Pov WinaSemakin hari perhatian demi perhatian kecil yang Mas Dimas berikan padaku, semakin membuatku tersipu malu, bukan karena apa-apa mengingat status yang aku sandang yaitu istri orang, aku pun tak bisa bersikap atau menampakkan raut bahagia berlebih padanya.Aku tak ingin yg terlalu kelihatan mencolok di depannya.Meskipun Mas Dimas selalu bilang, Dia yang mengantarkan bahan makanan karena Mas Firman sibuk dengan istrinya. Mas Dimas pun begitu santun, tak pernah berbuat kurang ajar atau apa, Ia betul-betul bisa menjaga diri, menghormatiku sebagai seorang istri dari sahabatnya.Ah, kenapa yang menikah denganku tidak Mas Dimas aja, dengan begitu tentu keadaan tak serumit ini, aku tak bisa membayangkan jika suatu hari istrinya Mas Firman mengetahui tentang aku, bagaimana jadinya aku.***Sore ini Mas Firman datang, membawakan sebuah kartu SIM, sejak beberapa hari memang aku mematikan ponsel karena aku takut Ibu telpon lagi, tak sanggup aku mendengar semua cercaan dan umpatan karena
Pov YunitaMalam ini kami menghabiskan waktu berdua di sebuah kafe dengan nuansa romantis, Mas Firman dulu pernah mengajakku kemari, tapi itu sudah lama sekali. Dan malam ini ia kembali mengajakku kesini.Gemerlap lampu kuning dan putih, kafe dengan konsep indoor dan outdoor, kami memilih duduk di luar, beruntung cuaca malam hari ini begitu cerah, bulan dan bintang yang bertabur menambah keindahan malam ini. Semilir angin sejuk dan syahdu serta alunan musik pop yang mengiringi."Kamu suka?" "Heem, tentu. Aku suka Mas. Kita udah lama baru ke sini lagi," sahutku."Aku ingin melihat kamu tersenyum, setelah kemarin kita telah melewati masa yang tak mudah."Aku mengangguk."Makasih ya Mas.""Aku yang harusnya minta maaf, semua memang salahku, aku terlalu pengecut untuk menceritakan soal Wina semua sejak awal, karena aku merasa tak siap, jika kamu marah, tapi tanpa kusadari, aku justru bisa kehilangan kamu, atas ketakutan itu.""Sudah, Mas. Aku sudah nggak apa-apa.""Sayang, tetaplah di si
Hari terus berganti hingga tak terasa dua Minggu sudah berlalu setelah Mas Firman mengucap ikrar talak pada Wina, dan hari ini Wina mengabari kalau ia setelah mendapat pekerjaan, kebetulan di kantor Dimas ada lowongan pekerjaan, Wina pun pamit untuk pindah ke tempat kos, Dia bilang tak enak berlama-lama tinggal di apartemen itu, padahal aku dan Mas Firman sama sekali tidak keberatan, karena memang kami belum ada rencana untuk menempati apartemen itu.Tapi kami menghargai keputusan Wina dan sore ini juga Kami memutuskan untuk datang ke apartemen."Win, kamu yakin mau tinggal di kos? Kenapa nggak di sini aja sih?" tanyaku saat aku menemani Wina yang tengah sibuk memasukkan baju-bajunya ke dalam tas besar miliknya."Iya, Mbak. Aku nggak enak berlama-lama tinggal di sini, sudah saatnya aku belajar berdiri sendiri di atas kakiku sendiri, tidak bergantung terus sama Mbak dan Mas Firman," sahutnya tanpa menoleh ke arahku."Bagaimana hubungan kamu dengan Dimas Win?" Seketika Wina menghentika
Dari sini aku sudah bisa melihat kesungguhan Dimas, namun aku juga mengerti keputusan Wina, semoga seiring berjalannya waktu, dan setiap hari mereka bertemu di kantor, membuat Wina yakin akan kesungguhan Dimas, itu harapanku dan Mas Firman."Mas, besok hari Sabtu aku mau ke Mall sama Wina ya, mau belanja kebutuhan Wina."Kami sedang dalam perjalanan menuju ke rumah."Boleh, Sayang. Mau aku anterin?" "Nggak usah Mas. Aku naik taksi aja besok. Terus nanti pulangnya aku langsung ke rumah makan nyusul kamu.""Oke, Sayang. Hati-hati ya." Mas Firman mengangguk setuju.***Esok harinya sesuai janjiku, aku di antar Mas Firman ke tempat kos Wina, dan dari tempat kos Wina kami naik taksi ke sebuah Mall besar di ibukota. Aku lihat Wina begitu antusias, matanya berbinar melihat ramainya pengunjung Mall. Mungkin ini adalah sebuah hal baru bagi Wina mengingat tempat tinggalnya sewaktu di Bogor adalah di sebuah desa yang jauh dari kota.Aku senang melihat binar wajah cerianya. Kami masuk ke sebu
"Kamu serius mau datang untuk makan malam sama Ibu?" tanya Mas Firman usai kami melakukan salat Maghrib. Keadaan kami masih memakai alat salat lengkap.Aku mengangguk yakin."Oke kalau kamu yakin, kita akan berangkat. Untuk soal Tania, kamu jangan risau, tak sedikitpun aku ingin meliriknya. Kamu jauh lebih cantik, lebih baik, lebih dari segalanya dari Dia. Ketika aku sudah memiliki segalanya, untuk apa aku melirik yang lain.""Aku percaya sama kamu, Mas." Aku mengulas senyum. Memberikan kepercayaan penuh pada lelakiku.Kami pun berangkat ke restoran yang sudah di tentukan Ibu. Ibu bilang akan ketemuan di resto sekitar jam tujuh malam ini.Tak perlu waktu lama, mobil kami memasuki pelataran parkir restoran. Mas Firman membukakan pintu mobil untukku turun, dan merangkul bahuku. Kami berjalan bersisihan, memakai baju kasual yang sengaja aku pilihkan dengan warna senada, aku memakai gamis simple dengan warna moka dan pasmina dengan warna cokelat susu dan, Mas Firman mengenakan jeans berwa
"Membahas Apa?!" sergahku."Ehm, itu. Membahas tentang Aku dan Kak–""Kita cuma makan malam biasa," cegat Ibu cepat. Tania melipat keningnya."Bu! Bukanya, kita sudah rencanakan–""Saya berubah pikiran. Sebaiknya selesai makan, kamu pulang. Saya masih ingin bicara dengan anak-anak saya." Lagi Ibu bicara dengan tatapan sinis pada Tania.Sungguh ini membuatku semakin penasaran, sepertinya ada yang berbeda. Tapi, bukankah perubahan beliau ini adalah suatu hal yang baik, seharusnya aku senang dengan perubahan sikap Ibu."Ehm! Oke. Firman pesanan makanan dulu ya, Bu. Biar nanti Laras datang, kita bisa langsung makan," ucap Mas Firman.Ibu hanya mengangguk. Aku melirik Tania, Dia tampak pucat. Ada apa sebenarnya antara Ibu dan Tania.Mas Firman pun memanggil waiters dan menyampaikan semua pesanannya, setelah mencatat semuanya, waiters itu pun berlalu.Hening. Kami seolah sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya Mas Firman yang sesekali melirikku dengan senyum jahilnya. Membuatku tersenyum
Sikap Ibu malam ini betul-betul membuatku heran, namun sisi lain, hati ini pun bahagia karena Ibu secara halus mengusir Tania untuk segera pergi dari sini.Tania menghela napas, kemudian memandang ke arah lain, aku yakin ia pasti merasa terusik, karena secara halus Ibu telah mengusirnya."Ehm, aku ke toilet sebentar ya, Bu. Permisi." Tania pamit dan berlalu ke toilet."Bu, sebenarnya apa yang ingin Ibu sampaikan sampai kita harus membicarakan ini di tempat makan seperti ini?" tanya Mas Firman lembut, Dia tentu sangat penasaran dengan apa yang hendak Ibu bicarakan, pun denganku dan Laras. Kami semua tentu penasaran, di tambah sikap Ibu yang berbeda."Sebentar Ibu ke toilet dulu, ya." "Ehm, mau Yunita temenin, Bu?" tawarku."Ehm, nggak usah Yun. Ibu sendiri aja, cuma sebentar kok." Aku mengangguk tersenyum. Setidaknya sikap Ibu tak ketus seperti biasanya, bisa dibayangkan jika di tempat umum seperti ini, sikap Ibu kumat ketusnya sama Aku. Bisa tertekan sendiri Aku, tak enak hati, dan j
"Kok kamu diam, Sayang?" tanya Mas Firman."Ehm, enggak kok sayang, aku cuma menyesal aja, kenapa tadi Aku nggak temenin Ibu ke toilet. Walaupun Ibu sempat menolak, harusnya aku mengikut saja dibelakangnya.""Ssst... Ini bukan salah kamu, Sayang. Sudah yang terpenting sekarang kita doain Ibu, semoga Ibu baik-baik saja." Mas Firman mengusap lembut pucuk kepalaku. Aku lirik Laras juga tampak khawatir, ia lebih banyak diam."Ras, kamu kenapa?" tanyaku."Enggak apa-apa Mbak. Aku cuma takut terjadi apa-apa sama Ibu. Kalau Ibu sampai kenapa-kenapa, aku nggak akan pernah maafin Tania." Seketika membuat keningku mengerenyit."Tania?" Ah iya gadis itu, aku tidak melihatnya tadi, apa dia tadi masih di restoran."Iya Mbak. Tadi Ibu di toilet di sana ada Tania kan? Kenapa Ibu tiba-tiba saja pingsan, ini pasti ada hubungannya dengan Tania kan," cetus Laras, yang menebak jatuhnya Ibu ada hubungannya dengan Tania. Setahuku Laras dan Tania memang berteman baik, tapi kenapa sekarang Laras justru menud