“Aku hanya ingin yang terbaik untukmu saja,” kata Dokter Rina saat Amora tidak melanjutkan kata-katanya, mungkin masih ragu untuk mengambil keputusan.Amora tahu bahwa perhatian mantan dosennya itu sangat tulus. Namun, dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk jangka panjang. Kehilangan dan dikhianati adalah hal yang sangat menyakitkan baginya. untuk bertahan hidup saja rasanya butuh perjuangan yang keras.“Amora, aku datang ke sini bukan untuk mendesakmu.” Dia melirik jam tangannya. “Ah, sayang sekali. Aku ada janji setelah ini. Rasanya ingin banyak berbincang denganmu. Aku turut prihatin atas kehilangan bayi dan kabar perceraianmu itu, Amora.”Mendengar itu membuatnya merasa terlihat buruk.“Dokter, seharusnya saya yang merasa nggak enak hati. Anda sudah jauh-jauh dan menyempatkan diri datang ke sini, padahal sedang sibuk hanya untuk menghiburku.”“Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu. Jangan khawatir, kamu nggak sendirian. Aku akan selalu mendukungmu.” Jeda sesaat. “Baiklah kala
Amora tidak tahu dari mana para tetangganya ini bisa tahu akan kondisinya sekarang. Mungkin saja Bi Minah secara tidak sengaja membicarakan hal ini saat berada di warung, atau kemungkinan lain adalah ibu mertuanya yang melakukan hal itu secara sengaja."Jangan depresi, jangan juga terlalu sedih. Yang pernah keguguran bukan cuma Bu Amora aja, kok. Banyak wanita di luar sana juga punya pengalaman seperti itu."Amora berusaha untuk memaknai ungkapan itu sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian yang tulus, meskipun sebenarnya yang dia rasakan justru tampak ada ejekan dan rasa kasihan yang berlebihan di nada suaranya."Jangan bersikap seolah-olah dunia telah hancur. Masih ada kesempatan untuk bisa hamil lagi, 'kan?"Saat itu juga Amora tidak ingin mendengar ucapan tetangganya tersebut dan memilih untuk berlalu begitu saja, bahkan tanpa berpamitan sama sekali. Dia hanya terlalu lelah mendengar ocehan orang-orang yang sok tahu akan kondisinya dan mereka yang sebenarnya hanya ingin mengejek
Siang itu Amora datang sesuai dengan janjinya. Dia duduk di ruangan Dokter Rina, sedangkan wanita itu tengah menyuguhkan minuman untuk tamunya."Terima kasih, Dok," ucapnya saat Dokter Rina menaruh segelas teh di atas meja."Jadi, bagaimana? Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang?" Dia menyesap kopi buatannya sendiri."Ah, kamu bilang ada yang ingin kamu tanyakan. Apa itu?"Amora memegang cangkir teh dan menggoyangkannya sedikit. "Saya hanya ragu apakah jika saya pergi dengan beasiswa itu sama saja dengan melarikan diri.""Melarikan diri?"Dia mengangguk dengan senyum kecil. "Seperti yang Dokter tahu bahwa keadaan keluarga saya sedang tidak baik-baik saja." Satu tangannya meraba perut sendiri. "Bayi saya juga telah tiada. Semangat hidup seakan telah direnggut paksa oleh mereka yang memang senang melihatku dalam keadaan terpuruk seperti ini."Dokter Rina masih mendengarkan."Saya bisa saja menghadapi mereka sampai titik darah penghabisan. Masih ada kesempatan untuk mendapat keadi
Jadi, dia melanjutkan langkahnya saja untuk pulang. Akan tetapi, sesuatu hal yang tak terduga terjadi. Sosok yang tadi sempat terlintas di benaknya kini muncul dari arah lift berada.Olivia sepertinya baru akan kembali ke ruangannya.Sesaat pandangan mereka bertemu dan saat itu juga dada Amora bergemuruh penuh dengan amarah. Namun, dia sadar bahwa dirinya sekarang sedang berada di rumah sakit. Jadi, sebisa mungkin Amora harus menjaga sikap."Amora," panggil Olivia saat melihat wanita itu bukan berlalu begitu saja.Amora tidak membalas, tetapi langkahnya terhenti."Aku mau minta—“"Minta maaf?" sambut Amora dingin. Matanya melirik tajam pada sosok wanita berwajah pucat."Apa itu artinya kamu sadar kalau apa yang kamu lakukan adalah sebuah kesalahan?" Jelas itu sindiran penuh amarah. Meski suaranya kecil, tetapi penuh dengan penekanan.Hidung Olivia mulai terasa masam, pandangan matanya pun ikut memburam. Kata-kata itu seakan menjurus tepat di jantungnya."Jangan sok lemah! Kamu pada d
Amora pulang dengan perasaan dongkol. Amarahanya semakin berpacu ketika mengingat pertemuannya dengan Olivia di rumah sakit. Namun, paling tidak dia sudah dapat mengungkapkan isi hatinya pada wanita itu.Dia jadi teringat akan sesuatu. Saat itu Olivia sendirian tanpa Rehan. Mungkinkah Rehan sedang berada di tempat lain?Terlepas dari itu, Amora sudah memutuskan untuk menandatangani surat cerai itu.Memang belum dia lakukan, karena masih ada yang perlu dia bahas dengan Rehan.Setelah berhari-hari dalam masa terpuruk dan hilang arah, berkat dorongan dari Dokter Rina dirinya bisa berpikir lebih dalam untuk masa depannya.Benar apa kata mantan dosennya itu. Amora juga berhak bahagia.Amora sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahannya bahkan sampai dia kehilangan janin di dalam perut. Rasanya sudah cukup baginya untuk berusaha yang hanya akan membuat hidupnya jauh lebih menderita.Amora yang sedang duduk di ruang tamu kini menghubungi Rehan. Berharap kali ini lelaki itu mau menjawabn
Amora menarik nafas dalam-dalam. Benar juga, dia lupa kalau suaminya ini tidak peduli. Anak?Lebih seperti beban bagi Rehan. Alasan mereka menikah juga karena tidak ingin nama baik keluarga Dwipangga tercoret. Kalau anak ini telah tiada, bukankah sama saja dengan membebaskan diri dari beban?"Tunjangan," ujar Amora pada akhirnya."Ah, jadi ini soal uang?" Rehan terkekeh geli.Tangannya bersedekap dan punggung bersandar pada kepala sofa."Benar juga. Memangnya ada orang yang nggak tertarik sama uang? Bukankah ini kesempatan bagimu untuk memerasku?"Amora sudah menduga kalau Rehan akan berpikiran seperti itu."Terserah apa katamu." Sejak awal, nilai dirinya di mata lelaki itu hanyalah tentang materi. Begitu juga dengan pandangan keluarga Rehan terhadapnya."Kenapa nggak bilang sejak awal, hah? Kalau kamu mau hartaku, aku akan memberikan lebih besar dari yang kamu mau." Dia memajukan tubuhnya, kemudian berbisik, "Asalkan kamu menghilang dari kehidupanku." Lalu, berlanjut dengan suara din
“Apa katamu?! Tunjangan?!” Sofia berseru tak setuju dengan yang dikatakan Rehan.Dia sudah cukup senang mendengar bahwa Amora bersedia untuk bercerai, tetapi kenapa harus ada embel-embel perjanjian hingga tunjangan? Dia tidak akan pernah sudi mengeluarkan uang untuk menantu tak berguna itu. Kira-kira begitulah yang ada di benak Sofia. Ya, meskipun pada dasarnya bukan dia yang akan mengeluarkan uang, tetapi tetap saja dia tidak rela.“Bu, hanya ini yang dia mau agar bersedia bercerai denganku,” kata Rehan berusaha untuk meyakinkan ibunya.“Tapi, Rehan—“ Sofia menggeser sedikit posisi tubuhnya agar lebih berhadapan dengan putranya. Dia menatap serius, kemudian berkata dengan nada sedikit berbisik, “Dia saja nggak mau menyebutkan nominalnya. Kalau dia menguras semua harta kamu gimana? Dia itu pintar. Nggak mungkin cuma mau uang kamu aja.”Rehan juga tidak bisa menafikan hal itu. Memang ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan di sini, tetapi jika sampai Amora berubah pikiran lagi, bis
“Sibuk mengurus wanita tercinta di rumah sakit dan terobsesi untuk menikahinya. Iya, ‘kan?!” sindir Amora.“A-apa katamu? O-obsesi?”Amora tidak menjawab.“Hei!” sentaknya yang sudah hilang kesabaran. “Jaga bicaramu!”Tidak ada tanggapan berarti dari wanita cantik itu. “Lupakan kalau sulit bagimu untuk sadar diri.”Rehan sudah siap untuk berteriak lagi, tetapi sadar kalau hal ini tidak akan membuatnya cepat menyelesaikan masalah. “Oke, balik lagi ke masalah awal. Jadi, jelaskan kenapa kamu mendadak bersedia untuk bercerai dariku dan apa tujuanmu setelahnya?”"Kamu nggak berhak bertanya begitu. Aku aja nggak tahu bahwa kamu berniat menikah dengan Olivia setelah kita cerai, kalau saja bukan sekretarismu yang ngasih tahu.""Amora—""Terserah." Amora mengambil secangkir teh di depannya. Menghirup aroma hangat itu, kemudian melanjutkan, "Kalau nggak setuju, lupakan aja tentang perceraian itu."Rehan mengepalkan tangan hingga jarinya memutih, sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh A