"Claire, kamu dimana?"
"Ya di kantor, kenapa?"
"Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam...."
"Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini.
"Arsy ke kamu?"
"Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...."
"Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya .
"Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini.
"Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya.
"Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..."
****
"Mau istirahat dimana Cle?" Asha menghampiri mejaku dengan senyuman ramahnya.
"Tumben banget Mbak kesini. Mau cari Pak Randi kah? Kebetulan Beliau sedang dinas di Bali saat ini. Ada pesan yang mau aku sampaikan kepadanya?" Tanyaku. Sebab tidak seperti biasanya ia menghampiriku secara langsung secara ia juga merupakan orang penting di ranah legal.
"Oh enggak-enggak. Aku nanyanya justru kamu mau istirahat dimana..."
Jujur, selama menyelesaikan pekerjaan 30 menit ke belakang fokusku sudah tidak lagi ada disini. Aku memikirkan berulang-ulang apa yang sudah Randi tau terhadap hubunganku dengan Arsy dimasa lalu, dan tindakan Arsy juga justru membuatku takut mengingat begitu jelas tatapan yang ia berikan kepadaku seolah masih seperti dulu.
"Oh maaf Mbak, maaf gak fokus banget ini. Aku rencana mau ke cafe seberang Mba. Gimana Mbak?"
"Boleh bareng aja yuk. Kebetulan ada yang mau aku sampaikan ke kamu juga...." Ucapnya.
Duh, jelas saja ini menambah pikiranku lagi. Setelah teka-teki Randi belum terpecahkan, Arsy dan sekarang Mba Asha. Entah apa yang mereka satu per satu ingin ungkapkan kepadaku.
"Sama siapa aja Mbak?" Aku menatapnya.
"Kita berdua aja, karna ada hal yang memang mau aku obrolin sama kamu nih...." Responnya.
Aku mengiyakan ajakan dia, berharap satu per satu obrolan yang ingin mereka sampaikan tercurahkan kepadaku, karena apa yang ingin mereka sampaikan mungkin hal yang berbeda tapi di satu waktu yang bersamaan.
Aku beranjak dari bangku, dan berjalan melewati beberapa hingga sampai ke depan lift yang akan mengantarkanku menuju ground loby. Sesampainya aku melanjutkan perjalananku bersama Asha melewati teriknya ibukota ini. Selama berjalan, Asha tidak banyak bicara mungkin ia menyiapkan obrolan sepenuhnya nanti selama kami makan siang.
Sesampainya di cafe ini, aku langsung duduk dan memesan menuku, spaghetti dan es teh tawar begitu juga Mba Asha.
"Mbak, jadi mau cerita?" Aku menegurnya.
"Oh iya, tapi kamu jangan kaget ya...." Jailnya sembari tertawa.
"Gimana mau kaget, kan Mbak belum mulai cerita..." Balasku.
"Waktu kemarin kita ketemu, kamu ada nanya ya aku tau darimana tentang pernikahanmu dengan Randi?"
Seolah mengingatkanku lagi pada saat kondisi panik dan kaget waktu itu. Bahkan karena hecticnya hingga kini pun aku justru melupakannya, padahal sangat penasaran sebenarnya kenapa Mba Asha sampai tau tentang pernikahanku. Apakah hanya dia yang tau atau siapa lagi yang mengetahui informasi rahasia ini...
"I....iya Mbak. Mbak tau darimana?" Jawabku sedikit gugup.
"Mungkin kamu belum semua hal tau ya tentang keluarga Randi...." Ia mulai berancang-ancang untuk berbicara kepadaku,
"Iya Mbak, aku masih butuh waktu untuk diterima di dalam keluarganya..." Balasku.
"Iya sih aku juga paham, keluarga itu kompleks banget Cle, semua halnya diatur oleh Airin."
Wah, jelas saja mataku melalak memperhatikan arah obrolannya yang dari sini saja aku bisa menilai kalo Mbak Asha tau banyak tentang keluarga ini.
"Mbak, masih keluarga Randi?" Aku langsung saja menembak pertanyaan yang mungkin masuk akal, karna semua tamu yang tau jelas pasti keluarga terdekat Randi.
"Aku kakak iparnya Airin....."
"T...ta... tapi Mbak gak ada di hari pernikahanku, kan?" Aku memastikan sembari mengolah ingatanku yang rasanya tidak ku temukan wajah Asha di hari acaraku.
"Iya benar. Aku juga bermasalah dengan Airin. Airin itu pengatur, semua hal dia atur. Jadi ya bisa dibilang aku bermasalah dengan dia. Tapi untungnya di perusahaan ini yang pegang Randi, jadi aku masih mau bantuin perusahaan rintisan ayah mertuaku ini..."
"Jadi kita adalah keluarga Mbak?" Aku memastikannya kembali.
"Iya jelas saja kita keluarga, bahkan kamu jangan kaget aja kalo mereka itu punya ritual setiap malam-malam tertentu untuk merayakan sesuatu..."
Ritual? Ritual seperti apa? Jelas saja arisan serasa clubbing sudah buatku terkaget-kaget. Apalagi ritual yang dimaksud oleh Asha?
"Ritual?????" Wajahku sedikit ku dekatkan kepada Asha untuk tau secara detail apa yang terjadi di rumah yang aku tempati ini. Rasanya begitu seram dan mencekam walau hanya mendengar omelan Airin dan Roger, apalagi kalo sampai memang ada ritual tertentu yang membuat otakku langsung berpaling ke ranah negatif.
"Kamu belum tau jugaa????" Sontak saja Asha tidak kalah kagetnya.
"Mbak....... Aku gak tau sama sekali. Cuma kemarin ada party aja yang buatku ngerasa minder karna gak mungkin bisa ikutin gaya hidup konglomerat ini...."
"No no, kamu jangan ngerasa minder, justru harusnya kamu jangan sampai terlibat atau ikut-ikutan arisan mereka. Mereka itu berbahaya..."
Asha seolah membuat puzzle yang harus aku rakit sendiri agar tau kebenaran seperti apa yang terjadi di lingkungan dan keluarga Randi.
"Mbak, separah itu kah?"
"Kalo standarmu parah adalah menghilangkan nyawa orang lain, ya jelas mereka melakukannya dan itu menjadi rutinitas.." Asha berbicara seolah tidak ada gap antara aku dengan dia.
Drrttt.... drrtttt......
"Hape kamu bunyi tuh..." Tunjuk Asha mengarah ke sisi meja kiriku.
"Haduh iya, aku lupa nelfon Randi, tadi dia mau ngobrol...." Gumamku.
"Gak apa-apa kamu ngobrol dulu aja sama Randi. Ini pesanan kita masih lama juga.." Asha memberiku ruang.
Aku langsung beranjak keluar sebentar untuk menghubungi Randi.
"Kenapa belum nelfon? Ditungguin juga...."
"Kamu kenapa sih kok emosian gini...." Aku tidak kalah melawannya.
"Huft, jadi apa hubungan kamu sama Arsy...."
"Aku tuh udah pernah jelasin hal yang sama dan ini kali kedua aku harus jelasin. Aku sama dia teman sekolah. Apalagi?" Nadaku sedikit tinggi.
"Gak mungkin teman doang, dia sampe pulang ke Jakarta loh cuma untuk nemuin kamu. Dia mau apa?"
"Ran, kamu kalo mau nanya mau apanya, ya harusnya tanya yang bersangkutan. Aku belum ketemu dia, gimana bisa tau dia mau apa?"
"Sekarang juga kamu block dia!!"
Jadi, kira-kira apa ritual yang ditutupi Airin ya Readers? Jangan lupa follow @catatan_allena yaaaa!!
"Claire, kamu dimana?""Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam....""Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini."Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya ."Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini."Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya."Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." ****"Mau istirahat d
"Berantem hebat ya?" Asha seolah bisa membaca raut wajahku."Iya Mbak, biasalah..." Aku senyum tipis. Perasaanku amat tidak enak untuk menceritakan permasalahan ini dengannya, terlebih ia juga bagian dari keluarga Randi."Jujur, dulu selama ada di rumah suamiku ya sama kayak kamu juga. Apapun yang aku lakukan tuh gak disukain sama Airin, dia sebagai adik tapi ngatur, adu dombanya bukan main...." Asha menceritakan secara detail apa yang terjadi. Justru buatku diam tidak bergidik untuk menyimak apa yang terjadi."Ya menurutku, kamu akan terus seperti ini ya jika masih tinggal bersama Airin. Apalagi Randi putra tunggalnya, wah sudah pasti gak kebayang kamu makan hatinya gimana....." Ungkap Asha yang menaruh simpati kepadaku."Mbak......" Aku meneteskan air mataku, seolah ingin mengungkapkan semua yang aku rasakan setelah pernikahanku terjalin."Kamu bisa cerita kok sama aku. Karna kondisinya aku juga pernah ada diposisimu...." Asha coba menenang
"Non tapi ini kita mau kemana?" Sopir taxi ini juga bingung untuk mengarah kemana karna saat ini yang aku butuhin hanya menghindari Arsy terlebih dahulu."Tolong ke Jalan Cendrawasih aja Pak..." Balasku sembari seseklai menoleh ke arah belakang memastikan kalo Arsy sudah tidak mengikuti jejakku lagi."Baik Non.."Mobil melaju kencang, entah ini keputusan yang benar atau salah aku untuk mengasingkan diri terlebih dahulu di rumah tante Alexa. Meskipun aku tau akan terjadi kemarahan pada keluarga Randi dan mungkin juga Randi sendiri, tapi aku butuh sendiri saat ini.***"Assalamualaikum tante...." Beberapa kali ku mengetuk pintu namun masih belum ada jawaban.Aku melihat sekeliling rumah, tampak rumah ini begitu sepi.Ku coba mengambil ponsel di dalam tas tanganku, ku cari kontak yang bertuliskan Tante Alexa di dalamnya dan langsung saja aku menyentuh tanda hijau bergambar telfon.Dari sambungannya, terdengar berdering yang artiny
Degup jantungku berdetak cukup kencang. Tanganku gemetar, mulutku terkunci rapat, kakiku bahkan seolah mati rasa untuk bergerak sampai menapak di lantai bawah. Aku hanya bisa diam dan menatap bola mata Airin yang tepat berada dihadapanku."Iya, saya jamin hidup kamu sampai kamu tua asalkan kamu tinggalkan anak saya!" Kedua kalinya kalimat itu dilontarkan oleh bibir tipisnya yang berwarna merah tua."Cle, atur nafasmu, atur nafasmu...." Batinku sebab kini nafasku sudah tersengal-sengal."Gimana? Diam artinya kamu setuju kan?" Ia berdiri dan hendak memberiku sebuah amplop coklat."Di dalamnya sudah saya buat nominal cek yang akan bisa biayai hidup kamu. Kamu cuma perlu untuk tinggalin Randi dan hilang seperti ditelan bumi. Paham?" Ia menjulurkan tangannya lagi ke arahku."Ma, maaf aku gak bisa terima ini...." Seolah ada tenaga tambahan untukku menolaknya entah darimana.Aku menghalau tangannya yang berada di depan dadaku. Aku gak bisa nerima i
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
Aku memasuki mobil Randi dengan penuh pertanyaan, mengapa tante Sophia menyebutkan tentang kematian orang tuaku, bukankah sudah jelas mereka kecelakaan? "Claire, pakai seatbeltnya. Kamu kenapa bengong gini?" Randi seolah memperhatikanku dari tadi."Eh maaf..." Tanganku langsung mencari sabuk pengaman itu dan langsung ku tancapkan di penutupnya."Kamu mikirin apa? Harusnya kamu senang dong karna kita mau keluar dari rumah sekarang...""Tante Sophia tadi menyebut tentang orang tuaku...." "Astaga Claire, udah ah jangan dipikirin. Lagian kematian orang tua kamu kan juga sudah lama, apalagi yang mau dibahas?" Randi di sisi yang berbeda dariku.Aku diam, mengabaikan komentarnya."Udah pokoknya kamu jangan mikirin apapun. Aku berjuang sejauh ini untuk kamu...." Tambahnya lagi.Ia mulai menancapkan mobil dari balik basement ini menuju gerbang tinggi yang menutupi rumah megahnya. "Den, maaf gak boleh keluar...." Cegah dua orang satpam yang berada di depan gerbang menghentikan laju mobil kam
"Cle, kamu mau nurut sama aku gak kali ini?" Randi perlahan mendekatiku yang sedang kalut atas paksaan dan rampasan hidup yang dibuat oleh Airin."Mau apa lagi, Mas? Rasanya semua hal yang aku lakuin juga sia-sia. Mama kamu tetap ingin kita cerai. Dengan kamu narik aku kesini, cuma untuk ngulur waktu aja kan? Karena faktanya yang diinginkan mama kamu tuh tetap saja bukan aku...." Aku coba mewaraskan semua hal yang ada di hadapanku. Rasanya air mata pun sudah gak sanggup lagi menetes."Kali ini aja, sayang. Kamu mohon mohon sama mama buat batalin semua keinginannya. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama....""Mas......" Aku mendongakkan kepalaku, sorotan mata kami saling bertemu."Tolong kali ini aja.. Aku mau mempertahankan kita, Claire, dan aku harap kamu juga punya hasrat yang sama....""Gak ada jaminan hati mama terketuk, Mas. Semuanya bakal sia-sia aja...." Aku sudah sampai di titik nyerahku. Rasanya sekarang jika boleh langsung Randi menalakku, aku langsung menerimanya. Luka bat
"Aku udah gak sanggup Ran setiap hari berhadapan dengan berbagai ucapan dari mama kamu..." Aku terisak nangis, seolah semua hal yang ku lakukan selalu salah di matanya."Ya jangan nyerah dong. Katanya kamu cinta sama aku, umur pernikahan kita juga baru banget Cle. Tolong bertahanlah demi kita..." Randi menurunkan egonya."Gimana bisa" aku bertahan, aku tuh udah gak diterima sama keluarga kamu, dan gak akan mungkin diterima...." "Sejak awal juga kan kamu tau gimana kerasnya mereka. Tapi apa, komitmen kamu di awal kan bakal bisa hadapin mereka apapun yang terjadi, kan?" Randi coba menguatkan hatiku yang sudah terlanjur kecewa dan patah dengan perbuatan kedua orang tuanya. Mereka betul-betul menginjak harga diriku di depan koleganya."Kesehatan mental aku yang terganggu kalo terus ada di rumah ini Ran. Mereka selalu bandingin aku dengan Natalie. Siapa sih memangnya Natalie? Kamu sama sekali gak pernah bahas tentang perempuan itu...""Ya karna gak penting, untuk apa aku bahas, sayang?" R
"Aku sudah coba untuk ngobrol dengan mama tapi dia terus menolak apa yang udah aku pertahankan Claire..." "Terus? Kamu nyerah?" Jujur aja aku sudah gak punya tenaga bahkan untuk bicara kepada Randi sedikitpun."Gak, aku gak nyerah. Aku lagi berusaha untuk ambil hati mama buat kamu. Kamu bisa bantu aku juga?" "Bantu yang kaya gimana lagi? Aku harus apalagi supaya dapat hati mama kamu Ran...." "Saranku sih kamu coba berhenti kerja dan full time di rumah supaya sering bagi waktu untuk mama dan papa..." Ucapnya tanpa peduli dengan pertimbangan apapun."Kamu gak salah?" Aku masih coba bertahan untuk tidak mengumbar amarahku di depannya. Aku masih melihat seberapa pantas aku diperjuangkan olehnya."Ya enggak dong sayang. Kita coba satu per satu caranya supaya kamu tuh bisa akrab sama mama. Bisa kan?" "Tapi aku gak tau harus apa kalo di rumah tuh Ran..." Aku mendengus kesal."Ya kamu pasti bisa lah, browsing dulu aja caranya gimana entar di rumah kan tinggal kamu terapin aja. Pasti deh m
"Pa, coba bilangin deh sama si Randi anak kesayangan kamu itu..." Airin ngedumel tak henti-hentinya."Papa juga sudah susah bilanginnya, bahkan kamu juga tau dia masih berani nikahin wanita itu padahal aku lagi serangan..." Roger pun ikut dalam obrolan bersama Airin."Lagian, dia mau apalagi sih dari wanita itu? Cantik? Ya masih banyak wanita lain yang jauh lebih cantik. Pinter? Ya kalo dia pinter mah gak mungkin jadi bawahan gitu. Keturunan? Ya mana bisa hasilnya aja udah jelas-jelas dia mandul, gimana bisa punya keturunan. Yang ada nih ya Pa, kalo sampe orang lain tau udah kita bakal kena malu banget seumur hidup..." Airin terus memanas-manasin Roger. Sebab ia tau suaminya akan lebih cepat bertindak jika dikasih sumbu api dulu untuk meledakkan emosinya.Roger wajahnya sudah merah padam, gempalan di tangannya sudah jelas bahwa ia tidak ingin kejadian yang telah disebutin Airin menjadi kenyataan. Terlebih ia paling benci jika direndahkan oleh orang lain. Dia sangat membencinya."Tapi,
Tatapanku kosong, pikiranku entah campur aduk semuanya. Fokusku tidak lagi tentang orang-orang disekitarku."Claire, kenapa? Randi ada apa?" Tante Alexa yang kian melihat tubuhku terlunglai lemas di kursi roda tak kuasa menahan pertanyaannya pada suamiku.Randi masih mendorong kursi rodaku menggantikan suster. Aku sudah sampai di tepi tempat tidur."Sayang, ayo pindah ke tempat tidur..." Randi pindah posisi disebelahku persis. Aku sama sekali tidak berani menatap wajahnya, jelas saja ekspektasiku mengatakan ia kecewa sebesar-besarnya."Aku bisa sendiri!" Sedikit bentakan dengan penolakan untaian tangan Randi sudah menjadi jawaban atas kegundahanku saat ini.Aku kehilangan semuanya bahkan harapan tetap hidup.****"Randi bisa ngobrol keluar sebentar?" Aku mendengar jelas tante Alexa mengajak Randi untuk membicarakan kondisiku. Aku tidak bergeming, karna saat ini, aku hanya bisa nangis meratapi nasib yang gak tau akan muara kemana.Randi berjalan pelan meninggalkanku, begitu juga tante
"Ma, aku sudah sampe Jakarta nih...." Pria berkaos coklat ini menelfon ibundanya tepat disampingku sehingga jelas terdengar apa yang tengah mereka obrolin walaupun Randi tidak dalam mode loudspeaker dari ponselnya. "Iya ini, aku lagi nemenin Claire di rumah sakit, kan dia masuk rumah sakit Ma. Mama kesini ya..." Entah apa respon Airin, Randi langsung mematikan ponselnya. Matanya menatapku lagi dalam-dalam. "Sayang, aku minta kita periksa semuanya ya. Kamu tuh gak pernah loh drop kayak gini...." Ia membahas lagi dan membujukku agar mau untuk melakukan pemeriksaan secara penuh. "Mama mau datang?" Aku coba mengalihkan topik pembicaraan. "Katanya sih sekarang masih arisan di rumah temennya, mungkin nanti atau besok dia baru bisa datang. Kan kamu ada aku juga disini, ada tante Alexa sama tante Asha juga. Gak apa-apa kan?" Ia bertanya kepadaku yang padahal sudah jelas aku tahu kalo Airin tidak mungkin mau melihatku. "Sayang, pemeriksaan mau ya?" Ia tetap bisa memutar topik lagi. "Iya
"Claire, Randi sudah tau?" Mba Asha yang sedari tadi menemaniku disini bersama tante Alexa pun ikut khawatir dengan kondisi, meskipun jelas ucapan dokter tadi menyatakan aku hanya karna kelelahan saja. "Sudah Mba. Duh si Arsy gak boleh tau nih, gimana caranya ya...." "Coba nanti aku ngobrol sama Arsy deh, dia gak boleh tau hubungan kamu sama Randi. Ya apapun itu alasannya, orang lain diluar keluarga inti kita gak boleh tau." Mba Asha menekankan kalimat yang sama berulang kali. Ia tau persis resiko yang akan aku tanggung jika saja pernikahanku terkuak ke publik. Ya, aku gak bisa apa-apa. Aku sedih pun rasanya sudah gak bisa, aku memilih jalan ini dan bagiku inilah konsekuensinya. "Sayang, sebenarnya ada apa sih? Kamu tuh dari kecil gak pernah yang namanya pingsan. Tante tau persis kondisi fisik kamu sekuat apa. Ini gak kayak kamu biasanya...." Setelah Asha pergi meninggalkanku untuk ngobrol bersama Arsy, inilah kesempatan tante Alexa untuk menanyakan secara detail apa yang sebenar
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn