“Kamu ke sana lagi?” Amora memegang perutnya hamil tujuh bulan melihat sang suami mengemas pakaiannya ke dalam tas.
“Iya, Olivia masih sakit dan belum siuman. Aku khawatir jika dia bangun dan mendengar berita Liam meninggal, dia akan depresi. Aku harus ada di sana dan menjaganya,” balas Rehan acuh tak acuh tanpa menatap Amora, sibuk memasukkan pakaiannya dalam tas.
Beberapa hari yang lalu, Liam, suami Olivia meninggal dalam kecelakaan bersama sang istri. Olivia terbaring di rumah sakit masih belum sadar. Sejak menerima berita itu Rehan tinggal di rumah sakit untuk merawat Olivia.
Amora merasa aneh melihat Rehan merawat Olivia sampai berhari-hari. Dia mencoba berpikir positif karena Rehan dan Olivia adalah masa kecil.
Tapi apa wajar jika Rehan lebih peduli pada Olivia dibandikan dia, istri?
Amora sangat resah melihat perhatian suaminya pada wanita lain meski itu adalah teman masa kecilnya.
Dia tidak ingin Rehan pergi. Jadi menahan dan memohon agar dia tetap tinggal.
“Olivia punya keluarga sendiri. Mereka bisa menjaga dan merawatnya. Bisakah kamu tinggal di rumah?” Dia menatap Rehan memohon dan meraih tangannya.
“Aku takut sendirian.”
Rehan menepis tangannya dan menatapnya kesal.
“Jangan manja. Ada pembantu di rumah yang bisa temani kamu,” katanya tidak sabar menutup tasnya.
“Kamu adalah suamiku. Nggak bisa kah meluangkan waktu untukku? Kamu lebih banyak berada di rumah sakit merawat Olivia. Aku sedang hamil,” keluhnya mengelus perutnya yang buncit. Dia merasa tidak nyaman dengan kenyataan Rehan merawat Olivia.
“Orang lain akan mengira Olivia istrimu dan bukan aku,” bisiknya lirih.
Dia bisa toleran Rehan lebih peduli Olivia karena mereka adalah sahabat masa kecil dan keluarga mereka dekat.
Namun Rehan sampai tinggal beberapa hari di rumah sakit dan kepeduliannya pada Olivia membuatnya cemas.
Rehan menatapnya tajam. Ketika matanya menatap perut Amora, matanya bersinar muak.
“Dengar, aku benci mengulang kata-kataku. Jangan gunakan kehamilanmu untuk mengekangku. Sudah bersyukur aku menikahimu. Jangan melewati batasmu.”
“Antara kamu dan Olivia, aku lebih peduli dengan Olivia. Jangan pernah membandingkanmu dengannya!”
Setelah mengatakan itu dia mengambil tasnya dan mendorong Amora menyingkir dari jalannya. Dia membanting pintu kamar dengan kasar.
Amora terjatuh di atas tempat tidur memandang pintu kamar yang tertutup. Air mata mengalir di pipinya mengingat kata-kata menyakitkan suaminya.
“Rehan, aku harus apa lagi agar kamu mencintaiku ....” bisiknya lirih.
Selama pernikahannya dia hanya menerima sikap dingin Rehan.
Dia mengerti Rehan tidak mencintainya dan pernikahan mereka adalah tanggung jawabnya karena tidak sengaja menghamili Amora.
Namun Amora telah mencintainya sejak mereka duduk di bangku kuliah. Dia tidak bisa menahan sakit di hatinya karena suaminya lebih peduli dengan Olivia, yang juga sahabat Amora.
....
Rehan tidak pulang selama beberapa hari. Amora sudah terbiasa ditinggal oleh Rehan, entah itu karena pekerjaan atau dia ingin menjauhinya.
Amora mencoba menenangkan perasaannya bahwa tidak ada yang terjadi antara Rehan dan Olivia.
Amora melakukan olah raga paginya berjalan-jalan di sekitar Komplek perumahan. Ini akan membantunya saat tiba waktu melahirkan.
“Ah, Amora ... jalan-jalan lagi?” Salah satu dari ibu-ibu yang berkumpul dan mengobrol depan halaman rumah tetangga menyapa Amora.
Amora berhenti. Dia menoleh melihat sekelompok ibu-ibu tengah berkumpul dekat pagar pendek salah satu rumah.
Dia tersenyum dan mengangguk menyapa mereka.
“Kok sendiri? Kenapa nggak ditemani suamimu?” tanya ibu lain iseng.
Amora mencoba tersenyum.
“Rehan sibuk dengan pekerjaan.”
“Masa? Pas aku ke rumah sakit jenguk anakku, aku sering lihat suami kamu berseliweran di rumah sakit tiap hari. Pas aku tanya, dia bilang merawat Olivia yang habis kecelakaan,” ujar tetangganya yang lain dengan ekspresi sinis.
Mereka saling mengenal karena Olivia dan suaminya juga tinggal di Komplek rumah ini.
“Iya, aku juga lihat muka Rehan kelihatan lelah pas ngenguk Olivia. Dia nggak pernah ninggalin kamar rawat Olivia.”
"Kok dia peduli sama istri orang, sama istri sendiri yang lagi hamil ditinggalin di rumah sendirian. Amora kok kamu tahan banget sama suamimu gitu perhatian sama perempuan lain."
"Kasihan banget sih kamu sebagai istrinya, suami gak peduli gitu malah rawat istri orang."
Ibu-ibu lain juga menyahutnya dan menatap Amora prihatin.
Deg, jantung Amora berdegup kencang mendengar kata-kata ibu-ibu itu.
Amora tersenyum palsu.
“Olivia baru saja kecelakaan dan suaminya meninggal. Rehan dan Olivia sudah berteman lama. Suamiku khawatir Olivia akan terguncang dan merawatnya. Aku nggak bisa datang juga karena lagi hamil.”
Ibu yang berwajah sinis berkomentar.
“Kamu percaya itu? Bahkan orang buta pun tahu ada yang aneh dengan Rehan. Orang waras mana yang mau merawat istri orang lain sampai berhari-hari gak pulang, sementara istrinya sendiri sedang hamil nggak dipedulikan.”
Mereka tahu selama beberapa hari mobil Rehan tidak lewat Komplek yang menandakan pria itu tidak pulang.
Ibu-ibu lain mengangguk.
“Jangan begitu toleran Amora, bisa saja suamimu suka sama Olivia, atau ada hubungan rahasia di antara mereka.”
“Suami Olivia juga sudah meninggal, dan dia jadi janda. Siapa tahu dia bisa merebut suamimu. Kamu harus berhati-hati.”
“Pria suka yang baru dan membuang yang lama. Olivia masih cantik dan muda. Dia juga berasal dari keluarga kolongmerat. Aku dengar para pria di kompleks ini banyak ngomongin Olivia sebagai istri idaman. Aku jengkel banget dengar suamiku juga ngomong kayak gitu."
"Suami aku juga."
“Hati-hati Amora. Suami Olivia sudah meninggal, dan dia janda sekarang. Jaga suami kamu jangan sampai terjerat sama Olivia. Jangan termakan omongan yang bilangnya hanya teman. Teman bisa makan teman.
Kata-kata mereka membuat Amora gelisah.
Amora tahu tentang sikap perhatian Rehan pada Olivua tapi ia tidak ingin mengakuinya bahwa suami tertarik pada sahabatnya. Tapi sekarang ibu-ibu di komplek ini terang-terengan menyebut suaminya tertarik dengan Olivia sangat menusuk hatinya.
Dia kerap kali menemukan suaminya menatap Olivia bahkan saat dia dan Liam di sekitar.
Amora berkeringat dingin, hatinya sangat gelisah dan nyeri menyengat hatinya membuat matanya memanas. Dia menundukkan kepalanya dia tidak ingin memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca.
“Amora, kamu harus berhati-hati jaga suami kamu. Nggak mudah mencari suami tajir seperti Rehan.” Ibu muda berwajah sinis berkata sambil melirik penampilan Amora sambil berdecak. Ada tatapan iri dan menghina di matanya.
Amora tersenyum pahit. Ya, dia hanya anak yatim miskin yang mendapat jackpot menikahi Rehan, putra kedua kolongmerat Dwipangga yang bakal dinobatkan jadi pewaris Perusahaan Abdi GWP Group.
Meski belum menjadi CEO di perusahaan keluarganya, dalam beberapa tahun Rehan akan memimpin perusahaan keluarganya.
“Aku kasihan sama kamu. Kamu sibuk merawat kandunganmu tapi suami kamu merawat wanita lain.” Salah satu wanita itu berkata menatap Amora prihatin.
“Jika itu suamiku, aku sudah mencak-mencak menyeretnya pulang dan memberi wanita itu pelajaran.”
Amora tersenyum. Sayangnya dia bahkan tidak berani marah pada Rehan, apalagi menanyakan perlakukan spesialnya pada Olivia.“Olivia adalah teman suamiku dan aku juga. Kami sangat dekat. Wajar jika dia merawatnya. Jika bukan karena kehamilanku, aku juga sudah di rumah sakit dan merawat Olivia,” ujar Amora mencoba tenang.Olivia juga sahabatnya dari sejak kuliah dan dia yang memperkenalkan Amora pada Rehan. Amora sangat mengenal Olivia mencintai Liam, suaminya.Amora mengkhawatirkan kondisi temannya yang selamat dari kecelakaan. Tidak hanya menderita luka pasca kecelakaan, Olivia harus menerima kenyataan bahwa suaminya sudah meninggal. Dia pasti terguncang dan depresi mengingat Olivia sangat mencintai Liam.Amora mencoba menenangkan kegelisahannya.Hatinya gelisah ingin pergi ke rumah sakit dan memeriksa mereka. Namun kondisinya yang sedang hamil tujuh bulan membuatnya tidak bisa bergerak bebas dan dia takut Rehan akan marah jika dia mengganggu.Salah satu wanita berdecak.“Mau sampai k
Mengapa dia begitu bodoh dan buta?Selama ini dia melihat Rehan lebih peduli pada Olivia dan interaksi mereka lebih intim.Dia selalu berpikir karena Olivia adalah teman dekat Rehan dan dia mencintai Liam. Dia selalu menyangkal bahwa suaminya menyukai Olivia.Dia ingat ketika Rehan mendatanginya dalam keadaan mabuk setelah menghadiri pernikahan Olivia dan Liam. Dia terlihat begitu terluka dan terpuruk. Amora begitu bodoh menghiburnya yang mengarahkan mereka pada malam kesalahan itu di mulai.Setelah dia hamil, Amora berpikir Rehan menyuruhnya untuk menggugurnya, namun pria itu justru melamarnya untuk bertanggung jawab. Amora berharap sedikit Rehan akan mencintainya, dia terlalu naif.Setelah menikah, mereka pindah di komplek perumahan yang sama dengan Olivia dan Liam. Rehan menggunakannya untuk lebih sering membuat reuni di rumah Olivia dan Liam. Matanya tidak pernah lepas dari Olivia, dan tatapan bencinya pada Liam.Amora hanya pelampiasannyaPemandangan hari ini dan kata-kata Rehan
Rehan tidak pulang tiga hari berikutnya pada saat yang sama Olivia sudah sadar dari komanya. Amora sudah pasrah dengan nasib rumah tangganya.Amora tidak ingin mengunjungi rumah sakit jika hanya untuk makan hati melihat suaminya sendiri merawat temannya dan bahagia karena Olivia sudah sadar.Cukup menyakitkan bagi Amora dengan sikap suaminya lebih perhatian pada perempuan lain, dibandingkan dia, istrinya sendiri. Bahkan tetangganya mulai kepo dan begitu usil bagaimana rumah tangga Amora dan Rehan menambah depresinya.Seperti pagi ini, Amora tidak berjalan-jalan lagi untuk menghindari bertemu ibu-ibu Komplek yang suka bergosip. Tapi mereka yang menghampirinya dengan alasan lewat untuk mengusik urusan rumah tangganya.“Aduh Amora, tenang banget sih kamu di rumah, sementara suami kamu tuh jaga perempuan lain. Nggak sakit hati apa?”Ibu-ibu komplek baik muda dan tua berdiri di luar pintu pagar rendah rumahnya saat Amora sedang menyiram bunga di halaman.Amora berpura-pura tidak mendengar
Sementara itu Amora di dalam kamar mencoba mati-matian menahan air saat memasukkan pakaian-pakaian penting Rehan ke dalam tas.Jangan menangis, batinnya berbisik.Mengapa rumah tangganya harus berakhir seperti ini?Apa belum cukup pengorbanannya menahan hinaan Ibu mertua dan ketidakpedulian Rehan, suaminya mulai terang-terangan menunjukkan perhatiannya sama Olivia pada orang lain.Bibir Amora bergetar. Dia menggigit bibir bawahnya keras menahan dirinya agar tidak menangis terus melanjutkan pekerjaan memasukkan pakaian Rehan ke dalam tas.Namun tak bisa dicegah air matanya mengalir di pipi jatuh di atas kemeja Rehan.Dadanya sungguh sesak. Amora mencengkeram erat kemeja Rehan membiarkan air matanya mengalir.Sakit di hatinya sungguh tak tertahankan.Amora mencengkeram erat dadanya di mana sumber rasa sakitnya.Tok, tok, tok.Amora tersentak dan dengan cepat menghapus air matanya.“Siapa?” tanyanya. Suaranya serak.Pintu kamar terbuka dan sosok wanita cantik muncul sambil tersenyum mani
“Kamu harus menjaga emosi Anda saat lagi hamil. Emosi ibu berpengaruh pada jabang bayi. Beruntung Anda hanya mengalami komplikasi ringan hingga tidak menyebabkan keguguran,” omel seorang dokter wanita pada Amora yang berbaring di tempat tidur pasien.Aria mendengar penjelasan sambil memejamkan mata.“Aku tahu Dokter, terima kasih,” bisiknya dengan suara lemah.Dokter meliriknya lalu menyerahkan grafik medis pada asistennya dan menyuruhnya keluar.“Apa yang sebenarnya terjadi sampai tertekan seperti ini?”Amora tidak menjawab hanya menutupi matanya dengan lengannya.“Pada saat kondisimu seperti ini, mengapa suamimu tidak datang?” lanjut Dokter tidak melihat pria yang menjadi suami Amora di mana pun. Saat dia datang pun, Amora hanya ditemani oleh pembantu rumah tangga.Dia bahkan tidak melihat keluarga mertua Amora.Amora masih menjawab, namun dokter itu melihat pundaknya sedikit bergetar.“Amora, apa yang terjadi? Kamu nangis?” Dia mencoba menarik tangan Amora agar dia bisa melihat waj
Di tempat lain, Rehan yang berada di ruang rawat Olivia. Wanita itu sudah sadar, tetapi keadaannya masih terlihat lemah dan pucat masih berduka setelah menerima berita kematian suaminya.Rehan senantiasa menemani dan merawat agar Olivia tidak terpuruk setelah menerima berita kematian Liam.“Via, makanlah ….” Di samping ranjang Rehan menyodorkan sesuap sendok bubur.Olivia menoleh wajah pucat sambil tersenyum lemah. “Rehan, terima kasih sudah merawatku selama beberapa hari ini. Tapi apa kamu tidak lelah? Mengapa kamu tidak pulang? Amora pasti mengkhawatirkanmu,” ujarnya sedikit cemas karena Rehan sudah beberapa hari ini tidak pulang dan merawatnya di rumah sakit.“Apa Amora tahu kamu sudah merawatku selama ini, dia tidak marah?” lanjut Olivia berkata dengan pelan.Selama Rehan merawatnya, dia tidak melihat sahabatnya, Amora datang mengunjunginya ketika sadar dari koma.Rehan berkata acuh tak acuh.“Jangan khawatirkan tentang Amora.”Olivia mengerutkan keningnya.“Mengapa ka
Amora memedam kekecewaannya karena Rehan mengangkat teleponnya dan mengabaikan pesan-pesannya.Amora akhirnya hanya menghubungi pembantunya untuk menjemput. Dia sudah menyerah dengan berharap kalau Rehan akan datang ke sini. Jangankan datang, lelaki itu bahkan tidak membaca pesan yang dia kirim. Mungkin terlalu asyik dengan wanita itu, batin Amora merana.Sungguh menyedihkan. Baik suami mau pun ibu mertuanya, tidak ada yang peduli. Amora pasrah. Dipikir-pikir sejak pernikahannya dengan Rehan, memang tidak ada yang bisa diharapkan. Kebahagiaan? Memangnya ada istilah itu dalam rumah tangga yang pernikahannya saja karena terpaksa?Namun, meskipun Amora sadar betul akan hal itu, dia tidak bisa untuk mundur. Pernikahan ini memang tidak diharapkan oleh Rehan, tetapi tidak dengan dirinya. Anak yang tengah dikandung memerlukan sosok ayah dan dirinya juga teramat mencintai lelaki itu.Amora sebelumnya tidak tahu kalau Rehan memiliki perasaan lebih kepada Olivia, tetapi setelah
“Kamu ngapain ada di sini?” tanya Rehan bingung bercampur kesal melihatnya.Ucapan itu membuat sang ibu mertua juga sadar dan kini menatap menantunya. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari sorot matanya saja sudah jelas ketidaksukaannya saat melihat Amora.“Aku … aku mau jenguk Olivia.” Tepat setelah Amora mengatakan itu, perawat tadi berpamitan usai melakukan tugasnya. Amora melanjutkan, “Apa … dia baik-baik aja?” Sofia mengendus sinis. “Kalau kamu ke sini mau buat keributan, jangan harap! Mending pulang aja, sana!” Amora mengelak, “Enggak, Bu. Aku cuma mau lihat kondisinya aja.”Saat Sofia akan mengatakan hal lain, Rehan lebih dulu bersuara, “Dia lagi butuh banyak istirahat. Kamu bisa ketemu dia nanti.” Suaranya dingin dan menusuk, bahkan setelah mengatakan itu, dia berpaling dari menatap istrinya, kembali memerhatikan Olivia yang dalam pengaruh obat penenang.Amora tidak bisa untuk tidak merasa sakit saat ini. Mereka memperlakukan dirinya sangat bertolak belakan