Cuma bisa up satu bab karena keyboard lagi error. Mengsedih
“Lihat!” teriak Helena dengan lantang saat beberapa titik salju turun di halaman cafe. Helena memandang dengan penuh kagum butiran-butiran salju yang turun begitu lembut. Cuaca pagi ini memang begitu dingin hingga menghasilkan kepulan asap saat berada di luar ruangan. Tak heran jika hari ini ternyata salju mulai turun. Shane tak ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Helena, rasa kecewanya berganti dengan perasaan takjub saat melihat Helena tersenyum sambil melihat butiran salju yang mulai turun. “Salju pertama di musim dingin ini ternyata turun di pagi hari ya. Cantik sekali, Shane,” desah Helena dengan semangat. Manik hijau zamrudnya tampak berkilau cerah. Shane dengan perasaan sendu menjawab. “Iya, cantik sekali.” Tapi tatapan mata dari iris coklat hazelnut itu tak pernah lepas dari wajah Helena, Shane bahkan tak sedikitpun melirik ke arah jendela cafe. Pujian yang pria tampan itu tujukan sudah jelas bukan ke arah pemandangan di luar cafe melainkan pada arah pandangannya sekarang.
Siang hari Barbara dan Jeremy duduk kaku di depan meja kasir, pemandangan yang sangat langka menurut Helena. Mereka bagai boneka pajangan sambil menghadap ke arah Shane Digory yang sedang duduk di tempat favoritnya. Barbara bahkan menahan mati-matian untuk tidak menguap dan tetap tersenyum lebar. Di hari biasa, Jeremy dan Barbara akan menghilang begitu waktu makan siang sudah lewat, tepatnya Barbara akan menggunakan alasan, “aku akan membeli bahan makanan.” Helena tahu itu hanya alasan gadis berambut hijau terang itu untuk melarikan diri dan beristirahat di apartemennya yang terletak tak terlalu jauh dari cafe. Kemudian Jeremy akan berkata, “baiklah akan ku antar,” yang juga merupakan basa-basi karena dua sejoli itu memang sering menghilang jam segini, tepat setelah lewat waktu makan siang, saat kunjungan ke cafe Shiny memang tak ramai karena orang-orang telah kembali beraktifitas setelah makan siang. Selain di jam makan, kedatangan pengunjung cafe memang jauh menurun, hal ini di
Sesaat setelah memasuki cafe, pandangan Martin mencari-cari wajah wanita yang mengundangnya kemari. Sementara itu, aroma harum kopi dan suasana hangat cafe memberikan kontras dengan dinginnya salju di luar, menciptakan perasaan kehangatan dan kenyamanan. Martin melangkah ke arah Helena yang berdiri di samping meja pelanggan. Wajah Shane kian suntuk melihat lelaki itu datang sambil tersenyum dan berkata lembut pada Helena. ‘Bukankah ia sudah ditolak oleh Helena, apa yang membuat Helena akhirnya berpikir kembali untuk menerima lelaki yang-.’ Shane melihat penampilan sederhana Martin dari atas sampai bawah. ‘-biasa -biasa saja ini.’ Helena mengangguk dan tersenyum sebentar pada Martin, sebelum meninggalkan pria itu yang masih berdiri di samping pintu cafe. Helena terlihat berbalik ke arah dapur dan masuk ke dalam, tak lama ia keluar lagi dengan tas yang tersampir di pundak kanannya. Wanita itu langsung menuju ke arah Primrose dan Shane. “Ayo, Pim, kita pergi. Bukankah Pim mau pergi
Sebuah deringan ponsel memecah lamunan Shane. Panggilan dari asisten pribadinya. “Ada apa?” tanya Shane pada Jasper. “Maafkan saya mengganggu Anda siang ini, Tuan Shane. Saya mau melaporkan kalau Dokter Brian Scoot melarikan diri.” Shane berdecak kesal. ‘Sudah kuduga kau memang pengecut, Brian.’ Jasper melanjutkan laporannya via telephone. “Tapi kami akan segera melacak jejaknya. Sebelumnya kami juga sudah menemukan banyak bukti malpraktek darinya, selain kasus korupsi yang Anda tuduhkan padanya, tampaknya ia punya banyak kecurangan lain selama ini.” “Memang pria itu seorang penipu sedari dulu,” komentar Shane mendengar laporan anak buahnya. Ketika sekolah Brian Scoot selalu berbohong dengan memposisikan kekayaannya setara seperti keluarga Digory di depan anak-anak sekolah lainnya. Walau sebenarnya ia selalu menempel pada Shane dan menggunakan uang Digory untuk bersenang-senang. Shane tak pernah keberatan tentang hal itu, ia tak peduli. Brian Scoot hidup dengan orang tua tungg
Wajah Athena langsung kaku karena begitu marah. Manik birunya tampak seperti nyala api yang siap membakar Brian Scoot karena kekesalannya. “Kau tak punya bukti apa pun kalau aku terlibat dalam kejahatanmu, Brian!” desis Athena. Pria itu kembali menutup kepalanya dengan hoodie dan melihat Athena sesaat seakan menciptakan perpisahan untuk wanita yang pernah ia taksir begitu lama sedari ia sekolah hingga saat ini. “Selamat tinggal, Athena,” gumam lelaki itu, ia harus segera pergi sebelum ditemukan oleh para pengawal Shane Digory. Setiap detik sangat berharga untuknya. Athena hanya menatap tajam tanpa senyuman pada Brian Scoot. Ia melihat lelaki itu menghilang dari balik pintu cafe. “Sial!” umpat Athena yang berharap kalau Shane datang menemui siang ini dengan Brian Scoot tapi malah yang ia dapat kabar buruk. “Bagaimana ia tahu aku berselingkuh dengan Brian? Tapi ia baru mengancam, Brian. Jika Shane tahu aku mengkhianatinya bukankah aku juga terancam, tapi kenapa sampai sekarang tak ad
Athena menghela napas sambil memutar manik biru langitnya. “Bukankah memang kita sudah tahu kalau pelacur itu sudah punya anak, itu bukan hal yang baru!” Evelyn langsung membantah pernyataan Athena. “Tapi bukan, kalau anak itu adalah anak yang dulu kita gosipkan ketika sekolah, usia anak itu pasti bukan usia sekolah dasar. Dan aku lihat sendiri anak itu masih kecil, ia sepertinya baru awal masuk sekolah, Ath.” Athena menatap Evelyn dengan ekspresi penasaran. “Anak? Berarti dia punya anak lain? Betapa malang nasib anak itu, punya ibu seperti pelacur itu.” Wanita berambut merah itu langsung tertawa nyaring. “Dan bahagia apanya? Itu menyedihkan, ia menyekolahkan anaknya di sekolah paling kumuh di kota pinggiran.” Evelyn menelan salivanya. “Ia tersenyum bahagia, Ath. Tapi wajah dan penampilan anak itu sangat menggelitikku tentang siapa ayahnya,” lanjut Evelyn menuangkan rasa penasarannya. “Kenapa? Ia memiliki anak cacat?” Athena tertawa lagi. “Ah memang hidup pelacur itu penuh kutukan.
“Harusnya aku sudah menduganya,” ujar seseorang itu lagi. Manik hijau zamrud milik Helena yang melihat seseorang yang datang di belakangnya berkedip ketakutan bak melihat hantu. ‘Apakah ia mendengar semua ucapanku? Apakah ia akan menyalahkanku karena berada di sini?’ “Sh- Shane,” panggil Helena dengan gugup. Lelaki berkaki jenjang dengan setelan kemeja mahal itu melangkah mendekat, ia memiringkan kepalanya dan melihat apa yang Helena letakan di atas pusara ibunya. Sebuah buket bunga hyacinth putih sederhana. “Ternyata itu kau ya, Helena,” ulang Shane sambil tangannya meraih buket bunga itu. “Aku selalu bertanya-tanya siapa yang mengirimkan buket bunga ini pada makam ibuku, dan juga kakek Graham, beberapa tahun terakhir ini.” Shane memutar-mutar buket bunga sederhana itu dengan jari-jemarinya yang jenjang. Helena menelan salivanya, ia begitu nelangsa hingga tidak sadar kalau pria tampan di depannya itu tersenyum sedari tadi. “Ma-maaf. Aku tak bermaksud menyinggungmu, Shane. Aku t
“Aku akan mengantarmu.” Helena langsung menggeleng mendengar tawaran Shane. “Tak perlu, Shane. Aku mau pergi ke bank dan itu tak sejalan dengan arah cafe -eh kau mau ke cafe kan?” Shane tersenyum mendengar penolakan Helena, ia semakin sadar wanita itu sedang menghindarinya. “Tidak. Kebetulan aku juga mau ke bank. Barengan?” Helena menatap tak percaya ke arah mantan suaminya atas tawaran lain yang tak pantang menyerah itu. ‘Ia sedang mencari-cari alasan atau memang ia akan pergi ke bank?’ Helena tampak berpikir sejenak, sebelum menjawab, “baiklah.” Shane langsung berlari membuka pintu mobil di sisi penumpang dan mempersilahkan Helena naik. “Kau berlebihan, Shane,” gumam Helena melihat tingkah mantan suaminya, sambil menahan tawa. Diam-diam wanita dengan rambut hitam tergerai itu merasa lega karena Shane membawa mobilnya yang ‘lumayan’ sederhana. Ia tak ingin terlihat terlalu mencolok di kota kecil ini dengan mobil mewah. “Bagaimana Pim, apa ia sudah menghafal perkalian tiganya? I