"Seperti yang disarankan oleh dokter, Anda bisa pulang." Suster itu mengangguk."Obat sudah ditebus oleh suami Anda tetapi sampai saat ini saya belum sudah melihat keberadaan suami Anda."Hal itu tidak lantas membuat Amora merasa terkejut. Sudah mau menebus obatnya saja bisa dikatakan untung.Saat ini suaminya tersebut mungkin sedang berada di kamar rawat Olivia.Lucu sekali, bahkan saat istrinya dalam keadaan tidak sadar Rehan masih memilih untuk tetap berada di sisi wanita lain.Setelah selesai dengan pekerjaannya, Suster itu pun melangkah pergi.Amora mencari ponselnya guna untuk menghubungi Rehan.Paling tidak lelaki itu harus mengantarnya pulang, kalau bisa sekalian agar Rehan ikut pulang dan tidur di rumah. Tapi itu hanya harapannya.Seperti yang dia duga, panggilannya tidak diangkat. Dia beranjak dari ranjang dan melangkah pergi menuju ke ruang rawat Olivia untuk menemui Rehan.Meski sudah diperlakukan dengan kasar dan makan hati, Amora memaksakan dirinya untuk mendatangi kamar
"Itu bukan urusanmu! Nggak ada cinta dalam hubungan kita dan kamu nggak berhak mengaturku untuk dekat dengan siapa dan bagaimana caraku untuk memperlakukanmu. Amora, tolong sadar diri dan tahu posisimu saat ini!"Kepalanya menggeleng. "Gimanapun juga aku tetap istri sah kamu." Dia tetap bersikukuh."Rehan, pulanglah bersamaku, hm? Kamu nggak pulang beberapa hari inj." Tangannya terulur meraih tangan suaminya. Namun, dalam sekejap Amora ditepis kasar."Wah, bener-bener mengesalkan!" Dia mengajak rambutnya frustrasi."Sudah kubilang urus dirimu sendiri? Aku nggak peduli! Pergi aja sendiri! Toh, kamu juga ke sininya sendirian, 'kan? Gak usah manja, aku di sini mau jagain Olivia."Meski ucapan Rehan sangat jelas dan menusuk hatinya, Amora tidak mau kalah telak seperti ini, apalagi membiarkan Rehan bermesraan dengan Olivia.Dia melembutkan suaranya memohon pada pria itu."Aku mau kamu pulang. Kamu pasti lelah, kan terus berjaga seharian di rumah sakit? Olivia juga punya keluarga, saudara d
Segala tentang Amora seolah terlembar keluar dari kepalanya."Aku pikir kamu akan pulang dengan istrimu.""Gimana aku bisa pulang kalau kamu aja masih di sini?"Olivia tertunduk meremas tangannya."Tapi bagaimanapun juga, kamu adalah suaminya dan Amora pasti lebih membutuhkanmu daripada aku. Kamu lihat sendiri tadi wajahnya aja pucat." Sinar matanya menyiratkan rasa kekhawatiran yang tulus, tetapi dia juga tidak bisa memungkiri bahwa ada perasaan iri ketika melihat Rehan dan istrinya pergi bersama tadi. Itulah yang membuatnya merasa menjadi orang jahat di antara hubungan suami istri itu."Dia nggak mungkin pergi sendirian, pasti bakalan menelepon supir. Kamu yang sekarang sendirian jadi aku nemenin kamu aja." Rehan kembali duduk."Sudah kubilang nggak usah mengkhawatirkan orang lain--"Selanjutnya Olivia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Rehan karena pikirannya terus dihantui dengan rasa bersalah tetapi juga tidak ingin ditinggalkan.Perasaan seperti ini lebih mendorongnya untu
Lelaki itu menyentak lengan Amora hingga terlepas dari genggamannya. Hampir saja Amora jatuh tersungkur jika saja tidak berpegangan pada kepala sofa.Saat ini mereka memang sedang berada di ruang tengah, lantai bawah.Amora yang dari kamar mendengar suara Rehan berseru mencarinya dengan bertanya pada pelayan, bergegas turun untuk menyambut kedatangan suaminya. Dia pikir akan menjadi hal yang baik karena pada akhirnya Rehan memilih untuk pulang, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Lelaki itu membawa surat cerai.Betapa hancur hati Amora sampai tidak bisa terdefinisikan dengan kata-kata. Seakan tak ada lagi sisa kepingan yang hancur untuk bisa dia satukan kembali. Amora marah, kecewa, sedih dan putus asa. Tidakkah Rehan bisa melihat itu dari mata isterinya?"Aku yang paling tahu gimana perasaanku, Amora! Kasihan? Asal kamu tahu aja, udah lama aku menyukainya, tapi keadaan nggak mendukung. Berhenti menyalahkan orang lain! Aku menceraikamu karena aku sudah muak. Aku yakin lelaki di lu
"Dengan cara apa lagi agar kamu bisa ngerti kalau aku nggak cinta sama kamu?! Aku muak melihat wajahmu dan setiap aku lihat wajahmu itu rasanya mual! Masih belum ngerti juga?!"Air matanya yang meluruh sejak tadi kini semakin deras. Tidak ada isak tangis, tetapi tatapan itu sudah mengertikan segalanya. Amora menggeleng."Jangan ceraikan aku. Aku mohon, Rehan ....""Sial! Melihatmu memohon justru membuatku ingin segera melepasmu dari hidupku!"Saat itu juga Rehan menyentak dengan gerakan sedikit mendorong lengan Amora hingga membuat wanita itu hilang keseimbangan.“Kyaaa ….” Dia mencoba meraih tangan Rehan namun ditepis oleh pria itu.Amora menarapnya nanar ketika tubuhnya limbung dan berakhir meluncur ke bawah.Amora jatuh berguling dari tangga hingga kepalanya berdarah.Amora meringis kesakitan memegang perutnya merasakan rasa sakit yang luar biasa di perutnya. Dia melirik perutnya dan ketakutan melihat darah mengalir di pahanya.“Aaakhh! Bayiku!” Dia memeluk perutnya kesakitan. Air
Amora dibawa ke rumah sakit ditemani Bu Minah, Bibi pembantu. Wanita paruh baya itu sudah mencoba untuk menghubungi Rehan, tetapi belum mendapat tanggapan sama sekali. Dia juga berusaha untuk menghubungi Sofia dan hal yang sama pun terjadi.Dia tidak habis pikir dengan keluarga Dwipangga.Sikap mereka benar-benar tak acuh dengan Amora, lebih parah adalah Rehan yang notabene adalah suami wanita itu.Kabar buruk tentang insiden tadi malam mengakibatkan jabang bayi Amora tak dapat diselamatkan. Bibi Mina hanya bisa mengabari Rehan dan keluarga mertua Amora tentang kabar itu.Sementara itu, Amora masih dalam pengaruh obat tidur.Entah reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan majikannya tersebut. Bibi Minah kasihan padanyaKarena Bibi Minah mengira Amora akan membutuhkan beberapa barang seperti baju ganti, dia pulang sebentar. Agak tidak tega meninggalkan wanita itu seorang diri, tetapi berhubung Amora belum sadar, Bibi Minah rasa tidak masalah.Amora ditinggal sendirian di ruang rawat it
Dokter yang melihat kondisi pasiennya hanya bisa menghela nafas berat. Pasti sulit untuk menerima kabar ini."Anda butuh istirahat untuk pemulihan. Tetap tabah dan jangan putus asa, Bu Amora." Hanya itu yang bisa dia katakan sebelum akhirnya berpamitan.Tidak lupa dia mengingatkan suster yang berjaga untuk mengawasi kondisi pasiennya karena ada kemungkinan kalau wanita itu bisa depresi berat.Kabar ini berkali-kali lipat membuat hati Amora hancur tak berkeping kehilangan bayi yang sudah dinantikannya. Dia marah sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. Ada banyak yang dia sesali, tetapi semuanya terlambat karena buah hatinya telah tiada.Amora menggertak gigi mencengkeram dadanya, air mata mengalir di pipinya mengingat bagaimana dia kehilangan bayinya yang tak lain disebabkan oleh suaminya sendiri.Pria itu hanya menatapnya dingin di atas tangga dan meninggalkannya."Mengapa ...." Isak tangis di bangsal rumah sakit tersebut mulai memenuhi ruangan.Kemarahan, kesedihan, pengkhianatan sert
"Kurasa dia butuh waktu untuk setuju. Tapi, kamu nggak usah khawatir, dia nggak akan bisa berbuat apa-apa karena aku akan tidak akan menarik kembali kata-kata dan tindakanku.""Kenapa bicaramu kesannya aku kayak selingkuhan kamu?! Aku bukan khawatir sama kamu, tapi Amora!"Rehan mengdengus mendengarnya. "Katanya kamu sahabatku, harusnya senang, dong kalau aku juga senang dan harusnya kamu membelaku bukan membela dia," protesnya.Terlalu memusingkan bagi Olivia untuk membahas permasalahan ini lebih lama. Jadi, dia bertanya pada hal lain."Kamu setiap hari ada di sini, terus gimana pekerjaan kamu di kantor?""Apa gunanya sekretaris kalau aku terus yang harus bekerja?""Tapi sekretaris ada untuk membantu kamu. Bagaimanapun juga kamu pimpin perusahaan," ujar Olivia menasihati."Mau gimana pun, kamu pimpinan dan yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka, para karyawanmu.""Iya, deh ...." Karena sadar bahwa dirinya tidak akan pernah menang ketika berdebat dengan Olivia."Aku pasti bakalan bal