Degup jantungku berdetak cukup kencang. Tanganku gemetar, mulutku terkunci rapat, kakiku bahkan seolah mati rasa untuk bergerak sampai menapak di lantai bawah. Aku hanya bisa diam dan menatap bola mata Airin yang tepat berada dihadapanku.
"Iya, saya jamin hidup kamu sampai kamu tua asalkan kamu tinggalkan anak saya!" Kedua kalinya kalimat itu dilontarkan oleh bibir tipisnya yang berwarna merah tua.
"Cle, atur nafasmu, atur nafasmu...." Batinku sebab kini nafasku sudah tersengal-sengal.
"Gimana? Diam artinya kamu setuju kan?" Ia berdiri dan hendak memberiku sebuah amplop coklat.
"Di dalamnya sudah saya buat nominal cek yang akan bisa biayai hidup kamu. Kamu cuma perlu untuk tinggalin Randi dan hilang seperti ditelan bumi. Paham?" Ia menjulurkan tangannya lagi ke arahku.
"Ma, maaf aku gak bisa terima ini...." Seolah ada tenaga tambahan untukku menolaknya entah darimana.
Aku menghalau tangannya yang berada di depan dadaku. Aku gak bisa nerima ini, aku mencintai Randi atas dasar perasaan bukan semata-mata mengincar hartanya. Aku tulus mencintainya dan tidak bisa digantikan dengan apapun termasuk uang. Bukan itu yang aku mau Ma. Aku cuma mau penerimaan kalian saja terhadapku, hanya itu....
Batinku jelas saja meronta-ronta, betapa rendahnya diri ini di mata keluarga Randi hingga mereka bisa membayarku cuma-cuma.
Lantas saja aku kembali lagi ke kamarku dengan isak tangis yang sama sekali tidak terbendung. Aku meraung sejadinya, menyalahkan keadaan yang tidak pernah berpihak padaku.
"Ya Tuhan, kenapa cobaan ini berat banget untukku? Sampe kapan aku bisa melewati cobaan maha dahsyat ini...." Aku meraung sejadinya seraya melihat beberapa fotoku bersama Randi yang tersimpan rapi dalam satu album diponselku.
"Ran, kenapa sih aku harus cinta sama kamu? Kenapa sih aku harus ada diposisi ini? Kenapa Ran? Mungkin kalo cuma hinaan saja yang aku dapat dari mulut orang tuamu aku masih nerima. Tapi sekarang mereka sudah sampai membayarku untuk meninggalkan kamu, meninggalkan cinta kita yang sudah kita bangun utuh, Ran......" Aku masih terisak mengusap foto kebersamaanku dengan Randi pada waktu itu.
Sejenak aku mendiamkan diri dengan pikiran kosong. Aku coba susun lagi satu per satu niatku untuk menghadapi masalah ini. Aku harus bisa, aku gak boleh bawa perasaan, karna yang aku mau adalah rumah tanggaku utuh dan dapat diterima oleh mertuaku. Meskipun jalannya amat terjal sekarang, tapi mencintai Randi adalah keputusan dan pilihanku. Aku harus menghadapinya dengan sepenuh hati.
"Sayang, di rumah ada apa?" Pria yang ku cinta cukup rajin mendialku. Meski pada akhirnya ia terus-terusan bilang sabar dan lebih usaha lagi, tapi setidaknya mendengar suaranya sudah cukup hadir disampingku.
"Mama cerita sama kamu apa?" Aku mengusap air mataku yang masih terus menetes dengan pengaturan nafas yang maksimal agar tidak begitu jelas terdengar aku sedang terisak nangis.
"Iya, dia cerita katanya kamu nyuekin dia waktu dia bicara. Dia udah ngomong panjang lebar kamunya malah naik ke kamar..."
"Mama cerita gak apa yang dia sampaikan ke aku?" Aku sudah mulai tidak bisa menahan amarah yang berkecamuk di dalam hatiku. Duniaku hancur, duniaku nyaris terenggut karna ulah mertuaku.
"Enggak. Makanya aku nanya, di rumah ada apa?"
"Mas, mama kamu kasih aku amplop yang isinya cek dengan catatan aku harus ninggalin kamu. Siapa yang gak sakit Mas?" Tangisku pecah.
"Ha?" Ia pun kaget mendengarnya.
"Sayang, mama gak mungkin gitu. Kamu salah dengar kali, atau kamunya halu...."
Mendengar ucapannya, jelas saja buatku naik pitam. Mungkin jika ia didepan mataku sudah ku tampar kali pipinya. Ia bisa dengan mudah bilang aku halusinasi, padahal jelas-jelas aku tidak pernah ada keluhan di kejiwaan. Dia masih bisa dengan enaknya membela ibu kandungnya. Dia sudah tidak lagi bisa mempercayaiku disini.
"Segitunya kamu gak percaya sama aku?" Aku meraung cukup keras, dadaku terasa sesak.
"Bu...bukan... Gak mungkinlah bisa mama bilang gitu." Ia masih bersih keras atas pernyataanku.
"Ya sudah kalo kamu gak percaya, kamu bisa tanya sendiri kan sama mama. Aku diminta untuk menghilang dari hidup kamu. Sementara, aku menyetujui jadi istri kamu tuh ya karna aku butuh kamu, aku mau disamping kamu sampai kamu tua. Ran, aku bukan wanita gila harta. Sama sekali, aku gak pernah kepikiran untuk merebut harta kamu. Jadi, aku gak bisa dibayar berapapun itu jumlahnya...." Aku menangis sejadinya mengungkapkan semua rasa sakit yang terpendam di dalam hati.
"Aku bakal coba konfirmasi ke mama dulu. Intinya kamu tenang dulu. Besok aku pulang...." Ia langsung menutup ponselnya.
Dan karna kejadian Airin bersih keras untuk membayarku agar meninggalkan anaknya ini, aku sama sekali tidak makan. Aku kehilangan nafsu makanku sampai keesokan harinya, aku terbangun dengan kondisi mata sembab dan memerah serta perut yang amat kosong.
"Claire, kamu pucat banget, matamu sembab. Ada apa?" Terang saja kondisiku ini memancing pertanyaan banyak orang yang aku lewatin.
Aku hanya meresponnya dengan senyuman tipis dan melanjutkan langkahku menuju lift yang masih terlihat sepi, karna memang sengaja aku datang amat pagi hari ini untuk menghindari Airin dan Roger bangun lebih awal. Aku sedang tidak baik-baik saja barang sebentar bertemu mereka, mungkin inilah kalimat yang bisa ku gambarkan tentang kondisiku.
Aku menekan tombol buka pada lift, dan memasukinya seorang diri. Lalu pintu lift tertutup otomatis.
"Eh tahan....." Namun terdapat telapak tangan seseorang dari luar yang menghalau pintu lift tertutup seraya berteriak cukup kencang.
"Claire, kamu kenapa gak balas chat aku, gak angkat telfon aku?? Tau gak kamu aku tuh khawatir banget...." Seorang pria dengan tubuh proporsional dan rambut klinisnya ini mengomeliku pagi-pagi.
"Claire, are you ok?" Ia bertanya sekali lagi karna tatapanku pun sudah tidak ada dayanya. Terdengar suara dengung yang kian keras terasa, tubuhku terjuntai lemas tanpa energi yang tersisa.
"Plakkk........"
"Claire, sadar Claire sadar....... Tolong tolong, panggil ambulance, panggil ambulance....." Aku melihatnya samar-samar dan sampai di titik tatapanku menghitam. Aku menghilang.....
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn