Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti.
"Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."
Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk seseorang. Riri mendongakkan kepalanya. Sekilas menoleh kearah jarum jam yang menempel di dinding. Ini masih sore, suaminya tak pernah mendatanginya saat sore hari. Riri yang notabenenya sedang mencari pekerjaan itu segera menanggalkan kertas koran yang berisikan info lowongan pekerjaan. Saat pintu kamar itu terbuka, sebuah tamparan mendarat telak dipipinya."Dasar jalang! Kenapa kamu kembali di hidup mas Ayus? Bukannya kamu sudah punya laki-laki lain? Lalu kenapa kau masih ingin kembali sama mas Ayus?"Nisa?"Mending kamu tanya mas Ayus, Nisa. Dialah yang paling berhak menjawab pertanyaanmu ini," ucap Riri sembari berusaha menutup pintu."Jangan munafik kau jalang! Aku tau mas Ayus masih ngasih kamu uang bulanan bukan? Dasar wanita sampah! Sudah tidur dengan laki-laki lain masih saja ganggu mas Ayus dan masih minta jatah! Keterlaluan kau!" teriak Nisa padaku. Sikapnya seakan membuka kedoknya yang selama ini berpura-pura baik di depan Riri. Riri memutar kedua bola matanya. Wanita muda di hadapan Riri ini cenderung masih labil memang. Namun saat Riri berusaha untuk mengabaikannya, suasana sekitar menjadi riuh. Kasak kusuk tentang Riri sebagai seorang simpanan kian ramai dibicarakan. Bahkan terlihat ibu kos mendekat ke posisiku."Riri, apa benar kamu simpanan laki-laki yang akhir-akhir ini sering bermalam dikamarmu?" tanya ibu kos dengan nada meremehkan."Benar! Dia adalah suamiku. Bahkan saat ini aku sedang hamil bu," tutur Nisa. Hal itu membuat Riri terkejut."Kau hamil?" tanya Riri dengan hati yang terluka."Ya! Aku hamil! Dan kau malah mengganggu rumah tanggaku! Dasar wanita jalang!"Umpatan demi umpatan kian terdengar. Bahkan ibu kos mulai tak suka padaku. Bahkan aku belum memberikan penjelasan sedikitpun. Mengapa mereka semua seakan meragukanku?"Ri! Kmu mending keluar aja deh. Ibu nggak mau kena masalah. Disini tidak menerima seorang pelakor. Silahkan bereskan barang-barangmu!" teriak ibu kos."Bu! Saya belum menjelaskan satu pun disini! Jangan main hakim sendiri. Belum tentu benar apa yang dia bilang.""Sudahlah Riri! Segera bereskan sebelum ibu seret kamu keluar dengan tangan ibu sendiri!" bentak ibu kos."Nisa, kalau kamu memang istrinya mas Ayus sekarang tunjukin buku nikah kamu. Nggak mungkin kan orang yang sudah nikah, nggak punya buku nikahnya?"Pertanyaan dari Riri yang tak pernah diduga oleh Nisa sebelumnya, membuat Nisa sedikit emosi bahkan malu. Niat hati ingin mempermalukan Riri dengan menyebutnya pelakor, justru kini dia dihadapkan oleh pertanyaan yang sulit."Kau!" tangan Nisa terlihat terkepal."Bukankah lebih baik segera kau perlihatkan buku nikahmu itu, Nisa? Kau hanya akan membuat semua orang disini akulah pengganggu rumah tanggamu. Padahal kau sendiri adlah duri dalam daging!" Riri tak mau kalah."Kau jalang! Kau merebut mas Ayus dariku nyatanya dia menyembunyikanmu disini ketimbang membawamu pulang kr rumah! Apa kau pikir kau itu bisa merebut dia dariku? Lihat saja betapa dia mencintaiku. Sampai sekarang bukankah dia tak membawamu pulang bukan? Itu karena kau seorang jalang murahan!" teriak Nisa."Riri! Pergilah, kau membuat gaduh tempat ini. Aku tak bisa memberikan tempat untuk seorang simpann sepertimu!" kata-kata dari ibu kos membuat Nisa tersenyum penuh kemenangan.Tanpa sepatah katapun, Riri masuk kedalam kamar kosnya. Kemudian kembali dengan memperlihatkan buku nikah di tangannya. Baginya Nisa sudah keterlaluan. Jika sebelumnya dia diam saja, kali ini jangan salahkan jika dirinya membuat keadaan berbalik."Lihat, ini buku nikah saya bersama suami yang dia bilang Bu. Jika dia bilang itu adalah suaminya, maka dia bisa menunjukkan buku nikahnya," ucap Riri dengan tersenyum. Membuat Nisa semakin membencinya."Kau! Bukankah kau sudah mengizinkanku untuk menikah dengan suamimu!""Oh, itu artinya kau mengakui jika dirimu adalah perusak rumah tanggaku, Nisa. Dan kenapa aku bisa berakhir di tempat ini aku rasa kaulah yang paling tau. Istri sah dibuang oleh suaminya karena istri sirih? Bagaimana? Aku yang menemaninya dari nol. Aku juga yang memberikan tabunganku semasa aku masih gadis hanya untuk membangun sebuah rumah impian bersamanya. Tapi sekarang lihatlah, justru rumah itu kini ditempati oleh istri kedua suamiku. Menurutmu, apakah aku masih kurang sabar menghadapimu, Nisa? Sehingga kau bisa menggangguku bahkan saat aku telah diungsikan di sebuah kamar petak!"Kata-kata dari Riri membuat Nisa kalah telak. Tiba-tiba entah datang darimana guyuran air yang membuat seluruh tubuhnya basah kuyub. Riri dan Nisa segera menoleh. Ternyata para penghuni kos tersebut yang mengguyur tubuh Nisa."Pergi kau! Dasar pelakor teriak pelakor! Sungguh menjijikkan wanita parasit sepertimu! Pergi!""Awas kau, Ri!" tunjuk Nisa pada wajah Riri. Segera setelahnya wanita muda itu bergegas meninggalkan tempat yang tak lagi memberinya muka. "Nak! Maafkan ibu ya? Kau boleh tinggal disini selama yang kau mau. Kalau ada apa-apa, atau wanita busuk itu mencari masalah lagi denganmu kau tinggal teriak saja maka kami akan membelamu dan menyingkirkan wanita ular itu.""Terima kasih Bu."Hari ini Riri patut bersyukur. Setidaknya salah paham telah terselesaikan. Tetapi hatinya bagai tersayat-sayat. Benar jika orang akan salah paham padanya. Mengingat dirinya hanya ditempatkan disebuah kamar kos.Apa aku telah salah mengambil keputusan, Mas? Tanya Riri dalam hati.******"Tuan," panggil Ayus pada orang yang terlihat paling berkuasa.
"Aku berikan waktu selama 1 minggu. Jika kau masih belum bisa membuat perusahaan ini stabil, maka aku akan menarik semua investasiku di perusahaan ini. Jangan membuatku kecewa!"Lelaki itu pergi dengan angkuhnya diikuti para kaki tangannya. Melewati Ayus begitu saja yang tengah berlutut. Entah bagaimana bisa perusahaannya tiba-tiba mengalami masalah. Bahkan semua itu hampir mendekati collapse! Terlebih, waktu yang diperlukan hanya satu malam! Sungguh sangat tidak mungkin jika orang biasa yang melakukannya. Hanya orang berkuasa yang bisa membuat hal yang mengerikan seperti itu.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Satu minggu? Ya tuhan!" keluh Ayus sembari mengusap wajahnya.Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
"Apa kau yakin?" tanya Riri dengan alis yang berkerut."Kau mau belanja atau tidak? Kenapa kau tidak yakin begitu?" tanya Ronald dengan kesal."Bagaimana aku yakin? Kau! Kenapa kau tidak bekerja hari ini? Kenapa malah mau nemenin aku belanja?" Riri semakin dongkol. Lihatlah lelaki angkuh didepannya itu. Dengan kacamata hitam yang ia kenakan, lelaki itu terlihat begitu angkuh. Apa katanya tadi? Menemaninya belanja? Riri memutar kedua bola matanya kesal. Pasti mereka berdua akan menjadi pusat perhatian orang-orang."Apa yang salah? Wanitaku akan berbelanja bukan? Sudah sepatutnya sebagai seorang kekasih aku harus menemaninya! Kenapa kau malah terlihat kesal begitu?" tanya Arnold."Nyonya, silahkan." Kei membuka pintu mobilnya.Mempersilahkan Riri untuk segera masuk ke dalam mobil. Jika saja Arnold tak bersikeras untuk ikut, mungkin dengan senang hati Riri akan masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Bukan dengan r
Riri kembali menatap lekat lelaki yang tengah duduk di sofa. Sekali lagi memeriksa kembali paper bag yang dibawa oleh Ryu, bodyguard milik Arnold. Satu-persatu, rasanya kini jantungnya seakan melompat keluar.Keringat dingin pun membasahi wajahnya yang terlihat kaget. Sesaat dirinya menemukan nota belanjaan di paper bag tersebut. Dimana nominal itu mencapai ratusan juta rupiah. Yang lebih membuatnya terkejut adalah, semua itu adalah perhiasan yang ia katakan cantik. Tetapi Riri hanya membeli yang menurutnya simple dan tidak mahal.Karena sebenarnya ia tidak berminat pada perhiasan. Wanita itu hanya meminta pada Arnold untuk sebuah kalung yang sederhana. Namun saat pulang dan telah sampai di rumah, ia menemukan hal yang diluar dugaan. Terlebih, ada 2 kalung berlian yang ia katakan cantik itu kini berpindah ke paper bag yang dibawa oleh Ryu."Ha, apa ini?" tanya Riri dengan lirih. Bahkan terlihat tangannya bergetar saat membuka sebuah
Riri berjingkat saat menyadari sebuah pelukan dari belakang. Sepasang tangan kokoh melingkari perutnya yang ramping. Sesekali lelaki itu mencium aroma rambut Riri. Atau bahkan lebih intim dari hal itu. Arnold bahkan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher jenjang milik Riri."Tunggu sebentar," cicit Arnold saat Riri hendak bergerak menjauh. "Apa kau tidak bisa menerimaku?"Deg. Hati Riri bimbang. Mau seperti apapun dia adalah lelaki yang dengan teganya memaksa dirinya. Sampai kapanpun ia akan mengingat hal itu. Padahal baru pertama kali Riri bertemu dengan Arnold. Tetapi lelaki itu menganggapnya rendahan."Tolong, terima aku. Aku bisa gila tanpamu." Sekali lagi Arnold meyakinkan Riri."Maaf, entah sampai kapan aku juga tidak tau. Rasa sakit ini masih begitu terasa. Aku rasa, kau bisa mengerti aku bukan?" tanya Riri tanpa menoleh sedikitpun."Apa kau masih mencintainya?""Mencintai pria brengsek? Tidak. Tap
"Apa Mas?" tanya Riri dengan tubuh yang gemetar."Iya Ri. Aku meminta izin untuk menikah lagi. Apa kau memberiku izin?" tanya Ayus tanpa rasa bersalah karena telah melukai hati Riri."Beri aku alasan yang jelas. Kenapa Mas ingin menikah lagi?" tanya Riri dengan hati yang hancur. Berbagai pertanyaan kini membelenggu pikirannya."Karena kamu mandul."Deg. Hancur sudah hati Riri berkeping-keping. Hanya karena keturunan saja, suaminya meminta izin padanya untuk menikah lagi. Padahal mereka menikah 4 tahun yang lalu. Bukankah masih da sedikit waktu lagi?"Apa Mas yakin jika wanita baru dalam hidup Mas itu tidak mandul?" tanya Riri dengan dada yang sesak."Wanita itu masih sangat muda, Ri. Aku yakin dia masih subur-suburnya. Izinin mas nikah lagi ya? Nanti kan anak itu juga bisa jadi anakmu juga, Sayang," ucap Ayus dengan nada yang lembut.Riri menatap lelakinya itu dalam-dalam. Dua pasang mata berbinar itu membuat hati Rir
Riri berjingkat saat menyadari sebuah pelukan dari belakang. Sepasang tangan kokoh melingkari perutnya yang ramping. Sesekali lelaki itu mencium aroma rambut Riri. Atau bahkan lebih intim dari hal itu. Arnold bahkan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher jenjang milik Riri."Tunggu sebentar," cicit Arnold saat Riri hendak bergerak menjauh. "Apa kau tidak bisa menerimaku?"Deg. Hati Riri bimbang. Mau seperti apapun dia adalah lelaki yang dengan teganya memaksa dirinya. Sampai kapanpun ia akan mengingat hal itu. Padahal baru pertama kali Riri bertemu dengan Arnold. Tetapi lelaki itu menganggapnya rendahan."Tolong, terima aku. Aku bisa gila tanpamu." Sekali lagi Arnold meyakinkan Riri."Maaf, entah sampai kapan aku juga tidak tau. Rasa sakit ini masih begitu terasa. Aku rasa, kau bisa mengerti aku bukan?" tanya Riri tanpa menoleh sedikitpun."Apa kau masih mencintainya?""Mencintai pria brengsek? Tidak. Tap
Riri kembali menatap lekat lelaki yang tengah duduk di sofa. Sekali lagi memeriksa kembali paper bag yang dibawa oleh Ryu, bodyguard milik Arnold. Satu-persatu, rasanya kini jantungnya seakan melompat keluar.Keringat dingin pun membasahi wajahnya yang terlihat kaget. Sesaat dirinya menemukan nota belanjaan di paper bag tersebut. Dimana nominal itu mencapai ratusan juta rupiah. Yang lebih membuatnya terkejut adalah, semua itu adalah perhiasan yang ia katakan cantik. Tetapi Riri hanya membeli yang menurutnya simple dan tidak mahal.Karena sebenarnya ia tidak berminat pada perhiasan. Wanita itu hanya meminta pada Arnold untuk sebuah kalung yang sederhana. Namun saat pulang dan telah sampai di rumah, ia menemukan hal yang diluar dugaan. Terlebih, ada 2 kalung berlian yang ia katakan cantik itu kini berpindah ke paper bag yang dibawa oleh Ryu."Ha, apa ini?" tanya Riri dengan lirih. Bahkan terlihat tangannya bergetar saat membuka sebuah
"Apa kau yakin?" tanya Riri dengan alis yang berkerut."Kau mau belanja atau tidak? Kenapa kau tidak yakin begitu?" tanya Ronald dengan kesal."Bagaimana aku yakin? Kau! Kenapa kau tidak bekerja hari ini? Kenapa malah mau nemenin aku belanja?" Riri semakin dongkol. Lihatlah lelaki angkuh didepannya itu. Dengan kacamata hitam yang ia kenakan, lelaki itu terlihat begitu angkuh. Apa katanya tadi? Menemaninya belanja? Riri memutar kedua bola matanya kesal. Pasti mereka berdua akan menjadi pusat perhatian orang-orang."Apa yang salah? Wanitaku akan berbelanja bukan? Sudah sepatutnya sebagai seorang kekasih aku harus menemaninya! Kenapa kau malah terlihat kesal begitu?" tanya Arnold."Nyonya, silahkan." Kei membuka pintu mobilnya.Mempersilahkan Riri untuk segera masuk ke dalam mobil. Jika saja Arnold tak bersikeras untuk ikut, mungkin dengan senang hati Riri akan masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Bukan dengan r
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti."Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk ses
Riri perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Pemndangan pertama yang menghampar dikedua netra matanya adalah ruangan bercat putih. Kemudian bau obat-obatan yang khas seperti di rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciuman milik Riri. Sejenak wanita itu merenungkan apa yang sebelumnya terjadi. Bayangan-bayangan hitam rudapaksa dari lelaki asing, kemudian percobaan bunuh diri yang dilakukannya Riripun tersenyum miris."Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Apa gunanya? Sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Sisa-sisa kesetiaan yang aku junjung tinggi untuk mas Ayus kini telah raib. Bahkan aku seakan tak memiliki harga diri. Lantas, mengapa aku masih hidup? Tuhan! Kenapa kau memberikan kehidupan yang menyedihkan untukku?"Riri kemudian menghentikan tangisannya. Menoleh kesisi kiri dan kanan untuk mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa sepi, wanita itu mencabut selang infus miliknya dengan kasar. Sehingga semburat darah kian menitik d