Vote dan komen selalu dinanti ^^
Helena terkejut saat Shane mengatakan hal itu. ‘Apa ia tahu siapa yang ku maksud? Ia pasti mengira aku bersedih untuk pria lain, kekasihku yang lain yang ia sangka ayah Pim.’ Rahang Shane mengeras, ia seakan marah pada seseorang, tapi nyatanya ia sedang sangat marah pada dirinya sendiri. "Dan seharusnya aku memperlakukanmu lebih baik lagi hari itu." Helena kembali terkejut saat Shane tahu persis kapan waktu yang dimaksud oleh dirinya. "Hari ini, walau tak sebanding dengan apa yang kau rasakan saat itu, tapi aku sekarang tahu rasanya tak memiliki siapapun saat membutuhkan seseorang, Helena. Dan aku sangat buruk memperlakukanmu malam itu." Wajah Helena memerah ia tahu apa yang dimaksud Shane tentang 'malam itu'. Malam saat mereka pertama dan terakhir kalinya bercinta. Helena semakin tak nyaman dengan pembicaraan ini, ia takut pertahanannya runtuh, ia takut ingin memiliki lelaki yang diam diam masih dicintainya. "Kurasa aku harus menyiapkan hidangan lain dan-." Shane menahan tanga
“Hah?” gumam Barbara. “Kita pakai saja kamera selfie, Tuan. Kebetulan kamera depan ponselku sangat bagus.” Shane menatap Barbara dengan jengah, sambil menaikkan sebelah alisnya ia kembali mengulang kalimat perintahnya yang tadi. “Suruh Helena yang memotret kita.” Barbara sedikit ketakutan dan tersenyum canggung sambil berbalik ia memanggil Helena yang berada di dapur. “Helena! Kemari! Cepat fotokan kami!” Shane tak suka dengan gaya Barbara yang memerintah Helena, terlebih cafe ini sebenarnya khusus dibuat untuk mantan istrinya itu. Tapi melihat Helena yang akhirnya keluar dengan terburu-buru mengikuti perintah Barbara, lelaki tampan itu hanya bisa memendam rasa kesalnya. “Oke, tunggu sebentar.” Helena mengelap tangannya di apron yang ia kenakan kemudian mengambil ponsel milik Barbara. Barbara menempelkan diri pada lengan Shane, sengaja membuat dadanya yang besar semakin menekan lengan berotot milik lelaki tampan itu. Barbara tersenyum lebar, tak peduli pada wajah dingin Shane yang
Helena menggeleng kencang. “Tidak bukan begitu! Kau salah paham, Barbara.” Senyuman licik muncul di wajah wanita berambut hijau neon itu. “Apa perlu aku memberitahukannya, Helena?” “Kau salah paham Barbara. Aku dan Shane tak punya hubungan seperti itu, dan Pim bukanlah anak Shane.” Helena menelan salivanya dengan gugup karena kebohongan yang ia tutupi. “Hmm.” Barbara tersenyum yang membuat wajahnya semakin licik. “Kalau begitu siapa ayah Pim, Helena. Aku tak percaya kalau ia telah meninggal, kau bahkan tak pernah menceritakan sedikit pun tentang pria itu.” Barbara memiringkan kepalanya sambil melihat Helena. “Siapa nama ayah, Pim?” Helena ingin memberitahu nama karangan pria yang dahulu pernah ia beritahukan pada Shane, tapi ia sendiri bahkan lupa siapa nama pria yang tak sengaja terucap dahulu. Sebelum akhirnya wanita itu menyerah sambil memutar bola matanya. “Itu urusan pribadiku, Barbara.” Wanita berambut panjang itu terlihat jengah. “Dan kau tak punya hak untuk mencampurinya.”
Jantung Helena langsung berdetak kencang, ia takut akan kenyataan itu diketahui semua orang, ia takut pandangan orang-orang lain lagi tentang dirinya ketika tahu kalau Helena memiliki hubungan dengan pria paling berkuasa, Shane Digory. “Bukan begitu, Jeremy! Pria ini- maksudku Shane- eh Tuan Digory.” Helena berputar dengan cepat melihat ke arah pintu masuk cafe, tapi yang ia dapati hanya… Angin, tak ada seorang pun yang masuk ke dalam cafe. Hanya mereka berdua. Helena balik menatap Shane dengan kesal karena telah ditipu. Lelaki yang baru saja menipunya tengah tertawa yang membuat dirinya berkali-kali lipat lebih tampan. Tapi Helena benar-benar sedang kesal dan tak sempat untuk mengagumi ketampanan pria itu seperti biasanya ia lakukan. Shane berhenti tertawa melihat ekspresi Helena yang sebentar lagi akan meledak. “Duduk dan temani aku,” perintahnya dengan tenang. “Maka rahasiamu akan aman.” Helena duduk dengan bersungut-sungut di depan Shane. “Apa aku sekarang harus menyuapimu?”
Helena langsung tertohok dengan pernyataan itu. “Kau tak punya hak, Shane.” Helena langsung membantah pernyataan Shane Digory. “Ini adalah hal yang pribadi antara aku dan anakku, dan ayahnya.” Shane menatap teduh Helena. “Aku hanya ingin melindungimu,” ucap lelaki itu lembut. “Aku tahu aku terlambat, tapi aku tak ingin mengabaikanmu lagi, Helena. Hal yang selalu aku sesali beberapa tahun terakhir ini karena pernah melakukannya padamu.” Helena kehilangan kata-katanya. Ia tahu dirinya tak akan bisa selamat dari tatapan iris coklat hazelnut yang membuatnya semakin tenggelam ke dalam perasaanya pada pria itu. Shane melihat arloji edisi terbatas yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan kembali lagi nanti karena ada urusan yang harus aku selesaikan Helena.” Pria itu kemudian berdiri dan mengusak rambut Helena. “Aku ingin berteman lagi denganmu, seperti sebelum semua ini terjadi. Aku mohon jangan abaikan aku, seperti kau mengusirku saat aku memberimu roti manis isi coklat wakt
“Oh ya, Brian tampaknya kau tak cocok lagi menggunakan jas putih itu. Mulai sekarang aku yang menata penampilanmu." Shane mulai memberikan ancaman pada Brian Scoot. Sanksi atas perbuatannya selama ini. "Aku sedang memikirkan kau lebih cocok memakai seragam hitam putih atau setelan suit kaku." Shane mengancam Brian Scoot dengan pilihan antara penjara atau kematian. Brian Scoot langsung memucat, ia paham dari makna yang tersirat dalam ucapan Shane. Tak lama dua orang pria dengan tubuh kekar masuk ke dalam ruang direktur utama. Mereka menunduk hormat pada Shane Digory sambil menunggu perintah. "Singkirkan sampah ini." Kedua pria itu langsung menarik lengan Brian Scoot setelah mendengar perintah dari bos besar mereka, Shane Digory. Brian Scoot meronta sambil berteriak meminta dilepaskan. "Apa maksudmu Shane? Apa salahku! Aku selalu menganggapmu sahabat, kenapa kau melakukan ini padaku?!" Shane melihat ke layar monitornya, memberikan beberapa perintah lain pada anak buahnya via pesan
Helena mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibirnya.Shane memajukan jari kelingkingnya ke depan wajah Helena. “Janji, jangan kau ingkari.”Mantan istrinya itu sontak tertawa lebar sambil menepis tangan Shane. “Kau seperti anak-anak, Shane. Jangan kekanak-kanakan, kita sudah terlalu tua untuk perjanjian jari kelingking.” Manik hijau zamrud Helena menyipit. “Kau persis seperti, Pim saja.”“Aku begitu mirip dengannya ya?”Tawa Helena langsung lenyap. Keceriaannya yang tadi muncul sesaat langsung menguap menjadi ketakutan. 'Apa yang akan Shane lakukan jika tahu Pim anaknya dan apa yang Athena juga lakukan jika tahu aku memiliki anak dari kekasihnya.'"Tidak." Hanya itu jawaban singkat yang keluar dari bibir Helena, dengan ekspresi dingin wajahnya. "Kau sudah selesai makan? Sepertinya sebentar lagi Barbara dan Jeremy akan segera datang."Shane mengerang tanda kecewa. "Sepertinya ini untuk pertama kalinya aku senang pegawai yang bekerja denganku datang sangat terlambat."Helena tersenyu
“Lihat!” teriak Helena dengan lantang saat beberapa titik salju turun di halaman cafe. Helena memandang dengan penuh kagum butiran-butiran salju yang turun begitu lembut. Cuaca pagi ini memang begitu dingin hingga menghasilkan kepulan asap saat berada di luar ruangan. Tak heran jika hari ini ternyata salju mulai turun. Shane tak ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Helena, rasa kecewanya berganti dengan perasaan takjub saat melihat Helena tersenyum sambil melihat butiran salju yang mulai turun. “Salju pertama di musim dingin ini ternyata turun di pagi hari ya. Cantik sekali, Shane,” desah Helena dengan semangat. Manik hijau zamrudnya tampak berkilau cerah. Shane dengan perasaan sendu menjawab. “Iya, cantik sekali.” Tapi tatapan mata dari iris coklat hazelnut itu tak pernah lepas dari wajah Helena, Shane bahkan tak sedikitpun melirik ke arah jendela cafe. Pujian yang pria tampan itu tujukan sudah jelas bukan ke arah pemandangan di luar cafe melainkan pada arah pandangannya sekarang.