Dokter yang melihat kondisi pasiennya hanya bisa menghela nafas berat. Pasti sulit untuk menerima kabar ini."Anda butuh istirahat untuk pemulihan. Tetap tabah dan jangan putus asa, Bu Amora." Hanya itu yang bisa dia katakan sebelum akhirnya berpamitan.Tidak lupa dia mengingatkan suster yang berjaga untuk mengawasi kondisi pasiennya karena ada kemungkinan kalau wanita itu bisa depresi berat.Kabar ini berkali-kali lipat membuat hati Amora hancur tak berkeping kehilangan bayi yang sudah dinantikannya. Dia marah sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. Ada banyak yang dia sesali, tetapi semuanya terlambat karena buah hatinya telah tiada.Amora menggertak gigi mencengkeram dadanya, air mata mengalir di pipinya mengingat bagaimana dia kehilangan bayinya yang tak lain disebabkan oleh suaminya sendiri.Pria itu hanya menatapnya dingin di atas tangga dan meninggalkannya."Mengapa ...." Isak tangis di bangsal rumah sakit tersebut mulai memenuhi ruangan.Kemarahan, kesedihan, pengkhianatan sert
"Kurasa dia butuh waktu untuk setuju. Tapi, kamu nggak usah khawatir, dia nggak akan bisa berbuat apa-apa karena aku akan tidak akan menarik kembali kata-kata dan tindakanku.""Kenapa bicaramu kesannya aku kayak selingkuhan kamu?! Aku bukan khawatir sama kamu, tapi Amora!"Rehan mengdengus mendengarnya. "Katanya kamu sahabatku, harusnya senang, dong kalau aku juga senang dan harusnya kamu membelaku bukan membela dia," protesnya.Terlalu memusingkan bagi Olivia untuk membahas permasalahan ini lebih lama. Jadi, dia bertanya pada hal lain."Kamu setiap hari ada di sini, terus gimana pekerjaan kamu di kantor?""Apa gunanya sekretaris kalau aku terus yang harus bekerja?""Tapi sekretaris ada untuk membantu kamu. Bagaimanapun juga kamu pimpin perusahaan," ujar Olivia menasihati."Mau gimana pun, kamu pimpinan dan yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka, para karyawanmu.""Iya, deh ...." Karena sadar bahwa dirinya tidak akan pernah menang ketika berdebat dengan Olivia."Aku pasti bakalan bal
"Bahkan setelah kehilangan bayi keluarga kami, kamu masih bersikap arogan padaku?!" Sofia mendelik tajam melihat Amora mengabaikannya.Bayi keluarga kami? Amora mendengus dalam hati tanpa berbalik menghadapi Amora.Bukan ibu mertuanya sendiri sangat membenci bayi perempuan yang dikandungnya.Sekarang dia menyebutnya ‘bayi keluarga kami’?Amora mencibir dingin dalam hati. Dia tidak berhenti dan terus melanjutkan langkahnya "Dasar nggak becus banget jadi istri dan Ibu!"Langkah kaki Amora tak berhenti. Saat ini dia benar-benar butuh ketenangan."Hei! Menantu sialan! Aku lagi bicara denganmu, ya!" teriaknya berkacak pinggang menunjuk punggung Amora yang berjalan menuju tangga."Bu ...." Bibi Minah merasa khawatir dengan situasi ini.Sofia tidak suka jika diabaikan, sedangkan Amora akan terlihat lebih menyedihkan kalau terus meladeni Nyonya Besar itu.Amora tetap berpura-pura tidak mendengar atau melihat Sofia. Dia tetap melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya di lantai dua.“Amora, ka
"Nanti? Nanti kapan?!" Teriakan Sofia menggelegar menunjuk wajah Amora. "Nunggu dunia ini kiamat?! Yang ada anakku jadi gila kalau terus bersama kamu, Amora! Sadar diri, dong! Kamu itu nggak dibutuhkan di rumah ini!""Tapi, Bu--""Kamu nggak punya hak lagi buat tetap menjadi istri Rehan. Kamu aja nggak bisa hamil lagi, apa yang bisa kamu kasih ke keluarga ini, Amora?!"Kehadirannya tak dibutuhkan, semua orang membencinya, tidak ada yang peduli seberapa berat beban yang saat ini sedang dia pikul. Entah sudah berapa banyak air mata yang dikeluarkan selama hidup di keluarga Dwipangga.Amora hanya ingin berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mempertahankan rumah tangganya. Namun, tidak ada seorang pun yang memiliki niat seperti dirinya ini."Kamu perempuan pembawa sial. Merawat janin aja nggak becus! Orang teledor kayak kamu ini nggak pantes jadi pasangan Rehan. Masih lebih baik Olivia dari mana-mana! Dia itu sempurna, udah cantik, baik, keluarga terpandang, nggak kayak kamu!" Sofia mel
Rehan pergi ke kantor hari ini. Awalnya dia hanya bermaksud untuk menghadiri rapat penting dengan beberapa investor, tetapi begitu melihat Rahmi, dia jadi teringat dengan istrinya.Soal Amora yang keguguran, Rehan sudah tahu dari Bi Minah, kemudian mendengar celotehan dari ibunya.Dia tahu kalau kemungkinan memang karena dirinyalah bayi di kandungan Amora jadi tak terselamatkan. Namun, Rehan tidak peduli dan menganggap kalau itu adalah kesempatannya untuk terus mendesak Amora agar mau diceraikan.“Rahmi,” panggilnya saat berada di ruang kerja. Si sekretarisnya itu sedang membacakan beberapa laporan terkait rapat tadi.Karena mendapat interupsi dari bosnya, Rahmi berhenti membacakan laporan itu dan bertanya, “Ada apa, Pak?”“Setelah pulang kerja nanti, apa kamu punya rencana?”Ada sedikit percikan rasa percaya diri karena ditanya seperti itu. Seperti yang dikatakan Amora, Rahmi memang memiliki ketertarikan pada Rehan.Wanita itu mengaku bahwa ketertarikannya itu hanya sekadar suka. N
Amora hanya tersenyum kecil, lantas dia beralih ke meja makan.Bi Minah sudah mulai ketar-ketir. Dia bertanya-tanya dalam hati tentang kemungkinan Amora yang mendengar semua yang dia katakan. “Bu, saya—““Aku juga berpikir begitu, Bi.” Amora memotong. “Mungkin kalau aku menyerah semuanya akan lebih baik.” Dia memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh wanita paruh baya itu. “Lagi pula, udah nggak ada alasan bagiku untuk mempertahankan Rehan.” Meski berbicara begitu, tatapan matanya seakan menunjukkan hal lain. Amora masih cinta dan seterusnya mungkin akan tetap begitu. Namun, di sisi lain juga dia merasakan kebencian terhadap suaminya itu saat mengingat apa yang sudah dilakukan Rehan hingga bayinya tiada.Bi Minah jadi merasa lebih bersalah. Seharusnya dia tidak berbicara seperti tadi.“Nggak apa-apa, kok, Bi. Aku juga sudah memikirkan hal itu sejak lama. Wajar kalau Bibi punya pandangan seperti itu. Bibi udah lama tinggal di rumah ini dan melihat semua yang terjadi. Justru aku sangat
Amora tidak ingin percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Rahmi mungkin saja sedang sengaja menguji kesabarannya."Terserah mau percaya atau enggak," kata Rahmi melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Amora."Kamu bisa bayangin sendiri gimana kemungkinan rencana suamimu selanjutnya.”“ Dia menceraikanmu dan bahkan untuk menyerahkan surat cerai ini saja yang membutuhkan orang lain sebagai perantara sedangkan dirinya dengan asyik berduaan bersama wanita lain."Amora sudah mengepalkan kedua tangannya. Meskipun hatinya mengingkari akan hal itu tetapi semua yang dikatakan oleh Rahmi tidaklah sesuatu yang mustahil terjadi Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sikap suaminya kepada Olivia."Daripada kamu tetap bertahan dan menyakiti dirimu sendiri, Lebih baik setujui saja surat perceraian itu titik lebih cepat akan lebih baik untuk kesehatan mentalmu kedepannya." Rahmi mengatakan itu tanpa menurunkan senyum meremehkannya. "Aku rasa kamu perlu banyak berpikir. Kalau be
Bukan hanya itu, ada vas bunga, pakaian dan masih banyak barang di kamar itu yang tidak menempati tempat asalnya.Awalnya Sofie akan mengamuk karena bagaimanapun juga, kamar ini adalah kamar Rehan, tetapi setelah melihat keadaan Amora sendiri, emosi itu meluap dan digantikan dengan senyum menyeringai. "Amora, Amora ... kamu ini sama saja dengan menyiksa dirimu sendiri. Seandainya saja kamu setuju dengan permintaan cerai Rehan, kamu mungkin akan menjalani kehidupan lebih mudah. Ya, meskipun untuk orang sepertimu dunia akan selalu sulit dan nggak akan pernah berpihak padamu." Dia bersedekap dengan santai.Sementara itu, Amora dan pakaian tidurnya tampak lusuh terlebih dengan kondisi wajah wanita itu yang terlihat lelah dan kurang tidur. Kantung matanya menggelap, hidung terlihat sembab dan matanya pun memerah, belum lagi bibirnya yang pucat. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup.Ditatap oleh wanita yang kini sedang duduk bersandar di tepi bawah ranjang membuat Sofie menggelengkan kep