"Mau sampai kapan kamu duduk diem di situ, tapi gak pesan makan apa-apa?" tanya Nuri pada Dika yang asik duduk sambil cengengesan di salah satu kursi.
"Ya udah, saya pesen baso deh. Baso halus aja karena saya orangnya kan halus," ocehan Dika membuat Nuri mencebik. Sejak kapan pria yang pernah menjadi suaminya itu sok manis.Tanpa menyahut, Nuri bergegas membuatkan satu porsi baso untuk Dika. Ya, Nuri adalah pemilik warung baso yang cukup banyak pelanggan. Pada awalnya ia hanya punya satu karyawan lelaki, tetapi sekarang, ada wanita juga yang membantunya menyiapkan minuman dan juga mengantar pesanan."Ini." Nuri meletakkan mangkuk baso di depan Dika."Terima kasih mantan," ucap Dika membuat Nuri merasakan eneg pada lambungnya. Wanita itu meninggalkan Dika dan sibuk dengan pelanggan lain. Silih berganti pengunjung yang datang meramaikan warung baso sederhana milik Nuri. Tidak sekali pun raut wajah wanita itu nampak lelah, padahal ia tengah dirundung masalah dengan suaminya.Dika pun menikmati baso buatan Nuri yang benar-benar enak. Empuk dan berasa dagingnya. Sesekali ia tersenyum saat memandangi kesibukan mantan istrinya itu.Kring! Kring!Dika memutar bola mata saat melihat siapa yang meneleponnya. Ia mengabaikan panggilan itu. Namun, dering itu kembali memekakan telinga pengunjung, terutama Nuri. Wanita itu menoleh ke belakang sembari menatap tajam Dika. Dari gerakan matanya saja, bisa diartikan bahwa Nuri berharap Dika mengangkat telepon tersebut.Merasa tidak enak hati dengan pemilik warung, Dika pun akhirnya mengangkat panggilan dari Tika;istrinya."Halo." Nada suaranya sangat-sangat tidak bersahabat."Halo, Sayang, kamu di mana? Ini sudah mau magrib, kenapa belom pulang?""Kamu udah mandi?""Udah. Saya sengaja mandi biar Mas senang saat pulang kerja.""Tapi bau busuk itu sampai ke sini. Kamu mandi pakai air keran atau air got? Kamu besok harus ke dokter, Tika. Kalau masih bau terus, kamu aku pulangkan ke kampung!""Iya Mas, besok saya akan ke dokter, tapi anterin ya?""Nggak ah, nanti aku pingsan lagi kalau bonceng kamu naik motor. Kamu naik ojek online aja. Kalau ojeknya kebauan, kamu naiknya ke gerobak, nanti pakai tali diikat ke motor ojek. Lebih aman begitu, kamu gak perlu takut jatuh. Satu lagi, kalau bisa gerobaknya gerobak sampah aja, biar aromanya gak bikin tukang ojek eneg.""Mas, kamu keterlaluan! Segitu baunya saya sampai-sampai kamu samakan dengan gerobak sampah!" Suara Tika terdengar amat menderita."Halo, suaranya putus-putus ini. Udah ya." Pria itu pun mematikan ponselnya dengan cepat. Jika tidak segera dimatikan, bisa-bisa Tika meneleponnya kembali.Ucapan Dika yang sangat jelas membuat Nuri menjadi sedikit penasaran. Bau apa? Siapa yang bau? Bukan hanya Nuri yang penasaran, karyawatinya yang bernama Winda pun sama keponya dengan dirinya."Bu, emang kenal sama lelaki yang teriak-teriak di telepon itu?" tanya Winda setengah berbisik."Gak terlalu," jawab Nuri malas."Oh, saya kirain mantan Bu Nuri. Soalnya liatin Bu Nuri terus. Jomlo kah cowok itu, Bu? Kenalin saya dong!" Nuri yang tengah mengaduk-aduk kuah baso, mendadak menghentikan gerakannya."Winda, lelaki itu udah punya istri.""Oh, suami orang toh! Suami orang sekarang lagi gemes-gemes banget loh, Bu." Nuri menghela napas."Kamu mau saya pecat atau mau tetap kerja?" Nuri berkacak pinggang. Winda pun menyeringai lalu segera pergi untuk mengantar pesanan pembeli.Hingga azan magrib berkumandang, Dika tak kunjung pulang. Pria itu pergi ke mushola terdekat untuk melaksanakan solat magrib. Setelah selesai, Dika kembali lagi ke warung baso Nuri. Ia memperhatikan etalase yang memanjang baso besar dan kecil itu hampir habis. Ini tandanya sebentar lagi warung baso Nuri akan tutup. Satu hal yang membuatnya penasaran, di mana Nuri tinggal setelah mantannya itu pergi dari rumah suaminya."Ya ampun, kamu ini beneran jelangkung ya. Datang tak diundang, pulang gak mau juga. Kenapa sih, betah banget di sini? Warung saya udah mau tutup nih!" Nuri menatap sebal Dika yang tidak juga pergi dari warungnya. Ia merasa risih dan tidak mau nanti suami yang saat ini tengah pisah rumah dengannya, melihat Dika dan menjadi curiga. Nuri benar-benar tidak mau menambah masalah."Ada yang mau saya bicarakan. Sini deh!" Dengan beraninya Dika menarik pelan tangan Nuri untuk duduk di kursi kosong."Ck, ada apa sih? Jangan pegang-pegang!" Nuri menarik tangannya dengan kasar, agar terlepas dari tangan Dika. Pria itu tidak marah atau kecewa sama sekali, justru ia selalu tersenyum. Memperlihatkan senyuman terbaiknya pada Nuri."Gini, saya punya saran bagus untuk kita berdua. Kamu saat ini sedang pisah ranjang dengan Daniel dan saya saat ini kebauan sama Tika. Beuh, bau WC aja kalah.""Maksudnya? Apa hubungannya dengan saya?" tanya Nuri tidak mengerti arah pembicaraan Dika."Kita selingkuh aja gimana?""Apa?!"Bersambung"Apa? Selingkuh? Sama kamu? Idih, males!" Nuri segera bangun dari duduknya, tetapi Dika kembali berhasil menahan tangan wanita itu. "Nuri, denger dulu. Aku udah ijin sama mama untuk balikan sama kamu dan mama kasih ijin." Nuri tertawa geli. "Kamu udah punya istri dan aku masih punya suami. Jadi jangan mengada-ada!" "Kamu bukannya akan berpisah dengan suami kamu?" kali ini Dika tidak mau kalah. Ia terus mendesak agar Nuri setuju degan syaratnya. "Iya, tapi bukan berarti aku mau balikan sama kamu, Mas Dika. Sudah, sekarang pulang ya, aku mau tutup warung." Nuri bergegas berdiri dan langsung menuju gerobak bakso yang melihat isi panci kuah yang sudah tersisa sedikit saja. "Dika, kamu masih tinggal sama mama?" tanya Nuri tiba-tiba. Dika mengangguk. "Bawain baso untuk mama ya." Dika tersenyum sambil mengangguk. Nuri dengan cekatan membungkus baso sebanyak delapan butir dengan kuah sedapnya. Ditambahkan dengan mi kuning dan bihun. Tak lupa saus dan sambal. "Ini, khusus untuk mama ya
"Kamu yang bawa ini, Ka? Berarti kemarin kamu mampir ke warung baso Nuri? Anak Mama gercep juga," tanya Bu Widya saat mereka tengah sarapan berdua. Ya, hanya berdua saja karena Tika gak boleh sarapan bersama mereka karena aroma busuk Tika sangat pekat. "Iya, Ma, mampir lihat Nuri. Kayaknya udah bisa nerima keadaan dan mungkin karena saya juga yang memberikan perhatian sebagai mantan. Dika yakin sekali, sebentar lagi Nuri akan kembali pada Dika." Bu Widya tertawa cekikikan mendengar ucapan putra sulungnya yang sangat konyol. Dika belum pernah se-alay ini sebelumnya. Untuk itu Bu Widya merasa lucu. "Kenapa Mama ketawa? Orang saya jujur," tanya Dika heran. "Mama geli lihat kamu ngomong gitu. Bukan kamu banget kayaknya. Apa kamu kesambet Tika?" Bu Widya menyantap baso Nuri yang rasanya masih tetap enak, meskipun buatan kemarin dan menurutnya tidak ada baso enak yang pernah ia makan seperti enaknya baso buatan mantan menantunya itu. "Nih, Ma, ngomong-ngomong soal Tika, katanya hari ini
Tok! Tok!"Tika, buka! Truk udah datang. Ayo, cepat kamu berkemas. Truk itu akan bawa kamu ke tempat isolasi!" Bu Widya berteriak di depan kamar Tika. Tentu saja wanita itu kalang kabut karena ia tidak mau dipisahkan oleh Dika.; suaminya. Satu hal yang perlu dan harus segera ia lakukan adalah pergi ke dokter untuk meminta obat."Tika, buka!" Tika yang dari awal memang memiliki sifat licik, tentu saja tidak mau menyerah. Ia memasukkan beberapa helai baju ke dalam kantong totte bag, lalu ia keluar dari jendela kamar suaminya yang memang belum dipasang besi teralis. Sengaja ia memakai baju panjang dan juga penutup kepala. Selain untuk menyamarkam bau, ia juga tidak mau sampai dikenali tetangga. Untunglah saat ia melompar keluar dari jendela, tidak ada seorang tetangga pun yang melihat. Merasa tak ada jawaban dari menantunya, Bu Widya pun nekat melubangi tembok dengan mesin bor. Karena jika ia dobrak pintu, maka pintunya akan rusak. Beli pintu baru mahal, lebih murah nenambal dinding tem
"Kamu ini bisa-bisanya pingsan di rumah orang. Mau apa sih?" tanya Daniel dengan wajah sebal. Di sampinga ada Nuri yang diam sambil melipat tangan di dada. Dika yang baru saja sadar, langsung bangun duduk. Lebih tepatnya pura-pura tak sadar, lalu sadarkan diri. "Saya cuma mau ketemu Nuri. Ada yang mau saya bicarakan. Karena rumahnya sepi saat saya panggil, saya berniat panggil dari jendela kamar, eh... ""Ya... ya... sudah, sekarang sudah sadar kan? Sekarang kamu bisa pulang!" Usir Daniel to the point. Tentu saja ia tidak senang dengan kehadiran mantan dari Nuri di rumah istrinya ini. "Kalian berdua pulang saja. Saya lagi gak enak badan dan lagi ngantuk banget." Nuri meminta keduanya pergi dari rumahnya dengan cara halus. "Kamu sakit?" dua pria itu mengeluarkan kalimat tanya secara serentak dan sama. Daniel dan Dika sama-sama menatap Nuri dengan tatapan khawatir. "Ya, saya bisa sakit jiwa kalau kalian berdua ada di rumah saya lebih lama lagi. Cepat pergi! Saya gak mau diganggu." N
"Mas, saya sudah tidak bau," ujar Tika semangat sambil berputar-putar di depan suaminya. "Hidung kamu lagi polip, makanya gak bisa nyium bau. Kamu masih bau busuk. Keluar dari kamar saya!" Dika menarik kasar tangan istrinya untuk segera turun. "Mas, pelan-pelan!" Tika berusaha menahan tubuhnya, tetapi tenaga suaminya terlalu kuat, sehingga ia terpaksa pasrah saat ditarik masuk ke kamar pembantu yang dulunya ia tempati. "Mas, kamu gila! Masa istri kamu ditaruh di kamar pembantu! Yang benar saja!" Tika berteriak tidak terima dengan perlakuan suaminya, tetapi Dika masa bodoh. Selagi bau busuk dari tubuh istrinya belum hilang, maka ia tidak mau berdekatan dengan wanita itu. "Biasanya juga kamu di kamar ini. Aku bilang, obati bau badan kamu, Tika! Kenapa malah kamu pergi ke rumahku. Masuk tanpa ijin. Sama aja kamu itu maling! Ngerti gak?!" Blam! Cklek"Mas, buka! Saya jangan dikunciin!" Teriak Tika panik karena Dika menguncinya dari luar. Wanita itu terus menggedor pintu dengan kuat,
Raungan Tika, diiringi suara dentum jatuhnya benda ke lantai, sama sekali tidak ia pedulikan. Pria itu memilih sarapan di kamar, agar suara Tika hanya terdengar samar saja sampai ke atas. Ditambah lagi, ia menyetel TV dengan kuat agar suara mengamuknya Tika tidak terdengar. Dika menikmati sarapan seadanya karena memang stok bahan makanan di rumahnya tersisa nuget saja. Untunglah beras dan bumbu dapur lainnya masih ada, sehingga ia bisa memasak alakadarnya untuk mengisi perut yang lapar. Kring! Kring! Dika meraih ponsel yang ada di atas ranjang. Nama Budi tertera di layar ponsel. "Halo, assalamu'alaikum.""Wa'alaykumussalam, maaf Pak Dika, semalam saya sudah tidur. Ada apa ya, Pak?"Budi belum bisa memanggil Dika dengan sebutan 'Pak' karena memang awalnya sudah dengan sebutan itu. Jika memanggil namanya saja, dirasa tidak sopan. "Oh, iya Mas Budi, begini, saya mau cerita sedikit. Setelah saya menikah dengan Tika, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan istri saya itu. Badannya bau
"Ibu gak perlu ikut campur urusan rumah tangga saya!" Daniel menatap Bu Widya dengan marah. Suaranya menggelegar membuat Bu Widya sempat ciut, tetapi ia mencoba berani menantang tatapan Daniel yang seperti ingin menerkam mangsa. "Saya pengganti ibu Nuri selama Bu Fatma tidak di Jakarta. Tentu saja ini menjadi urusan saya. Pasti Bu Fatma setuju anaknya minta cerai, jika modelam suaminya seperti kamu!" Balas Bu Widya tidak mau kalah. Daniel tertawa remeh. "Ibu gak berkaca bagaimana anak lelaki Ibu yang menyia-nyiakan Nuri? Kenapa bru berisik sekarang?" "Karena kemarin itu anak saya ketempongan jin. Jadinya nakal. Sekarang jin-nya udah pergi. Udah sana, perempuan kalau udah gak mau jangan dipaksa!" Bu Widya mengusir Daniel. Pria itu tidak punya pilihan, selain pergi dari rumah Nuri. Percuma juga berdebat dengan ibu-ibu tua, ia pasti kalah. Ditambah lagi, Nuri sama sekali tidak keluar saat ia berdebat dengan orang tuanya Dika. "Nunggu apa lagi? Cepat sana pergi!" Bu Widya mendelik pad
"Astaghfirullah, bau apa ini?" pria bernama Budi langsung menekan hidungnya sesaat baru turun dari mobil ambulan. "Bau Tika, Mas Budi. Ayo, mari masuk!" Dika menjabat tangan pria yang sudah tidak menjadi iparnya lagi. "Minum dulu, Mas, mau teh atau kopi?" tanya Dika ramah. Meskipun ia telah menceraikan Tika, tetapi ia tetap baik pada Budi karena memang masalahnya hanya pada Tika saja. "Saya gak sanggup baunya, Pak Dika. Saya langsung bawa Tika pergi aja deh, tapi bau begini, baiknya dibungkus apa ya?" Budi menggaruk kepalanya. "Mungkin pakai mukena." Dika mengusulkan. "Wah, kayaknya adik saya gak punya mukena, Pak.""Kenapa?" Dika mengerutkan kening terheran. "Adik saya mana mau solat, Pak. Udah dari kecil. Lebaran aja gak solat, apalagi solat lima waktu." Dika manggut-manggut paham, sedangkan Bu Widya sudah bergidik ngeri. Punya menantu yang tidak solat, mau apa jadinya rumah tangga anaknya nanti. Untunglah tiba-tiba wanita itu bau, jika tidak, maka selamanya bisa dipastikan i