“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan restu kepada wanita rendahan seperti dia.” Bentak pria paruh baya sembari menatap matanya ke arah jendela besar di gedung pencakar langit.
“Pa, apa masalahnya sih sampai Papa dan Mama sulit menerima Claire?” Randi dengan suara yang tidak kalah kerasnya sesekali memukul meja yang berada di samping tubuhnya. Sementara aku terus berusaha menenangkan Randi yang sedang terpacu emosi. “Nak, kami sebagai orang tua tentu mau yang terbaik untuk kamu. Claire sudah jelas tidak sederajat dengan kita, lantas, apa kata kolegamu?” Wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna merah menjelaskan dan memberikan pengertian kepada anak lelaki tunggalnya yang kini penuh dengan amarah atas penolakan kedua orang tua terhadap aku tepat di depan hadapan dan mataku. “Dan kamu Claire, tolong mengerti bahwa kami ini adalah keluarga terpandang. Kamu harusnya sadar diri posisimu hanya sekretaris dari keluarga rendahan!” Tegas Mama Randi dengan menatap sinis ke arah kedua bola mataku. “Ma, status sosial itu subjektif. Aku hanya mencintainya, Ma, Pa!!” Geram Randi yang semakin meninggikan suaranya. “Persetan dengan cinta! Cinta itu bisnis Randi dan kau tidak akan pernah bahagia jika terus memaksa menikah dengan wanita pilihanmu ini!” Roger membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati anak lelakinya. “Tegar, sabar Claire.” Aku memejamkan mata kala mendapatkan perlakuan yang amat menyakitkan ini. Sementara Randi mengarahkan tangannya ke arah tanganku, lalu ia genggam dengan kuat tanganku yang sudah berkeringat dan gemetar kala berada diposisi terhina. “Kau adalah ahli waris satu-satunya keluarga ini, jangan buat malu keluarga cuma karena kau menikahi wanita yang kau inginkan. Camkan itu!” Bisik Roger pelan namun ketus tepat disebelah telinga Randi sembari melirik tipis ke arah Claire yang berada di seberangnya. Roger berjalan dua langkah melewati Randi, lalu dengan keras Randi berteriak. “Pa, aku kembalikan semua apa yang telah Papa beri kepadaku. Aku keluar dari kantor ini, aku tidak butuh apapun dari Papa dan atas nama Papa sekalipun! Aku memilih hidup dengan Claire!” Air mataku tak terbendung kala mendengar ucapan pria yang sedang menggenggam tanganku ini. Begitu besarkah cintanya hingga ia berani melepaskan semua privilage dalam hidupnya hanya untuk menikahiku gadis miskin yang hanya status sekretaris? Sontak Roger membalikkan badan mendengar teriakan anak kesayangannya ini. “Kurang ajar kau!!!!” Roger hendak mendekati sang anak, namun tiba-tiba ia terjatuh berlutut sembari memegang dada kirinya. “Paaaaaa!!!!!” Teriak Mama histeris dan langsung menghampiri suaminya yang kini tengah jatuh berlutut kesakitan. Randi panik, ia segera melepaskan genggamannya dari tanganku dan berlari keluar dari ruangannya dan berteriak di seantero lantai. “Tolong satpam tolongg!!!!” Teriaknya sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku langsung berlari ke arah Roger dan memberikannya pertolongan pertama. “Sana kamu! Mau kau apakan suamiku?” Teriak histeris Airin sembari mendorong tubuhku. “Tante, ini harus diberikan pertolongan pertama sepertinya gagal jantung.” Aku berusaha bangkit dan mencoba untuk memberikan pertolongan pertama kepada Roger. Tak berapa lama, dua orang satpam yang bertugas di lantai enam belas ini pun dengan sigap mendekati arah sumber suara. “Ambulance ambulance ambulance…” Tambah Randi yang dilanda kepanikan hebat kala melihat dengan jelas papanya terjatuh. *** Sesampainya di rumah sakit, Roger masih dengan kondisi tidak sadarkan diri ini langsung dilarikan menuju ruang ICU. Aku melihat dengan jelas betapa Randi menyesali perkataannya. “Maaf pihak keluarga diharapkan menunggu terlebih dahulu.” Ucap suster yang mengantarkan ranjang Roger dan segera menutup pintu ruangan ICU ini.Aku menatap dengan jelas wajah panik Randi dan Airin yang tampak khawatir dengan kondisi Roger, entah apa yang mereka sedang pikirkan, namun sesungguhnya aku hanya berharap Roger bisa menerimaku.“Bapak sudah melewati fase kritisnya dan akan segera kami pindahkan ke ruangan VVIP.” Senyum dokter yang keluar dari ruangan tertutup ini menghentikan sedih pihak keluarga dan aku. “Randi…” Roger yang masih mengenakan selang oksigen perlahan memanggil nama sang anak yang berada disisinya. “Pa.. Pa.. Iya Pa, aku disini bersama mama dan Claire.” Randi antusias menghampiri Roger sembari mendengarkan apa yang ingin papanya sampaikan.“Jangan pergi dari hidup papa…” Ucapnya tertatih-tatih.“Aku mau menikahi Claire Pa..” Randi sepertinya berada pada momen yang tepat kala meminta persetujuan untuk menikahiku meskipun kondisinya saat ini amat tidak mungkin bisa dipikirkan dengan matang.“Telfon Luki sekarang juga…” Randi masih dengan suara yang samar-samar akibat tertutup selang oksigen, namun pesannya masih bisa dipahami oleh Re.“Iya pa, sebentar aku telfon Om Luki.” Jawabnya dengan cepat.“Ada apa dengan Luki, Pa?” Airin yang tak kalah ingin ikut campurnya lantas menanyakan apa hubungan Luki dengan permintaan suaminya.“Sebentar Ma, aku hubungi dulu.” Randi tak ingin berlama-lama, dengan cepat ia pun meletakkan kembali telapak tangan papa yang sedari tadi menggenggam erat tangannya, lalu pergi keluar.“Claire, kamu baiknya pulang aja. Lagian, untuk apa juga masih ada disini?” Airin yang masih dengan karakter judesnya seolah mengusirku yang masih memastikan bagaimana kondisi Roger sepenuhnya.“Ta..tapi Te.” Aku menunjuk Randi yang masih keluar untuk menghubungi Pak Luki.“Jangan manja jadi perempuan, bisa pulang pake ojek online kan? Kamu kira anak saya supir yang harus antar jemput kamu tiap hari!” Bentaknya.Seperti tidak ada pilihan yang membuatku harus menunggu Randi saat ini. Sebab sudah sangat jelas kalimat usir yang dilontarkan oleh Airin, sehingga satu-satunya tindakan yang bisa ku lakukan hanya pergi dari ruangan ini atau hadapan mata Airin.***“Loh ini masih jam segini, sudah pulang Cle? Tumben cepat banget. Terus ini kenapa nangis begini?” Alexa membukakan pintu seketika bingung sebab air mataku yang sedari tadi tidak terbendung akhirnya tumpah juga tepat di teras rumah. “Ayo-ayo masuk dulu Clee, tenang coba tenang yaaa.” Alexa, tanteku ini mengusap bahuku sembari membiarkanku berjalan hingga menuju sofa ruang tamu. “Karena Randi lagi?” Seolah ia bisa menebak apa yang telah terjadi, tentu saja dari pacar konglomeratku ini. “Iya, tadi ada kejadian gak enak di kantor Te, jadinya aku pulang cepat ini.” Sembari ku lihat juga arloji di tangan kiriku masih menunjukkan pukul dua siang. Wajar jika tante bertanya, sebab biasanya aku selalu pulang sore dan bahkan hampir tengah malam karena beban kerja yang masih terus banyak. Terlebih saat ini Randi banyak bekerja sama dengan kantor asing sehingga amat menyita waktuku yang harus menyusun jadwal dan agenda hariannya. “Ada apa? Aku gak lihat ada berita atau isu yang gak enak tentang perusahaan kamu.” Terlihat jelas bahwa kini tanteku amat penasaran apa yang terjadi di kantor hingga mengharuskanku pulang sangat awal. “Orang tua yang paling konglomerat itu.....” Tambahnya menyinggung kekasihku ini.“Kan Tante juga tahu, aku menjalin hubungan sama Randi bukan baru-baru ini aja, melainkan sedari jaman kuliah. Aku juga sudah berusaha untuk memberi pengertian kepadanya tentang status sosial kami, namun nyatanya ia terus memberiku kekuatan dan keyakinan agar kami bisa menerjang restu orang tuanya.” Terangku dengan mata yang mulai terbayang kaca-kaca.“Aku paham sayang. Randi juga anak yang baik untuk kamu dan keluarga ini. Tapi, dengan gap sosial yang begitu jauh pasti akan susah kalian bersama, Cle. Aku juga sama sekali gak melarang kamu untuk menjalin kasih dengannya, namun cinta yang kamu punya untuknya hanya membuatmu sakit aja, sayang.” Tante yang tadi duduk berhadapan denganku, kini berpindah berada di sebelahku dan mengusap bahuku seolah menenangkan.“Aku sudah gak tau harus melakukan apa, Te......” Air mataku yang tak tertahan airnya tumpah sembari mengingat bagaimana perlakuan kedua orang tua Randi yang begitu kasar terhadapku.“Tadi Randi mengajakku bertemu kedua orang tuan
Deg……“Nyawaku terancam?” Gejolak batin penuh dengan pertanyaan kala Roger berkata demikian kepadaku. Namun dalam hatiku selalu yakin mereka pada akhirnya mereka akan baik kepadaku, akan luluh kepadaku, serta akan bersikap sayang kepadaku sebab hanya aku menantu perempuan satu-satunya yang mereka miliki.Lalu, acara sungkeman ini berlanjut kepada Tante Alexa yang sedari tadi telah tersenyum bahagia menyaksikan acara pernikahanku bersama pria yang selama ini ada di hidupku, Randi.Ia langsung merangkul kami berdua seraya berkata,“Randi, Claire selamat atas pernikahan kalian ya. Gue bangga banget sama kalian sampai di titik ini. Semoga pernikahan kalian bahagia, walaupun jalannya terjal, badai atau apapun nanti tetap sama-sama ya. Randi, tolong jagain keponakan tante yang cantik ini ya, dia kesayangan papinya jadi jangan pernah sakiti dan sia-siakan Claire.” Pinta Alexa sembari meneteskan air matanya.“Thank you Te, pasti akan aku jaga sebaik mungkin kok Clairenya. Claire juga tuh Te
“Di, di kondisi saat ini dan kamu masih mengingatkanku tentang poin perjanjian itu?” Tegasku yang sedikit berontak dengan apa yang sudah ia katakan.“Claire, kamu sudah menyetujuinya kan?” Tanyanya singkat sembari mengambil tanganku yang masih gemetaran.“Tapi di bawah masih kacau, gak apa-apa aku aja yang ambil sendiri..” Ucapku yang masih mengontrol emosiku dengan membantah apa yang diperintahkan Randi.“Ya sudah tapi jangan sampai ketahuan mama atau papa ya, kamu lewat pintu belakang saja mutar.” Sarannya.Setelah Randi menyetujui saranku, aku berjalan menuju halaman belakang merogohkan tanganku pada saku rok yang ku kenakan. Mulai ku buka layar ponsel ini dan menuju aplikasi makanan online. Satu per satu menu ku buka dan ku masukkan ke dalam keranjang makanan.“Udah jadi pesan makanannya?” Dari arah belakangku terdengar suara pria yang beberapa detik kemudian merangkulku.“Ini sedang pesan Mas, kamu mau makan apa?” Aku menoleh ke belakang sembari melihatnya yang tengah tersenyum
“Kamu gak pernah cerita ya sama aku tentang keluarga kamu secara keseluruhan gini.” Isak tangisku pecah.“Claire maaf, aku pun gak kepikiran juga perihal ayam bakar buat mereka semarah itu.”“Tapi harusnya kamu bisa cerita, bisa bilang apa yang gak pernah kamu makan, apa yang gak mereka suka, harusnya kamu bilang!” Teriakku di dalam kamar pengantin yang tanpa ada hiasan apapun.“Oke oke, tenang dulu. Oke, aku salah.” “Gitu aja?” “Kamu makan dulu ya, aku ambilin piringnya sebentar.” Randi berusaha membujukku.“Udah gak perlu. Kamu bisa keluar sebentar gak Di?” Pintaku.“Kenapa? Ini juga kamarku, kan?”“Aku butuh waktu sendiri dulu.” Desakku.“Oke, aku keluar dulu. Claire tolong jangan berpikir terlalu jauh ya.” Ia mengingatkan kembali sebab ia amat paham bagaimana aku bisa berpikir yang berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar, diikuti oleh diriku yang mau langsung mengunci kamarnya ini. Setelahnya aku kembali ke atas ranjang yang tanpa hiasan apapun untuk mencirikan adanya pengantin b
"Claire jelas saja menoleh ke arah samping kanan tempat dimana beberapa lift terletak disana."Samar-samar pria itu datang dan menghampiriku. Pria itu tinggi, dengan tubuh proporsional dan kemeja navynya serta sinar matanya yang sangat familiar diingatanku."Lo ngapain disini?" Sekali lagi ia menorehkan senyumannya kepadaku."Eehh... Lo Arsy?" Aku coba mereka ulang ingatanku yang sebenarnya juga gak mungkin aku lupakan, karena ia sempat tertulis dalam catatan harianku dulu."Hahaha iya ini gue Cle. Siapa lagi kalo bukan gue? Gue gak ada kembarannya, tenang aja..." Ia membalasku dengan tertawa."Hahahaa gak nyangka aja bisa ketemu lo disini Ar. Gue pikir lo gak akan balik ke Indonesia lagi setelah betah di Norway sana.." Celetukku sembari memegang laptop tempat semua data yang mau dipresentasikan tersimpan."Panjang ceritanya, entar aja kita agendakan buat ngobrol lagi. Gue ada meeting nih.." Ia pamit dan melangkah pergi tepat dihadapanku dengan meninggalkan senyuman yang masih sama se
"Mas, sudah pulang, Ma?" Aku coba mencairkan suasana dan sangat berusaha untuk akrab dengan mertuaku ini."Ya sudah, kamu darimana aja jam segini kok baru pulang...." Ia masih terus sibuk mengusap vas bunganya dan sesekali menatap sinis ke arahku yang masih berdiri di depan pintu."Maaf Ma, tadi nunggu taksinya lumayan lama. Aku permisi naik ke kamar dulu ya Ma..." Pamitku, memastikan nada bicaraku sudah amat rendah.Ia hanya mendiamkanku, dan aku langsung saja bergegas untuk menaikkan satu per satu anak tangga. Tepat di ujung sana dekat balkon itu adalah kamar suamiku, Randi."Kok lama banget sayang? Macet?" Randi yang baru saja habis mandi, masih dengan handuknya lantas langsung menegurku."Udah selesai mandinya? Pakek baju dulu gih sana.." Aku membalikkan badanku, masih canggung rasanya melihat Randi dengan dada terbuka seperti itu."Aku nanya duluan..." "Macet juga, tapi lebih parahnya karena taksi yang ku order terlambat datangnya." Aku masih dengan membalikkan tubuhku dari waja
"Kamu mau bareng aja gak sama aku, sayang?" Randi tengah mengunyah roti dengan selai nanas membuka obrolan di meja makan pukul 6 pagi. "Ya jangan. Entar kalo ada yang lihat dia gimana..." Celetuk Airin."Iya jangan deh, mending kamu pakai taksi online aja.." Tambah Roger.Aku seolah tidak perlu lagi menjawab atas pertanyaan Randi, karena sudah diwakilkan oleh mertuaku yang sangat ingin menutupi identitasku sebagai menantunya."Are you ok, baby?" Randi mengangkat daguku yang sedari tadi tidak berani menatap wajahnya atau bahkan sekitar.Mataku membalas dengan menatapnya."I.. iya gak apa-apa sayang. Lebih baik gitu aja..." Tambahku. Lalu, aku melanjutkan menu sarapan yang sudah ada di depan mataku."Ingat ya, hari ini ada arisan. Kamu pulangnya jangan lebih dari jam 6 deh. Kalo ternyata lebih dari jam 6, mending kamu nginep di hotel aja. Paham?" Tinggal dengan keluarga Randi yang baru dua hari saja sudah penuh tekanan lahir batin, gak kebayang bagaimana jadinya jika aku harus hidup d
Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga."Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi."I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah."Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya."Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal."Aku perlu bantu-bantu, Ma?" "Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku."Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yan
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn