menghapus air matanya. "Kalau kamu memang nggak peduli sama aku, paling nggak pedulikan anakmu."Rehan tiba-tiba tertawa dingin, tawa itu menunjukkan betapa dia muak mendengar semua ucapan istrinya. "Selalu saja itu yang menjadi alasanmu untuk menuntut ini dan itu dariku. Anak yang kamu bahkan kandung bukanlah anak yang diharapkan! Anak perempuan hanya menjadi beban, nggak layak untuk menjadi pewaris keluarga Dwipangga!”Entah harus berapa banyak ucapan yang menyakitkan harus Amora terima. Yang barusan Rehan katakan sungguh di luar dari dugaan
Sofia yang baru datang dari toilet menghampiri Rehan yang sedang duduk di bangku panjang depan kamar rawat Olivia. "Kamu kenapa ada di luar?"Lelaki itu tampak sedikit terkesiap. "Oh, di dalam ada Amora yang lagi bicara sama Oliva.""Terus kenapa kamu malah keluar?""Oliva sendiri yang minta aku buat keluar, Bu." Suaranya terdengar agak kesal karena ibunya terus menyerangnya dengan pertanyaan yang sama.Wanita yang menyanggul rambutnya itu mendesah panjang, kemudian dia beralih duduk di samping putranya."Kalau dia macam-macam sama Oliv gimana?" Ucapannya penuh tuduhan.Di dalam benak Rehan, sebenarnya dia tidak begitu yakin apa yang akan dibicarakan sang istri kepada wanita yang dia sayangi.Amora tidak mungkin melakukan hal yang nekad, tetapi hatinya tetap saja tidak tenang. "Kalau Amora sampai berbuat buruk sama Oliva, aku nggak akan melepaskanya,” desisnya mengerutkan keningnyamSofia terlihat puas mendengarnya. "Ngomong-ngomong soal istrimu, aku rasa dia cemburu karena kamu terus
Sementara itu, di dalam ruang rawat suasana masih canggung bagi Amora dan Olivia.“Aku minta maaf karena sudah membuat Rehan terus berada di sisiku,” kata Olivia lagi, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicara. Olivia berusaha untuk mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa disangka Amora bangkit dan membatunya dengan menaruh bantal di punggung agar Olivia bisa bersandar.“Terima kasih—eum … kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan. Apa itu?”Amora membalas datar. Tidak ingin terburu-buru mencerca Olivia karena terlalu banyak mengambil perhatian suaminya sebab mental wanita itu belum stabil.“Tentang kamu. Gimana kondisi kamu sekarang?”Raut wajah Olivia langsung berubah sendu.“Ah, itu … aku rasa kamu udah dengar sebagian tentangku, ‘kan?” Dia tersenyum muram, matanya tidak bisa menyembunyikan betapa dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis.Setiap kali mengingat tentang suaminya, seperti ada yang menekan keras dada wanita itu hingga rasanya akan hancur seketika.