Amora memedam kekecewaannya karena Rehan mengangkat teleponnya dan mengabaikan pesan-pesannya.Amora akhirnya hanya menghubungi pembantunya untuk menjemput. Dia sudah menyerah dengan berharap kalau Rehan akan datang ke sini. Jangankan datang, lelaki itu bahkan tidak membaca pesan yang dia kirim. Mungkin terlalu asyik dengan wanita itu, batin Amora merana.Sungguh menyedihkan. Baik suami mau pun ibu mertuanya, tidak ada yang peduli. Amora pasrah. Dipikir-pikir sejak pernikahannya dengan Rehan, memang tidak ada yang bisa diharapkan. Kebahagiaan? Memangnya ada istilah itu dalam rumah tangga yang pernikahannya saja karena terpaksa?Namun, meskipun Amora sadar betul akan hal itu, dia tidak bisa untuk mundur. Pernikahan ini memang tidak diharapkan oleh Rehan, tetapi tidak dengan dirinya. Anak yang tengah dikandung memerlukan sosok ayah dan dirinya juga teramat mencintai lelaki itu.Amora sebelumnya tidak tahu kalau Rehan memiliki perasaan lebih kepada Olivia, tetapi setelah
“Kamu ngapain ada di sini?” tanya Rehan bingung bercampur kesal melihatnya.Ucapan itu membuat sang ibu mertua juga sadar dan kini menatap menantunya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sorot matanya saja sudah jelas ketidaksukaannya saat melihat Amora.“Aku … aku mau jenguk Olivia.” Tepat setelah Amora mengatakan itu, perawat tadi berpamitan usai melakukan tugasnya. Amora melanjutkan, “Apa … dia baik-baik aja?” Sofia mengendus sinis. “Kalau kamu ke sini mau buat keributan, jangan harap! Mending pulang aja, sana!” Amora mengelak, “Enggak, Bu. Aku cuma mau lihat kondisinya aja.”Saat Sofia akan mengatakan hal lain, Rehan lebih dulu bersuara, “Dia lagi butuh banyak istirahat. Kamu bisa ketemu dia nanti.” Suaranya dingin dan menusuk, bahkan setelah mengatakan itu, dia berpaling dari menatap istrinya, kembali memerhatikan Olivia yang dalam pengaruh obat penenang.Amora tidak bisa untuk tidak merasa sakit saat ini. Mereka memperlakukan dirinya sangat bertolak belakan
"Jangan banyak menuntut dariku karena alasanku untuk menikahimu tidak ada sangkut pautnya dengan perasaan dan tanggung jawab untuk menjaga hatimu. Memiliki status sebagai istriku saja sudah lebih dari cukup. Jangan mencoba-coba untuk serakah!"Serakah katanya? Apakah meminta hak adalah bentuk keserakahan? Bukankah aku juga patut untuk diperjuangkan? Mengapa posisinya selalu saja salah dimata orang lain? Amora membua nafasnya kasar dan menghapus air matanya. "Kalau kamu memang nggak peduli sama aku, paling nggak pedulikan anakmu."Rehan tiba-tiba tertawa dingin, tawa itu menunjukkan betapa dia muak mendengar semua ucapan istrinya. "Selalu saja itu yang menjadi alasanmu untuk menuntut ini dan itu dariku. Anak yang kamu bahkan kandung bukanlah anak yang diharapkan! Anak perempuan hanya menjadi beban, nggak layak untuk menjadi pewaris keluarga Dwipangga!”Entah harus berapa banyak ucapan yang menyakitkan harus Amora terima. Yang barusan Rehan katakan sungguh di luar dari dugaan
Sofia yang baru datang dari toilet menghampiri Rehan yang sedang duduk di bangku panjang depan kamar rawat Olivia. "Kamu kenapa ada di luar?"Lelaki itu tampak sedikit terkesiap. "Oh, di dalam ada Amora yang lagi bicara sama Oliva.""Terus kenapa kamu malah keluar?""Oliva sendiri yang minta aku buat keluar, Bu." Suaranya terdengar agak kesal karena ibunya terus menyerangnya dengan pertanyaan yang sama.Wanita yang menyanggul rambutnya itu mendesah panjang, kemudian dia beralih duduk di samping putranya."Kalau dia macam-macam sama Oliv gimana?" Ucapannya penuh tuduhan.Di dalam benak Rehan, sebenarnya dia tidak begitu yakin apa yang akan dibicarakan sang istri kepada wanita yang dia sayangi.Amora tidak mungkin melakukan hal yang nekad, tetapi hatinya tetap saja tidak tenang. "Kalau Amora sampai berbuat buruk sama Oliva, aku nggak akan melepaskanya,” desisnya mengerutkan keningnyamSofia terlihat puas mendengarnya. "Ngomong-ngomong soal istrimu, aku rasa dia cemburu karena kamu terus
Sementara itu, di dalam ruang rawat suasana masih canggung bagi Amora dan Olivia.“Aku minta maaf karena sudah membuat Rehan terus berada di sisiku,” kata Olivia lagi, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban dari lawan bicara. Olivia berusaha untuk mengubah posisinya menjadi duduk, tanpa disangka Amora bangkit dan membatunya dengan menaruh bantal di punggung agar Olivia bisa bersandar.“Terima kasih—eum … kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan. Apa itu?”Amora membalas datar. Tidak ingin terburu-buru mencerca Olivia karena terlalu banyak mengambil perhatian suaminya sebab mental wanita itu belum stabil.“Tentang kamu. Gimana kondisi kamu sekarang?”Raut wajah Olivia langsung berubah sendu.“Ah, itu … aku rasa kamu udah dengar sebagian tentangku, ‘kan?” Dia tersenyum muram, matanya tidak bisa menyembunyikan betapa dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menangis.Setiap kali mengingat tentang suaminya, seperti ada yang menekan keras dada wanita itu hingga rasanya akan hancur seketika.
Olivia berjengit keget saat Amora membentaknya. Dia bisa melihat tatapan penuh amarah dari temannya itu. “A-Amora—““Kamu pikir hanya kamu yang menderita di sini?! Apa yang merasukimu sampai berpikiran ingin mati, padahal ada janin yang hidup di perutmu?!” Amora tidak bisa menahan emosinya lagi. Entah ini semua murni amarahnya karena tidak habis pikir dengan cara berpikir Olivia, atau ini semua dipicu akibat rasa sakit hatinya mengenai Rehan.“Kamu nggak tahu perasaanku, Amora!” Olivia membalas dengan suara parau akibat tangis. “Kamu nggak akan tahu karena nggak berada di posisi aku!”“Terus? Apa itu artinya kamu yang paling berhak untuk memutuskan ingin mati atau nggak?” balas Amora tajam. “Apa salah janin itu sampai kamu bisa berpikir untuk mati?” Dia membuang nafas kasar. “Aku bicara seperti ini bukan karena peduli padamu.” Tatapannya mulai merendah, tidak setajam seperti sebelumnya.“Memangnya apa yang bisa diharapkan dari orang sepertimu? Kamu hanya mementingkan diri sendiri,
Wanita paruh baya tersebut menghampiri Amora yang wajahnya sudah memucat.Amora bukan merasa gentar, tetapi rasa sakit di perutnya semakin lama semakin sakit.Ada yang tidak beres di sini. Dia tidak menjawab, bahkan saat tatapan tajam Sofia menjurus padanya.“Kenapa diam aja, hah?!” Merasa geram, Sofia mengangkat tangannya, seakan hendak memukul sang menantu. Namun Rehan tiba-tiba menahan rangannya.“Lepas, Rehan! Ibu mau kasih wanita nggak tahu diri ini pelajaran setimpal!”“Bu, tenang dulu!” Rehan beralih menghadang ibunya, berdiri di antara Sofia dan Amora, seakan-akan dia adalah tameng perlindungan istrinya.“Apa-apaan kamu ini?! Sekarang kamu membela istrimu?!”“Ya, dia istriku!” serunya menjawab dengan lantang.Semua orang yang berada di ruangan itu tampak terkejut, terutama Amora.Dia merasa heran sekaligus terkejut dengan sikap Rehan yang mendadak berpihak padanya.“Karena itulah biarkan aku yang mengurusnya, Bu. Ibu nggak perlu ikut campur.”Masih dilanda keterkejutan, Sofia
Di saat itu, keluarga Olivia datang. Tuan dan Nyonya Kusuma tampak heran karena suasana ruangan yang suram dan hening.“Ada apa ini?” tanya ibu Olivia yang berjalan mendekati ranjang putrinya.Di tangan wanita separuh baya itu ada buket bunga kesukaan Olivia.Tidak ada yang menjawab, Rehan sendiri masih terlihat emosi dengan matanya yang memerah.“Lebih baik kamu cepat pergi dari sini, Amora!” Sofia bersuara keras dan kasar mengusir Amora, takut Tuan dan Nyonya Kusuma terganggu dengannya.“Jangan berani-berani lagi mengganggu Olivia yang sedang sakit! Tega sekali kamu berbicara hal buruk sampai membuat kondisi psikis Oliv down lagi.” Dia mengatakan kata-kata itu dengan sengajam. Itu memang sengaja dia lakukan untuk semakin memojokkan menantunya.Tentu saja kedua orang tua Olivia terkejut dan sang ibu langsung memeluk putrinya. Dia menatap Amora dengan marah.“Apa yang kamu lakukan padanya?!”Amora tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang menyedihkan.Sofia yang merasa gemas kar
“Sayang? Udah bangun?"Amora yang baru saja akan membuka matanya dari tidur, sedikit terkejut dengan suara suaminya. Terdengar sangat serak dan dekat. Tatkala ia menoleh, senyum tampan suaminya menyambut dirinya.Giandra tertawa kecil. Laki-laki dewasa yang baru saja kembali dari kantin itu sedang menggendong sang buah hati. Tampaknya juga bayi lucu yang menurun dari ibunya sedang ikut tertidur juga. Terlihat dari mata kecil yang tertutup rapat. Dan bibir yang maju ."Kamu haus nggak?" tanya Giandra sembari berjalan ke arah box bayi dan menempatkan kembali putranya di sana. Kemudian berbalik dan duduk di sisi kanan ranjang rumah sakit istrinya. Rambut lepek di atas dahi ia usap lembut."Sedikit," jawab Amora dengan senyum manis. Senyumnya semakin sumringah ketika Giandra dengan cepat mengambilkan minum untuknya."Mau duduk dulu?" tawar Giandra yang di balas anggukan lemah dari Amora. Setelah mendudukkan diri, barulah Amora meminum air yang disodorkan oleh Giandra."Kamu mau pulang sek
Giandra benar-benar menjadi ayah dan suami siaga saat ini. Bahkan istrinya saja sampai bosan melihat wajahnya dan berulang kali meminta agar dokter tersebut pergi.“Ini jam istirahat, lebih baik kamu makan siang,” bujuk Amora yang khawatir dengan kesehatan suaminya.“Aku ingin bersama anak kita dulu,” jawabnya.Laki-laki itu menggendong sang buah hati dan memainkan pipi Ghazam yang masih merah. Ia benar-benar dibuat gemas dengan bayi mungil tersebut.Saat tengah menggendong tiba-tiba bayi itu menangis dan membuat Giandra panik bukan main. Amora yang reaksi suaminya lantas tertawa pelan.“Ghazam, lapar, ya?” tanya Giandra seraya menyerahkan bayi tersebut ke Amora.“Makan siang, lalu ke sini kalau sudah tidak ada pasien lagi,” ujar Amora dan dengan terpaksa akhirnya Giandra setuju. Sebelum makan siang Giandra menyempatkan diri mencium kening istrinya terlebih dahulu, lalu pergi.Giandra tampak seperti orang sinting saat ini karena suasana hatinya benar-benar baik. Ia menyapa beberapa pe
Setelah perceraian Rehan dan Olivia, Giandra dan Amora akhirnya memutuskan meninggalkan keluarga Dwipangga. Awalnya keluarga Dwipangga tidak setuju dan dia bertengkar hebat dengan Sofia. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Giandra. Dia membawa Amora kembali ke Singapura meninggalkan semuanya di Indonesia.Beberapa bulan kemudian.Amora menahan keluh saat kakinya mulai sakit. Ia tetap kelihatan kuat walau kakinya pegal luar biasa, lagi pula ini adalah salahnya yang ingin berbelanja di saat umur kandungannya sudah memasuki usia sembilan bulan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Giandra yang sepertinya paham dengan keadaan istrinya tersebut.“Tidak apa-apa, Giandra,” jawabnya dengan tersenyum manis.Laki-laki tampan tersebut menghela nafas berat, ia berjalan cepat hingga membuat Amora terkejut karena wanita itu tidak dapat mengikutinya, tapi tidak lama Giandra kembali dengan membawa kursi plastik.“Duduk dulu,” kata Giandra dan Amora menurut. Laki-laki tersebut berjongkok di de
Akhirnya proses perceraian Olivia dengan Rehan berjalan lancar. Tampaknya tidak ada yang merasa sedih atau berat hati jika keduanya berpisah. Sofia malah tampak senang. Jelas saja, karena wanita itu memang sudah lama ingin agar Rehan bercerai dengan Olivia. Sisanya tidak ada yang berkomentar sama sekali.Sementara Oliver yang masih tidak paham kalau kedua orang tuanya sudah bercerai juga santai-santai saja ketika melihat Olivia pergi meninggalkan mansion sambil menyeret dua buah koper. Sepertinya faktor terbiasa ditinggal pergi oleh Olivia membuat anak itu berpikir kalau ibunya pergi dalam rangka melakukan liburan, bukan karena telah berpisah dengan ayah sambungnya.Setelah menanda tangani surat perceraian itu, Rehan tidak pulang semalaman dan baru pulang esok harinya setelah menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan di bar. Ia mabuk bukan karena sedih akan bercerai dengan Olivia, tentu ia juga akan dengan senang hati menceraikan wanita itu jika saja tak ada Oliver yang membuat pria itu
Olivia masih yakin kalau suaminya itu sedang bersama dengan Anna. Tentu pemikiran ini muncul karena dia merasa Rehan sedang membalas dendam karena dirinya yang tidak pulang beberapa hari guna menghabiskan waktu bersama Randika, dan tentu saja pria itu tidak akan sudi jika hanya berdiam diri di rumah saja dan menunggu kepulangannya. Jadi, memang lebih masuk akal jika Rehan menghabiskan waktunya di luar bersama dengan wanita lain, dan tentu wanita itu adalah Anna. Memang siapa lagi wanita yang saat ini sedang dekat dengan Rehan?Lagi pula, sejak kepulangannya, tidak hanya Rehan yang tak tampak, Anna juga tidak datang ke mansion ini. Sesuatu yang patut dicurigai oleh Olivia.Ketika sarapan tadi pagi pun yang hadir di meja makan hanya Olivia dan kedua mertuanya. Amora dan Giandra absen hadir di meja makan karena alasan kesehatan Amora yang sedang tidak bagus. Wanita itu kembali mengalami mual yang hebat dan membuat Giandra jadi mengambil cuti guna merawat istrinya yang tengah hamil muda i
Setelah menunggu semalaman sampai pagi tiba, Olivia tidak juga mendapati Rehan berada di mansion ini. Ia curiga kalau pria itu sengaja tidak pulang untuk menghindarinya. Atau bisa saja pria itu memang pergi untuk bersenang-senang dengan wanita lain.“Apa dia menghabiskan waktu dengan dokter itu dan saking senangnya dia sampai tidak berniat pulang lagi? Atau jangan-jangan mereka sudah merencanakan pernikahan?” tanya Olivia kepada diri sendiri.Wajar jika Olivia berpikir begitu, karena malam ketika Anna berpamitan kepada keluarga Dwipangga ini Olivia tidak berada di rumah, wanita itu begitu sibuk menghabiskan waktunya di tempat tinggal Randika. Berada di rumah dengan kehadiran Anna sesekali ke rumah itu, terlebih saat Giandra masih sakit dan cuti bekerja membuat Olivia jadi gerah.Dia beralasan ingin menjenguk Giandra, tapi tujuannya tentu saja untuk mencuri-curi waktu bersama Rehan dan mengambil hati wanita tua itu yang ingin sekali menjadikannya menantu, batin Olivia jika teringat bag
Setelah beberapa hari ini Amora tidak diserang rasa mual yang hebat seperti sebelum-sebelumnya, sekarang rasa mual itu mulai datang lagi. Sejak pagi Amora sudah berkali-kali ke kamar mandi, berusaha memuntahkan isi perutnya. Namun tidak ada yang ke luar selain cairan bening yang terasa pahit di tenggorokannya. Giandra yang tidak tega melihat Amora yang berbaring lemas di ranjang menjadi dilema untuk pergi kerja atau izin libur agar bisa merawat Amora.Giandra akhirnya membatalkan niatnya untuk pergi kerja dan memelepon ke rumah sakit. Sebenarnya sebelum Amora diserang rasa mual yang hebat itu Giandra sudah berpakaian rapi seperti biasanya. Namun, saat ini jasnya sudah tergeletak di sofa di kamarnya, lengan baju yang sudah dikancingnya pun sudah digulung sampai siku, dan dasinya sudah dilepas, bahkan kancing kerah bajunya juga sudah dicopot. Giandra kini bertransformasi menjadi suami yang siaga. Dia memijat tengkuk Amora ketika lagi-lagi perempuan itu merasakan perutnya bergejolak.“Ma
Randika membolakan matanya saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Olivia. Sebenarnya bukan baru kali ini saja dia mendengar Olivia mengucapkan kata kalau ia ingin cerai dengan Rehan, Randika sudah mendengarnya berulang kali. Tapi, saat ini yanh membuat Randika cukup terkejut adalah karena dari raut wajahnya tampak kalau Olivia tidak main-main dengan apa yang diucapkannya. Wanita itu kelihatan sangat serius dan sudah yakin kalau akan meminta cerai dari Rehan."Kau yakin dengan apa yang kau ucapkan itu, Honey?" tanya Randika dengan kening mengernyit.Olivia mengangguk yakin. Wajahnya terlihat begitu tegas dan tidak sedikit pun tampak kebimbangan atau kecengengan di sana, sangat jauh berbeda dengan Olivia yang ketika pertama kali mengatakan ingin bercerai itu menyampaikan kepada Randika sambil menangis. "Ya, aku sangat yakin," tegas Olivia.Randika bangkit dari tidurnya dan duduk menghadap ke arah Olivia. Kemudian dia meyakinkan wanita itu untuk memikirkan ulang keputusannya dan
Sebenarnya Giandra tak punya rencana untuk mengajak Amora pergi ke rumah ibu Anna. Mana mungkin di saat perasaan bersalah yang dideritanya karena merasa telah mengkhianati Amora sebab Anna yang menyatakan cinta kepadanya membuat pria itu mengambil keputusan untuk mengajak sang istri bertemu dengan orang tua wanita itu? Giandra tak segila itu.Namun, entah bagaimana ceritanya, pagi-pagi sebelum Amora mengatakan kepadanya kalau wanita hamil itu ingin makan seblak, sebuah pesan mendarat di handphone nya. Pesan dari Anna.Dokter AnnaPagi Dokter GiandraMaaf jika membuat Dokter tidak nyamanSaya hanya ingin menyampaikan maaf dan terima kasih sekali lagiTerutama untuk AmoraOh iya, tadi saya sudah menyampaikan kepada ibu kalau Amora ingin makan seblakDan Ibu meminta agar Dokter Giandra dan Amora datang ke rumahIbu bilang akan membuatkan seblak sebagai rasa terima kasihSemoga Dokter berkenan menerima kebaikan kamiGiandra menghela napas. Saat pesan itu datang kepadanya, jelas dia tidak