Dua hari berlalu, uang dua milyar yang dijanjikan Faiz, telah siap, dan Faiz memutuskan ingin bertemu Rania secara langsung, selain ingin membicarakan masalah kesepakatan dua milyar, Faiz juga ingin membicarakan masalah pengobatan Safa.Tepat pukul delapan malam, Faiz sudah sampai di sebuah kafe, ia menantikan kedatangan Rania.Seorang wanita berjalan ke arah Faiz, mata Faiz tak lepas menatap wanita yang saat ini mengenakan dres tanpa lengan, hingga memperlihatkan bahu putihnya, rambut sebahu dibiarkan tergerai rapi, tas kecil menggantung di bahunya. Rania berjalan pelan, dan ketika melihat Faiz, ia mempercepat langkahnya.“Maaf Mas, aku terlambat,” ucap Rania seraya duduk di kursi depan Faiz.“Tidak mengapa, aku tahu saat ini kamu sibuk,” balas Faiz.Rania tersenyum getir,“ langsung saja Mas, ke pokok permasalahannya.”“Aku akan mentransfer uang yang kamu inginkan, tapi tanda tangani ini, pernyataan perdamaian masalah Nayla dan Safa, kita selesaikan secara damai , aku akan ikut me
“Bagaimana jika kita rayakan kabar baik ini,kalian duduklah, aku akan membuat makan malam untuk kita,” ujar Fatma, menarik tangan Rania supaya duduk di sofa yang sama dengan Fathan.“Bu Fatma, biar aku bantu memasak,” sela Rania.“Tidak boleh, kamu adalah tamuku, Ran, aku senang melakukan ini, duduklah dan temani Dokter Fathan ngobrol,” suruh Fatma lalu meninggalkan Rania dan Fathan berdua di ruang tamu.Menit berlalu, setelah acara makan malam bersama di rumah Fatma. Rania dan Fathan pamit, keduanya pergi meninggalkan rumah Fatma, Kini Rania duduk di jok samping Fathan, yang fokus menyetir.Mobil sedan warna hitam melaju pelan di jalanan, sesekali mereka berbincang ringan.“Ran, aku akan siapkan keberangkatanmu ke Singapura, setidaknya lusa kamu sudah bisa berangkat, ajukan cuti selama tiga hari di HRD Harafa Hospital,” suruh Fathan.“Baik, Dokter Fathan, dan terima kasih ata
Rania suduh berdiri di sebuah rumah sakit terbesar di Singapura, binar bahagia dan senyum terukir di bibirnya, sebentar lagi kerinduannya pada Safa terobati, lalu terlihat pria muda dengan berpakaian rapi menghampirinya.“Selamat datang Kak Rania,” sapa Bastian, dengan menjabat tangan Rania.“Terima kasih, Bas,” jawab Rania yang juga melempar senyum.“Aku telah menyiapkan hotel, yang dekat dengan rumah sakit, jadi Kak Rani, bisa beristirahat,” ucap Bastian.“Seharusnya tidak perlu, aku bisa tidur di rumah sakit ‘kan, sambil menemani Safa.”“Tidak bisa Kak, keluarga pasien hanya bisa berkujung di jam berkunjung, kebetulan ini jam berkunjung, ayo Kak Rani, aku antar ke kamar perawatan Safa,” ajak Bastian.Bastian dan Rania berjalan sejajar memasuki loby rumah sakit setelahnya mereka naik lift ke lantai tujuh belas, dan akhirnya sudah sampai di depan kamar perawatan Safa.Ceklek!... Pintu dibuka dengan pelan, Safa menoleh ke arah pintu, dan ia tersenyum haru, sampai air matanya meleleh
“Kenapa diam Ran?”“Aku merasa tidak pantas bersanding dengan Dokter, aku hanya karyawan biasa, tidak ada yang bisa aku banggakan, aku takut jika suatu saat hubungan ini membawa luka,” jawab Rania.“Jangan jawab sekarang, aku tahu, kamu perlu waktu, kamu pun cukup dewasa menilai seseorang, cintaku padamu tulus, percayalah.”“Pah kesini...!” teriakan Abela menghentikan pembicaraan Fathan, lalu pria itu menghampiri putrinya dan bersama bermain pasir, sedangkan Rania masih terpaku duduk di bangku kayu, masih teringat lamaran yang terucap dari bibir Fathan.Sementara, di Jakarta terlihat Dinda kesal pada Rafa. ”Tahu hidupku menderita, aku tak pernah mau pacaran denganmu,” ucapnya dengan nada keras.“Sial kamu Din, merendahkanku, pergi sana, aku juga muak melihatmu, baru melahirkan anak satu, tidak bisa merawat tubuh, lihat itu, Kak Kinan, body seperti gadis remaja,” sahut Rafa tak kalah keras.Dinda hanya menghela napas kesal, lalu ia pergi dengan mengendong anaknya yang kini berusia hamp
Siang itu sehabis pergi bersama Fathan dan Abela, Rania menyempatkan diri menjenguk Safa.“Mah, kenapa melamun?” tanya Safa .“Tidak ada apa-apa, bagaimana keadaanmu, semakin membaikkan, besok lusa Mamah kembali ke Jakarta, aku harap kamu baik-baik saja disini bersama Dokter Bastian,” balas Rania, dengan menyuapi Safa buah.“Mamah tidak usah khawatir, Kak Bastian sangat baik Mah, dia sangat memperhatikanku, ia juga selalu menyempatkan diri untuk menemaniku disaat ada waktu luang.”Mendengar penuturan Safa, Rania lega, setidaknya Bastian adalah satu orang yang dapat dipercaya Rania, untuk menjaga Safa.“Safa, bagaimana pendapatmu tentang Dokter Fathan?” Rania tampak ragu, tapi perlu pendapat Safa, mengenai Fathan yang telah melamarnya itu.“Hemm baik, dan tampan sangat cocok jika bersama Mamah,” sahut Safa.“Mamah ‘kan tanya bagaimana pendapatmu tentang Pak Fathan, kenapa jadi menjodohkan Mamah dengan Pak Fathan.” Rania memasang wajah kesal.Safa mengurai senyum, melihat Rania yang ke
Rania tampak berpikir setelah mendengar rekaman Rafa, ia pun berniat untuk membalas kejahatan Kinan. Satu persatu rencana disusunnya, terkadang ia berpikir harus bertindak kejam, demi memuaskan batinnya yang telah tersakiti, suatu kejahan harus dihukum ‘kan jika hukum negara tidak didapatnya maka hukuman harus dilakukan sendiri, itu adalah tekad Rania, ia tidak mau menjadi wanita bodoh yang hanya dimanfaatkan, dibohongi bahkan dihina setelah tidak lagi berguna.Mentari sudah berada di ufuk barat, Rania telah menyelesaikan pekerjaannya, ia pun bergegas menemui Adi, di suatu tempat, sengaja Rania saat ini mengenakan kaos hoodie dan celana jeans serta topi untuk menyamarkan penampilannya, ia pergi menghampiri bajai. Baru saja kakinya akan melangkah naik ke bajai, Fatma yang baru saja turun dari mobil memanggilnya.“Ran, mau ke mana? Aku bisa mengantarmu,” tawar Fatma.“Tidak perlu Bu Fatma, ada perlu apa kesini?”“Tidak ada apa-apa, kebetulan aku lewat, dan aku perlu teman ngobrol ter
Rania malam ini tampak tegang Adi, mengatakan jika eksekusi butik Kinan akan dilakukan malam ini, Adi yang telah merencakannya, dan Rania hanya bisa berdiam di ruko, dan menunggu kabar dari Adi, ia sedikit takut, jika Adi tertangkap, tapi setiap perbuatan pasti ada resikonya. Waktu menunjukkan jam sebelas malam, pasti butik Kinan sudah tutup.Detik terus berjalan, menit berlalu begitu lama, Rania hanya bisa mondar-mandir, sambil matanya sesekali menatap jam dinding di kamarnya.Hingga bunyi ponsel, membuatnya kaget dan langsung mengangkat ponsel.“Hallo Adi,” sapa Rania.“Bu Rania, aku sudah melakukannya, sudah mulai menjalankan membakar butik,”“Tidak ada orang ‘kan, di dalamnya.”“Aman, toko sebelah kirinya kebetulan kosong, dan di sebelah kanannya, juga gudang kosong, jadi tidak akan merugikan kedua toko sebelahnya,” jelas Adi.“Bagus, bagaimana dengan cctv?”“Cctv aku sudah mengecek dan ternyata cctv tidak aktif, sejak satu minggu yang lalu, makanya aku segera mengeksekusi malam
Rania menuju ke ruang obat, ia sangat penasaran sekali dengan obat yang diberikan Fahri pada Kinan. Dengan mempercepat langkahnya ia pun sudah berada di ruang obat dan mendengarkan penjelasan dari ahli obat.“Ohh jadi jika di konsumsi tidak sesuai resep, akan mempengaruhi kerja jantung.”“Iya Bu Rania, dan obat ini tidak bisa dibeli tanpa resep dokter,” jelas apoteker“Okay terima kasih atas penjelasannya.”Rania berpamitan dan kemudian melangkah menuju ruang perawatan dimana Larasati dirawat, di sana ada Dinda yang menunggui ibunya.Tok! Tok “Boleh aku masuk,” pinta Rania.“Kak Rania, darimana tahu jika ibu dirawat disini?” tanya Dinda.“Kamu lupa, Din, jika aku bekerja di Harafa Hospital, dan kemarin aku bertemu Mas Faiz, lalu mengatakan jika Ibu sakit.”“Kak Rania, pasti senang melihat ibu tak berdaya seperti itu,” Dinda terlihat sedih.