Sofia yang baru datang dari toilet menghampiri Rehan yang sedang duduk di bangku panjang depan kamar rawat Olivia. "Kamu kenapa ada di luar?"Lelaki itu tampak sedikit terkesiap. "Oh, di dalam ada Amora yang lagi bicara sama Oliva.""Terus kenapa kamu malah keluar?""Oliva sendiri yang minta aku buat keluar, Bu." Suaranya terdengar agak kesal karena ibunya terus menyerangnya dengan pertanyaan yang sama.Wanita yang menyanggul rambutnya itu mendesah panjang, kemudian dia beralih duduk di samping putranya."Kalau dia macam-macam sama Oliv gimana?" Ucapannya penuh tuduhan.Di dalam benak Rehan, sebenarnya dia tidak begitu yakin apa yang akan dibicarakan sang istri kepada wanita yang dia sayangi.Amora tidak mungkin melakukan hal yang nekad, tetapi hatinya tetap saja tidak tenang. "Kalau Amora sampai berbuat buruk sama Oliva, aku nggak akan melepaskanya,” desisnya mengerutkan keningnyamSofia terlihat puas mendengarnya. "Ngomong-ngomong soal istrimu, aku rasa dia cemburu karena kamu terus
Sementara itu, di dalam ruang rawat suasana masih canggung bagi Amora dan Olivia.“Aku minta maaf karena sudah membuat Rehan terus berada di sisiku,” kata Olivia lagi, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicara. Olivia berusaha untuk mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa disangka Amora bangkit dan membatunya dengan menaruh bantal di punggung agar Olivia bisa bersandar.“Terima kasih—eum … kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan. Apa itu?”Amora membalas datar. Tidak ingin terburu-buru mencerca Olivia karena terlalu banyak mengambil perhatian suaminya sebab mental wanita itu belum stabil.“Tentang kamu. Gimana kondisi kamu sekarang?”Raut wajah Olivia langsung berubah sendu.“Ah, itu … aku rasa kamu udah dengar sebagian tentangku, ‘kan?” Dia tersenyum muram, matanya tidak bisa menyembunyikan betapa dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis.Setiap kali mengingat tentang suaminya, seperti ada yang menekan keras dada wanita itu hingga rasanya akan hancur seketika.
Olivia berjengit keget saat Amora membentaknya. Dia bisa melihat tatapan penuh amarah dari temannya itu. “A-Amora—““Kamu pikir hanya kamu yang menderita di sini?! Apa yang merasukimu sampai berpikiran ingin mati, padahal ada janin yang hidup di perutmu?!” Amora tidak bisa menahan emosinya lagi. Entah ini semua murni amarahnya karena tidak habis pikir dengan cara berpikir Olivia, atau ini semua dipicu akibat rasa sakit hatinya mengenai Rehan.“Kamu nggak tahu perasaanku, Amora!” Olivia membalas dengan suara parau akibat tangis. “Kamu nggak akan tahu karena nggak berada di posisi aku!”“Terus? Apa itu artinya kamu yang paling berhak untuk memutuskan ingin mati atau nggak?” balas Amora tajam. “Apa salah janin itu sampai kamu bisa berpikir untuk mati?” Dia membuang nafas kasar. “Aku bicara seperti ini bukan karena peduli padamu.” Tatapannya mulai merendah, tidak setajam seperti sebelumnya.“Memangnya apa yang bisa diharapkan dari orang sepertimu? Kamu hanya mementingkan diri sendiri,
Wanita paruh baya tersebut menghampiri Amora yang wajahnya sudah memucat.Amora bukan merasa gentar, tetapi rasa sakit di perutnya semakin lama semakin sakit.Ada yang tidak beres di sini. Dia tidak menjawab, bahkan saat tatapan tajam Sofia menjurus padanya.“Kenapa diam aja, hah?!” Merasa geram, Sofia mengangkat tangannya, seakan hendak memukul sang menantu. Namun Rehan tiba-tiba menahan rangannya.“Lepas, Rehan! Ibu mau kasih wanita nggak tahu diri ini pelajaran setimpal!”“Bu, tenang dulu!” Rehan beralih menghadang ibunya, berdiri di antara Sofia dan Amora, seakan-akan dia adalah tameng perlindungan istrinya.“Apa-apaan kamu ini?! Sekarang kamu membela istrimu?!”“Ya, dia istriku!” serunya menjawab dengan lantang.Semua orang yang berada di ruangan itu tampak terkejut, terutama Amora.Dia merasa heran sekaligus terkejut dengan sikap Rehan yang mendadak berpihak padanya.“Karena itulah biarkan aku yang mengurusnya, Bu. Ibu nggak perlu ikut campur.”Masih dilanda keterkejutan, Sofia
Di saat itu, keluarga Olivia datang. Tuan dan Nyonya Kusuma tampak heran karena suasana ruangan yang suram dan hening.“Ada apa ini?” tanya ibu Olivia yang berjalan mendekati ranjang putrinya.Di tangan wanita separuh baya itu ada buket bunga kesukaan Olivia.Tidak ada yang menjawab, Rehan sendiri masih terlihat emosi dengan matanya yang memerah.“Lebih baik kamu cepat pergi dari sini, Amora!” Sofia bersuara keras dan kasar mengusir Amora, takut Tuan dan Nyonya Kusuma terganggu dengannya.“Jangan berani-berani lagi mengganggu Olivia yang sedang sakit! Tega sekali kamu berbicara hal buruk sampai membuat kondisi psikis Oliv down lagi.” Dia mengatakan kata-kata itu dengan sengajam. Itu memang sengaja dia lakukan untuk semakin memojokkan menantunya.Tentu saja kedua orang tua Olivia terkejut dan sang ibu langsung memeluk putrinya. Dia menatap Amora dengan marah.“Apa yang kamu lakukan padanya?!”Amora tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang menyedihkan.Sofia yang merasa gemas kar
Rehan diam di tempatnya. Ibu-ibu tadi mencelanya sekali lagi sebelum pergi.Sofia segera menghampirinyam“Dia cuma nyari perhatian aja! Ibu yakin kalau dia pura-pura pingsan.” Sofia mengendus saat Amora dibawa oleh perawat.Rehan hanya menatap sambil bersedekap. “Dia ke sini cuma cari masalah aja. Benar-benar nggak tahu diuntung!” Kepalanya menggeleng kesal.“Kamu tadi bilang ke perawat kalau kamu suaminya, ‘kan? Bukannya kamu perlu ikut mereka juga?” Sofia mengendikkan kepala ke arah di mana Amora dibawa oleh tenaga medis.Rehan mendesah agak kesal. Dia semakin lama semakin muak dengan tingkah Amora.Di dalam ruangan rawat ada keluarga Olivia, ini saat yang tepat untuk menarik perhatian mereka, tetapi karena istrinya, dia harus terpaksa pergi. “Aku cuma mau dengar omongan dokter aja.”“Nggak perlu berlama-lama. Kalau udah dengerin diagnosis atau beli obat, langsung ke sini aja. Ibu mau ngobrol sama orang tua Olivia selagi kamu nggak ada.”Rehan memang berniat begitu. Tidak mau berla
“Ini bukan saatnya kamu mengkhawatirkan keadaan orang lain. Kamu sendiri sedang sakit, pikirkan aja kesembuhanmu.” Rehan yang duduk di samping ranjang Olivia melipat tangannya di depan dada dan menyandarkan punggung. Matanya terpejam saat menjawab pertanyaan tadi.“Mau bagaimanapun, dia jadi seperti itu karenaku, Rehan,” ujarnya lirih.Rehan menghela panjang. “Dia yang memulainya, ‘kan? Nggak perlu menyembunyikan kesalahan orang lain. Dia sakit karena dirinya sendiri. Sudahlah, aku nggak mau membahas soal dia lagi. Lagian dia cuma pingsan aja, kok.”Olivia masih dirundung rasa bersalah. “Apa yang dikatakan Amora memang benar.”Rehan yang berniat untuk memjamkan mata, kini mengurungkan niatnya. “Apa maksudmu?”“Tentang aku yang lemah psikis dan fisik. Secara nggak langsung juga aku yang udah buat kamu jadi jauh darinya. Aku … aku jahat banget, iya, ‘kan?”“Oliv—““Aku tahu, kehadiranku hanya menjadi beban bagi semua orang. Aku menyakiti orang yang nggak seharusnya. Amora … aku sudah me
"Seperti yang disarankan oleh dokter, Anda bisa pulang." Suster itu mengangguk."Obat sudah ditebus oleh suami Anda tetapi sampai saat ini saya belum sudah melihat keberadaan suami Anda."Hal itu tidak lantas membuat Amora merasa terkejut. Sudah mau menebus obatnya saja bisa dikatakan untung.Saat ini suaminya tersebut mungkin sedang berada di kamar rawat Olivia.Lucu sekali, bahkan saat istrinya dalam keadaan tidak sadar Rehan masih memilih untuk tetap berada di sisi wanita lain.Setelah selesai dengan pekerjaannya, Suster itu pun melangkah pergi.Amora mencari ponselnya guna untuk menghubungi Rehan.Paling tidak lelaki itu harus mengantarnya pulang, kalau bisa sekalian agar Rehan ikut pulang dan tidur di rumah. Tapi itu hanya harapannya.Seperti yang dia duga, panggilannya tidak diangkat. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah pergi menuju ke ruang rawat Olivia untuk menemui Rehan.Meski sudah diperlakukan dengan kasar dan makan hati, Amora memaksakan dirinya untuk mendatangi kamar