Amora hanya tersenyum kecil, lantas dia beralih ke meja makan.Bi Minah sudah mulai ketar-ketir. Dia bertanya-tanya dalam hati tentang kemungkinan Amora yang mendengar semua yang dia katakan. “Bu, saya—““Aku juga berpikir begitu, Bi.” Amora memotong. “Mungkin kalau aku menyerah semuanya akan lebih baik.” Dia memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh wanita paruh baya itu. “Lagi pula, udah nggak ada alasan bagiku untuk mempertahankan Rehan.” Meski berbicara begitu, tatapan matanya seakan menunjukkan hal lain. Amora masih cinta dan seterusnya mungkin akan tetap begitu. Namun, di sisi lain juga dia merasakan kebencian terhadap suaminya itu saat mengingat apa yang sudah dilakukan Rehan hingga bayinya tiada.Bi Minah jadi merasa lebih bersalah. Seharusnya dia tidak berbicara seperti tadi.“Nggak apa-apa, kok, Bi. Aku juga sudah memikirkan hal itu sejak lama. Wajar kalau Bibi punya pandangan seperti itu. Bibi udah lama tinggal di rumah ini dan melihat semua yang terjadi. Justru aku sangat
Amora tidak ingin percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Rahmi mungkin saja sedang sengaja menguji kesabarannya."Terserah mau percaya atau enggak," kata Rahmi melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Amora."Kamu bisa bayangin sendiri gimana kemungkinan rencana suamimu selanjutnya.”“ Dia menceraikanmu dan bahkan untuk menyerahkan surat cerai ini saja yang membutuhkan orang lain sebagai perantara sedangkan dirinya dengan asyik berduaan bersama wanita lain."Amora sudah mengepalkan kedua tangannya. Meskipun hatinya mengingkari akan hal itu tetapi semua yang dikatakan oleh Rahmi tidaklah sesuatu yang mustahil terjadi Dia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sikap suaminya kepada Olivia."Daripada kamu tetap bertahan dan menyakiti dirimu sendiri, Lebih baik setujui saja surat perceraian itu titik lebih cepat akan lebih baik untuk kesehatan mentalmu kedepannya." Rahmi mengatakan itu tanpa menurunkan senyum meremehkannya. "Aku rasa kamu perlu banyak berpikir. Kalau be
Bukan hanya itu, ada vas bunga, pakaian dan masih banyak barang di kamar itu yang tidak menempati tempat asalnya.Awalnya Sofie akan mengamuk karena bagaimanapun juga, kamar ini adalah kamar Rehan, tetapi setelah melihat keadaan Amora sendiri, emosi itu meluap dan digantikan dengan senyum menyeringai. "Amora, Amora ... kamu ini sama saja dengan menyiksa dirimu sendiri. Seandainya saja kamu setuju dengan permintaan cerai Rehan, kamu mungkin akan menjalani kehidupan lebih mudah. Ya, meskipun untuk orang sepertimu dunia akan selalu sulit dan nggak akan pernah berpihak padamu." Dia bersedekap dengan santai.Sementara itu, Amora dan pakaian tidurnya tampak lusuh terlebih dengan kondisi wajah wanita itu yang terlihat lelah dan kurang tidur. Kantung matanya menggelap, hidung terlihat sembab dan matanya pun memerah, belum lagi bibirnya yang pucat. Dia lebih terlihat seperti mayat hidup.Ditatap oleh wanita yang kini sedang duduk bersandar di tepi bawah ranjang membuat Sofie menggelengkan kep
“Aku hanya ingin yang terbaik untukmu saja,” kata Dokter Rina saat Amora tidak melanjutkan kata-katanya, mungkin masih ragu untuk mengambil keputusan.Amora tahu bahwa perhatian mantan dosennya itu sangat tulus. Namun, dia tidak bisa memikirkan apa pun untuk jangka panjang. Kehilangan dan dikhianati adalah hal yang sangat menyakitkan baginya. untuk bertahan hidup saja rasanya butuh perjuangan yang keras.“Amora, aku datang ke sini bukan untuk mendesakmu.” Dia melirik jam tangannya. “Ah, sayang sekali. Aku ada janji setelah ini. Rasanya ingin banyak berbincang denganmu. Aku turut prihatin atas kehilangan bayi dan kabar perceraianmu itu, Amora.”Mendengar itu membuatnya merasa terlihat buruk.“Dokter, seharusnya saya yang merasa nggak enak hati. Anda sudah jauh-jauh dan menyempatkan diri datang ke sini, padahal sedang sibuk hanya untuk menghiburku.”“Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu. Jangan khawatir, kamu nggak sendirian. Aku akan selalu mendukungmu.” Jeda sesaat. “Baiklah kala
Amora tidak tahu dari mana para tetangganya ini bisa tahu akan kondisinya sekarang. Mungkin saja Bi Minah secara tidak sengaja membicarakan hal ini saat berada di warung, atau kemungkinan lain adalah ibu mertuanya yang melakukan hal itu secara sengaja."Jangan depresi, jangan juga terlalu sedih. Yang pernah keguguran bukan cuma Bu Amora aja, kok. Banyak wanita di luar sana juga punya pengalaman seperti itu."Amora berusaha untuk memaknai ungkapan itu sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian yang tulus, meskipun sebenarnya yang dia rasakan justru tampak ada ejekan dan rasa kasihan yang berlebihan di nada suaranya."Jangan bersikap seolah-olah dunia telah hancur. Masih ada kesempatan untuk bisa hamil lagi, 'kan?"Saat itu juga Amora tidak ingin mendengar ucapan tetangganya tersebut dan memilih untuk berlalu begitu saja, bahkan tanpa berpamitan sama sekali. Dia hanya terlalu lelah mendengar ocehan orang-orang yang sok tahu akan kondisinya dan mereka yang sebenarnya hanya ingin mengejek
Siang itu Amora datang sesuai dengan janjinya. Dia duduk di ruangan Dokter Rina, sedangkan wanita itu tengah menyuguhkan minuman untuk tamunya."Terima kasih, Dok," ucapnya saat Dokter Rina menaruh segelas teh di atas meja."Jadi, bagaimana? Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang?" Dia menyesap kopi buatannya sendiri."Ah, kamu bilang ada yang ingin kamu tanyakan. Apa itu?"Amora memegang cangkir teh dan menggoyangkannya sedikit. "Saya hanya ragu apakah jika saya pergi dengan beasiswa itu sama saja dengan melarikan diri.""Melarikan diri?"Dia mengangguk dengan senyum kecil. "Seperti yang Dokter tahu bahwa keadaan keluarga saya sedang tidak baik-baik saja." Satu tangannya meraba perut sendiri. "Bayi saya juga telah tiada. Semangat hidup seakan telah direnggut paksa oleh mereka yang memang senang melihatku dalam keadaan terpuruk seperti ini."Dokter Rina masih mendengarkan."Saya bisa saja menghadapi mereka sampai titik darah penghabisan. Masih ada kesempatan untuk mendapat keadi
Jadi, dia melanjutkan langkahnya saja untuk pulang. Akan tetapi, sesuatu hal yang tak terduga terjadi. Sosok yang tadi sempat terlintas di benaknya kini muncul dari arah lift berada.Olivia sepertinya baru akan kembali ke ruangannya.Sesaat pandangan mereka bertemu dan saat itu juga dada Amora bergemuruh penuh dengan amarah. Namun, dia sadar bahwa dirinya sekarang sedang berada di rumah sakit. Jadi, sebisa mungkin Amora harus menjaga sikap."Amora," panggil Olivia saat melihat wanita itu bukan berlalu begitu saja.Amora tidak membalas, tetapi langkahnya terhenti."Aku mau minta—“"Minta maaf?" sambut Amora dingin. Matanya melirik tajam pada sosok wanita berwajah pucat."Apa itu artinya kamu sadar kalau apa yang kamu lakukan adalah sebuah kesalahan?" Jelas itu sindiran penuh amarah. Meski suaranya kecil, tetapi penuh dengan penekanan.Hidung Olivia mulai terasa masam, pandangan matanya pun ikut memburam. Kata-kata itu seakan menjurus tepat di jantungnya."Jangan sok lemah! Kamu pada d
Amora pulang dengan perasaan dongkol. Amarahanya semakin berpacu ketika mengingat pertemuannya dengan Olivia di rumah sakit. Namun, paling tidak dia sudah dapat mengungkapkan isi hatinya pada wanita itu.Dia jadi teringat akan sesuatu. Saat itu Olivia sendirian tanpa Rehan. Mungkinkah Rehan sedang berada di tempat lain?Terlepas dari itu, Amora sudah memutuskan untuk menandatangani surat cerai itu.Memang belum dia lakukan, karena masih ada yang perlu dia bahas dengan Rehan.Setelah berhari-hari dalam masa terpuruk dan hilang arah, berkat dorongan dari Dokter Rina dirinya bisa berpikir lebih dalam untuk masa depannya.Benar apa kata mantan dosennya itu. Amora juga berhak bahagia.Amora sudah berusaha untuk mempertahankan pernikahannya bahkan sampai dia kehilangan janin di dalam perut. Rasanya sudah cukup baginya untuk berusaha yang hanya akan membuat hidupnya jauh lebih menderita.Amora yang sedang duduk di ruang tamu kini menghubungi Rehan. Berharap kali ini lelaki itu mau menjawabn
“Sayang? Udah bangun?"Amora yang baru saja akan membuka matanya dari tidur, sedikit terkejut dengan suara suaminya. Terdengar sangat serak dan dekat. Tatkala ia menoleh, senyum tampan suaminya menyambut dirinya.Giandra tertawa kecil. Laki-laki dewasa yang baru saja kembali dari kantin itu sedang menggendong sang buah hati. Tampaknya juga bayi lucu yang menurun dari ibunya sedang ikut tertidur juga. Terlihat dari mata kecil yang tertutup rapat. Dan bibir yang maju ."Kamu haus nggak?" tanya Giandra sembari berjalan ke arah box bayi dan menempatkan kembali putranya di sana. Kemudian berbalik dan duduk di sisi kanan ranjang rumah sakit istrinya. Rambut lepek di atas dahi ia usap lembut."Sedikit," jawab Amora dengan senyum manis. Senyumnya semakin sumringah ketika Giandra dengan cepat mengambilkan minum untuknya."Mau duduk dulu?" tawar Giandra yang di balas anggukan lemah dari Amora. Setelah mendudukkan diri, barulah Amora meminum air yang disodorkan oleh Giandra."Kamu mau pulang sek
Giandra benar-benar menjadi ayah dan suami siaga saat ini. Bahkan istrinya saja sampai bosan melihat wajahnya dan berulang kali meminta agar dokter tersebut pergi.“Ini jam istirahat, lebih baik kamu makan siang,” bujuk Amora yang khawatir dengan kesehatan suaminya.“Aku ingin bersama anak kita dulu,” jawabnya.Laki-laki itu menggendong sang buah hati dan memainkan pipi Ghazam yang masih merah. Ia benar-benar dibuat gemas dengan bayi mungil tersebut.Saat tengah menggendong tiba-tiba bayi itu menangis dan membuat Giandra panik bukan main. Amora yang reaksi suaminya lantas tertawa pelan.“Ghazam, lapar, ya?” tanya Giandra seraya menyerahkan bayi tersebut ke Amora.“Makan siang, lalu ke sini kalau sudah tidak ada pasien lagi,” ujar Amora dan dengan terpaksa akhirnya Giandra setuju. Sebelum makan siang Giandra menyempatkan diri mencium kening istrinya terlebih dahulu, lalu pergi.Giandra tampak seperti orang sinting saat ini karena suasana hatinya benar-benar baik. Ia menyapa beberapa pe
Setelah perceraian Rehan dan Olivia, Giandra dan Amora akhirnya memutuskan meninggalkan keluarga Dwipangga. Awalnya keluarga Dwipangga tidak setuju dan dia bertengkar hebat dengan Sofia. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Giandra. Dia membawa Amora kembali ke Singapura meninggalkan semuanya di Indonesia.Beberapa bulan kemudian.Amora menahan keluh saat kakinya mulai sakit. Ia tetap kelihatan kuat walau kakinya pegal luar biasa, lagi pula ini adalah salahnya yang ingin berbelanja di saat umur kandungannya sudah memasuki usia sembilan bulan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Giandra yang sepertinya paham dengan keadaan istrinya tersebut.“Tidak apa-apa, Giandra,” jawabnya dengan tersenyum manis.Laki-laki tampan tersebut menghela nafas berat, ia berjalan cepat hingga membuat Amora terkejut karena wanita itu tidak dapat mengikutinya, tapi tidak lama Giandra kembali dengan membawa kursi plastik.“Duduk dulu,” kata Giandra dan Amora menurut. Laki-laki tersebut berjongkok di de
Akhirnya proses perceraian Olivia dengan Rehan berjalan lancar. Tampaknya tidak ada yang merasa sedih atau berat hati jika keduanya berpisah. Sofia malah tampak senang. Jelas saja, karena wanita itu memang sudah lama ingin agar Rehan bercerai dengan Olivia. Sisanya tidak ada yang berkomentar sama sekali.Sementara Oliver yang masih tidak paham kalau kedua orang tuanya sudah bercerai juga santai-santai saja ketika melihat Olivia pergi meninggalkan mansion sambil menyeret dua buah koper. Sepertinya faktor terbiasa ditinggal pergi oleh Olivia membuat anak itu berpikir kalau ibunya pergi dalam rangka melakukan liburan, bukan karena telah berpisah dengan ayah sambungnya.Setelah menanda tangani surat perceraian itu, Rehan tidak pulang semalaman dan baru pulang esok harinya setelah menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan di bar. Ia mabuk bukan karena sedih akan bercerai dengan Olivia, tentu ia juga akan dengan senang hati menceraikan wanita itu jika saja tak ada Oliver yang membuat pria itu
Olivia masih yakin kalau suaminya itu sedang bersama dengan Anna. Tentu pemikiran ini muncul karena dia merasa Rehan sedang membalas dendam karena dirinya yang tidak pulang beberapa hari guna menghabiskan waktu bersama Randika, dan tentu saja pria itu tidak akan sudi jika hanya berdiam diri di rumah saja dan menunggu kepulangannya. Jadi, memang lebih masuk akal jika Rehan menghabiskan waktunya di luar bersama dengan wanita lain, dan tentu wanita itu adalah Anna. Memang siapa lagi wanita yang saat ini sedang dekat dengan Rehan?Lagi pula, sejak kepulangannya, tidak hanya Rehan yang tak tampak, Anna juga tidak datang ke mansion ini. Sesuatu yang patut dicurigai oleh Olivia.Ketika sarapan tadi pagi pun yang hadir di meja makan hanya Olivia dan kedua mertuanya. Amora dan Giandra absen hadir di meja makan karena alasan kesehatan Amora yang sedang tidak bagus. Wanita itu kembali mengalami mual yang hebat dan membuat Giandra jadi mengambil cuti guna merawat istrinya yang tengah hamil muda i
Setelah menunggu semalaman sampai pagi tiba, Olivia tidak juga mendapati Rehan berada di mansion ini. Ia curiga kalau pria itu sengaja tidak pulang untuk menghindarinya. Atau bisa saja pria itu memang pergi untuk bersenang-senang dengan wanita lain.“Apa dia menghabiskan waktu dengan dokter itu dan saking senangnya dia sampai tidak berniat pulang lagi? Atau jangan-jangan mereka sudah merencanakan pernikahan?” tanya Olivia kepada diri sendiri.Wajar jika Olivia berpikir begitu, karena malam ketika Anna berpamitan kepada keluarga Dwipangga ini Olivia tidak berada di rumah, wanita itu begitu sibuk menghabiskan waktunya di tempat tinggal Randika. Berada di rumah dengan kehadiran Anna sesekali ke rumah itu, terlebih saat Giandra masih sakit dan cuti bekerja membuat Olivia jadi gerah.Dia beralasan ingin menjenguk Giandra, tapi tujuannya tentu saja untuk mencuri-curi waktu bersama Rehan dan mengambil hati wanita tua itu yang ingin sekali menjadikannya menantu, batin Olivia jika teringat bag
Setelah beberapa hari ini Amora tidak diserang rasa mual yang hebat seperti sebelum-sebelumnya, sekarang rasa mual itu mulai datang lagi. Sejak pagi Amora sudah berkali-kali ke kamar mandi, berusaha memuntahkan isi perutnya. Namun tidak ada yang ke luar selain cairan bening yang terasa pahit di tenggorokannya. Giandra yang tidak tega melihat Amora yang berbaring lemas di ranjang menjadi dilema untuk pergi kerja atau izin libur agar bisa merawat Amora.Giandra akhirnya membatalkan niatnya untuk pergi kerja dan memelepon ke rumah sakit. Sebenarnya sebelum Amora diserang rasa mual yang hebat itu Giandra sudah berpakaian rapi seperti biasanya. Namun, saat ini jasnya sudah tergeletak di sofa di kamarnya, lengan baju yang sudah dikancingnya pun sudah digulung sampai siku, dan dasinya sudah dilepas, bahkan kancing kerah bajunya juga sudah dicopot. Giandra kini bertransformasi menjadi suami yang siaga. Dia memijat tengkuk Amora ketika lagi-lagi perempuan itu merasakan perutnya bergejolak.“Ma
Randika membolakan matanya saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Olivia. Sebenarnya bukan baru kali ini saja dia mendengar Olivia mengucapkan kata kalau ia ingin cerai dengan Rehan, Randika sudah mendengarnya berulang kali. Tapi, saat ini yanh membuat Randika cukup terkejut adalah karena dari raut wajahnya tampak kalau Olivia tidak main-main dengan apa yang diucapkannya. Wanita itu kelihatan sangat serius dan sudah yakin kalau akan meminta cerai dari Rehan."Kau yakin dengan apa yang kau ucapkan itu, Honey?" tanya Randika dengan kening mengernyit.Olivia mengangguk yakin. Wajahnya terlihat begitu tegas dan tidak sedikit pun tampak kebimbangan atau kecengengan di sana, sangat jauh berbeda dengan Olivia yang ketika pertama kali mengatakan ingin bercerai itu menyampaikan kepada Randika sambil menangis. "Ya, aku sangat yakin," tegas Olivia.Randika bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap ke arah Olivia. Kemudian dia meyakinkan wanita itu untuk memikirkan ulang keputusannya dan
Sebenarnya Giandra tak punya rencana untuk mengajak Amora pergi ke rumah ibu Anna. Mana mungkin di saat perasaan bersalah yang dideritanya karena merasa telah mengkhianati Amora sebab Anna yang menyatakan cinta kepadanya membuat pria itu mengambil keputusan untuk mengajak sang istri bertemu dengan orang tua wanita itu? Giandra tak segila itu.Namun, entah bagaimana ceritanya, pagi-pagi sebelum Amora mengatakan kepadanya kalau wanita hamil itu ingin makan seblak, sebuah pesan mendarat di handphone nya. Pesan dari Anna.Dokter AnnaPagi Dokter GiandraMaaf jika membuat Dokter tidak nyamanSaya hanya ingin menyampaikan maaf dan terima kasih sekali lagiTerutama untuk AmoraOh iya, tadi saya sudah menyampaikan kepada ibu kalau Amora ingin makan seblakDan Ibu meminta agar Dokter Giandra dan Amora datang ke rumahIbu bilang akan membuatkan seblak sebagai rasa terima kasihSemoga Dokter berkenan menerima kebaikan kamiGiandra menghela napas. Saat pesan itu datang kepadanya, jelas dia tidak