Tubuh Raya terasa sangat kaku, raut wajahnya menjadi muram. “Ka … Kamu mengetahui hal ini?”Pria itu mengira dirinya telah berhasil menutupi semua hal ini dari Lydia dan ayahnya.Dirinya sudah dengan sangat hati-hati memilih pemegang saham kecil yang bergabung dengan Agustine Group lalu membelinya. Siapa sangka, Lydia dan Rizal masih mengetahuinya juga.Lydia tertawa.“Agustine Group adalah hasil kerja keras Ayahku, dan bukan hasil warisan dari leluhur. Secara teori, kamu nggak berhak untuk mendapatkan sepotong kue pun. Aku selalu berusaha untuk mengabaikan semua perbuatanmu, karena Ayahku masih memandang berat rasa persaudaraan. Kalau kamu masih tetap membuat keributan, jangan salahkan aku kalau aku sudah nggak melihat lagi rasa persaudaraan ini ….”Raya hanya menundukkan kepala dan tidak mengatakan apa pun, sorot matanya memancarkan rasa penyesalan.Dirinya saat ini , sudah tidak emosi seperti ketika baru sampai tadi. Lydia menaruh hasil foto yang telah dicetaknya ke tangan Raya, “
Shinta sangat terkejut, biasanya setiap tempat di mana Dylan berada, Lydia pasti akan langsung menghindarinya sebisa mungkin. Mengapa untuk pertemuan ini, atasannya malah tidak menghindar seperti biasanya?Lydia memegang undangan tersebut dengan alis yang sedikit terangkat, dirinya sedikit tidak memahami, mengapa Dylan tiba-tiba begitu berbaik hati hingga memberitahukan dirinya kesempatan yang sangat baik ini.Bagaimanapun juga, Lydia nggak akan menyia-nyiakan kesempatan yang begitu langka ini.“Tolong bantu aku pesankan tiket pesawat …,” ucap Lydia kepada Shinta.Shinta terdiam sesaat sebelum menjawab Lydia. “Pak Toni bilang, tiket pesawatnya sudah dipesan oleh Pak Dylan. Kalau Ibu Lydia mau pergi, Ibu bisa langsung ke bandara saja.”Lydia, “….”Dylan yang seperti set*n ini yang terus menerus mengawasi dan menempel dengan dirinya.Setelah berpikir beberapa saat, Lydia membawa undangan tersebut dan pergi mencari Nixon.“Kak, Dylan sih b*jingan itu memberikan aku undangan ini, tapi aku
Tansen Group.Ketika Dylan keluar dari ruang rapat, langit sudah berwarna kemerah-merahan.Matahari yang mulai terbenam menggantung miring di puncak pohon di luar jendela kantor. Persis seperti malam-malam yang biasa.Pria itu masih ada waktu sekitar 40 menit untuk ke bandara, dirinya tidak pernah lupa sedikit pun, Lydia sedang menunggunya di negara Ruzzen.Pria itu melonggarkan dasinya, tepat ketika dirinya baru saja mau meminta tolong Tony untuk membawa semua dokumen yang perlu ditanda tangannya, asistennya sudah masuk ke dalam ruangan dengan tergesa-gesa.Wajahnya terlihat panik dan juga pucat.Tony sudah menjadi asistennya selama bertahun-tahun, sikap pria ini selalu tenang dan tidak pernah kehilangan kendali sedikit pun.“Pak … Pak Dylan ….”Dylan mengerutkan alisnya, raut wajahnya terlihat tenang menunggu asistennya melanjutkan pembicaraan.“Aku baru menerima kabar, bahwa satu jam yang lalu, pesawat yang ditumpangi oleh Ibu Lydia kehilangan kendali dan jatuh. Setelah melakukan pe
Agustine Group mengirim belasan pesawat untuk mencari di lautan, di mana tempat pesawat itu terjatuh. Mereka juga meminta bantuan dari tentara di perairan Negara terdekat untuk mencari keberadaan Lydia. Mereka tidak menyerah begitu saja.Dengan cepat, area pencarian tersebut diperluas, ratusan pesawat terbang di udara, membentuk formasi pencarian yang sangat besar.Jumlah penyelam profesional yang diterjunkan ke laut pun meningkat menjadi puluhan kali lipat. Hal ini membangkitkan kewaspadaan untuk negara-negara di sekitar perairan tersebut.Dylan tanpa merasa ragu sedikit pun ikut masuk ke dalam pencarian itu, hanya demi menemukan seseorang.Pria itu tidak lupa, undangan tersebut, dirinyalah yang telah memberikannya kepada perempuan itu.Kalau bukan karena dirinya, Lydia pasti tidak akan mengalami hal seperti ini, tidak perlu merasa takut, tidak akan terjadi kecelakaan, tidak akan kehilangan jejak, bahkan sampai harus kehilangan nyawa.Pria itu tidak dapat membayangkan, ketika pesawat
Di suatu pulau kecil yang jaraknya 1.000 mil dari tempat pencarian. Terdengar suara ombak berderu menerpa pulau tidak berpenghuni tersebut.Rimbunan pohon-pohon menutupi hampir seluruh pulau, membuat pulau tersebut terlihat berwarna hijau dari kejauhan. Di luar hutan, terdengar suara ombak dan juga hembusan angin laut yang dingin dan asin.Lydia sudah terdampar di tempat ini selama tiga hari, dirinya tidak menemukan makanan atau minuman apa pun di pulau tersebut, sehingga dirinya sudah tiga hari tidak makan dan minum. Bibir tipis perempuan itu sudah mulai kering dan pecah-pecah.Syal yang tadi digunakan untuk menggendong Tiger telah dijadikan mantelnya, sementara tiger meringkuk dengan patuh di dalam saku baju Lydia. Robot macan itu terlihat seperti lesu dan kehilangan tenaga.Untungnya, perempuan itu lebih cepat daripada orang lain. Tepat sebelum pesawat itu meledak, Lydia telah membuka pintu darurat dan loncat dari pesawat dengan menggunakan parasut.Hanya dalam satu menit, titik pen
Lydia, dengan sisa keberaniannya, melangkah kembali ke dalam hutan. Kepedihannya tak sebanding dengan rasa putus asa yang membayanginya. Beruntung, ia telah mengganti sepatunya dengan yang lebih nyaman sebelum berangkat, karena jika tidak, ia mungkin sudah menemui ajalnya.Hutan yang ia jelajahi memiliki pohon-pohon tinggi menjulang, bukan seperti yang sering ia lihat di hutan hujan tropis, tetapi pohon-pohon besar yang belum pernah ia jumpai sebelumnya. Lydia berjalan dengan langkah berat, kelelahan, tangannya terluka dan berdarah karena dahan-dahan yang menoreh, namun ia tak peduli.Nyawa lebih penting daripada luka-luka kecil."Tiger, ada buahnya?" tanya Lydia dengan napas tersengal, suaranya serak.Tiger, teman setianya, hanya menggeleng dengan kecewa. Lydia merasa semakin berat, kepalanya pening, dan tanpa sadar, ia tersandung dan jatuh ke tanah berlumpur. Rasa sakit membawanya kembali ke kenyataan, sejenak.Tiger, dengan gelisah, berputar-putar sebelum kembali bersembunyi dalam s
Dylan terdiam, bibirnya rapat, tak tahu harus mengatakan apa. Liam meminum anggurnya lagi, kepalanya terjengkang, lalu bungkam."Ketika Lydia pergi ke Eroba untuk studi, ayah menyewa delapan pengasuh untuknya, dan dia memecat mereka semua tanpa kami ketahui. Nixon bahkan bolak-balik tiga puluh kali sebulan hanya untuk memasak untuknya. Kenny memberikan semua bonusnya untuknya, dan aku ... Aku memilih syuting di Eroba selama itu," ujarnya, suaranya penuh dengan rasa yang tak terkatakan. "Kami pikir Eroba adalah tempat paling jauh Lydia dari kami. Tapi, dia memilihmu dan menghilang selama tiga tahun, memutus semua kontak dengan kami. Dylan, dia memilihmu daripada kami semua. Lalu apa yang kamu berikan sama dia?"Air mata menggenang di mata Liam, suaranya tercekat. Dia menghapus air matanya dan menenggak sisa anggur dalam botolnya dengan kepala terjengkang. Tony dan pilotnya duduk diam, suasana tegang menyelimuti mereka.Dylan merasakan sesuatu merobek jantungnya, sebuah rasa sakit yang
Semua orang menyaksikan tindakan terakhir Dylan dengan mata tak percaya, seolah-olah dia sengaja menyerahkan diri pada nasibnya. Tony, dilanda kekhawatiran, bergegas menghampirinya, takut Dylan akan bertindak gegabah sekali lagi."Pak Dylan, baik-baik saja?" tanyanya, tapi yang dia temui hanyalah Dylan dengan mata tertutup, terkulai lemas di kursinya, tak berdaya. Dengan cepat, Tony memeriksa denyut nadi di leher Dylan, menghembuskan napas lega saat menemukan tanda-tanda kehidupan, lantas menoleh pada Liam dengan pandangan penuh rasa terima kasih."Terima kasih, Pak Liam. Pak Dylan pasti kelelahan; dia belum tidur berhari-hari," ucap Tony dengan suara serak.Liam menatap Dylan dengan perasaan yang rumit dan berkata, "Bawa dia pulang. Biar saja orangnya di sini untuk bekerja dengan saya."Tony mengangguk cepat, menyadari bahwa dia akan lebih khawatir tentang nasibnya sendiri jika Dylan bangun, mengingat moodnya yang tidak terduga. Sementara itu, Liam telah memanggil seseorang untuk menj