Vote dan Komentarnya tetap ditunggu. Maaf lelet update dan cuma sedikit. Makasi juga sudah baca sejauh ini...
Sesaat setelah memasuki cafe, pandangan Martin mencari-cari wajah wanita yang mengundangnya kemari. Sementara itu, aroma harum kopi dan suasana hangat cafe memberikan kontras dengan dinginnya salju di luar, menciptakan perasaan kehangatan dan kenyamanan. Martin melangkah ke arah Helena yang berdiri di samping meja pelanggan. Wajah Shane kian suntuk melihat lelaki itu datang sambil tersenyum dan berkata lembut pada Helena. ‘Bukankah ia sudah ditolak oleh Helena, apa yang membuat Helena akhirnya berpikir kembali untuk menerima lelaki yang-.’ Shane melihat penampilan sederhana Martin dari atas sampai bawah. ‘-biasa -biasa saja ini.’ Helena mengangguk dan tersenyum sebentar pada Martin, sebelum meninggalkan pria itu yang masih berdiri di samping pintu cafe. Helena terlihat berbalik ke arah dapur dan masuk ke dalam, tak lama ia keluar lagi dengan tas yang tersampir di pundak kanannya. Wanita itu langsung menuju ke arah Primrose dan Shane. “Ayo, Pim, kita pergi. Bukankah Pim mau pergi
Sebuah deringan ponsel memecah lamunan Shane. Panggilan dari asisten pribadinya. “Ada apa?” tanya Shane pada Jasper. “Maafkan saya mengganggu Anda siang ini, Tuan Shane. Saya mau melaporkan kalau Dokter Brian Scoot melarikan diri.” Shane berdecak kesal. ‘Sudah kuduga kau memang pengecut, Brian.’ Jasper melanjutkan laporannya via telephone. “Tapi kami akan segera melacak jejaknya. Sebelumnya kami juga sudah menemukan banyak bukti malpraktek darinya, selain kasus korupsi yang Anda tuduhkan padanya, tampaknya ia punya banyak kecurangan lain selama ini.” “Memang pria itu seorang penipu sedari dulu,” komentar Shane mendengar laporan anak buahnya. Ketika sekolah Brian Scoot selalu berbohong dengan memposisikan kekayaannya setara seperti keluarga Digory di depan anak-anak sekolah lainnya. Walau sebenarnya ia selalu menempel pada Shane dan menggunakan uang Digory untuk bersenang-senang. Shane tak pernah keberatan tentang hal itu, ia tak peduli. Brian Scoot hidup dengan orang tua tungg
Wajah Athena langsung kaku karena begitu marah. Manik birunya tampak seperti nyala api yang siap membakar Brian Scoot karena kekesalannya. “Kau tak punya bukti apa pun kalau aku terlibat dalam kejahatanmu, Brian!” desis Athena. Pria itu kembali menutup kepalanya dengan hoodie dan melihat Athena sesaat seakan menciptakan perpisahan untuk wanita yang pernah ia taksir begitu lama sedari ia sekolah hingga saat ini. “Selamat tinggal, Athena,” gumam lelaki itu, ia harus segera pergi sebelum ditemukan oleh para pengawal Shane Digory. Setiap detik sangat berharga untuknya. Athena hanya menatap tajam tanpa senyuman pada Brian Scoot. Ia melihat lelaki itu menghilang dari balik pintu cafe. “Sial!” umpat Athena yang berharap kalau Shane datang menemui siang ini dengan Brian Scoot tapi malah yang ia dapat kabar buruk. “Bagaimana ia tahu aku berselingkuh dengan Brian? Tapi ia baru mengancam, Brian. Jika Shane tahu aku mengkhianatinya bukankah aku juga terancam, tapi kenapa sampai sekarang tak ad
Athena menghela napas sambil memutar manik biru langitnya. “Bukankah memang kita sudah tahu kalau pelacur itu sudah punya anak, itu bukan hal yang baru!” Evelyn langsung membantah pernyataan Athena. “Tapi bukan, kalau anak itu adalah anak yang dulu kita gosipkan ketika sekolah, usia anak itu pasti bukan usia sekolah dasar. Dan aku lihat sendiri anak itu masih kecil, ia sepertinya baru awal masuk sekolah, Ath.” Athena menatap Evelyn dengan ekspresi penasaran. “Anak? Berarti dia punya anak lain? Betapa malang nasib anak itu, punya ibu seperti pelacur itu.” Wanita berambut merah itu langsung tertawa nyaring. “Dan bahagia apanya? Itu menyedihkan, ia menyekolahkan anaknya di sekolah paling kumuh di kota pinggiran.” Evelyn menelan salivanya. “Ia tersenyum bahagia, Ath. Tapi wajah dan penampilan anak itu sangat menggelitikku tentang siapa ayahnya,” lanjut Evelyn menuangkan rasa penasarannya. “Kenapa? Ia memiliki anak cacat?” Athena tertawa lagi. “Ah memang hidup pelacur itu penuh kutukan.
“Harusnya aku sudah menduganya,” ujar seseorang itu lagi. Manik hijau zamrud milik Helena yang melihat seseorang yang datang di belakangnya berkedip ketakutan bak melihat hantu. ‘Apakah ia mendengar semua ucapanku? Apakah ia akan menyalahkanku karena berada di sini?’ “Sh- Shane,” panggil Helena dengan gugup. Lelaki berkaki jenjang dengan setelan kemeja mahal itu melangkah mendekat, ia memiringkan kepalanya dan melihat apa yang Helena letakan di atas pusara ibunya. Sebuah buket bunga hyacinth putih sederhana. “Ternyata itu kau ya, Helena,” ulang Shane sambil tangannya meraih buket bunga itu. “Aku selalu bertanya-tanya siapa yang mengirimkan buket bunga ini pada makam ibuku, dan juga kakek Graham, beberapa tahun terakhir ini.” Shane memutar-mutar buket bunga sederhana itu dengan jari-jemarinya yang jenjang. Helena menelan salivanya, ia begitu nelangsa hingga tidak sadar kalau pria tampan di depannya itu tersenyum sedari tadi. “Ma-maaf. Aku tak bermaksud menyinggungmu, Shane. Aku t
“Aku akan mengantarmu.” Helena langsung menggeleng mendengar tawaran Shane. “Tak perlu, Shane. Aku mau pergi ke bank dan itu tak sejalan dengan arah cafe -eh kau mau ke cafe kan?” Shane tersenyum mendengar penolakan Helena, ia semakin sadar wanita itu sedang menghindarinya. “Tidak. Kebetulan aku juga mau ke bank. Barengan?” Helena menatap tak percaya ke arah mantan suaminya atas tawaran lain yang tak pantang menyerah itu. ‘Ia sedang mencari-cari alasan atau memang ia akan pergi ke bank?’ Helena tampak berpikir sejenak, sebelum menjawab, “baiklah.” Shane langsung berlari membuka pintu mobil di sisi penumpang dan mempersilahkan Helena naik. “Kau berlebihan, Shane,” gumam Helena melihat tingkah mantan suaminya, sambil menahan tawa. Diam-diam wanita dengan rambut hitam tergerai itu merasa lega karena Shane membawa mobilnya yang ‘lumayan’ sederhana. Ia tak ingin terlihat terlalu mencolok di kota kecil ini dengan mobil mewah. “Bagaimana Pim, apa ia sudah menghafal perkalian tiganya? I
“Shane, kau tidak salah jalan?” tanya Helena, ia terkejut saat lelaki yang sedang memegang kendali mobil itu malah berbelok ke arah kanan di perempatan jalan. “Kita lewat jalan lain saja.” Melihat Helena sedang menoleh ke arahnya, Shane langsung menginjak pedal gas dengan kencang hingga Helena sontak terkejut dan sedikit melonjak ke belakang. “Shane!” jerit Helena yang kembali terkejut saat lelaki itu malah mengacak rambut Helena hingga menutupi wajahnya. “Kau kenapa?” Protes Helena sambil menyisir rambut hitamnya dengan jemari tangannya. Hanya saja ketika ia bisa melihat jelas lelaki di sampingnya, ekspresi Shane sangat dingin. “Rambutmu, berantakan,” ucap Shane sekenanya sambil membanting stirnya berjalan kembali ke arah bank tapi dengan rute yang berbeda. “Menjijikan.” Gumaman Shane terdengar jelas di telinga Helena. Wanita itu menoleh ke arah mantan suaminya dengan tatapan menyelidik. ‘Ia baru saja mengejek rambutku? Kalau ia benar-benar jijik harusnya jangan memberiku tumpa
“Anda menegur saya, Tuan Shane?” tanya Martin dengan linglung, ia merasa tadi dirinya salah dengar ketika Shane mengucapkan kata ‘brengsek’. Namun, Martin semakin yakin kalau pria yang berada di depannya itu tidak salah ucap, karena ketika ia menunggu jawaban dari pertanyaanya, Shane malah menarik kerah baju lelaki itu. “Apa maksudmu ‘ada apa’, brengsek?! Kau mengkhianati, Helena!” Dan sebuah tinju dari Shane kembali bersarang di tulang pipi Martin. Lelaki itu langsung jatuh tersungkur dari kursinya, wanita di sebelahnya menjerit karena terkejut dan ketakutan. Semua pasang mata yang ada di cafe itu langsung melihat ke arah sumber keributan. Tampaknya kota kecil seperti Salt Lake terlalu tenang, dan sangat jarang terjadi hal-hal yang menarik seperti siang hari ini. “Kau gila! Kenapa kau selalu saja memukulku!” teriak Martin sambil meraba bibirnya yang sobek dan berdarah terkena pukulan Shane. “Kau tahu kenapa? Karena kau mengkhianati Helena! Kukira karena profesimu sebagai guru y