Rania sedang sibuk memberi briefing, pada lima karyawan yang akan membantunya memasak untuk catering sebuah seminar, semua bahan telah disiapkan, daftar menu dan resepnya sudah dipelajari. Bu Fatma yang berada disana juga ikut berpartisipasi . “Ran, ini sudah jam tujuh, lebih baik kamu segera ke Harafa Hospital, biar aku yang handle untuk proses selanjutnya. “Terima kasih Bu Fatma, saya pergi dulu,” pamit Rania. Rania menaiki ojek online, supaya lebih cepat dan tidak terjebak macet hingga sampai di Harafa Hospital tepat waktu, sebelum masuk ke ruang kerja, ia melihat keadaan Safa, gadis itu sendirian di dalam kamar dan masih belum sadar. Rania kembali terlihat sedih, tekadnya untuk membawa Safa berobat ke rumah sakit Singapura semakin bulat, walau Faiz tidak akan setuju, bahkan tidak membantu secara finansial, Rania pun tetap pada pendiriannya. Hari berlalu begitu cepat, menjelang senja, Rania sudah berada di kamar Safa, satu jam lagi, ia akan pergi k
Rania lalu mengayunkan kakinya keluar dari rumah Faiz. Sementara Faiz terduduk di sofa, ia menatap Nayla dan Kinan dengan tajam.“Kenapa kalian menyembunyikan hal ini padaku?”“Mas...aku hanya ingin melindungi Nayla, ingat, Nayla juga putri kandungmu,” sahut Kinan tanpa merasa bersalah sedikitpun.“Tapi, seharusnya kamu jujur pada kami, Kinan,” sela Larasati.“Cukup Bu, jangan ikut campur dalam masalah keluarga kami!” bentak Kinan pada ibu mertuanya itu.Larasati terdiam, lalu memilih pergi, meninggalkan ruang tengah. Kinan, Faiz, juga Nayla berpikir mengenai ancaman Rania.“Apa Rania akan benar-benar melaporkan hal ini, jika kita tidak memberinya uang dua milyar?”tanya Kinan “Aku yakin, ia akan melaporkannya, dan pasti Nayla akan masuk penjara, usia Nayla sudah tujuh belas tahun tepat bulan ini ‘kan?” jadi kemungkinan, penjara bukan pusat rehabilitasi untuk kejahatan anak di bawah umur, aku tidak bisa membayangkan, kedua putriku bernasib, sial, yang satunya terbaring di rumah sakit,
Dua hari berlalu, uang dua milyar yang dijanjikan Faiz, telah siap, dan Faiz memutuskan ingin bertemu Rania secara langsung, selain ingin membicarakan masalah kesepakatan dua milyar, Faiz juga ingin membicarakan masalah pengobatan Safa.Tepat pukul delapan malam, Faiz sudah sampai di sebuah kafe, ia menantikan kedatangan Rania.Seorang wanita berjalan ke arah Faiz, mata Faiz tak lepas menatap wanita yang saat ini mengenakan dres tanpa lengan, hingga memperlihatkan bahu putihnya, rambut sebahu dibiarkan tergerai rapi, tas kecil menggantung di bahunya. Rania berjalan pelan, dan ketika melihat Faiz, ia mempercepat langkahnya.“Maaf Mas, aku terlambat,” ucap Rania seraya duduk di kursi depan Faiz.“Tidak mengapa, aku tahu saat ini kamu sibuk,” balas Faiz.Rania tersenyum getir,“ langsung saja Mas, ke pokok permasalahannya.”“Aku akan mentransfer uang yang kamu inginkan, tapi tanda tangani ini, pernyataan perdamaian masalah Nayla dan Safa, kita selesaikan secara damai , aku akan ikut me
“Bagaimana jika kita rayakan kabar baik ini,kalian duduklah, aku akan membuat makan malam untuk kita,” ujar Fatma, menarik tangan Rania supaya duduk di sofa yang sama dengan Fathan.“Bu Fatma, biar aku bantu memasak,” sela Rania.“Tidak boleh, kamu adalah tamuku, Ran, aku senang melakukan ini, duduklah dan temani Dokter Fathan ngobrol,” suruh Fatma lalu meninggalkan Rania dan Fathan berdua di ruang tamu.Menit berlalu, setelah acara makan malam bersama di rumah Fatma. Rania dan Fathan pamit, keduanya pergi meninggalkan rumah Fatma, Kini Rania duduk di jok samping Fathan, yang fokus menyetir.Mobil sedan warna hitam melaju pelan di jalanan, sesekali mereka berbincang ringan.“Ran, aku akan siapkan keberangkatanmu ke Singapura, setidaknya lusa kamu sudah bisa berangkat, ajukan cuti selama tiga hari di HRD Harafa Hospital,” suruh Fathan.“Baik, Dokter Fathan, dan terima kasih ata
Rania suduh berdiri di sebuah rumah sakit terbesar di Singapura, binar bahagia dan senyum terukir di bibirnya, sebentar lagi kerinduannya pada Safa terobati, lalu terlihat pria muda dengan berpakaian rapi menghampirinya.“Selamat datang Kak Rania,” sapa Bastian, dengan menjabat tangan Rania.“Terima kasih, Bas,” jawab Rania yang juga melempar senyum.“Aku telah menyiapkan hotel, yang dekat dengan rumah sakit, jadi Kak Rani, bisa beristirahat,” ucap Bastian.“Seharusnya tidak perlu, aku bisa tidur di rumah sakit ‘kan, sambil menemani Safa.”“Tidak bisa Kak, keluarga pasien hanya bisa berkujung di jam berkunjung, kebetulan ini jam berkunjung, ayo Kak Rani, aku antar ke kamar perawatan Safa,” ajak Bastian.Bastian dan Rania berjalan sejajar memasuki loby rumah sakit setelahnya mereka naik lift ke lantai tujuh belas, dan akhirnya sudah sampai di depan kamar perawatan Safa.Ceklek!... Pintu dibuka dengan pelan, Safa menoleh ke arah pintu, dan ia tersenyum haru, sampai air matanya meleleh
“Kenapa diam Ran?”“Aku merasa tidak pantas bersanding dengan Dokter, aku hanya karyawan biasa, tidak ada yang bisa aku banggakan, aku takut jika suatu saat hubungan ini membawa luka,” jawab Rania.“Jangan jawab sekarang, aku tahu, kamu perlu waktu, kamu pun cukup dewasa menilai seseorang, cintaku padamu tulus, percayalah.”“Pah kesini...!” teriakan Abela menghentikan pembicaraan Fathan, lalu pria itu menghampiri putrinya dan bersama bermain pasir, sedangkan Rania masih terpaku duduk di bangku kayu, masih teringat lamaran yang terucap dari bibir Fathan.Sementara, di Jakarta terlihat Dinda kesal pada Rafa. ”Tahu hidupku menderita, aku tak pernah mau pacaran denganmu,” ucapnya dengan nada keras.“Sial kamu Din, merendahkanku, pergi sana, aku juga muak melihatmu, baru melahirkan anak satu, tidak bisa merawat tubuh, lihat itu, Kak Kinan, body seperti gadis remaja,” sahut Rafa tak kalah keras.Dinda hanya menghela napas kesal, lalu ia pergi dengan mengendong anaknya yang kini berusia hamp
Siang itu sehabis pergi bersama Fathan dan Abela, Rania menyempatkan diri menjenguk Safa.“Mah, kenapa melamun?” tanya Safa .“Tidak ada apa-apa, bagaimana keadaanmu, semakin membaikkan, besok lusa Mamah kembali ke Jakarta, aku harap kamu baik-baik saja disini bersama Dokter Bastian,” balas Rania, dengan menyuapi Safa buah.“Mamah tidak usah khawatir, Kak Bastian sangat baik Mah, dia sangat memperhatikanku, ia juga selalu menyempatkan diri untuk menemaniku disaat ada waktu luang.”Mendengar penuturan Safa, Rania lega, setidaknya Bastian adalah satu orang yang dapat dipercaya Rania, untuk menjaga Safa.“Safa, bagaimana pendapatmu tentang Dokter Fathan?” Rania tampak ragu, tapi perlu pendapat Safa, mengenai Fathan yang telah melamarnya itu.“Hemm baik, dan tampan sangat cocok jika bersama Mamah,” sahut Safa.“Mamah ‘kan tanya bagaimana pendapatmu tentang Pak Fathan, kenapa jadi menjodohkan Mamah dengan Pak Fathan.” Rania memasang wajah kesal.Safa mengurai senyum, melihat Rania yang ke
Rania tampak berpikir setelah mendengar rekaman Rafa, ia pun berniat untuk membalas kejahatan Kinan. Satu persatu rencana disusunnya, terkadang ia berpikir harus bertindak kejam, demi memuaskan batinnya yang telah tersakiti, suatu kejahan harus dihukum ‘kan jika hukum negara tidak didapatnya maka hukuman harus dilakukan sendiri, itu adalah tekad Rania, ia tidak mau menjadi wanita bodoh yang hanya dimanfaatkan, dibohongi bahkan dihina setelah tidak lagi berguna.Mentari sudah berada di ufuk barat, Rania telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun bergegas menemui Adi, di suatu tempat, sengaja Rania saat ini mengenakan kaos hoodie dan celana jeans serta topi untuk menyamarkan penampilannya, ia pergi menghampiri bajai. Baru saja kakinya akan melangkah naik ke bajai, Fatma yang baru saja turun dari mobil memanggilnya.“Ran, mau ke mana? Aku bisa mengantarmu,” tawar Fatma.“Tidak perlu Bu Fatma, ada perlu apa kesini?”“Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat, dan aku perlu teman ngobrol ter
Empat bulan berlalu, usia kandungan Nayla memasuki bulan kedelapan, saat ini ia sedang menatap Bastian yang sedang sibuk dengan ponselnya sambil menyerutup secangkir kopi, pria yang mengenakan kaos dan celana pendek itu sedang duduk santai di kursi balkon.Perlahan Nayla mendekati Bastian, tubuh kurusnya semakin terlihat lemah, selama empat bulan ini, ia berhasil menyembunyikan sakitnya.“Kak Bastian, bisa kita bicara?”Bastian sesaat menoleh ke arah Nayla, yang dengan pelan menghempasakan tubuhnya di kursi samping Bastian.“Bicara saja,”celetuk Bastian tanpa menatap Nayla“Aku ingin, menjual saham dua puluh persen Harafa Hospital padamu,”ucap Nayla, pelan.Bastian menghentikan tatapannya ke ponsel, dan beralih menatap Nayla“Kamu serius mengatakan itu?”“Aku sangat serius,”jawab Nayla.“Tanya syarat apapun?”Nayla menggeleng.”Tanpa syarat, milikilah saham itu, aku sudah tidak berminat lagi dengan Harafa Hospital, yang terpenting bagiku, kamu akan menjadi ayah yang baik untuk anaku.
Akhirnya Bastian, menikahi Nayla, sebagai rasa tanggung jawabannya pernikahan yang hanya dilakukan di kantor Urusan Agama, dan hanya disaksikan Fathan dan Rania, tidak ada senyum, bahagia, semua tampak tegang, apalagi Bastian, ia masih kesal, dengan pernikahan yang terkesan mendadak.“Kalian akan tinggal dimana?” tanya Fathan.“Aku tetap tinggal di aparteman, jika Nayla mau, dia bisa tinggal bersamaku,” jawab Bastian bernada ketus.“Aku sekarang istrimu, jadi aku akan tinggal bersamamu, perutku ini akan semakin besar, jika tidak tinggal bersama, nanti di kira aku tidak punya suami,“ ucap Nayla, mengamit lengan Bastian, tapi dengan kasar Bastian, melepaskan tangan Nayla, dari lengannya.“Nayla, jangan bertindak ceroboh, jika kamu mempunyai niat jahat percayalah itu akan sia-sia, karena kami tidak akan memberikan celah itu,”tegas Rania.“Tante Rania, aku sudah cukup dewasa, untuk menentukan nasibku,”sahut Nayla.Lalu Rania dan Fathan meninggalkan Bastian, dan Nayla. Selanjutnya Bastian
Pernyataan Fathan didukung oleh para pemegang saham yang lainnya, Bastian menatap sinis Nayla, tapi sebaliknya, Nayla menatap penuh kehangatan.Rapat pun selesai, Nayla mengejar Bastian yang berjalan cepat menuju ruangannya.“Kak Bastian!” panggil Nayla, mempercepat langkahnya.“Aku tak ingin bicara denganmu, gara-gara tingkahmu, Dinda marah padaku,”ucap Bastian, sambil terus berjalan.“Kak Bastian tidak bisa mengabaikan aku begitu saja,”sarkas Nayla, bergerak cepat menghadang langkah Bastian.Terlihat Fathan mengeryitkan dahi, melihat tingkah Nayla, yang menurutnya aneh, lalu Fathan mendekati Bastian dan Nayla yang tampak bersitegang.“Ada masalah apa kalian?”tanya Fathan membuat Bastian salah tingkah.“Hemm... tidak ada masalah Kak Fathan,”sahut Bastian.“Iya Pak Fathan tidak ada masalah, aku hanya ingin mengajak Bastian, makan siang,”dalih Nayla.“Iya Kak, kami akan makan siang dulu,”pamit Bastian, lalu menarik Nayla, menjauh dari Fathan.Setelah jauh dari Fathan, pria yang berk
“Apa maksud perkataanmu Nay, sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”tanya Dinda.“Lebih baik, Tante tanya sendiri, pada Kak Bastian, aku pamit dulu,”jawab Nayla, meraih tas kecilnya, dan beranjak pergi meninggalkan rasa penasaran di hati Dinda.Dinda menjadi tidak tenang, wanita berusia 26 tahun, itu berjalan meninggalkan kafe dengan rasa penasaran yang semakin membuncah, haruskah ia menanyakan pada Bastian, tentang perkataan Nayla, atau lebih baik diam, menunggu Bastian untuk menjelaskannya.Dengan langkah lebar, Dinda menuju ruang kerjanya, satu ruangan di tempati beberapa staf administrasi.“Dinda, aku tadi lihat , Pak Bastian, berbicara di kafe dekat rumah sakit, bersama seorang gadis belia, tampaknya mereka bicara serius, dan tegang, dan aku lihat, Pak Bastian, pergi meninggalkan gadis itu tanpa makan terlebih dahulu,”ujar teman Dinda satu ruangan.“Tadi aku juga bertemu, dengan Pak Bas, disana, katanya baru saja bertemu temannya, membicarakan masalah pekerjaan,”jawab Din
Bastian, ada dibelakang setir, pikirannya kembali pada kejadian semalam, ia tak habis pikir, kenapa malam kemarin hawa panas tiba-tiba menyergap tubuhnya.“Apa aku salah minum ya, aku hanya minum, wine merah sedikit, tapi seperti minum obat perangsang,”gumam Bastian, menjalankan mobilnya menuju apartemen pribadinya.Sesampainya di apartemen, Bastian mencharge ponselnya, Bastian duduk disofa, desahan kesal, keluar dari bibirnya, pikirannya tertuju pada gadis belia yang direnggut kesuciannya, dan ia kini merasa berdosa sekali. Lalu pikiranya beralih pada Dinda, wanita yang dicintainya, sekaligus kekasihnya, semalam ia belum sempat menyapa Dinda, hingga akhirnya terjebak satu malam dengan Nayla.Sementara itu, Nayla masih dikamar hotel, wajahnya ditatapnya di cermin, dan tersenyum kecil, menginggat kejadian yang begitu indah bersama pria yang bernama Bastian, walau tidak ada rasa cinta, tapi semalam adalah pengalaman pertama, dan ia menyerahkan kesuciannya pada pria yang baru ditemui s
Bastian menatap lekat gadis didepannya itu. ”Jadi Fahri, melepaskan saham dua puluh persen itu padamu, kamu masih sangat muda.”“Anda pasti terkejut, dan penasaran, bagaimana bisa saham itu jatuh ketangan saya, jika Pak Bastian, tidak keberatan, aku akan bercerita, sambil berdansa, apa Anda bersedia?” pinta Nayla.“Tentu saja,” jawab Bastian, lalu mengulurkan tangan dan disambut oleh Nayla, keduanya sudah menari di lantai dansa, Nayla, tampak bahagia, dengan mesra telapak tanganya bertumpu pada dada Bastian.Rania seketika, menghentikan gerakkan kakinya, matanya menajam ke arah Bastian dan Nayla.“Ada apa Ran?” tanya Fathan.“Lihatlah Mas, Bastian bersama Nayla,” balas RaniaTatapan Fathan beralih pada jari yang menujuk kearah Bastian.“Nayla, kapan dia bebas, kenapa bisa ada dipernikahan kita, bukannya tamu yang datang harus menunjukkan undangan?”“Beberapa hari yang lalu, aku menemui Kinan, dan memberikan dia undangan pernikahan kita, tapi aku tak menyangka, undangan itu dipakai N
Satu bulan kemudian, Rania sudah sehat dan aktif lagi di Harafa Hospital.Persiapan pernikahan Fathan dan Rania sudah dilakukan, undangan pernikahan Fathan dan Rania sudah tersebar, sebuah ballroom hotel berbintang sudah dipesannya untuk acara resepsi pernikahan yang sangat mewah dan megah. Fathan juga sudah mendaftarkan pernikahan secara hukum.Binar bahagia selalu berbinar di wajah Rania.Ranai memegang sebuah undangan, ia berniat memberikannya pada Kinan, walau ia tahu, Kinan tidak bisa datang, tapi setidaknya memberitahukan dia, bahwa dirinya telah berbahagia bersama Fathan. Kini Rania melajukan mobilnya berjalan ke arah rumah tahanan. Beberapa menit kemudian sampailah ia ditempat yang dituju. Rania menunggu disebuah ruangan untuk pengunjung.Setelah menunggu beberapa saat, munculah wanita yang satu tahun ini tidak pernah ditemui, wajah cantik Kinan, memudar, kulitnya berubah kusam, dan pipinya terlihat tirus, sebaliknya dengan Rania, telihat segar dan cantik dengan balutan baju
Fathan semakin geram, melihat tingkah Faiz, sementara mobil semakin terbakar. Dengan cepat Fathan berlari ke arah pintu mobil sebelah, dan menendang kaca jendala, hingga pecah, kemudian dipukulnya Faiz , hingga lelaki itu terkapar entah mati entah pingsan, tapi pegangan tangannya terlepas dari kaki Rania, dengan cepat Fathan kembali ke posisi Rania, dan menarik tubuh Rania, untuk keluar. Akhirnya Fathan berhasil, membawa tubuh Rania keluar dari mobil, baru saja beberapa langkah, terjadi ledakan besar pada bangkai mobil Faiz.Dhuar!...dan bersamaan dengan itu, dua mobil ambunlance dan mobil polisi datang ke lokasi kecelakaan.Beberapa menit kemudian, Fathan dan Rania sudah terbaring di brankar rumah sakit Harafa Hospital, dokter sudah memeriksa keadaan Rania dan Fathan, keduanya masih tak sadarkan diri.Sesaat kemudian, Fathan tersadar dari pingsanya.dan tatapannya menangkap seorang perawat yang tengah membetulkan letak infusnya.“Suster, bagaimana keadaan Rania?”tanya Fathan.“Bu Ran
Di rumah Larasati, wanita itu sibuk mempersiapkan pesta kecil untuk pernikahan Faiz dan Rania, hanya tetangga terdekat yang diundang, wanita yang berusia 60 tahun, itu terlihat semringah, ia berharap rujuknya Faiz dengan Rania, akan membawa kebahagian bagi putranya, yang beberapa bulan ini tampak murung, dan tak bergairah untuk hidup. Berbanding terbalik dengan Safa, sejak kepergian Faiz dari rumah, ia justru terlihat gelisah, ia tahu saat ini hanya ada dua kemungkinan, Faiz menikahi Rania, dan membebaskan Abela, atau Faiz, tidak jadi menikahi Rania, dan papahnya itu ditangkap polisi.Bagi Safa, keduanya sangat menyakitkan, ia berdiam diri di kamar, hingga ketukan pintu terdengar.“Safa, keluarlah, bantulah Oma,”suruh Larasati“Iya Oma.”Safa membuka pintu dan mendapati Larasati di depan pintu.”kamu kenapa sih, malah murung, sebentar lagi Papah dan mamahmu datang, kita harus sambut mereka.”“Iya Oma,”Jawab Safa datar, lalu keluar kamar.***Sementara itu, Fathan sudah stay dijalan,