Di saat itu, keluarga Olivia datang. Tuan dan Nyonya Kusuma tampak heran karena suasana ruangan yang suram dan hening.“Ada apa ini?” tanya ibu Olivia yang berjalan mendekati ranjang putrinya.Di tangan wanita separuh baya itu ada buket bunga kesukaan Olivia.Tidak ada yang menjawab, Rehan sendiri masih terlihat emosi dengan matanya yang memerah.“Lebih baik kamu cepat pergi dari sini, Amora!” Sofia bersuara keras dan kasar mengusir Amora, takut Tuan dan Nyonya Kusuma terganggu dengannya.“Jangan berani-berani lagi mengganggu Olivia yang sedang sakit! Tega sekali kamu berbicara hal buruk sampai membuat kondisi psikis Oliv down lagi.” Dia mengatakan kata-kata itu dengan sengajam. Itu memang sengaja dia lakukan untuk semakin memojokkan menantunya.Tentu saja kedua orang tua Olivia terkejut dan sang ibu langsung memeluk putrinya. Dia menatap Amora dengan marah.“Apa yang kamu lakukan padanya?!”Amora tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang menyedihkan.Sofia yang merasa gemas kar
Rehan diam di tempatnya. Ibu-ibu tadi mencelanya sekali lagi sebelum pergi.Sofia segera menghampirinyam“Dia cuma nyari perhatian aja! Ibu yakin kalau dia pura-pura pingsan.” Sofia mengendus saat Amora dibawa oleh perawat.Rehan hanya menatap sambil bersedekap. “Dia ke sini cuma cari masalah aja. Benar-benar nggak tahu diuntung!” Kepalanya menggeleng kesal.“Kamu tadi bilang ke perawat kalau kamu suaminya, ‘kan? Bukannya kamu perlu ikut mereka juga?” Sofia mengendikkan kepala ke arah di mana Amora dibawa oleh tenaga medis.Rehan mendesah agak kesal. Dia semakin lama semakin muak dengan tingkah Amora.Di dalam ruangan rawat ada keluarga Olivia, ini saat yang tepat untuk menarik perhatian mereka, tetapi karena istrinya, dia harus terpaksa pergi. “Aku cuma mau dengar omongan dokter aja.”“Nggak perlu berlama-lama. Kalau udah dengerin diagnosis atau beli obat, langsung ke sini aja. Ibu mau ngobrol sama orang tua Olivia selagi kamu nggak ada.”Rehan memang berniat begitu. Tidak mau berla
“Ini bukan saatnya kamu mengkhawatirkan keadaan orang lain. Kamu sendiri sedang sakit, pikirkan aja kesembuhanmu.” Rehan yang duduk di samping ranjang Olivia melipat tangannya di depan dada dan menyandarkan punggung. Matanya terpejam saat menjawab pertanyaan tadi.“Mau bagaimanapun, dia jadi seperti itu karenaku, Rehan,” ujarnya lirih.Rehan menghela panjang. “Dia yang memulainya, ‘kan? Nggak perlu menyembunyikan kesalahan orang lain. Dia sakit karena dirinya sendiri. Sudahlah, aku nggak mau membahas soal dia lagi. Lagian dia cuma pingsan aja, kok.”Olivia masih dirundung rasa bersalah. “Apa yang dikatakan Amora memang benar.”Rehan yang berniat untuk memjamkan mata, kini mengurungkan niatnya. “Apa maksudmu?”“Tentang aku yang lemah psikis dan fisik. Secara nggak langsung juga aku yang udah buat kamu jadi jauh darinya. Aku … aku jahat banget, iya, ‘kan?”“Oliv—““Aku tahu, kehadiranku hanya menjadi beban bagi semua orang. Aku menyakiti orang yang nggak seharusnya. Amora … aku sudah me
"Seperti yang disarankan oleh dokter, Anda bisa pulang." Suster itu mengangguk."Obat sudah ditebus oleh suami Anda tetapi sampai saat ini saya belum sudah melihat keberadaan suami Anda."Hal itu tidak lantas membuat Amora merasa terkejut. Sudah mau menebus obatnya saja bisa dikatakan untung.Saat ini suaminya tersebut mungkin sedang berada di kamar rawat Olivia.Lucu sekali, bahkan saat istrinya dalam keadaan tidak sadar Rehan masih memilih untuk tetap berada di sisi wanita lain.Setelah selesai dengan pekerjaannya, Suster itu pun melangkah pergi.Amora mencari ponselnya guna untuk menghubungi Rehan.Paling tidak lelaki itu harus mengantarnya pulang, kalau bisa sekalian agar Rehan ikut pulang dan tidur di rumah. Tapi itu hanya harapannya.Seperti yang dia duga, panggilannya tidak diangkat. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah pergi menuju ke ruang rawat Olivia untuk menemui Rehan.Meski sudah diperlakukan dengan kasar dan makan hati, Amora memaksakan dirinya untuk mendatangi kamar
"Itu bukan urusanmu! Nggak ada cinta dalam hubungan kita dan kamu nggak berhak mengaturku untuk dekat dengan siapa dan bagaimana caraku untuk memperlakukanmu. Amora, tolong sadar diri dan tahu posisimu saat ini!"Kepalanya menggeleng. "Gimanapun juga aku tetap istri sah kamu." Dia tetap bersikukuh."Rehan, pulanglah bersamaku, hm? Kamu nggak pulang beberapa hari inj." Tangannya terulur meraih tangan suaminya. Namun, dalam sekejap Amora ditepis kasar."Wah, bener-bener mengesalkan!" Dia mengajak rambutnya frustrasi."Sudah kubilang urus dirimu sendiri? Aku nggak peduli! Pergi aja sendiri! Toh, kamu juga ke sininya sendirian, 'kan? Gak usah manja, aku di sini mau jagain Olivia."Meski ucapan Rehan sangat jelas dan menusuk hatinya, Amora tidak mau kalah telak seperti ini, apalagi membiarkan Rehan bermesraan dengan Olivia.Dia melembutkan suaranya memohon pada pria itu."Aku mau kamu pulang. Kamu pasti lelah, kan terus berjaga seharian di rumah sakit? Olivia juga punya keluarga, saudara d
Segala tentang Amora seolah terlembar keluar dari kepalanya."Aku pikir kamu akan pulang dengan istrimu.""Gimana aku bisa pulang kalau kamu aja masih di sini?"Olivia tertunduk meremas tangannya."Tapi bagaimanapun juga, kamu adalah suaminya dan Amora pasti lebih membutuhkanmu daripada aku. Kamu lihat sendiri tadi wajahnya aja pucat." Sinar matanya menyiratkan rasa kekhawatiran yang tulus, tetapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan iri ketika melihat Rehan dan istrinya pergi bersama tadi. Itulah yang membuatnya merasa menjadi orang jahat di antara hubungan suami istri itu."Dia nggak mungkin pergi sendirian, pasti bakalan menelepon supir. Kamu yang sekarang sendirian jadi aku nemenin kamu aja." Rehan kembali duduk."Sudah kubilang nggak usah mengkhawatirkan orang lain--"Selanjutnya Olivia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Rehan karena pikirannya terus dihantui dengan rasa bersalah tetapi juga tidak ingin ditinggalkan.Perasaan seperti ini lebih mendorongnya untu
Lelaki itu menyentak lengan Amora hingga terlepas dari genggamannya. Hampir saja Amora jatuh tersungkur jika saja tidak berpegangan pada kepala sofa.Saat ini mereka memang sedang berada di ruang tengah, lantai bawah.Amora yang dari kamar mendengar suara Rehan berseru mencarinya dengan bertanya pada pelayan, bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Dia pikir akan menjadi hal yang baik karena pada akhirnya Rehan memilih untuk pulang, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Lelaki itu membawa surat cerai.Betapa hancur hati Amora sampai tidak bisa terdefinisikan dengan kata-kata. Seakan tak ada lagi sisa kepingan yang hancur untuk bisa dia satukan kembali. Amora marah, kecewa, sedih dan putus asa. Tidakkah Rehan bisa melihat itu dari mata isterinya?"Aku yang paling tahu gimana perasaanku, Amora! Kasihan? Asal kamu tahu aja, udah lama aku menyukainya, tapi keadaan nggak mendukung. Berhenti menyalahkan orang lain! Aku menceraikamu karena aku sudah muak. Aku yakin lelaki di lu
"Dengan cara apa lagi agar kamu bisa ngerti kalau aku nggak cinta sama kamu?! Aku muak melihat wajahmu dan setiap aku lihat wajahmu itu rasanya mual! Masih belum ngerti juga?!"Air matanya yang meluruh sejak tadi kini semakin deras. Tidak ada isak tangis, tetapi tatapan itu sudah mengertikan segalanya. Amora menggeleng."Jangan ceraikan aku. Aku mohon, Rehan ....""Sial! Melihatmu memohon justru membuatku ingin segera melepasmu dari hidupku!"Saat itu juga Rehan menyentak dengan gerakan sedikit mendorong lengan Amora hingga membuat wanita itu hilang keseimbangan.“Kyaaa ….” Dia mencoba meraih tangan Rehan namun ditepis oleh pria itu.Amora menarapnya nanar ketika tubuhnya limbung dan berakhir meluncur ke bawah.Amora jatuh berguling dari tangga hingga kepalanya berdarah.Amora meringis kesakitan memegang perutnya merasakan rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Dia melirik perutnya dan ketakutan melihat darah mengalir di pahanya.“Aaakhh! Bayiku!” Dia memeluk perutnya kesakitan. Air