"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja.
"Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya....""Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya."Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah mewah berornamen khas Eropa itu.Aku diam beberapa saat, tanpa terasa air mataku menetes."Berat banget untuk cerita ya sayang? Gak apa-apa kalo memang berat. Tante cuma mau kasih wejangan aja, gimanapun ombaknya, setinggi apapun ombaknya, kapalmu harus terus berlayar sayang..." Suaranya yang lembut dengan belaiannya di rambutku membuatku terenyuh."Te, kalo aku pisah sama Randi gimana te?" Ucapku pelan sembari mengusapkan air mata yang kian jatuh membasahi pipi."Husstt gak boleh ngomong gitu. Pernikahan kamu tuh masih seumur jagung sayang, ya wajar aja masih adaptasi kan semuanya. Mungkin kalo dulu pacaran, kamu lihat Randi yang baik-baik aja, paling buruknya ya pas dia ngambek aja. Nah ketika sudah menikah, satu atap, satu kamar pasti lebih banyak hal-hal yang buat kamu kaget, jadi solusi satu-satunya ya kamu adaptasi saling menerima satu sama lain. Bukannya saling ninggalin sayang...""Sebenarnya bukan ke Randinya sih Te. Lebih tepatnya ke mamanya..."Alexa ya memang sudah gak kaget. Ia mengenal Airin seolah sudah mengenal sangat lama padahal waktu pertama aku menikahlah ia baru bertemunya. Namun, karena karakter Airin mudah ditebak dan dirasakan oleh orang disekitarnya, jadi bisa dengan mudah orang lain ini mengidentifikasi karakter Airin."Berat banget? Kamu sudah ngobrol sama Randi belum sayang?" Aku tau tante Airin mungkin tidak bisa memberikan solusi saat ini untuk hubunganku dengan Airin, jadi secara gak langsung pun ia sudah mengatakan menyerah untuk terlibat dalam perhelatanku dengan Airin."Randi sudah tau...""Terus apa respon Randi? Dia berperan disini, sebagai anak lelaki dan juga sebagai suami kamu...""Dia justru gak percaya sama aku, tee...." Air mataku kian menetes kala ingat bagaimana bisa Randi meragukan apa yang aku sampaikan kepadanya."Aku sudah ngobrol dengan Arsy nih..." Di tengah-tengah topik pembicaraanku dengan Alexa, Asha masuk kembali ke dalam ruanganku."Gi.. gi... gimana Mba? Tanyaku pelan sembari mengusap-usap pipi yang sudah dipenuhi oleh air mata."Dia sekarang sudah pulang. Katanya paling besok dia datang lagi buat jagain kamu." Terangnya.Aku hanya membalasnya dengan reaksi mengangguk. Intinya saat ini, aku sudah bingung menghadapi Arsy yang hampir setiap hari butuh kepastian untuk jalan bersamaku. Lebih beratnya karena moment ini yang dikhawatirkan akan ada Arsy dan Randi diwaktu yang bersamaan. Entah apa yang bisa aku jelaskan kepada Arsy tentang hubunganku dengan Randi."Sudah ah sekarang saatnya kamu istirahat. Oh ya sebelum itu, tadi dari meja administrasi menawarkan untuk pemeriksaan full tubuh nihh." Asha menyampaikan amanah untuk check-up dari rumah sakit, namun aku hendak meolaknya karna sudah merasa cukup dengan diinfus."Aku gak kenapa napa Mba. Kayaknya cukup kok cuma dengan infus aja...." Bantahku."Hmm kamu yakin gak? Ya kalo saranku sih mending sekalian aja Cle." Ia memberi saran kepadaku."Enggak, aku gak apa-apa. Aku sudah bisa pulang kan ya malam ini?""Sebentar, tadi susternya sih mau kesini lagi cek infus kamu sama mau kasih suntikan apa gitu. Bentar lagi nih mungkin..." Ucapnya lalu ia kembali ke sofa tepat disamping Alexa.***"Sayang, kok kamu bisa sampe disini sihh?" Kepulangan Randi bersama kopernya membuatku kaget kebangun secara tiba-tiba."Maaf, kamu lagi tidur ya. Kamu gak apa-apa kan? Tante, Claire gak apa-apa kan?" Matanya menyorot cemas ke arah Alexa dan Mba Asha yang berada di sebelah kiriku."Gak apa-apa, besok pagi sudah bisa pulang kok aku..." Aku tersenyum tipis kepadanya."Pemeriksaannya tadi apa aja? Full aja di cek semua sayang. Aku khawatir...." Terangnya."Udah ah kamu jangan panikan gitu. Lihat aku sehat-sehat aja..."Ia menatapku dan langsung memelukku dengan erat."Udah ah peluknya, kamu tuh kan masih ada acara harusnya di Bali, kenapa bela-belain pulang sih? Sama Catherine ya?" Sontakku melepas pelukan dari tubuhnya."Ya gimana bisa aku gak panik dan gak pulang, istriku masuk rumah sakit gini...." Balasnya sembari memegang tanganku."Catherine gimana?" Aku bertanya namun terus menunduk, gak berani natap matanya karna sudah pasti jelas raut wajahku menyatakan kalo aku cemburu dengan kedekatan mereka berdua."Ya dia ikut pulang juga. Jadi acara yang harusnya pagi ini, sengaja kita padetin kemarin." Terangnya."Oh iya Cle, mama sudah kamu kabarin gak?" Tanyanya."Jangan dikabarin Ran, tolong....""Kenapa? Ya dia mamaku kan mama kamu juga, kamu gak boleh gitu lah Cle...." Ia masih menyoroti wajahku dengan matanya."Ran.........." Aku menggenggam erat tangannya."Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
“Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memberikan restu kepada wanita rendahan seperti dia.” Bentak pria paruh baya sembari menatap matanya ke arah jendela besar di gedung pencakar langit.“Pa, apa masalahnya sih sampai Papa dan Mama sulit menerima Claire?” Randi dengan suara yang tidak kalah kerasnya sesekali memukul meja yang berada di samping tubuhnya. Sementara aku terus berusaha menenangkan Randi yang sedang terpacu emosi.“Nak, kami sebagai orang tua tentu mau yang terbaik untuk kamu. Claire sudah jelas tidak sederajat dengan kita, lantas, apa kata kolegamu?” Wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna merah menjelaskan dan memberikan pengertian kepada anak lelaki tunggalnya yang kini penuh dengan amarah atas penolakan kedua orang tua terhadap aku tepat di depan hadapan dan mataku.“Dan kamu Claire, tolong mengerti bahwa kami ini adalah keluarga terpandang. Kamu harusnya sadar diri posisimu hanya sekretaris dari keluarga rendahan!” Tegas Mama Randi dengan menatap sinis ke ar
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn