Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan?
"Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi.
"Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya.
"Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang..."
"Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...."
"Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.
Aku diam, mengabaikan komentarnya.
"Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.
Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya.
"Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kami.
"Kenapa Ran?" Aku meliriknya heran.
"Duh, mama pasti nih...." Ia menggerutu kesal. Ia keluar dari mobil dan mulai bernegosiasi dengan kedua satpam tersebut namun tetap saja kedua satpam hanya menjalankan perintah sang majikan, Airin....
"Kamu jangan harap bisa keluar dari rumah ini ya, Randi....." Suara teriakan yang menyaring itu berhasil mengalihkan fokusku yang baru saja keluar dari pintu mobil.
"Mama....." Batinku.
Ia berjalan pelan dengan rombongannya menuju kami seolah ingin diserbu massa. Di sebelahnya terdapat perempuan muda dengan paras menawan, berambut panjang, dan tubuh proporsional.
"Randi, sekarang juga kamu balik ke rumah. Tapi kamu, silahkan pergi dari rumah ini..." Airin membentakku di depan semua orang dan mengusirku begitu saja.
Aku shock mendengarnya. Ia benar-benar mempermalukanku di depan semua koleganya, termasuk salah satunya juga tante Sophia.
Lidahku kelu, tatapan mataku tidak karuan. Aku bingung apa yang harus ku lakukan sekarang....
"Kenapa masih diam? Saya minta kamu pergi sekarang juga Claire! Taxi kamu sudah nunggu di depan...." Pinta Airin.
"Anwar, seret Randi ke dalam rumah, dan kamu seret perempuan ini keluar!!!" Teriak Airin...
Aku tidak bisa bergidik, tanganku langsung ditarik oleh satpam rumah ini. Aku diusir paksa tanpa tau apa yang membuat Airin setega ini denganku. Aku menatap mata Randi dalam-dalam berharap ia bisa mencegahnya namun ia memilih bungkam dan terbawa oleh tarikan tangan Anwar.
"Non, maaf ya. Saya hanya menjalankan perintah...." Ucap satpam tersebut, lalu ia meletakkan koperku di pinggir jalan.
Air mataku kian menetes, namun kali ini sudah tidak sanggup bersuara lagi akan perlakuan Airin terhadapku. Mentalku benar-benar dihancurkan olehnya, mimpiku sudah dirampas olehnya, bahkan harga diriku sudah dipadamkan olehnya. Jika kata orang dunia ini kejam, ya memang benar adanya, terlebih mendapatkan mertua seperti Airin seperti musibah yang sedang menghantamku.
***
"Sayang......" Alexa langsung berlari memelukku.
Ia melihatku dengan tampilan mata merah dan bengkak, raut wajah yang amat berantakan dengan genggaman 2 koper di tanganku yang baru saja turun dari taksi.
“Claire, tenang sayang tenang…….” Sekali lagi Alexa merangkulku untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Tante Claire, kenapa Ma???” Kayla, sepupuku juga tidak kalah herannya dengan ekspresi kedatanganku yang seperti tidak biasanya.
“Husstt Kay, nanti dulu biarin tantemu tenang. Tolong ambilin segelas air untuk tante Claire ya…” Pinta Alexa kepada anak perempuannya.
Aku masih terisak nangis. Rasanya dadaku begitu sesak, menerima kenyataan nasib pernikahkanku sudah sampai di ujung tanduk penyempurnaan.
“Sayang minum dulu minumm…. Setelah ini kamu bisa cerita dengan tante….” Alexa seperti memberikanku space untuk tenang terlebih dahulu. Membayangkan betapa kalutnya diriku dalam dunia Airin seolah aku kehilangan semuanya.
“Claire, are you ok?” Alexa lagi-lagi memastikan aku dalam kondisi terkontrol.
“Aku diusir dengan Airin….” Aku coba menyeka air mata yang tersisa di sisi kedua pipiku.
“Astaga……” Satu kata yang bisa diungkapkan oleh Alexa. Aku tau persis, jika kondisiku tidak kalut, sudah pasti Alexa akan mengeluarkan kata-kata sarkasnya terhadap Airin.
Ia coba menahan bahuku. Ia mengusap bahuku. Bagiku yang sekarang ku butuhkan adalah treat ketenangan.
“Nasib pernikahanku sudah gak ada harapan tante. Sudah sekian kalinya Airin minta aku cerai dari Randi. Sepertinya Randi akan dinikahkan dengan Natalie….” Kembali air mataku mengalir.
“Perempuan gila ya! Kok bisa ada orang tua kaya Airin sama Roger!” Umpat Alexa.
“Mungkin karena aku tidak bisa memberikan keturunan untuk Randi. Aku juga jika dikasih pilihan, aku gak mau dimadu tante. Hal yang paling gak bisa ku terima sebetulnya bukan karna dipaksa cerai, tapi aku sudah dipermalukan di depan kolega-koleganya, termasuk tante Sophia yang hanya bisa menatapku dengan kasihan….”
“Siapa yang kamu sebut? Sophia?” Alexa tertarik dengan nama itu. Ia memastikan lagi aku menyebut nama Sophia.
“Iya tante Sophia, teman akrabnya mama dulu. Bukannya tante Sophia yang kasih tau mama papa meninggal, Te?”
“Iya memang dia yang kasih tau ke keluarga tentang kepergian orang tuamu. Tapi setelah ia beritahu, ia menghilang tanpa jejak. Aku sudah coba mencarinya untuk minta keterangan secara detail apa yang terjadi, tapi sia-sia dia sama sekali gak bisa ditemukan. Sekarang, kamu tiba-tiba bilang ketemu dia di rumah Airin. Apa gak begitu surprise??” Alexa meneguk air yang berada di gelasnya. Tatapan matanya sudah jelas banget ia sedang berpikir.
“Sebenarnya tadi tante Sophia ada menyebutkan satu hal yang menurutku ganjil juga Te. Tepat sebelum aku mau kabur dengan Randi. Namun sayangnya usaha kami kabur gagal karna pintu gerbang yang diboikot oleh satpam dan aku diusir paksa di depan kolega Airin.
“Dia bilang apa?” Alexa begitu ingin tau kebenaran apa yang terjadi.
“Sebentar…” Aku kembali menyeka air mataku dan merogoh kantong tasku.
“Ini…. Dia bilang hubungi nomornya, karena ada yang mau dia bicarakan soal kematian mama papa….” Aku menunjukkan kartu nama yang bertuliskan Sophia dengan jabatannya sebagai pemilik perusahaan salah satu kosmetik yang cukup viral dan terkenal di negara ini.
“Sudah aku duga! Dia pasti terlibat…..” Gumam Alexa, sembari memperhatikan kartu nama ini berulang kali.
“Maksud tante? Mama dan papa bukan murni kecelakaan? Sebentar deh, bukannya dari hasil pemeriksaan kepolisan sudah ditutup dengan kecelakaan? Apa ada hal yang aku gak tau?” Aku menggalinya lebih detail.
“Aku gak tau Claire. Hanya dugaanku saja, soalnya kematian mereka tuh emang ganjil. Bukan kecelakaan tunggal ataupun beruntun, tapi mereka diperkirakan sudah meninggal duluan sebelum terjadinya kecelakaan. Dari pemeriksaan kepolisian, waktu kematian mereka lebih awal dibandingkan terjadinya kecelakaan itu. Makanya, aku bisa bilang kalo mama papamu emang sudah terbunuh duluan, baru terjadi kecelakaan. Namun, karena polisi gak bisa menemukan bukti yang signifikan, makanya kasus ditutup dengan kesimpulan kecelakaan yang padahal juga masih gantung”
“Terbunuh? Maksudnya mama papaku dibunuh, Te?”
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan restu kepada wanita rendahan seperti dia.” Bentak pria paruh baya sembari menatap matanya ke arah jendela besar di gedung pencakar langit.“Pa, apa masalahnya sih sampai Papa dan Mama sulit menerima Claire?” Randi dengan suara yang tidak kalah kerasnya sesekali memukul meja yang berada di samping tubuhnya. Sementara aku terus berusaha menenangkan Randi yang sedang terpacu emosi.“Nak, kami sebagai orang tua tentu mau yang terbaik untuk kamu. Claire sudah jelas tidak sederajat dengan kita, lantas, apa kata kolegamu?” Wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna merah menjelaskan dan memberikan pengertian kepada anak lelaki tunggalnya yang kini penuh dengan amarah atas penolakan kedua orang tua terhadap aku tepat di depan hadapan dan mataku.“Dan kamu Claire, tolong mengerti bahwa kami ini adalah keluarga terpandang. Kamu harusnya sadar diri posisimu hanya sekretaris dari keluarga rendahan!” Tegas Mama Randi dengan menatap sinis ke ar
“Kan Tante juga tahu, aku menjalin hubungan sama Randi bukan baru-baru ini aja, melainkan sedari jaman kuliah. Aku juga sudah berusaha untuk memberi pengertian kepadanya tentang status sosial kami, namun nyatanya ia terus memberiku kekuatan dan keyakinan agar kami bisa menerjang restu orang tuanya.” Terangku dengan mata yang mulai terbayang kaca-kaca.“Aku paham sayang. Randi juga anak yang baik untuk kamu dan keluarga ini. Tapi, dengan gap sosial yang begitu jauh pasti akan susah kalian bersama, Cle. Aku juga sama sekali gak melarang kamu untuk menjalin kasih dengannya, namun cinta yang kamu punya untuknya hanya membuatmu sakit aja, sayang.” Tante yang tadi duduk berhadapan denganku, kini berpindah berada di sebelahku dan mengusap bahuku seolah menenangkan.“Aku sudah gak tau harus melakukan apa, Te......” Air mataku yang tak tertahan airnya tumpah sembari mengingat bagaimana perlakuan kedua orang tua Randi yang begitu kasar terhadapku.“Tadi Randi mengajakku bertemu kedua orang tuan
Deg……“Nyawaku terancam?” Gejolak batin penuh dengan pertanyaan kala Roger berkata demikian kepadaku. Namun dalam hatiku selalu yakin mereka pada akhirnya mereka akan baik kepadaku, akan luluh kepadaku, serta akan bersikap sayang kepadaku sebab hanya aku menantu perempuan satu-satunya yang mereka miliki.Lalu, acara sungkeman ini berlanjut kepada Tante Alexa yang sedari tadi telah tersenyum bahagia menyaksikan acara pernikahanku bersama pria yang selama ini ada di hidupku, Randi.Ia langsung merangkul kami berdua seraya berkata,“Randi, Claire selamat atas pernikahan kalian ya. Gue bangga banget sama kalian sampai di titik ini. Semoga pernikahan kalian bahagia, walaupun jalannya terjal, badai atau apapun nanti tetap sama-sama ya. Randi, tolong jagain keponakan tante yang cantik ini ya, dia kesayangan papinya jadi jangan pernah sakiti dan sia-siakan Claire.” Pinta Alexa sembari meneteskan air matanya.“Thank you Te, pasti akan aku jaga sebaik mungkin kok Clairenya. Claire juga tuh Te
“Di, di kondisi saat ini dan kamu masih mengingatkanku tentang poin perjanjian itu?” Tegasku yang sedikit berontak dengan apa yang sudah ia katakan.“Claire, kamu sudah menyetujuinya kan?” Tanyanya singkat sembari mengambil tanganku yang masih gemetaran.“Tapi di bawah masih kacau, gak apa-apa aku aja yang ambil sendiri..” Ucapku yang masih mengontrol emosiku dengan membantah apa yang diperintahkan Randi.“Ya sudah tapi jangan sampai ketahuan mama atau papa ya, kamu lewat pintu belakang saja mutar.” Sarannya.Setelah Randi menyetujui saranku, aku berjalan menuju halaman belakang merogohkan tanganku pada saku rok yang ku kenakan. Mulai ku buka layar ponsel ini dan menuju aplikasi makanan online. Satu per satu menu ku buka dan ku masukkan ke dalam keranjang makanan.“Udah jadi pesan makanannya?” Dari arah belakangku terdengar suara pria yang beberapa detik kemudian merangkulku.“Ini sedang pesan Mas, kamu mau makan apa?” Aku menoleh ke belakang sembari melihatnya yang tengah tersenyum
“Kamu gak pernah cerita ya sama aku tentang keluarga kamu secara keseluruhan gini.” Isak tangisku pecah.“Claire maaf, aku pun gak kepikiran juga perihal ayam bakar buat mereka semarah itu.”“Tapi harusnya kamu bisa cerita, bisa bilang apa yang gak pernah kamu makan, apa yang gak mereka suka, harusnya kamu bilang!” Teriakku di dalam kamar pengantin yang tanpa ada hiasan apapun.“Oke oke, tenang dulu. Oke, aku salah.” “Gitu aja?” “Kamu makan dulu ya, aku ambilin piringnya sebentar.” Randi berusaha membujukku.“Udah gak perlu. Kamu bisa keluar sebentar gak Di?” Pintaku.“Kenapa? Ini juga kamarku, kan?”“Aku butuh waktu sendiri dulu.” Desakku.“Oke, aku keluar dulu. Claire tolong jangan berpikir terlalu jauh ya.” Ia mengingatkan kembali sebab ia amat paham bagaimana aku bisa berpikir yang berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar, diikuti oleh diriku yang mau langsung mengunci kamarnya ini. Setelahnya aku kembali ke atas ranjang yang tanpa hiasan apapun untuk mencirikan adanya pengantin b
"Claire jelas saja menoleh ke arah samping kanan tempat dimana beberapa lift terletak disana."Samar-samar pria itu datang dan menghampiriku. Pria itu tinggi, dengan tubuh proporsional dan kemeja navynya serta sinar matanya yang sangat familiar diingatanku."Lo ngapain disini?" Sekali lagi ia menorehkan senyumannya kepadaku."Eehh... Lo Arsy?" Aku coba mereka ulang ingatanku yang sebenarnya juga gak mungkin aku lupakan, karena ia sempat tertulis dalam catatan harianku dulu."Hahaha iya ini gue Cle. Siapa lagi kalo bukan gue? Gue gak ada kembarannya, tenang aja..." Ia membalasku dengan tertawa."Hahahaa gak nyangka aja bisa ketemu lo disini Ar. Gue pikir lo gak akan balik ke Indonesia lagi setelah betah di Norway sana.." Celetukku sembari memegang laptop tempat semua data yang mau dipresentasikan tersimpan."Panjang ceritanya, entar aja kita agendakan buat ngobrol lagi. Gue ada meeting nih.." Ia pamit dan melangkah pergi tepat dihadapanku dengan meninggalkan senyuman yang masih sama se
"Mas, sudah pulang, Ma?" Aku coba mencairkan suasana dan sangat berusaha untuk akrab dengan mertuaku ini."Ya sudah, kamu darimana aja jam segini kok baru pulang...." Ia masih terus sibuk mengusap vas bunganya dan sesekali menatap sinis ke arahku yang masih berdiri di depan pintu."Maaf Ma, tadi nunggu taksinya lumayan lama. Aku permisi naik ke kamar dulu ya Ma..." Pamitku, memastikan nada bicaraku sudah amat rendah.Ia hanya mendiamkanku, dan aku langsung saja bergegas untuk menaikkan satu per satu anak tangga. Tepat di ujung sana dekat balkon itu adalah kamar suamiku, Randi."Kok lama banget sayang? Macet?" Randi yang baru saja habis mandi, masih dengan handuknya lantas langsung menegurku."Udah selesai mandinya? Pakek baju dulu gih sana.." Aku membalikkan badanku, masih canggung rasanya melihat Randi dengan dada terbuka seperti itu."Aku nanya duluan..." "Macet juga, tapi lebih parahnya karena taksi yang ku order terlambat datangnya." Aku masih dengan membalikkan tubuhku dari waja
"Kamu mau bareng aja gak sama aku, sayang?" Randi tengah mengunyah roti dengan selai nanas membuka obrolan di meja makan pukul 6 pagi. "Ya jangan. Entar kalo ada yang lihat dia gimana..." Celetuk Airin."Iya jangan deh, mending kamu pakai taksi online aja.." Tambah Roger.Aku seolah tidak perlu lagi menjawab atas pertanyaan Randi, karena sudah diwakilkan oleh mertuaku yang sangat ingin menutupi identitasku sebagai menantunya."Are you ok, baby?" Randi mengangkat daguku yang sedari tadi tidak berani menatap wajahnya atau bahkan sekitar.Mataku membalas dengan menatapnya."I.. iya gak apa-apa sayang. Lebih baik gitu aja..." Tambahku. Lalu, aku melanjutkan menu sarapan yang sudah ada di depan mataku."Ingat ya, hari ini ada arisan. Kamu pulangnya jangan lebih dari jam 6 deh. Kalo ternyata lebih dari jam 6, mending kamu nginep di hotel aja. Paham?" Tinggal dengan keluarga Randi yang baru dua hari saja sudah penuh tekanan lahir batin, gak kebayang bagaimana jadinya jika aku harus hidup d
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn