Di tengah keterkejutannya, Gavriel memilih mengobrak-abrik beberapa berkas yang masih ada di meja kerjanya. Laki-laki itu terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Hingga tiba-tiba, dia berhasil meraih sebuah map yang di dalamnya berisi beberapa resume milik calon pelamar.
Dibacanya satu persatu resume tersebut sampai tibalah pada resume terakhir. Disana tertera sebuah nama Aluna Aurora.
"Aluna Aurora? Nama lo Aluna?" tanya Gavriel sambil menatap Luna.
Perempuan yang ditanya itu pun menganggukkan kepalanya. Raut wajahnya benar-benar sulit dipahami. Bingung dan sedikit panik menjadi satu.
Pantas saja Gavriel tidak menyadari hal itu, lantaran Luna memperkenalkan namanya hanya sebatas "Luna". Ditambah lagi, pada resume milik perempuan itu, dia tidak mencantumkan foto pribadinya sama sekali.
Tidak berapa lama, Gavriel pun menaruh kembali berkas yang dipegangnya di atas meja. Kemudian laki-laki itu kini duduk di kursinya. Sementara Luna, dia masih tetap berdiri di tempatnya.
"Kenapa gak duduk?" tanya Gavriel.
"Soalnya belum lo kasih izin,"
"Umm, sorry, maksud saya, bapak belum kasih saya izin untuk duduk," koreksi Luna dengan cepat.
Satu hal yang selalu Luna coba tanamkan di dalam hidupnya adalah mempertahankan sikap profesionalnya. Luna mungkin mengenal Gavriel, begitu juga sebaliknya, tetapi perkenalan mereka itu berada di luar bukan di kantor. Dan jika seperti sekarang, Luna tetap harus memposisikan Gavriel sebagai calon atasannya.
Mendengar Luna yang mengoreksi perkataannya sendiri, Gavriel malah terkekeh, "kaku banget. Santai saja sih,"
Namun Luna hanya memberikan senyum kikuknya.
"Duduk," perintah Gavriel.
Dan barulah Luna menuruti. Dia duduk di hadapan Gavriel. Yang menghalangi mereka saat ini adalah meja kerja milik laki-laki itu. Sedari tadi, Gavriel memperhatikan wajah Luna yang sedikit tidak nyaman dan gelisah. Bahkan perempuan itu tidak berani menatap dirinya lebih lama. Padahal jika diingat, justru perempuan itu lah yang mampu membuat dirinya terhipnotis akan tatapannya tadi malam.
Keadaan ruangan seketika menjadi hening dalam waktu yang cukup lama. Membuat Luna yang dari tadi memainkan jemarinya itu mencoba melirik ke arah Gavriel. Niatnya untuk memastikan kenapa Gavriel belum mewawancarai dirinya? Tapi sayangnya, ketika Luna baru saja melirik Gavriel dalam waktu satu detik, laki-laki itu malah sedang menatap ke arahnya.
Hal itu tentu membuat Luna dengan cepat langsung menundukkan kembali tatapannya. Ah entahlah, Luna benar-benar bingung. Entah kenapa situasi saat ini benar-benar tidak nyaman. Luna sendiri juga tidak paham apa penyebabnya secara pasti.
Seakan paham dengan gelagat perempuan di hadapannya ini, Gavriel pun membuka suara, "kenapa? Kok lirik-lirik?'
Pertanyaan Gavriel membuat Luna seketika terkejut.
"Mmm, itu, maaf kalau boleh tahu, kira-kira bapak mau mewawancarai saya kapan ya?" tanya Luna dengan ragu.
Sebuah senyum tipis hadir di bibir Gavriel. Rasanya aneh sekali jika mendengar Luna berbicara dengan formal seperti sekarang. Lalu dia pun mencoba mengubah posisi duduknya.
"Lun, jangan terlalu formal. Santai saja," pinta Gavriel.
"Engga enak. Ini kan di kantor," jawab Luna.
"Justru kalau lo terlalu formal dan kaku kaya gini, suasananya malah menjadi canggung. Jadi gak enak ke gue dan lo juga," jelas Gavriel.
Benar. Apa yang dikatakn Gavriel ada benarnya. Kemudian Luna pun mencoba kembali melirik Gavriel. Dan masih sama. Laki-laki itu masih memperhatikan dirinya. Kali ini Luna dapat melihat sedikit senyum milik Gavriel. Meskipun hanya sekilas dan begitu tipis.
Luna menghembuskan napasnya, "ya-yaudah kalau gitu. Ini kira-kira gue kapan diwawancaranya?"
"Gue harus mewawancarai lo tentang apa?" tanya Gavriel balik.
"Kok malah nanya balik?"
Gavriel lagi-lagi terdiam. Sepertinya perempuan ini terlalu polos karena masih terus meminta dan bertanya mengenai wawancara. Padahal biasanya jika ada orang lain berada di posisi Luna sekarang, mungkin akan meminta Gavriel tidak perlu melakukan tahapan rekruitment ini lantaran sudah saling mengenal.
Tapi Luna tidak. Perempuan ini antara polos atau memang profesional. Sehingga dia tidak sadar jika Gavriel akan langsung menerimanya sebagai karyawan disini.
Gavriel pun berdehem, "kasih tahu gue alasan lo melamar kerja."
"Selain ingin mencari pengalaman. Itu sudah terlalu mainstream. Gue mau jawaban lo yang jujur," lanjut Gavriel.
Kali ini Luna yang terdiam. Pilihannya ada di dalam dirinya sendiri. Haruskah Luna menjawab yang sejujurnya? Atau dia perlu berbohong?
"Kalau dilihat dari resume yang lo kirim, gue merasa latar belakang yang lo punya ini sangat bagus. Maksud gue, tanpa lo kerja pun gue rasa duit yang akan nyamperin lo," ujar Gavriel sambil kembali membaca resume milik Luna.
"Kenapa lo bisa berpikir kayak begitu?" tanya Luna.
Dia heran. Padahal antara dirinya dan Gavriel baru bertemu dan kenal tadi malam. Lalu, Luna pun tidak menceritakan latar belakangnya kepada Gavriel, begitu juga sebaliknya.
Gavriel membalikkan resume yang dibacanya dan menunjuk pada sebuah kalimat.
"Seattle Residence. Perumahan elit yang setahu gue, isinya bukan orang-orang sembarangan," jawab Gavriel sambil menunjuk pada alamat rumah yang Luna cantumkan.
Astaga. Luna benar-benar ceroboh.
"Can you answer this first question, Mrs. Aluna?" tanya Gavriel.
Luna menatap Gavriel. Baiklah, dia merasa sepertinya tidak perlu berbohong dan mengarang cerita kepada lelaki ini.
"Bokap gue," jawab Luna.
Gavriel diam, dia memperhatikan Luna dan membiarkan perempuan itu melanjutkan perkataannya.
"Gue rasa lo pasti paham tipikal cewek kayak gue gimana,"
"Gue manja dan cukup boros. Karena dua sikap itu yang gak bisa hilang, bokap ngasih gue pilihan. Sebenarnya sudah dari SMA sih. Waktu gue kelas dua belas, bokap ngancam gak mau membiayakan kuliah gue. Dia bilang, kalau gue mau kuliah, gue harus bisa bayar pakai uang gue sendiri,"
"Tapi ya lo tau lah, dengan sikap manja gue ini, disaat gue diancam seperti itu ya gue mengancam balik ke bokap. Gue bilang kalau gue akan memilih kuliah di Australia. Kebetulan disana ada oma dan opa gue. Gue bilang ke bokap, kalau gue akan meminta oma dan opa yang membiayai kuliah gue. Dengan catatan, gue gak akan pernah balik ke Indonesia lagi," lanjut Luna.
Gavriel masih diam sambil mendengarkan.
"Akhirnya setelah perdebatan itu, bokap memilih mengalah. Bokap bilang akan membiayai semua keperluan gue selama kuliah. Tapi bokap tetap ngasih gue peringatan. Dia bilang setelah gue wisuda, gue harus bisa dapat kerjaan. Dan kerjaan itu pun harus hasil pencarian gue sendiri. Bokap menutup semua akses perusahaan yang kerja sama dengan beliau. Maksudnya, ketika gue melamar ke perusahaan-perusahaan tersebut, bokap sudah minta koleganya untuk menolak gue,"
"Ya gue sempat stress lah. Lo bayangin saja, gue dikasih tuntutan tapi gue juga gak dikasih kesempatan buat dapatin hasilnya. Akhirnya gue sempat nganggur kurang lebih delapan bulan. Selama itu kerjaan gue ya cuma hangout sama teman-teman,"
Luna terkekeh sejenak. Dia sedang menertawakan dirinya sendiri, "karena kerjaan gue selama menganggur itu hanya menghabiskan duit, alhasil bokap kasih gue ancaman. Ancamannya kali ini benar-benar berhasil bikin gue kegertak dan bergerak."
"Ancaman apa?" tanya Gavriel.
"Dia bilang, kalau dalam waktu satu bulan gue masih belum bisa dapatin kerjaan juga, bokap bakalan bawa gue ke satu tempat untuk tinggal disana. Tempat yang gue sendiri gak tahu jelasnya dimana. Yang pasti, kata bokap, tempat itu jauh seratus delapan puluh derajat kondisinya sama kehidupan gue sekarang,"
"Selain itu, bokap juga mengancam malah mau ngejodohin gue sama salah satu warga disana. Apa gak makin gila gue dengarnya?"
"Maka dari itu, waktu semalam gue pergi ke klub. Sejujurnya hari ini tuh hari terakhir. Alias sudah genap satu bulan. Selama satu bulan ini gue sudah apply lamaran ke berbagai perusahaan. Dan hasilnya selalu gagal di tahap interview," tutup Luna.
Gavriel terdiam lagi.
"Jadi lo ceritakan ini supaya gue langsung menerima lo kerja disini?" tanya Gavriel.
Mendengar pertanyaan Gavriel membuat Luna langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat, "eh, engga kok! Kan tadi lo sendiri yang minta gue untuk jawab secara jujur."
"Yaudah itu gue sudah jawab dengan jujur plus detail," lanjut Luna.
"Kalau lo gak keterima di perusahaan ini, gimana, Lun?" tanya Gavriel lagi sambil menatap Luna.
Kali ini Luna yang dibuat diam. Tapi dengan cepat, dia bisa mengontrol dirinya. Perempuan itu memberikan senyumnya kepada Gavriel.
"Ya gapapa kok. Gue juga sudah duga dari pas di jalan. Pasti gue akan gagal lagi setelah tahap wawancara ini," jawab Luna.
Jawaban perempuan itu terdengar sangat pasrah di telinga Gavriel. Namun Luna berusaha menutupi kesedian dan kepasrahannya.
Lalu Gavriel pun beranjak dari tempatnya. Dia menghampiri Luna dan mengulurkan tangan kanannya. Luna menatapnya dengan bingung.
"Berdiri," perintah Gavriel.
Luna menurut. Kemudian dia pun menerima uluran tangan Gavriel.
"Besok hari pertama lo kerja. Selamat," ucap Gavriel sambil menggoyangkan tangannya dengan pelan.
Mendengar ucapan dari Gavriel membuat Luna mendadak kelimpungan. Apa ini nyata? Dia diterima kerja?
"Ma-maksudnya?" tanya Luna memastikan.
"Lo diterima di perusahaan ini," jawab Gavriel.
Gavriel dapat melihat kedua bola mata itu berbincar memancarkan rona bahagia yang tidak bisa dijelaskan. Sebuah senyuman pun hadir pada wajah cantik yang beroleskan makeup sederhana itu. Membuat Gavriel secara tidak sadar ikut tersenyum saat melihatnya.
Luna tidak bisa menggambarkan apa yang dia rasakan. Yang jelas, bahagia dan lega. Dia tidak peduli dengan seberapa besar gaji yang akan dia dapatkan nanti. Yang terpenting sekarang adalah dia bisa benar-benar melepas semua ancaman yang diberikan oleh ayahnya.
"Tapi dengan syarat," ujar Gavriel.
"Apa? Apa syaratnya?" tanya Luna yang masih belum bisa meredakan antusiasnya.
Gavriel melirik tangannya yang masih menggenggam tangan Luna.
Laki-laki itu pun menarik tangan Luna. Luna yang tidak memiliki persiapan itu terkejut. Tarikan tangan Gavriel sedikit kencang, membuat tubuhnya maju dan menabrak tubuh lelaki itu. Jika bukan karena Gavriel yang langsung menahan punggungnya dengan tangannya, mungkin sekarang Luna sudah tersungkur.
Tubuh mereka benar-benar bersentuhan. Wajah mereka pun memiliki jarak sangat dekat. Baik Gavriel maupun Luna, keduanya saling menatap. Gavriel pun mengeratkan tubuh Luna pada tubuhnya. Membuat Luna meremas pundak lelaki itu.
Kemudian Gavriel mendekatkan bibirnya pada telinga Luna dan berbisik,
"syaratnya sederhana. Lo cukup tidur sama gue ketika gue minta."
Dentuman suara musik itu terdengar begitu kencang. Ditambah lagi dengan lampu berwarna putih yang gemerlap mengitari orang-orang yang sedang menari secara asal sambil menikmati segelas minuman beralkohol. Namun berbeda dengan Luna. Sudah hampir setengah jam dia hanya duduk di sofa sendirian sambil sesekali meneguk minuman alkohol yang dipesannya. Perempuan itu juga sesekali memperhatikan semua orang yang tengah sibuk berjoget. Biasanya Luna akan bergabung bersama mereka. Tetapi tidak dengan malam ini.Pikirannya benar-benar terganggu ketika dia dituntut untuk cepat-cepat memiliki pekerjaan sendiri. Meski terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, nyatanya Luna tidak lagi bisa menjadi anak manja seperti dahulu. Ayahnya mengancam jika Luna tidak bisa memiliki pekerjaan, maka tidak segan-segan Luna akan dikirimkan ke tempat yang jauh dari kehidupannya sekarang.Ditambah lagi, waktunya hanya tersisa dua hari lagi. Rasanya kepalanya ingin pecah. Luna sudah mencoba melamar kemana saj
"Can I?" izin Gavriel sambil menatap dalam bola mata Luna. Luna masih terdiam dalam beberapa detik saat pertanyaan itu diberikan kepadanya. Sama halnya seperti Gavriel, Luna pun menatap bola mata indah itu dan seakan dibuat tenggelam di dalamnya. Dia masih memperhatikan wajah Gavriel dari atas sini. Laki-laki ini, tampan. Ya, kenyataannya memang benar seperti itu. Gavriel masih menunggu. Dia bisa saja langsung mengecup bibir perempuan ini sekarang juga, namun jika seperti itu, apa bedanya Gavriel dengan laki-laki yang tadi? Laki-laki yang tadi sempat hampir melakukan tindakan kurang pantas kepada perempuan ini. Ibu jarinya masih mengusap lembut bibir Luna. Sesekali Gavriel juga tidak menutupi dirinya yang melihat ke arah bibir mungil perempuan itu. Dan tanpa aba-aba, Luna pun menjawab pertanyaan Gavriel. Bukan dengan sebuah perkataan, melainkan dengan sebuah tindakan yang dia lakukan sendiri. Perempuan itu secara tiba-tiba langsung menempelkan bibir mungilnya pada bibir milik Ga
Jika bukan karena bunyi alarm yang berdering cukup kencang melalui ponselnya, mungkin sampai saat ini Luna masih terlelap dalam mimpi. Matanya terbuka perlahan seiringan dengan pancaran sinar matahari yang sudah berada di atas sana. Rasanya Luna masih ingin memejamkan matanya lagi terutama ketika dia merasa jika badannya cukup lelah. Rupanya perempuan itu masih belum sadar dan mengingat tentang apa yang baru saja terjadi tadi malam terhadap dirinya sendiri. Ditambah lagi hanya ada dirinya yang ada di atas kasur berukuran besar. Hingga akhirnya ketika Luna baru saja ingin kembali memejamkan matanya, dia tidak sengaja mendengar suara air yang diguyur dari dalam kamar mandi. Ya, kamar ini menyatu dengan kamar mandi. Awalnya Luna masih diam sampai akhirnya secara tiba-tiba ingatannya langsung tertuju pada malam tadi.Semua hal yang dia lewati seakan terekam dan kini diputar kembali dalam bayangannya. Dia teringat dengan seorang laki-laki yang menolongnya, lalu mereka masuk ke dalam kama
Gavriel memasukkan Luna ke dalam mobil mercy berwana hitam itu dengan perlahan. Lalu dia pun berbincang sebentar dengan sopir pribadinya."Tolong antar dia ya pak Adi," pinta Gavriel sambil menunjuk Luna dengan wajahnya.Pak Adi menganggukkan kepalanya, "baik, Mas. Tapi mas Gavriel bagaimana ke kantornya?""Saya bawa mobil. Pokoknya bapak tolong antar dia sampai rumahnya. Jangan lupa kabari saya ya kalau sudah sampai. Saya gak bisa lama-lama karena ada urusan penting di kantor," jelas Gavriel.Setelah sopir pribadinya itu menganggukkan kepalanya, Gavriel pun masuk sebentar ke dalam mobil."Nanti lo bisa arahin pak Adi jalan pulang ke rumah lo. Sorry gue gak bisa antar, karena ada urusan penting di kantor dan ini sudah cukup terlambat," ujar Gavriel.Luna mengerti. Dia menganggukkan kepalanya, "iya, gapapa kok. Makasih banyak ya."Gavriel membalas dengan senyuman tipis. Sangat tipis. Lalu laki-laki itu keluar dari mobil dan menutup pintu mobil tersebut. Setelah mobil yang dikendarai ol
Di tengah keterkejutannya, Gavriel memilih mengobrak-abrik beberapa berkas yang masih ada di meja kerjanya. Laki-laki itu terlihat seperti sedang mencari sesuatu. Hingga tiba-tiba, dia berhasil meraih sebuah map yang di dalamnya berisi beberapa resume milik calon pelamar.Dibacanya satu persatu resume tersebut sampai tibalah pada resume terakhir. Disana tertera sebuah nama Aluna Aurora. "Aluna Aurora? Nama lo Aluna?" tanya Gavriel sambil menatap Luna.Perempuan yang ditanya itu pun menganggukkan kepalanya. Raut wajahnya benar-benar sulit dipahami. Bingung dan sedikit panik menjadi satu. Pantas saja Gavriel tidak menyadari hal itu, lantaran Luna memperkenalkan namanya hanya sebatas "Luna". Ditambah lagi, pada resume milik perempuan itu, dia tidak mencantumkan foto pribadinya sama sekali. Tidak berapa lama, Gavriel pun menaruh kembali berkas yang dipegangnya di atas meja. Kemudian laki-laki itu kini duduk di kursinya. Sementara Luna, dia masih tetap berdiri di tempatnya."Kenapa gak
Gavriel memasukkan Luna ke dalam mobil mercy berwana hitam itu dengan perlahan. Lalu dia pun berbincang sebentar dengan sopir pribadinya."Tolong antar dia ya pak Adi," pinta Gavriel sambil menunjuk Luna dengan wajahnya.Pak Adi menganggukkan kepalanya, "baik, Mas. Tapi mas Gavriel bagaimana ke kantornya?""Saya bawa mobil. Pokoknya bapak tolong antar dia sampai rumahnya. Jangan lupa kabari saya ya kalau sudah sampai. Saya gak bisa lama-lama karena ada urusan penting di kantor," jelas Gavriel.Setelah sopir pribadinya itu menganggukkan kepalanya, Gavriel pun masuk sebentar ke dalam mobil."Nanti lo bisa arahin pak Adi jalan pulang ke rumah lo. Sorry gue gak bisa antar, karena ada urusan penting di kantor dan ini sudah cukup terlambat," ujar Gavriel.Luna mengerti. Dia menganggukkan kepalanya, "iya, gapapa kok. Makasih banyak ya."Gavriel membalas dengan senyuman tipis. Sangat tipis. Lalu laki-laki itu keluar dari mobil dan menutup pintu mobil tersebut. Setelah mobil yang dikendarai ol
Jika bukan karena bunyi alarm yang berdering cukup kencang melalui ponselnya, mungkin sampai saat ini Luna masih terlelap dalam mimpi. Matanya terbuka perlahan seiringan dengan pancaran sinar matahari yang sudah berada di atas sana. Rasanya Luna masih ingin memejamkan matanya lagi terutama ketika dia merasa jika badannya cukup lelah. Rupanya perempuan itu masih belum sadar dan mengingat tentang apa yang baru saja terjadi tadi malam terhadap dirinya sendiri. Ditambah lagi hanya ada dirinya yang ada di atas kasur berukuran besar. Hingga akhirnya ketika Luna baru saja ingin kembali memejamkan matanya, dia tidak sengaja mendengar suara air yang diguyur dari dalam kamar mandi. Ya, kamar ini menyatu dengan kamar mandi. Awalnya Luna masih diam sampai akhirnya secara tiba-tiba ingatannya langsung tertuju pada malam tadi.Semua hal yang dia lewati seakan terekam dan kini diputar kembali dalam bayangannya. Dia teringat dengan seorang laki-laki yang menolongnya, lalu mereka masuk ke dalam kama
"Can I?" izin Gavriel sambil menatap dalam bola mata Luna. Luna masih terdiam dalam beberapa detik saat pertanyaan itu diberikan kepadanya. Sama halnya seperti Gavriel, Luna pun menatap bola mata indah itu dan seakan dibuat tenggelam di dalamnya. Dia masih memperhatikan wajah Gavriel dari atas sini. Laki-laki ini, tampan. Ya, kenyataannya memang benar seperti itu. Gavriel masih menunggu. Dia bisa saja langsung mengecup bibir perempuan ini sekarang juga, namun jika seperti itu, apa bedanya Gavriel dengan laki-laki yang tadi? Laki-laki yang tadi sempat hampir melakukan tindakan kurang pantas kepada perempuan ini. Ibu jarinya masih mengusap lembut bibir Luna. Sesekali Gavriel juga tidak menutupi dirinya yang melihat ke arah bibir mungil perempuan itu. Dan tanpa aba-aba, Luna pun menjawab pertanyaan Gavriel. Bukan dengan sebuah perkataan, melainkan dengan sebuah tindakan yang dia lakukan sendiri. Perempuan itu secara tiba-tiba langsung menempelkan bibir mungilnya pada bibir milik Ga
Dentuman suara musik itu terdengar begitu kencang. Ditambah lagi dengan lampu berwarna putih yang gemerlap mengitari orang-orang yang sedang menari secara asal sambil menikmati segelas minuman beralkohol. Namun berbeda dengan Luna. Sudah hampir setengah jam dia hanya duduk di sofa sendirian sambil sesekali meneguk minuman alkohol yang dipesannya. Perempuan itu juga sesekali memperhatikan semua orang yang tengah sibuk berjoget. Biasanya Luna akan bergabung bersama mereka. Tetapi tidak dengan malam ini.Pikirannya benar-benar terganggu ketika dia dituntut untuk cepat-cepat memiliki pekerjaan sendiri. Meski terlahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, nyatanya Luna tidak lagi bisa menjadi anak manja seperti dahulu. Ayahnya mengancam jika Luna tidak bisa memiliki pekerjaan, maka tidak segan-segan Luna akan dikirimkan ke tempat yang jauh dari kehidupannya sekarang.Ditambah lagi, waktunya hanya tersisa dua hari lagi. Rasanya kepalanya ingin pecah. Luna sudah mencoba melamar kemana saj