"Apa Mas?" tanya Riri dengan tubuh yang gemetar.
"Iya Ri. Aku meminta izin untuk menikah lagi. Apa kau memberiku izin?" tanya Ayus tanpa rasa bersalah karena telah melukai hati Riri."Beri aku alasan yang jelas. Kenapa Mas ingin menikah lagi?" tanya Riri dengan hati yang hancur. Berbagai pertanyaan kini membelenggu pikirannya."Karena kamu mandul."Deg. Hancur sudah hati Riri berkeping-keping. Hanya karena keturunan saja, suaminya meminta izin padanya untuk menikah lagi. Padahal mereka menikah 4 tahun yang lalu. Bukankah masih da sedikit waktu lagi?"Apa Mas yakin jika wanita baru dalam hidup Mas itu tidak mandul?" tanya Riri dengan dada yang sesak."Wanita itu masih sangat muda, Ri. Aku yakin dia masih subur-suburnya. Izinin mas nikah lagi ya? Nanti kan anak itu juga bisa jadi anakmu juga, Sayang," ucap Ayus dengan nada yang lembut.Riri menatap lelakinya itu dalam-dalam. Dua pasang mata berbinar itu membuat hati Riri semakin sakit. Mengapa harus menikah lagi?
"Apa Mas akan menceraikan aku?" Riri kembali menanyakan hal penting itu. Jika dirinya diceraikan, kemana lagi ia akan pulang? Kedua orang tua kandungnya telah tiada. Hanya tersisa ibu tiri yang antagonis. Jika dia kembali ke rumah itu, yang ada hanya bullian dan makian untuknya. Seakan dirinya itu hanyalah seonggok sampah tak berguna."Tentu tidak! Aku mencintaimu, Ri. Hanya saja kamu tau kan bagaimana ibu aku? Dia kepengen cucu. Jika akuenikah lagi, dia tidak akan menyuruh kita untuk bercerai," sahut Ayus dengan sebuah senyum yang mengembang dibibirnya.Ragu, Riri meragu akan pilihan yang harus ia hadapi. Dua pilihan itu sama-sama memberikan neraka untuknya. Tidak akan ada kebahagiaan untuknya. Entah setelah dia bercerai, atau entah ketika dia memberikan izin kepada suaminya untuk menikah lagi."Ri, kamu tahu kan anak adalah hal penting. Jika ibu tau aku punya anak dia tidak akan mengganggumu dan mengataimu lagi. Percayalah, kita bertiga akan hidup dengan tenang dan bahagia," ucap Ayus dengan yakin."Wanita itu seperti apa?" Riri menghapus air matanya."Dia sekretarisku, Nisa. Kau ingatkan gadis itu? Dia masih sangat muda. Dan dia juga menerimamu sebagai kakaknya. Kalian berdua pasti akan hidup rukun."Sakit. Sejak kapan keduanya memiliki hubungan? Berapa lama? Hingga membuat Ayus yakin jika Riri akan menerima pernikahan mereka."Sudah berapa lama hubungan kalian? Kenapa bisa seyakin itu untuk secepatnya menikah?""Sudah setahun yang lalu, Sayang. Saat aku lelah kamu tak kunjung hamil juga. Aku menceritakan semua kehidupan rumah tangga kita. Setelah itu dia menyatakan perasaannya padaku," jawab Ayus dengan mantap. Lelaki itu begitu bodoh karena kejujurannya ibarat pisau yang tengah menyayat hati Riri. Dengan tangan terkepal Riri mencoba menahan tangisnya."Apa gadis itu menerimamu apa adanya?""Tentu! Nisa sungguh gadis yang baik, Riri. Sifatnya hampir sepertimu. Aku menyukainya karena dia mirip denganmu juga," tutur Ayus dengan rona bahagia. Padahal kebahagiaannya adalah luka untuk Riri."Bawa gadis itu untuk menemuiku. Aku ingin berbicara empat mata dengannya. Besok aku free mas. Bawa dia padaku," kata Riri dengan menahan sesak didadanya.
"Tentu saja Sayang! Aku akan membawa dia kemari. Apakah itu artinya kau memberikan izin untukku menikah lagi?"
"Besok aku beri jawabannya, Mas. Aku lelah. Bisakah aku tidur sekarang?" Seulas senyum diterbitkan oleh bibir Riri. Sebagai perwujudan dirinya baik-baik saja. Meskipun dibaliknya, dia merasa hancur berkeping-keping."Baiklah. Istirahatlah, Sayang. Aku pergi dulu. Nisa mengajakku makan malam," kata Ayus sembari memberikan kecupan lembut dikening Riri. "Aku mencintaimu!" serunya sebelum akhirnya lelaki itu menghilang dari balik pintu kamar yang telah ditutup."Tidak mas. Kamu sudah tak mencintaiku lagi. Hubungan kalian berjalan setahun? Apakah kalian telah berzina juga?" Riri memegang dadanya yang kian sesak. Air mata kini tak terbendung lagi."Kamu jahat mas! Kamu jahat! Hanya karena aku tak sempurna kau tega meninggalkan aku. Mana janjimu dulu mas? Huhuhuhu. Aku tak memiliki siapa-siapa dihidup ini selain kamu, mas. Mengapa kau malah mengkhianatiku? Kau bilang kau lelah karena aku tak kunjung hamil? Aku juga lelah! Mengapa Allah mempermainkan hidupku? Mengapa? Pasti mereka semua akan mengejekku. Hidupku yang kasihan karena orangtua yang telah meninggal. Kemudian ibu tiri yang terus menyebutku anak sial. Dan sekarang, suamiku ingin menikah lagi? Mengkhianatiku selama setahun lamanya. Tanpa dosa bahkan suamiku berpamitan untuk berkencan dengan wanita lain. Sakit, hatiku sakit. Apakah aku tidak boleh bahagia? Mengapa takdir begitu mempermainkanku? Hahahaha, setelah ini apa lagi? Istri kedua suamiku yang hamil? Begitukah? Atau aku yang akan dicerai? Hah? Jawab! Huaaaaaaa. Sakit, hatiku hancur."********"Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Riri berjalan tergopoh-gopoh dari dalam rumah. Saat pintu rumahnya telah terbuka, seketika senyumnya raib entah kemana. Satu orang yang begitu dikenalnya, dan satu sosok wanita yang tak asing juga untuknya, Nisa."Ri, mas sudah bawa Nisa. Kita bicara di dalam saja yuk?" ajakan Ayus mendapat jawaban anggukan kepala dari Riri. Wanita itu mundur beberapa langkah dan mempersilahkan dua orang tak tau diri itu memasuki rumahnya."Terima kasih mbak Riri sudah mau nerima aku," kata Nisa mengawali pembicaraan."Aku kan udah bilang. Kamu gak perlu takut. Riri akan menerimamu dengan suka cita. Iya kan Sayang?" pandangan Ayus beralih pada Riri yang masih mematung. Perih di hatinya kian hebat. Setelah beberapa saat, Riri mengulum senyuman ramah."Aku tak menyangka, kalian akan secepat ini mengambil keputusan untuk segera menikah," ucap Riri dengan nada yang dingin."Mas Ayus yang nggak sabar, mbak Riri. Dia ngajakin nikah terus. Aku tadinya juga takut jika mbak Riri akan menentang pernikahan kami. Tak kusangka mbak Riri mau menerima Nisa," kat Nisa dengan senyum lebar."Suamiku ingin menikah lagi. Memangnya aku bisa apa? Aku hanya wanita mandul. Ibu rumah tangga, dan hanya bisa menyusahkannya saja. Mana mungkin menolak keinginan orang yang memberiku makan.""Riri! Apa yang kau katakan? Kita sudah membahas ini sebelumnya. Dan kau tidak keberatan dengan pernikahanku dan Nisa," kata Ayus dengan nada tinggi."Sebenarnya wanita mana Mas yang mau diduakan? Nggak ada, tapi berhubung aku ini cuma beban ya udah. Aku restui hubungan kalian. Tapi meskipun begitu bukankah kalian akan tetap menikah tanpa restuku juga kan?" pertanyaan Riri membuat Nisa sedikit dongkol. Namun gadis itu berusaha bersabar."Riri! Kamu jangan keterlaluan!" bentakan Ayus membuat Riri sakit hati."Keterlaluan gimana Mas? Aku kan sudah memberimu restu. Tapi aku ingin kalian menikah secara sirih dulu. Secara hukum nanti saja. Lihat apakah Nisa mencintai Mas dengan tulus atau tidak." Tatapan tajam dilayangkan Riri kearah Nisa. Membuat tangan gadis itu terkepal."Riri!" teriakan Ayus menggelegar memenuhi susut-sudut ruang tamu rumah itu. Lelaki itu entah sadar atau tidak, telah mendaratkan tangannya di pipi kanan milik Riri."Sepertinya pembicaraan ini cukup sampai disini!" timpal Riri dengan menahan perih di pipinya sekaligus di hatinya.Riri menatap pantulan dirinya di cermin. Ada bekas kebiru-biruan di pipi mulusnya yang seputih susu. Selama empat tahun pernikahan, Ayus tak pernah mengangkat tangannya untuk memukul. Namun kali ini berbeda, demi wanita yang baru hadir dihidupnya Ayus tega mendaratkan tangannya di pipi Riri. Bukan hanya perih sehabis ditampar, namun juga membuatnya semakin perih di hati."Mas Ayus… Kau telah berubah. Kau tidak mencintaiku lagi. Jika kau masih mencintaiku, kau pasti akan bertahan dan menerima kekuranganku. Berdalih agar aku tak dimaki dan dicemooh ibumu. Kau meminta izin untuk menikah lagi. Tapi aku tidak bodoh mas. Kau boleh menikah lagi, asal pernikahan kalian sirih. Hanya aku yang memiliki wewenang hukum. Aku menyetujui pernikahanmu itu dikarenakan ketakutanku. Dimana dirimu akan berzina dengan wanita itu. Setahun kau membohongiku, setahun kau mengkhianatiku, setahun pula kau membuatku terlihat bodoh. Permainan takdir macam apa ini, Tuhan? Bagaimana aku harus tetap sabar
Dengan langkah tertatih dan tak memiliki tujuan, Riri terus melangkah membawa kakinya menembus hujan deras. Ironis sekali. Disaat sang suami tercinta tengah menikmati malam pertama dan nafsu dunia bersama wanita lain yang dipenuhi dengan kehangatan diatas ranjang, dirinya justru kedinginan dan tak tau harus kemana. Tak memiliki tujuan, tak memiliki kendaraan dan tak memiliki cukup uang."Bodoh sekali aku. Kenapa selalu menolak apa yang diberikan oleh mas Ayus? Mungkin jika aku menyimpan sedikit uang setiap bulannya, aku pasti memiliki cukup tabungan untuk mencari kos atau rumah kontrakan. Sialnya sekarang uangku cukup untuk makan beberapa hari. Eh, mengapa kepalaku pusing?"Belum sempat Riri menyadari apa yang terjadi pada tubuhnya, wanita itu terlebih dahulu ambruk di tengah hujan deras. Beruntung sebuah mobil mewah yang melintas, berbaik hati membopong tubuh yang kedinginan itu dan membawanya ketempat tinggalnya."Bi, tolong urus wanita itu. Be
Riri perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Pemndangan pertama yang menghampar dikedua netra matanya adalah ruangan bercat putih. Kemudian bau obat-obatan yang khas seperti di rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciuman milik Riri. Sejenak wanita itu merenungkan apa yang sebelumnya terjadi. Bayangan-bayangan hitam rudapaksa dari lelaki asing, kemudian percobaan bunuh diri yang dilakukannya Riripun tersenyum miris."Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Apa gunanya? Sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Sisa-sisa kesetiaan yang aku junjung tinggi untuk mas Ayus kini telah raib. Bahkan aku seakan tak memiliki harga diri. Lantas, mengapa aku masih hidup? Tuhan! Kenapa kau memberikan kehidupan yang menyedihkan untukku?"Riri kemudian menghentikan tangisannya. Menoleh kesisi kiri dan kanan untuk mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa sepi, wanita itu mencabut selang infus miliknya dengan kasar. Sehingga semburat darah kian menitik d
Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti."Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk ses
Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
Riri berjingkat saat menyadari sebuah pelukan dari belakang. Sepasang tangan kokoh melingkari perutnya yang ramping. Sesekali lelaki itu mencium aroma rambut Riri. Atau bahkan lebih intim dari hal itu. Arnold bahkan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher jenjang milik Riri."Tunggu sebentar," cicit Arnold saat Riri hendak bergerak menjauh. "Apa kau tidak bisa menerimaku?"Deg. Hati Riri bimbang. Mau seperti apapun dia adalah lelaki yang dengan teganya memaksa dirinya. Sampai kapanpun ia akan mengingat hal itu. Padahal baru pertama kali Riri bertemu dengan Arnold. Tetapi lelaki itu menganggapnya rendahan."Tolong, terima aku. Aku bisa gila tanpamu." Sekali lagi Arnold meyakinkan Riri."Maaf, entah sampai kapan aku juga tidak tau. Rasa sakit ini masih begitu terasa. Aku rasa, kau bisa mengerti aku bukan?" tanya Riri tanpa menoleh sedikitpun."Apa kau masih mencintainya?""Mencintai pria brengsek? Tidak. Tap
Riri kembali menatap lekat lelaki yang tengah duduk di sofa. Sekali lagi memeriksa kembali paper bag yang dibawa oleh Ryu, bodyguard milik Arnold. Satu-persatu, rasanya kini jantungnya seakan melompat keluar.Keringat dingin pun membasahi wajahnya yang terlihat kaget. Sesaat dirinya menemukan nota belanjaan di paper bag tersebut. Dimana nominal itu mencapai ratusan juta rupiah. Yang lebih membuatnya terkejut adalah, semua itu adalah perhiasan yang ia katakan cantik. Tetapi Riri hanya membeli yang menurutnya simple dan tidak mahal.Karena sebenarnya ia tidak berminat pada perhiasan. Wanita itu hanya meminta pada Arnold untuk sebuah kalung yang sederhana. Namun saat pulang dan telah sampai di rumah, ia menemukan hal yang diluar dugaan. Terlebih, ada 2 kalung berlian yang ia katakan cantik itu kini berpindah ke paper bag yang dibawa oleh Ryu."Ha, apa ini?" tanya Riri dengan lirih. Bahkan terlihat tangannya bergetar saat membuka sebuah
"Apa kau yakin?" tanya Riri dengan alis yang berkerut."Kau mau belanja atau tidak? Kenapa kau tidak yakin begitu?" tanya Ronald dengan kesal."Bagaimana aku yakin? Kau! Kenapa kau tidak bekerja hari ini? Kenapa malah mau nemenin aku belanja?" Riri semakin dongkol. Lihatlah lelaki angkuh didepannya itu. Dengan kacamata hitam yang ia kenakan, lelaki itu terlihat begitu angkuh. Apa katanya tadi? Menemaninya belanja? Riri memutar kedua bola matanya kesal. Pasti mereka berdua akan menjadi pusat perhatian orang-orang."Apa yang salah? Wanitaku akan berbelanja bukan? Sudah sepatutnya sebagai seorang kekasih aku harus menemaninya! Kenapa kau malah terlihat kesal begitu?" tanya Arnold."Nyonya, silahkan." Kei membuka pintu mobilnya.Mempersilahkan Riri untuk segera masuk ke dalam mobil. Jika saja Arnold tak bersikeras untuk ikut, mungkin dengan senang hati Riri akan masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Bukan dengan r
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti."Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk ses
Riri perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Pemndangan pertama yang menghampar dikedua netra matanya adalah ruangan bercat putih. Kemudian bau obat-obatan yang khas seperti di rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciuman milik Riri. Sejenak wanita itu merenungkan apa yang sebelumnya terjadi. Bayangan-bayangan hitam rudapaksa dari lelaki asing, kemudian percobaan bunuh diri yang dilakukannya Riripun tersenyum miris."Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Apa gunanya? Sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Sisa-sisa kesetiaan yang aku junjung tinggi untuk mas Ayus kini telah raib. Bahkan aku seakan tak memiliki harga diri. Lantas, mengapa aku masih hidup? Tuhan! Kenapa kau memberikan kehidupan yang menyedihkan untukku?"Riri kemudian menghentikan tangisannya. Menoleh kesisi kiri dan kanan untuk mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa sepi, wanita itu mencabut selang infus miliknya dengan kasar. Sehingga semburat darah kian menitik d