Riri menatap pantulan dirinya di cermin. Ada bekas kebiru-biruan di pipi mulusnya yang seputih susu. Selama empat tahun pernikahan, Ayus tak pernah mengangkat tangannya untuk memukul. Namun kali ini berbeda, demi wanita yang baru hadir dihidupnya Ayus tega mendaratkan tangannya di pipi Riri. Bukan hanya perih sehabis ditampar, namun juga membuatnya semakin perih di hati.
"Mas Ayus… Kau telah berubah. Kau tidak mencintaiku lagi. Jika kau masih mencintaiku, kau pasti akan bertahan dan menerima kekuranganku. Berdalih agar aku tak dimaki dan dicemooh ibumu. Kau meminta izin untuk menikah lagi. Tapi aku tidak bodoh mas. Kau boleh menikah lagi, asal pernikahan kalian sirih. Hanya aku yang memiliki wewenang hukum. Aku menyetujui pernikahanmu itu dikarenakan ketakutanku. Dimana dirimu akan berzina dengan wanita itu. Setahun kau membohongiku, setahun kau mengkhianatiku, setahun pula kau membuatku terlihat bodoh. Permainan takdir macam apa ini, Tuhan? Bagaimana aku harus tetap sabar? Sedangkan disisi lain mereka pasti akan bercinta. Kenapa belum apa-apa aku sudah merasakan perih begini? Semalam kamupun tak pulang mas. Apa kamu menginap dirumah gadis itu? Aku tak mengerti, mengapa Nisa yang masih begitu muda mau bersamamu."Riri memegang dadanya. Rasanya sesak sekali. Air mata kembali menggenangi pelupuk matanya. Setelah merenung sebentar, wanita itu menghapus air matanya. Kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi. Bebersih diri dan berharap bisa menghilangkan pikirannya yang sedang kusut. Seperti biasa Riri menjalankan aktivitasnya. Meskipun dengan hati yang gelisah dan sakit, namun dia berusaha bersabar. Semoga saja, suaminya segera sadar. Dirinya hanya mampu berserah diri kepada yang kuasa. Dimana Tuhanlah yang mampu membolak balikkan hati hambanya.*****Riri menyambut kedatangan Ayus. Segera menyambar tangan sang suami dan mencium punggung tangannya. Meskipun dirinya sakit hati pada lelaki itu, tak bisa dipungkiri jika Ayus masihlah suami sahnya."Kok nggak salam Mas?" tanya Riri dengan polosnya."Kau keterlaluan, Ri! Kau membuat Nisa takut untuk menikah denganku.""Aku hanya mengatakan apa yang ada didalam hatiku, Mas. Aku hanya takut Nisa hanya memanfaatkammu saja," jawab Riri dengan tenang."Kita sudah membahas ini sebelumnya juga, Ri! Kau juga sudah menyetujui permintaanku. Kenapa kau sekarang malah mempersulit pernikahanku dengan Nisa?""Mempersulit? Omong kosong apa lagi itu mas? Aku sudah menerima permintaanmu. Lalu apa lagi? Jangan bahas ini lagi mas. Segera urus pernikahanmu itu sebelum aku berubah fikiran," pungkas Riri sembari berlalu dari hadapan Ayus. Meskipun lelaki itu mengeratkan lehernya, tetapi Riri berusaha untuk mengacuhkannya.Di dapur, Riri tak lagi kuasa menahan air mata yang terus menggenangi pelupuk matanya. Pada akhirnya, wanita itu telah roboh seketika bersamaan dengan air matanya yang kian membanjir."Pada akhirnya aku tak berharga lagi di matamu, mas. Sekarang aku sudah tak memiliki satupun hal yang bisa aku banggakan. Karena cintamu yang selama ini aku banggakan, kini telah berpindah tuan. Siapa aku sekarang bagimu? Aku hanyalah sebuah beban untukmu. Hiks hiks. Sepertinya aku tak lagi memiliki tempat disini."******Hari yang paling dinantikan oleh Ayus telah tiba. Senyum dan rona bahagia sedari pagi telah menghiasi wajahnya. Berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Riri. Wanita itu hanya mampu menahan rasa sakit yang kian menggerogoti hatinya. Tak disangka olehnya jika suaminya akan menikah lagi. Bahkan dihadiri oleh para sahabat dan rekan kerja satu perusahaan. Membuat Riri terpojokkan. Bagaimana tidak, para hadirin dan tetangga menatapnya remeh. Tatapan-tatapan itu semakin membuat hati Riri semakin sesak."Makanya, jadi wanita itu yang sempurna dong. Harus bisa memberikan suaminya keturunan. Nah gini kan. Akhirnya menikah lagi. Masih untung dikasih makan sama anakku. Kalau enggak, pasti jadi gembel dijalanan kau!" sindir ibu dari Ayus.Sakit. Hati Riri bagai dihujam belati. Dihadapan para tamu mertuanya masih mencemoohnya. Benar, dirinya hanya seorang yang candela. Dengan hati yang hancur Riri segera melangkahkan kakinya untuk meninggalkan acara itu. Segera menuju ke kamarnya dengan cepat. Sungguh hati wanita mana yang tak luka melihat suami yang dicintainya menikah lagi tepat dihadapannya. Bahkan ibu mertua mendukung perselingkuhan itu. Terlebih lagi cemoohan dn cibiran dari ibu mertua seakan menambah garam diatas luka hati Riri."Ya allah, bolehkah aku menyerah? Bolehkah aku mengakhiri ini semua? Tak ada lagi tempat yang bisa menerimaku. Begitu hinakah aku sehingga mereka memperlakukanku sebegininya? Ya allah, tak banyak yang kupinta. Hanya utuhkanlah cinta suamiku untukku. Tetapi hari ini aku menyadari satu hal. Semua luka ini harus berakhir."Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar Riri diketuk. Segera wanita itu menghapus air matanya yang telah membanjiri wajahnya. Dengan senyum yang terpaksa, ia akhirnya membuka pintu kamarnya. Senyum itupun lenyap seketika saat melihat Ayus, suaminya bersama dengan Nisa. Kedua netra Riri juga menangkap tangan Nisa yang bergelayut manja dilengan Ayus."Ri, aku pamit dulu sama Nisa. Kami ingin malam pertama di hotel. Kamu jaga diri ya. Terima kash telah memberi kami berdua restu untuk menikah. Kalau begitu kami pergi dulu. Assalamualaikum, Ri."Hening. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Riri. Entah kenapa lidahnya begitu kelu. Kedua netranya menatap lekat pada dua sosok yang kian menjauh dari tempatnya."Sepertinya, aku harus mengakhiri luka ini." lirih Riri dalam tangis yang pilu."Sabar? Harus sampai mana aku bersabar, Mas? Kamu tak lagi memiliki cinta untukku. Kamu mengkhianati janji suci cinta kita. Kamu bahkan dengan bangganya mengatakan akan melakukan malam pertama bersama istri mudamu itu. Sampai sejauh mana batas kesabaran itu ada? Bukankah lebih baik aku mengakhiri rasa sakit ini mas? Ini bukan lagi perkara aku yang tak bisa mengandung. Tetapi, kau telah dibutakan oleh nafsu birahi."Riri bangkit dengan sisa-sisa tenaganya yang ada. Saat dirinya hendak kembali masuk ke dalam kamar, ibu mertuanya telah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Bukan hanya itu saja. Riri melihat sebuah tas jinjing besar yang dia yakini itu miliknya.
"A ada apa Bu?" tanya Riri dengan ragu."Ini barangmu. Berterimakasihlah padaku karena aku telah sudi mengemasnya! Sekarang, pergilah dari rumah ini. Biarkan rumah ini ditinggali oleh anakku dan menantuku, Nisa.""Apa Ibu bercanda? Aku juga berhak atas rumah ini, Bu! Aku juga mengambil semua tabunganku untuk membeli rumah ini. Ibu jangan seenaknya berlaku seperti ini padaku!""Diam kau wanita mandul! Kalian seret wanita mandul ini keluar dari rumah anakku," titah ibunda Ayus pada 4 orang lelaki bertubuh besar. Riri kini mengerti sepertinya mertuanya itu telah cukup lama menantikan hari ini. Hari dimana dirinya ditendang dari rumah ini."Tidak Bu! Aku juga berhak atas rumah ini! Aaaahhh."Tubuh Riri terpelanting jatuh ke ubin halaman rumah. Seketika ibu mertuanya muncul dengan senyum penuh kemenangan dan menutup pintu rumahnya dengan cukup keras. Riri menganga tak percaya. Ibu mertuanya begitu tega menyeretnya keluar dengan kasar bahkan dibawah guyuran hujan yang cukup deras."Haha ternyata sebelum aku mengakhirinya, aku terlebih dulu dibuang. Sungguh ironis sekali hidupku ini."Dengan langkah tertatih dan tak memiliki tujuan, Riri terus melangkah membawa kakinya menembus hujan deras. Ironis sekali. Disaat sang suami tercinta tengah menikmati malam pertama dan nafsu dunia bersama wanita lain yang dipenuhi dengan kehangatan diatas ranjang, dirinya justru kedinginan dan tak tau harus kemana. Tak memiliki tujuan, tak memiliki kendaraan dan tak memiliki cukup uang."Bodoh sekali aku. Kenapa selalu menolak apa yang diberikan oleh mas Ayus? Mungkin jika aku menyimpan sedikit uang setiap bulannya, aku pasti memiliki cukup tabungan untuk mencari kos atau rumah kontrakan. Sialnya sekarang uangku cukup untuk makan beberapa hari. Eh, mengapa kepalaku pusing?"Belum sempat Riri menyadari apa yang terjadi pada tubuhnya, wanita itu terlebih dahulu ambruk di tengah hujan deras. Beruntung sebuah mobil mewah yang melintas, berbaik hati membopong tubuh yang kedinginan itu dan membawanya ketempat tinggalnya."Bi, tolong urus wanita itu. Be
Riri perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Pemndangan pertama yang menghampar dikedua netra matanya adalah ruangan bercat putih. Kemudian bau obat-obatan yang khas seperti di rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciuman milik Riri. Sejenak wanita itu merenungkan apa yang sebelumnya terjadi. Bayangan-bayangan hitam rudapaksa dari lelaki asing, kemudian percobaan bunuh diri yang dilakukannya Riripun tersenyum miris."Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Apa gunanya? Sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Sisa-sisa kesetiaan yang aku junjung tinggi untuk mas Ayus kini telah raib. Bahkan aku seakan tak memiliki harga diri. Lantas, mengapa aku masih hidup? Tuhan! Kenapa kau memberikan kehidupan yang menyedihkan untukku?"Riri kemudian menghentikan tangisannya. Menoleh kesisi kiri dan kanan untuk mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa sepi, wanita itu mencabut selang infus miliknya dengan kasar. Sehingga semburat darah kian menitik d
Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti."Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk ses
Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
"Apa kau yakin?" tanya Riri dengan alis yang berkerut."Kau mau belanja atau tidak? Kenapa kau tidak yakin begitu?" tanya Ronald dengan kesal."Bagaimana aku yakin? Kau! Kenapa kau tidak bekerja hari ini? Kenapa malah mau nemenin aku belanja?" Riri semakin dongkol. Lihatlah lelaki angkuh didepannya itu. Dengan kacamata hitam yang ia kenakan, lelaki itu terlihat begitu angkuh. Apa katanya tadi? Menemaninya belanja? Riri memutar kedua bola matanya kesal. Pasti mereka berdua akan menjadi pusat perhatian orang-orang."Apa yang salah? Wanitaku akan berbelanja bukan? Sudah sepatutnya sebagai seorang kekasih aku harus menemaninya! Kenapa kau malah terlihat kesal begitu?" tanya Arnold."Nyonya, silahkan." Kei membuka pintu mobilnya.Mempersilahkan Riri untuk segera masuk ke dalam mobil. Jika saja Arnold tak bersikeras untuk ikut, mungkin dengan senang hati Riri akan masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Bukan dengan r