Mengapa dia begitu bodoh dan buta?
Selama ini dia melihat Rehan lebih peduli pada Olivia dan interaksi mereka lebih intim.
Dia selalu berpikir karena Olivia adalah teman dekat Rehan dan dia mencintai Liam. Dia selalu menyangkal bahwa suaminya menyukai Olivia.
Dia ingat ketika Rehan mendatanginya dalam keadaan mabuk setelah menghadiri pernikahan Olivia dan Liam. Dia terlihat begitu terluka dan terpuruk. Amora begitu bodoh menghiburnya yang mengarahkan mereka pada malam kesalahan itu di mulai.
Setelah dia hamil, Amora berpikir Rehan menyuruhnya untuk menggugurnya, namun pria itu justru melamarnya untuk bertanggung jawab. Amora berharap sedikit Rehan akan mencintainya, dia terlalu naif.
Setelah menikah, mereka pindah di komplek perumahan yang sama dengan Olivia dan Liam. Rehan menggunakannya untuk lebih sering membuat reuni di rumah Olivia dan Liam. Matanya tidak pernah lepas dari Olivia, dan tatapan bencinya pada Liam.
Amora hanya pelampiasannya
Pemandangan hari ini dan kata-kata Rehan menyadarkannya bahwa dia begitu buta selama ini.
Amora menutupi wajahnya dan menangis dalam keterpurukkannya.
.....
Menjelang malam saat Amora sampai di rumahnya. Dia dengan lesu memasuki ruang tamu sambil menahan beban berat di perutnya yang buncit.
“Kamu baru pulang di jam segini?” Terdengar suara sinis menegur Amora.
Amora berhenti di ruang tamu dan menegang melihat ibu mertuanya, Sofia duduk dengan angkuh di ruang tamu sambil menyesap teh panas di tangannya.
Pakaian yang dikenakannya sangat glamor dan kaya semakin memperlihatkan kesan angkuh.
“Ibu, kamu mengapa datangkenapa Ibu ada di sini ....” kata Amora dengan ekspresi kaku mendekatinya dengan langkah takut.
Dia paling menghindari bertemu dengan ibu mertuanya. Ibu mertuanya yang paling tidak menyukainya di keluarga Dwipangga.
Sofia menatapnya mencibir.
“Kenapa? Aku tidak boleh datang ke sini?”
“Bukan begitu Ibu. Maksud aku mengapa Ibu nggak ngasih kabar akan datang, biar aku bisa menyambut Ibu.”
Sofia mendengus dengan ekspresi menghina.
“Jika aku datang nggak ngasih kabar, siapa yang tahu kamu berkeliaran di luar sana dan bertemu dengan pria lain di belakang punggung anakku.”
“Ibu, aku hanya mengunjungi Olivia di rumah sakit. Aku nggak pernah bertemu dengan pria lain.” Amora mencoba menjelaskannya dengan sabar dan sopan.
Sofia masih mencibir sambil mengibaskan tangannya angkuh.
“Siapa yang percaya dengan alasan kamu. Lupakan saja, lebih baik kamu bertemu dengan pria lain dan bercerai dari anakku. Keberadaanmu membuat Rehan nggak bisa menikah dengan perempuan dari keluarga bergengsi.”
Lalu dia menatap Amora semakin kesal ketika melihat perut buncitnya di balik dress sederhana yang murahan.
“Apa jenis kelamin anak itu?” Dia bertanya seolah menanyakan sayur di pasar dan bukan cucunya.
Aria mengelus perutnya dan berkata lemah.
“Anak perempuan, Bu.”
Sofia tiba-tiba melempar teh panas di tangannya hingga jatuh di dekat kaki Amora.
Amora tersentak ingin mundur, namun mengurungkan niatnya takut mengundang kemarahan ibu mertuanya semakin besar. Dia hanya bisa menahan rasa sakit akibat pecahan beling yang menggores kakinya sambil menundukkan kepalanya pasrah.
“Dasar nggak berguna! Sia-sia saja Rehan menikah dengan kamu! Cucu pertama keluarga Dwipangga harus laki-laki! Apaan anak perempuan! Bikin nambah beban saja membesarkan anak perempuan yang nggak berguna,” caci Sofia kesal.
Amora tertunduk lemah menahan sakit hati atas penghinaan ibu mertuanya pada bayi yang dikandungnya.
Apa salah bayinya harus mendapat hinaan ini? Dia tidak bisa mengendalikan takdir memiliki anak perempuan.
Dia tidak berani membantah Sofia. Dia hanya bisa menahan pahit di hatinya dan menunduk di depan ibu mertuanya.
“Maafkan aku, Bu,” ujarnya mulai terisal pelan.
Sofia mendengus menatapnya hina, sama sekali tidak merasa iba.
Dia berdiri di depan Amora dan menatapnya tajam.
“Begitu kamu selesai melahirkan kamu harus bercerai dari Rehan," desisnya.
Amora langsung mendongak menatap Sofia dengan mata berkaca-kaca.
"Be ... bercerai?"
Dia tidak pernah terpikirkan akan bercerai dari Rehan. Dia sudah menahan sakit hati penghinaan ibu mertua dan ketidakpedulian suaminya demi anak di perutnya.
Jika dia bercerai dari Rehan, apa yang terjadi dengan anaknya?
Sofia mengangguk acuh tak acuh.
"Sudah untung Rehan menikahimu agar nggak membuatmu malu hamil di luar nikah. Sadar diri dong. Kamu harus bercerai dari Rehan dan keluar dari rumah ini karena melahirkan anak perempuan. Keluarga kami nggak butuh perempuan nggak berguna sepertimu dan anak perempuanmu sama saja. Ada banyak perempuan dari keluarga bergengsi bersedia menikah dan melahirkan cucu laki-laki kami.”
Kata-kata Sofia menusuk jantung Amora. Sakit di hatinya semakin menjadi-jadi
Amora menggigit bibir bawahnya menahan air matanya agar tidak mengalir. Dia tidak bisa membantah ibu mertuanya karena caciannya hanya akan bertambah lebih panjang lagi
Dia hanya bisa tertunduk diam menahan keluhannya.
Sofia semakin kesal melihat Amora hanya diam.
“Aku dengar dari pembantu Rehan nggak pulang berhari-hari?” Dia menatap Amora dengan tatapan menyelidik
“Apa yang sudah kamu perbuat sampai Rehan nggak pulang berhari-hari? Nggak becus banget sih merawat suami kamu! Apa gunanya kamu sebagai istri?!”
“Kamu pasti malas-malasan mentang-mentang ada pembantu di rumah. Harusnya kamu sadar asal-usulmu yang rendahan dan melayani Rehan. Kamu pikir kamu Nona muda? Sadarlah Rehan menikahimu karena anak haram di perutmu bukan untuk jadi Nyonya di rumah ini!”
Kepala Amora semakin tertunduk dengan ekspresi pahit. Kata-kata Sofia sangat menyakitinya. Dia pikir dia sudah terbiasa dengan cacian ibu mertuanya, namun tetap saja hatinya tetap sakit.
“Ibu, bukan seperti itu. Rehan ... dia tinggal rumah sakit," ujarnya dengan suara lirih.
“Kamu juga dari rumah sakit kenapa dia tidak pulang bersamamu?”
Amora menggigit bibir bawahnya menahan asam dan pahit di hatinya mengingat apa yang di lakukan Rehan di rumah sakit.
“Dia harus merawat Olivia, Bu.”
“Olivia?” Sofia terlihat seperti mengingat sesuatu.
“Ah, benar. Olivia kecelakaan bersama Liam. Gadis malang, dia masih muda dan sudah janda. Dia pasti terpukul, untunglah Rehan menjaganya. Kuharap Olivia cepat sembuh.” Dia berkata dramatis dan cemas berlebihan seolah mengkhawatirkan putrinya sendiri, lalu melirik Amora dengan sinis.
“Kamu nggak ganggu Rehan dan Olivia karena cemburu, kan?”
Amora tidak menjawab membuat Sofia kesal.
“Kamu seharusnya bersyukur Rehan mau menikah dengan kamu. Rehan itu peduli dan sangat sayang pada Olivia sejak
kecil. Jika bukan karena kamu, orang yang menjadi menantuku adalah Olivia. Dia berasal keluarga bergengsi dan keluarganya kaya, berbeda dengan kamu ....”
Dia menatap penampilan Amora dengan penuh penghinaan.
“Tsk! Sudalah, aku sudah muak melihatmu.” Sofia mengambil tas mahalnya di atas meja.
“Jika Rehan sudah pulang, suruh dia datang ke rumah utama. Oh ya, jangan bersihkan itu pecahan gelas di lantai." Sofia menunjuk pecahan gelas teh di lantai.
"Pakai tanganmu sendiri, jangan pakai pembantu. Jangan mentang-mentang sudah nikah dengan Rehan, udah merasa sok kaya. Sadar diri dong," cibirnya mendorong Amora menyingkir dari jalannya dan mengatakan itu dia berjalan melewati Amora seolah dia tidak ada.
Air mata mengalir di pipi Amora. Kepalanya tertunduk, perlahan berjongkok untuk mengumpulkan pecahan beling di lantai sesuau dengan perintah ibu mertuanya.
Dia menutup mulutnya menahan dirinya agar tidak menangis mengumpulkan pecahan beling.
"Nyonya ...."
Seorang pembantu keluar dari dapur dan buru-buru menghampiri Amora. Dia berjongkok di sebelahnya.
Selama ada Sofia berkunjung untuk mencaci Amora, dia harus menahan dirinya tetap dapur biar tidak ikut campur urusan keluarga majikannya.
"Nyonya, biar aku saja yang bersihin ... tangan kamu bisa terluka," katanya menahan tangan Amora.
"Tidak apa Bi. Biar aku saja. Ibu mertuakubenar, aku harus sadar diri," gumam Amora serak tetap mengumpulkan pecahan beling
Setiap kata-kata ibu mertuanya terngiang-ngiang dalam benaknya.
Amora memejamkan matanya membiarkan air matanya mengalir dan mengelus perutnya.
"Maaf sayang, ibu sangat nggak berguna," bisiknya serak.
Bibi Pembantu menatap kasihan.
Rehan tidak pulang tiga hari berikutnya pada saat yang sama Olivia sudah sadar dari komanya. Amora sudah pasrah dengan nasib rumah tangganya.Amora tidak ingin mengunjungi rumah sakit jika hanya untuk makan hati melihat suaminya sendiri merawat temannya dan bahagia karena Olivia sudah sadar.Cukup menyakitkan bagi Amora dengan sikap suaminya lebih perhatian pada perempuan lain, dibandingkan dia, istrinya sendiri. Bahkan tetangganya mulai kepo dan begitu usil bagaimana rumah tangga Amora dan Rehan menambah depresinya.Seperti pagi ini, Amora tidak berjalan-jalan lagi untuk menghindari bertemu ibu-ibu Komplek yang suka bergosip. Tapi mereka yang menghampirinya dengan alasan lewat untuk mengusik urusan rumah tangganya.“Aduh Amora, tenang banget sih kamu di rumah, sementara suami kamu tuh jaga perempuan lain. Nggak sakit hati apa?”Ibu-ibu komplek baik muda dan tua berdiri di luar pintu pagar rendah rumahnya saat Amora sedang menyiram bunga di halaman.Amora berpura-pura tidak mendengar
Sementara itu Amora di dalam kamar mencoba mati-matian menahan air saat memasukkan pakaian-pakaian penting Rehan ke dalam tas.Jangan menangis, batinnya berbisik.Mengapa rumah tangganya harus berakhir seperti ini?Apa belum cukup pengorbanannya menahan hinaan Ibu mertua dan ketidakpedulian Rehan, suaminya mulai terang-terangan menunjukkan perhatiannya sama Olivia pada orang lain.Bibir Amora bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya keras menahan dirinya agar tidak menangis terus melanjutkan pekerjaan memasukkan pakaian Rehan ke dalam tas.Namun tak bisa dicegah air matanya mengalir di pipi jatuh di atas kemeja Rehan.Dadanya sungguh sesak. Amora mencengkeram erat kemeja Rehan membiarkan air matanya mengalir.Sakit di hatinya sungguh tak tertahankan.Amora mencengkeram erat dadanya di mana sumber rasa sakitnya.Tok, tok, tok.Amora tersentak dan dengan cepat menghapus air matanya.“Siapa?” tanyanya. Suaranya serak.Pintu kamar terbuka dan sosok wanita cantik muncul sambil tersenyum mani
“Kamu harus menjaga emosi Anda saat lagi hamil. Emosi ibu berpengaruh pada jabang bayi. Beruntung Anda hanya mengalami komplikasi ringan hingga tidak menyebabkan keguguran,” omel seorang dokter wanita pada Amora yang berbaring di tempat tidur pasien.Aria mendengar penjelasan sambil memejamkan mata.“Aku tahu Dokter, terima kasih,” bisiknya dengan suara lemah.Dokter meliriknya lalu menyerahkan grafik medis pada asistennya dan menyuruhnya keluar.“Apa yang sebenarnya terjadi sampai tertekan seperti ini?”Amora tidak menjawab hanya menutupi matanya dengan lengannya.“Pada saat kondisimu seperti ini, mengapa suamimu tidak datang?” lanjut Dokter tidak melihat pria yang menjadi suami Amora di mana pun. Saat dia datang pun, Amora hanya ditemani oleh pembantu rumah tangga.Dia bahkan tidak melihat keluarga mertua Amora.Amora masih menjawab, namun dokter itu melihat pundaknya sedikit bergetar.“Amora, apa yang terjadi? Kamu nangis?” Dia mencoba menarik tangan Amora agar dia bisa melihat waj
Di tempat lain, Rehan yang berada di ruang rawat Olivia. Wanita itu sudah sadar, tetapi keadaannya masih terlihat lemah dan pucat masih berduka setelah menerima berita kematian suaminya.Rehan senantiasa menemani dan merawat agar Olivia tidak terpuruk setelah menerima berita kematian Liam.“Via, makanlah ….” Di samping ranjang Rehan menyodorkan sesuap sendok bubur.Olivia menoleh wajah pucat sambil tersenyum lemah. “Rehan, terima kasih sudah merawatku selama beberapa hari ini. Tapi apa kamu tidak lelah? Mengapa kamu tidak pulang? Amora pasti mengkhawatirkanmu,” ujarnya sedikit cemas karena Rehan sudah beberapa hari ini tidak pulang dan merawatnya di rumah sakit.“Apa Amora tahu kamu sudah merawatku selama ini, dia tidak marah?” lanjut Olivia berkata dengan pelan.Selama Rehan merawatnya, dia tidak melihat sahabatnya, Amora datang mengunjunginya ketika sadar dari koma.Rehan berkata acuh tak acuh.“Jangan khawatirkan tentang Amora.”Olivia mengerutkan keningnya.“Mengapa ka
Amora memedam kekecewaannya karena Rehan mengangkat teleponnya dan mengabaikan pesan-pesannya.Amora akhirnya hanya menghubungi pembantunya untuk menjemput. Dia sudah menyerah dengan berharap kalau Rehan akan datang ke sini. Jangankan datang, lelaki itu bahkan tidak membaca pesan yang dia kirim. Mungkin terlalu asyik dengan wanita itu, batin Amora merana.Sungguh menyedihkan. Baik suami mau pun ibu mertuanya, tidak ada yang peduli. Amora pasrah. Dipikir-pikir sejak pernikahannya dengan Rehan, memang tidak ada yang bisa diharapkan. Kebahagiaan? Memangnya ada istilah itu dalam rumah tangga yang pernikahannya saja karena terpaksa?Namun, meskipun Amora sadar betul akan hal itu, dia tidak bisa untuk mundur. Pernikahan ini memang tidak diharapkan oleh Rehan, tetapi tidak dengan dirinya. Anak yang tengah dikandung memerlukan sosok ayah dan dirinya juga teramat mencintai lelaki itu.Amora sebelumnya tidak tahu kalau Rehan memiliki perasaan lebih kepada Olivia, tetapi setelah
“Kamu ngapain ada di sini?” tanya Rehan bingung bercampur kesal melihatnya.Ucapan itu membuat sang ibu mertua juga sadar dan kini menatap menantunya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sorot matanya saja sudah jelas ketidaksukaannya saat melihat Amora.“Aku … aku mau jenguk Olivia.” Tepat setelah Amora mengatakan itu, perawat tadi berpamitan usai melakukan tugasnya. Amora melanjutkan, “Apa … dia baik-baik aja?” Sofia mengendus sinis. “Kalau kamu ke sini mau buat keributan, jangan harap! Mending pulang aja, sana!” Amora mengelak, “Enggak, Bu. Aku cuma mau lihat kondisinya aja.”Saat Sofia akan mengatakan hal lain, Rehan lebih dulu bersuara, “Dia lagi butuh banyak istirahat. Kamu bisa ketemu dia nanti.” Suaranya dingin dan menusuk, bahkan setelah mengatakan itu, dia berpaling dari menatap istrinya, kembali memerhatikan Olivia yang dalam pengaruh obat penenang.Amora tidak bisa untuk tidak merasa sakit saat ini. Mereka memperlakukan dirinya sangat bertolak belakan
"Jangan banyak menuntut dariku karena alasanku untuk menikahimu tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan dan tanggung jawab untuk menjaga hatimu. Memiliki status sebagai istriku saja sudah lebih dari cukup. Jangan mencoba-coba untuk serakah!"Serakah katanya? Apakah meminta hak adalah bentuk keserakahan? Bukankah aku juga patut untuk diperjuangkan? Mengapa posisinya selalu saja salah dimata orang lain? Amora membua nafasnya kasar dan menghapus air matanya. "Kalau kamu memang nggak peduli sama aku, paling nggak pedulikan anakmu."Rehan tiba-tiba tertawa dingin, tawa itu menunjukkan betapa dia muak mendengar semua ucapan istrinya. "Selalu saja itu yang menjadi alasanmu untuk menuntut ini dan itu dariku. Anak yang kamu bahkan kandung bukanlah anak yang diharapkan! Anak perempuan hanya menjadi beban, nggak layak untuk menjadi pewaris keluarga Dwipangga!”Entah harus berapa banyak ucapan yang menyakitkan harus Amora terima. Yang barusan Rehan katakan sungguh di luar dari dugaan
Sofia yang baru datang dari toilet menghampiri Rehan yang sedang duduk di bangku panjang depan kamar rawat Olivia. "Kamu kenapa ada di luar?"Lelaki itu tampak sedikit terkesiap. "Oh, di dalam ada Amora yang lagi bicara sama Oliva.""Terus kenapa kamu malah keluar?""Oliva sendiri yang minta aku buat keluar, Bu." Suaranya terdengar agak kesal karena ibunya terus menyerangnya dengan pertanyaan yang sama.Wanita yang menyanggul rambutnya itu mendesah panjang, kemudian dia beralih duduk di samping putranya."Kalau dia macam-macam sama Oliv gimana?" Ucapannya penuh tuduhan.Di dalam benak Rehan, sebenarnya dia tidak begitu yakin apa yang akan dibicarakan sang istri kepada wanita yang dia sayangi.Amora tidak mungkin melakukan hal yang nekad, tetapi hatinya tetap saja tidak tenang. "Kalau Amora sampai berbuat buruk sama Oliva, aku nggak akan melepaskanya,” desisnya mengerutkan keningnyamSofia terlihat puas mendengarnya. "Ngomong-ngomong soal istrimu, aku rasa dia cemburu karena kamu terus