Riri perlahan-lahan membuka kedua kelopak matanya. Pemndangan pertama yang menghampar dikedua netra matanya adalah ruangan bercat putih. Kemudian bau obat-obatan yang khas seperti di rumah sakit menyeruak masuk ke indra penciuman milik Riri. Sejenak wanita itu merenungkan apa yang sebelumnya terjadi. Bayangan-bayangan hitam rudapaksa dari lelaki asing, kemudian percobaan bunuh diri yang dilakukannya Riripun tersenyum miris.
"Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk hidup. Apa gunanya? Sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Sisa-sisa kesetiaan yang aku junjung tinggi untuk mas Ayus kini telah raib. Bahkan aku seakan tak memiliki harga diri. Lantas, mengapa aku masih hidup? Tuhan! Kenapa kau memberikan kehidupan yang menyedihkan untukku?"Riri kemudian menghentikan tangisannya. Menoleh kesisi kiri dan kanan untuk mengamati keadaan sekitar. Setelah dirasa sepi, wanita itu mencabut selang infus miliknya dengan kasar. Sehingga semburat darah kian menitik dari tempat bekas jarum selang infus tersebut.Dengan langkah yang tertatih sembari menahan rasa pusing yang kian mendera, Riri berjalan dengan mantap kearah pintu kamar ruangannya. Beruntung, karena saat ini tengah malam suasana rumah sakit tersebut cenderung sepi. Segera saja Riri berjalan secepat mungkin menjauh dari ruangan yang ia tinggali sebelumnya.Saat dirinya berada di basement rumah sakit, tanpa sengaja Ayus melihat Riri yang tengah berjalan terseok-seok. Entah mengapa tiba-tiba raut wajah lelaki itu berubah. Sudut mata lelaki itu seakan melotot kearah Riri yang membelakanginya. Dengan amarah yang membuncah, Ayus segera menghampiri Riri."Dasar jalang!" sungut Ayus. Suara yang begitu familiar itu membuat Riri segera menoleh ke belakang dan memutar tubuhnya. Senyum mengembang di bibir wanita itu. Mau seperti apapun, Riri tetap mencintai Ayus."Mas Ayus! Mas ke rumah sakit?" tanya Riri dengan senyum yang masih bertengger di bibirnya. Beberapa saat Ayus terdiam. Namun beberapa bekas kemerah-merahan yang ada di leher Riri membuatnya terpaku. Gejolak amarah yang sudah ia timbun dan sembunyikan kini meluap-luap. Tatapan jijikpun ia layangkan pada tubuh Riri yng dipenuhi tanda kepemilikan."Kau sudah menunjukkan wujud aslimu wanita jalang?" tanya Ayus dengan sarkas."Ma-mas a-apa maksudmu?" tanya Riri dengan takut-takut. Wanita itu menyadari perubahan raut wajah dari Ayus."Jangan berlagak polos Riri! Kau pergi bersama lelaki lain bukan kemarin malam?" bentak Ayus."Ke-kemarin malam?"Jadi aku sudah tak sadarkan diri selama 2 hari? Gawat mas Ayus kelihatan sangat marah. Batin Riri semakin ketakutan."Hem. Bagaimana? Sudah ingat kau tidak pulang semalam? Dan kau juga membawa pergi semua baju dan barangmu dari rumahku! Katakan, bukankah tidak salah jika aku memanggilmu jalang?" Ayus menatap remeh pada Riri."Mas, aku bisa jelasin ini!" Riri berusaha meraih tangan Ayus. Namun Ayun menepis dengan kasar tangan Riri."Kau membuatku jijik, Ri. Lihat dirimu sekarang! Kau keluar ke tempat umum tanpa menutupi lehermu akibat permainan panasmu bersama kekasih gelapmu itu!" sentakan Ayus membuat Riri terkesiap kaget.Tanda di leher? Segera Riri mengingat kejadian malam kemarin yang membuatnya merasa terhina untuk seumur hidupnya. Hancur sudah jika Ayus menggugat cerai dirinya. Tapi, Riri juga merasa jika dirinya tak pantas lagi untuk mempertahankan biduk rumah tangganya bersama Ayus.
"Kenapa? Apa kau ingin membalasku yang kemarin malam sedang melakukan malam pertama dengan Nisa hah? Sehingga kau dengan tak tahu dirinya mencari lelaki lain untuk memuaskanmu malam itu?""Bu-bukan begitu Mas!" air mata tak lagi mampu bertahan disudut matanya. Lelehan cairan bening itu kian membanjiri kedua pipinya yang pucat."Kata ibu kemarin kamu kabur dari rumah. Kamu marah karena aku menghabiskan malam bersama Nisa. Riri, kau tega padaku. Mengapa kau harus bermain dengan lelaki lain? Mengapa? Apa aku tak cukup mampu memuaskanmu di ranjang? Sehingga kau bercumbu bersama lelaki lain?""Mas cukup! Ibu yang ngusir aku Mas! Mana mungkin aku berani keluar rumah tanpa seizinmu? Bukankah selama ini aku selalu patuh padamu?" pungkas Riri membela diri.Hening melenggang. Ayus nampak berfikir. Ya, selama ini Riri menjadi istri yang patuh dan setia. Dilihatnya raut wajah Riri sekali lagi. Namun saat kedua netra matanya melihat bekas tanda kepemilikan di leher Riri, kembali emosi meluap di dadanya."Jelaskan tanda di lehermu itu! Jika alasanmu tak masuk akal, lihat bagaimana aku menghukummu!""Ki-kita cari tempat lain saja Mas. Aku bakalan ceritain apa yng terjadi semuanya," kata Riri dengan nada putus asa."Hem."Kini Riri dan Ayus berjalan perlahan menuju taman yang ada di rumah sakit itu. Riri bisa merasakan sikap dingin dan acuh dari Ayus. Tetapi mau bagaimana lagi, jika keadaanlah yang membuat dirinya berakhir seperti saat ini.Aku harus berbohong kali ini, mas Ayus. Maafkan Riri."Katakan."
"Saat aku keluar dari rumahmu setelah ibu mengusirku, aku luntang luntung di jalan. Apalagi saat itu malam hari disertai hujan. Di jalan, aku tak sengaja menyenggol beberapa preman yang tengah mabuk. Saat itu aku sangat takut. Karena jalanan sepi. Aku sudah memiliki firasat yng buruk. Tetapi aku hanyalah wanita yang lemah. Pada akhirnya mereka melecehkanku. Beruntung, waktu itu ada lelaki paruh baya yang mau menolongku. Hingga aku selamat Mas. Dan akhirnya aku berada di rumah sakit karena aku kelelahab kemudian pingsan. Jika mas Ayus tak mempercayaiku lagi, nggak apa-apa. Riri tau, Riri sekarang hina. Tak lagi suci untuk Mas Ayus. Maaf Mas, Riri harus pergi," kata Riri dengan terisak kemudian wanita itupun bangkit dari bangku."Tunggu." Ayus menghentikan langkah Riri. "Aku mungkin bisa menerimamu."
"Benarkah?" kedua bola mata Riri berkaca-kaca."Tapi, aku harus menghapus jejak lelaki brengsek itu dari tubuhmu! Jika ibu benar mengusirmu, sementara aku akan mencarikan kos untukmu. Aku akan ke tempatmu besok. Untuk menghapus jejak lelaki lain dari tubuhmu! Ingatlah Ri. Kau masih berstatus sebagai istriku! Jangan pernah kau berfikir untuk pergi dari hidupku!"Riripun tersenyum. Itu berarti malam ini dia ada tempat untuk bermalam. Setidaknya lebih baik daripada Ayus membuangnya. Perlahan Riri akan memperbaiki hubungannya dengan Ayus. Benar, Riri menyadari jika dirinya masih mencintai Ayus meskipun lelaki pujaan hatinya itu mencintai wanita lain.******Keesokan harinya…
Disuatu tempat dimana seorang penguasa tengah melayangkan banyak barang dihadapan para anak buahnya. Lelaki yang masih muda dan memiliki wajah yang rupawan itu tengah meluapkan emosinya yang membara."Bagaimana bisa kalian kehilangan wanita itu?" teriaknya untuk kesekian kalinya."Maaf Tuan muda. Saya tadi ke kamar mandi. Wktu itu masih ada Ridwan yang menjaganya.""Mohon ampun Tuan muda. Saya dipanggil dokter karena harus mengurus administrasi nona itu."Bugh bugh bugh."Bagus Kei! Bawahanmu itu tak berguna! Mencari satu wanita saja tidak mampu!""Tuan muda, saya telah mendapat informasi tentang identitas nona," kata Kei sembari mendekati lelaki muda itu."Kau hebat Kei. Jika kau tidak membaw kabar ini aku pasti akan mematahkan kedua tangan orang tak berguna ini." menerima sebuah map coklat dan secepat kilat membukanya. "Namanya Riri? Nama yang bagus. Hah? Wanita itu dimadu?" kedua netra lelaki itu hampir keluar dari tempatnya."Benar Tuan muda. Apa anda memiliki perintah selanjutnya? Kemungkinan nona itu kembali di kediaman suaminya.""Sabar sebentar Kei. Aku memiliki ide yang briliant. Hahahaha memang. Tidak akan ada yang bisa lolos dari tangan seorang Arnold Darion Stephanus! Hahahaha."Riri menangis dibawah selimut tipis miliknya. Tubuhnya terasa remuk dan inti miliknya terasa panas. Ya, hukuman yang diberikan oleh Ayus adalah bercinta. Sayangnya, Ayus yang biasanya memperlakukannya dengan lembut kini melakukannya dengan kasar. Bahkan lelaki itu langsung pergi meninggalkan kos-kosan milik Riri yang telah disewa oleh Ayus. Layaknya pelacur, setelah bermain maka akan ditinggalkan begitu saja bagai tak berarti."Salahkah aku memutuskan untuk kembali? Apakah setelah kau melihat tanda dari perbuatan orang lain, lantas kau marah? Hari ini aku tau, pandanganmu padaku hanya sekedar seorang pelacur yang tengah melayani tamunya. Tuhan, mengapa aku bak sampah yang menjijikkan? Apakah ini memang jalan takdirku? Mengapa suami dan lelaki asing itu senang sekali melecehkanku? Apakah memang karena aku begitu murahan? Hiks hiks. Aku lelah."Seminggu telah berlalu…Tok tok tok.Terdengar suara pintu kamar indekos milik Riri diketuk ses
Ririn menatap pintu kamar kosnya dengan sendu. Sudah pukul sepuluh malam tetapi batang hidung Ayus belum nampak juga. Tak pelak kekhawatiran dan kekalutan mulai menghinggapi hatinya. Wanita itu berjalan mondar-mandir sembari mengintip dari balik jendela kamar indekosnya."Apa mas Ayus menginap di rumah Nisa ya malam ini? Tetapi hari ini mas Ayus nggak ngasih pesan apapun. Astaga kenapa aku tidak tenang begini ya? Mas Ayus! Kenapa nggak ada kabar?"Ririn menyambar ponselnya yang berada di tepi ranjang. Mencoba untuk menghubungi nomor suaminya. Sayangnya, nomor ponsel Ayus bahkan tidak aktif. Membuat Ririn semakin gelisah. Wanita itu menghela nafas panjang. Sembari menangkupkan kedua tangannya, Ririn memejamkan kedua matanya. Berusaha untuk mencari ketenangan hatinya.*****Brak brak brak!Terdengar suara pintu kamar kos milik Ririn didobrak. Merasa terganggu, Ririn segera membuka kedua kelopak matanya. Dalam kondisi setengah sadar dan
Ayus yang mulai kesal dan segera mengambil tindakan. Lelaki itu mulai mencari sesuatu di lemari milik Ririn. Ririn yang melihat kelakuan Ayus tersentak kaget. Seumur dirinya hidup bersama lelaki itu, sekalipun tak pernah melihat Ayus mengobrak-abrik lemari miliknya."Mas! Apa yang kamu lakukan?" tanya Ririn sembari mengusap air matanya dan mendekati Ayus."Nisa, kamu bantu cari. Hari ini harus bisa cairin uang itu. Setidaknya bisa mengganti sebagian gaji para pegawai di kantor," kata Ayus."Iya Sayang." Nisa pun mendekat. Dengan hati yang senang dirinya mulai membantu Ayus mencari buku tabungan dan ATM milik Ririn. Tentu saja dirinya bahagia, karna pada akhirnya Ayus tak lagi meminta uang miliknya."Mas! Hentikan! Itu uangku! Kamu nggaj berhak ambil uangku," ucap Ririn sembari memegang tangan Ayus.Ayus yang sudah kepalang buntu, lelaki itu segera menyentak tubuh Ririn. Hingga wanita itu terjatuh di lantai. Tanpa melihat Ririn yang t
Brukkk.Tubuh Riri dihempaskan begitu saja saat mereka telah sampai di sebuah rumah mewah. Wanita itu memandangi sekelilingnya dengan tatapan nanar dan tubuh yang bergetar. Mengapa ia harus kembali ke rumah ini? Mengapa ia tak bisa hidup tenang dan damai?"Jika kau berani kabur dari sini, lihat apa yang akan aku lakukan padamu! Bukan hanya padamu, tetapi juga semua yang berhubungan denganmu. Entah itu keluargamu, atau mereka semua yang mengenalmu. Aku akan membalikkan hidup mereka semua!" desis lelaki itu dengan duduk di sofa dengan angkuhnya."Apa maksudmu? Mengapa kau begitu menginginkanku? Bukankah aku telah mengatakan jika aku telah bersuami?""Bersuami? Ha-ha-ha! Buka matamu lebar-lebar. Apakah dia masih pantas untuk kau sebut sebagai seorang suami?""A-apa maksudmu?" tanya Riri dengan terbata. Entah mengapa kini dirinya memasang kewaspadaan yang tinggi. Karena sadar, jika lelaki dihadapannya itu adalah lelaki gila."B
Drrrtttt. Drrrttt.Ponselku berkali-kali bergetar. Riri yang saat itu masih terlelap, menggerakkan kedua kelopak matanya. Kemudian meraba nakas untuk mencari ponselnya. Dengan nyawa yang belum terkumpul, Riri menerima panggilan itu."Kau dimana dasar jalang!" teriakan itu seketika membuat dahi Riri mengerut. Sejenak Riri mencoba mengumpulkan nyawanya. Melihat nama yang tertera di panggilan itu, mood Riri hancur seketika. Ayus, sepagi ini dia menelfon dirinya setelah dirinya menghilang selama 1 minggu. Baru telpon tersambung, dia dipanggil jalang! Umpatan kasar itu tak lagi membuat hati Riri terasa sakit. Rasa cintanya seakan hilang semenjak kejadian tempo hari."Kenapa?" tanya Riri dengan santai. Ia ingin lihat. Seberapa jauh perbuatan Ayus dan Nisa nantinya. Jika dirasa mereka berdua sudah kelewatan, maka sudah waktunya Riri beraksi. Menggunakan kekuasaan Ronald untuk menekan saham perusahaan milik Ayus itu adalah hal yang mudah. Riri tersen
"Apa kau yakin?" tanya Riri dengan alis yang berkerut."Kau mau belanja atau tidak? Kenapa kau tidak yakin begitu?" tanya Ronald dengan kesal."Bagaimana aku yakin? Kau! Kenapa kau tidak bekerja hari ini? Kenapa malah mau nemenin aku belanja?" Riri semakin dongkol. Lihatlah lelaki angkuh didepannya itu. Dengan kacamata hitam yang ia kenakan, lelaki itu terlihat begitu angkuh. Apa katanya tadi? Menemaninya belanja? Riri memutar kedua bola matanya kesal. Pasti mereka berdua akan menjadi pusat perhatian orang-orang."Apa yang salah? Wanitaku akan berbelanja bukan? Sudah sepatutnya sebagai seorang kekasih aku harus menemaninya! Kenapa kau malah terlihat kesal begitu?" tanya Arnold."Nyonya, silahkan." Kei membuka pintu mobilnya.Mempersilahkan Riri untuk segera masuk ke dalam mobil. Jika saja Arnold tak bersikeras untuk ikut, mungkin dengan senang hati Riri akan masuk ke dalam mobil dengan senang hati. Bukan dengan r
Riri kembali menatap lekat lelaki yang tengah duduk di sofa. Sekali lagi memeriksa kembali paper bag yang dibawa oleh Ryu, bodyguard milik Arnold. Satu-persatu, rasanya kini jantungnya seakan melompat keluar.Keringat dingin pun membasahi wajahnya yang terlihat kaget. Sesaat dirinya menemukan nota belanjaan di paper bag tersebut. Dimana nominal itu mencapai ratusan juta rupiah. Yang lebih membuatnya terkejut adalah, semua itu adalah perhiasan yang ia katakan cantik. Tetapi Riri hanya membeli yang menurutnya simple dan tidak mahal.Karena sebenarnya ia tidak berminat pada perhiasan. Wanita itu hanya meminta pada Arnold untuk sebuah kalung yang sederhana. Namun saat pulang dan telah sampai di rumah, ia menemukan hal yang diluar dugaan. Terlebih, ada 2 kalung berlian yang ia katakan cantik itu kini berpindah ke paper bag yang dibawa oleh Ryu."Ha, apa ini?" tanya Riri dengan lirih. Bahkan terlihat tangannya bergetar saat membuka sebuah
Riri berjingkat saat menyadari sebuah pelukan dari belakang. Sepasang tangan kokoh melingkari perutnya yang ramping. Sesekali lelaki itu mencium aroma rambut Riri. Atau bahkan lebih intim dari hal itu. Arnold bahkan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher jenjang milik Riri."Tunggu sebentar," cicit Arnold saat Riri hendak bergerak menjauh. "Apa kau tidak bisa menerimaku?"Deg. Hati Riri bimbang. Mau seperti apapun dia adalah lelaki yang dengan teganya memaksa dirinya. Sampai kapanpun ia akan mengingat hal itu. Padahal baru pertama kali Riri bertemu dengan Arnold. Tetapi lelaki itu menganggapnya rendahan."Tolong, terima aku. Aku bisa gila tanpamu." Sekali lagi Arnold meyakinkan Riri."Maaf, entah sampai kapan aku juga tidak tau. Rasa sakit ini masih begitu terasa. Aku rasa, kau bisa mengerti aku bukan?" tanya Riri tanpa menoleh sedikitpun."Apa kau masih mencintainya?""Mencintai pria brengsek? Tidak. Tap