Part 5
Airi dibawa ke rumah sakit terdekat. Lelaki yang menabraknya adalah Putra Mahendra. Hati menatap iba pada gadis yang berbaring lemah. Putra menghubungi papinya yang berada di Singapura.Putra menceritakan peristiwa kecelakaan yang membuat seorang wanita terluka parah. Rio--papi Putra akan segera membantu anaknya dalam kasus kecelakaan tersebut. Rio sangat mencemaskan anak sulungnya yang berada jauh darinya.
Seorang perawat keluar dari ruang IGD, Putra menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya, Sus?""Maaf, Bapak siapanya wanita itu?"
"Saya pelaku penabrakan," ucap Putra jujur.
"Maaf Pak, bisa Bapak mencari keluarganya untuk segera datang. Wanita itu butuh darah yang banyak," ungkap perawat berbaju putih tersebut.
Putra mengambil tas milik Airi di dalam mobilnya. Dalam gawai Airi kontak yang tertera tidak terlalu banyak hanya ada empat kontak saja.
Putra menghubungi seseorang dengan nama kontak Suamiku surgaku berkali-kali namun nomor tersebut tak dapat di hubungi. Ia tak berputus asa terus menghubungi suami Airi.
Tak dapat jawaban mencoba menghubungi semua nomor yang ada di gawai Airi, tak ada satu orang pun mengangkat panggilan tersebut. Lelaki itu menemukan kartu nama bertulisan Panti Asuhan Khadizah. Lelaki itu menghubungi panti asuha tersebut.
Putra mengucapkan salam dan memberitahukan kabar Airi. Wanita yang berbicara di seberang telepon menjerit histeris. Mereka berkata akan segera datang.
"Akhirnya ada juga yang bisa dihubungi."
Seorang lelaki paruh baya berjalan dengan cepat, ia adalah papa mertua Airi--Pak Joko. Lelaki itu mendapat kabar kecelakaan menantunya dari ibu panti dengan mengunakan nomor yang lain. Saat itu Pak Joko sedang berada di kantor.
Pak Joko menanda tangani semua pengobatan dan operasi yang akan dilakukan Airi.
"Maaf Pak, kami kehabisan darah dengan golongan A+ bisa Bapak hubungi kerabat keluarganya," ucap perawat tersebut.
"Maaf Sus, pasien seorang anak yatim piatu," ungkap Pak Joko.
"Sus, golongan darah saya A+," ucap Putra yang baru tiba dari Musholla.
"Pak Putra, Anda ...." potongnya. Putra tersenyum kepada lelaki itu.
Putra mendonorkan darahnya sebanyak dua kantung. Pak Joko menemani Ceo Perusahaan tempatnya bekerja.
"Terima kasih sudah mendonorkan darah untuk menantu saya," ungkap Joko dengan hati yang tak enak. Siapa yang tak kenal dengan Putra Mahendra pemilik sebagian perusahaan di Jakarta.
Berbagai perusahaan berdiri dengan berbagai bidang. Lelaki dengan perawakan gagah, tampan, dan kaya raya menjadi incaran para wanita. Namun, tak ada nama wanita di hatinya.
Saat ini lelaki itu berumur dua puluh delapan tahun. Tak berpikir untuk mendekati wanita atau berpacaran.
Ririn menghampiri suaminya yang sedang menunggu di ruang tunggu operasi.
"Papa, bagaimana keadaan gadis miskin itu? Apa sudah mati?" tanya Istrinya tanpa mempedulikan orang lain."Sst, Mama. Datang-datang berkata seperti itu. Airi itu menantu kita." bela Pak Joko. Airi masih memiliki orang yang sayang kepadanya yaitu Pak Joko. Papa mertuanya sangat menyayangi Ai seperti putrinya.
"Biarkan saja dia mati!" sungutnya.
Putra mendengarkan percakapan mereka. Lelaki itu merasa bertanggung jawab. Wajahnya menunduk, tapi pendengarannya tajam.
"Mama lebih baik pulang saja, beritahu Faisal."
"Faisal tidak dapat dihubungi. Airi saja yang bod*h menyeberang jalan tak lihat-lihat. Rasakan akibatnya."
"Pa, bagaimana biaya rumah sakit Airi. Mama gak mau nombokin, loh!""Mama, jangan keras-keras bicaranya. Malu tahu!" sungutnya kesal.
"Ih, Papa ini. Ngapain malu emangnya maling." Ririn mengeluarkan kipas tangannya dan mengibas wajahnya.
"Untuk pengobatan rumah sakit. Biar saya saja yang urus. Karena saya yang telah menabrak menantu Anda," ucap Putra. Bagaikan bendera merah berkibar di langit biru, Ririn tak mau rugi.
"Bapak benar sekali. Anda harus bertanggung jawab sepenuhnya. Kita ke sini pakai ongkos, yang jaga juga butuh makan. Bisa sekalian di tanggungkan." Ririn tersenyum penuh harap.
"Baiklah, saya akan menganti rugi semuanya dan menanggung pengeluaran kalian selama di rumah sakit." Putra tak masalah dengan uang yang terpenting adalah tanggung jawab.
Putra mengeluarkan uang di dalam dompetnya. Memberikan kepada Ririn tanpa menghitungnya terlebih dahulu.
"Tidak usah, Pak. Maaf atas kelakuan istri saya."
"Papa, apa-apaan sih. Rezeki nomplok ini," bisik Ririn menyiku suaminya.
Pak Joko hanya menahan emosinya karena ia adalah tipe suami takut istri.
Dilain tempat dan waktu.
Faisal sedang menyendiri di pinggir pantai. Langit berubah gelap, matahari sudah terbenam, tatapan lelaki itu kosong. Banyak kenangan manis di pantai ini. Tempat ini tempat terindah bagi Faisal dan Airi.
Faisal menatap pergelangan tangannya jam menunjukkan pukul tujuh malam. Ia bangkit dari duduknya. Seharian hanya duduk di pinggir pantai.
Faisal masuk ke rumah setelah mengucapkan salam. Biasanya, Airi akan menyambutnya dan menyungguhkan teh hangat. Dengan langkah gontai menuju kamar atas. Menatap pintu kamar istri pertamanya. Membuka handel pintu tersebut.
"Abang, sudah pulang." Bella membuka pintu kamarnya dan manarik tubuh Faisal ke dalam kamarnya. Faisal hanya menghela napas. Bagaikan kerbau dicocok hidungnya. Faisal melakukan apa saja yang Bella inginkan.
Bella merayu lelaki itu dengan berbagai cara. Ia mahir melakukan hal tersebut. Semua tubuh Faisal dijangkaunya. Tanda merah memenuhi dada bidang Faisal.
Tak berapa lama desahan mengema di dalam kamar. Hawa panas menyelimuti mereka. Tubuh mereka menyatu lembur.
Faisal terlelap setelah pertempurannya dengan Bella. Tanpa memikirkan Airi yang sedang berjuang melawan maut. Ketika bersama Bella nama Airi akan hilang dalam sekejap.
Azan Subuh berkumandang, biasanya suara lantunan ayat suci Al-Quraan terdengar merdu. Faisal memimpikan Airi yang menundukkan kepala dan terisak. Faisal hanya menatap dari kejauhan. Hanya mimpi.
Faisal membuka matanya, seperti merasakan sesuatu yang hilang." Biasanya Airi sedang mengaji. Apa dia sedang datang bulan."
Faisal bangkit dari tidurnya membersihkan diri dan menjalankan kewajibannya. Lelaki itu memilih berjamaah di Musholla dekat dengan rumahnya.
Faisal menelusuri ke sepenjuru rumah, ia tak menemukan sosok wanita yang biasanya sibuk di dapur.
"Ke mana Airi? Tidak biasanya jam segini belum bangun." Faisal melangkahkan kaki ke kamar Airi--istri pertamanya.
"Ai ...," panggilnya. "Di mana dia? Apa dia belum pulang?""Ai! Airi!"Suara Faisal membuat Bella terbangun dan menghampiri suaminya.
"Abang, cari siapa?" ucap Bella basa-basi. "Di mana Airi?" tanya Faisal."Paling ke panti asuhan," jawab Bella berbohong. Wanita itu tahu kalau Airi mengalami kecelakaan.
"Tidak mungkin, dia pasti pamit sama Abang."
"Kemarin pagi sudah pamit, ayo Bang, kita siap-siap hari ini Abang janji mau ajak aku jalan-jalan ke Bandung."
"Minggu depan saja, Abang cape," ungkapnya.
"Alasannya begitu terus. Kapan perginya?" sindir Bella.
"Baiklah, kita pergi hari ini. Kamu siap-siap mumpung masih pagi."
Faisal mencari gawainya, ia tak menemukannya di atas nakas."Semalam ada di sini ke mana, ya?"
Di dalam kamar mandi, Bella menghapus semua 30 panggilan tak terjawab dan beberapa pesan yang masuk. Ia tak ingin diganggu. Selama menikah, Faisal tak pernah mengajaknya jalan-jalan karena statusnya sebagai istri kedua.
"Aku tak mau berbagi, dasar jal**g! Biarkan saja ia di rumah sakit. Sudah waktunya menunjukkan pada dunia bahwa aku istri bang Faisal juga." Ia menon aktifkan gawai Faisal.
Mereka telah siap berangkat untuk rekreasi. Bella berdandan cantik dan sexy. Tubuhnya selalu menempel pada Faisal.
Mereka terlihat bahagia dan Airi akan merana.
Part 6 Faisal dan Bella telah sampai di tujuan. Mereka bergandengan tangan dengan mesra. Selama menikah, Bella tak pernah diajak jalan-jalan oleh Faisal. "Bang, abis ini kita keliling penginapan, ya," ajak Bella. Ia ingin melihat pemandangan hotel mewah yang dikelilingi pantai. "Baiklah, kita istirahat sebentar dulu. Abang belum memberitahu Airi kalau kita pergi menginap," "Paling mama sudah memberi tahu. Masa iya, Airi enggak paham," sungutnya kesal. "Abang takut, dia nyariin. Oh iya, kamu lihat handphone Abang, gak?" Wajah Bella berubah pucat, senyumnya kaku." Mana, ya. Aku gak tahu. Abang meletakkannya dimana?" "Entahlah, Abang lupa." Bella tak mau, Faisal menghubungi Airi. Acaranya akan gagal kalau Faisal mengetahui keadaan Airi. Di lain tempat Airi sedang diambang kematian. Hidup atau mati. Airi membuka mata perlahan, setelah operasi ia tak sadarkan diri selama satu h
Bab 7 Faisal berlari menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang anggrek lantai tiga. Melihat seorang lelaki berkemeja kotak-kotak biru duduk depan ruang tersebut memainkan gawainya. Lelaki itu menoleh ke arah Faisal, dahinya mengernyit heran, ia adalah Putra. Tanpa mengucapkan salam Faisal masuk ke ruang Airi. Tubuh yang terbaring lemah, perban dibagian kepala, dan jarum infus menempel di pergelangan tangan. Airi membuka mata mendengar namanya dipanggil. Menengok ke arah suara yang sangat ia rindukan. Hatinya sakit dan kecewa, mengingat foto yang telah dikirim oleh Bella. Tatapan dingin terlihat di wajah Airi. Tak ada senyum dan sapaan yang lembut di bibirnya. Faisal melangkahkan kakinya selebar mungkin dan memeluk tubuh istri pertamanya yang terbaring lemah, tak ada balasan dari Airi. Faisal merasa bersalah, Airi membutuhkan dirinya, tetapi ia malah bersenang-senang dengan Bella. "Mau apa Abang kemari?" ucap Airi datar. Suaranya menusuk ke dalam hati
Part 8Harum parfum mahal tercium di ruangan TV. Ririn yang sedang menonton drama korea menoleh ke belakang."Bel, kamu mau ke mana? Mama kira kamu tidur," ucap mama berbasa basi.Bella berjalan bak seorang ratu. Baju dress berwarna biru muda tanpa lengan menghiasi tubuhnya. Tangannya tak lupa memakai jam tangan bermerk dan cincin berlian di jari manisnya.Ririn terperangah dengan penampilan Bella yang memukau. Penampilannya seperti anak konglomerat padahal Faisal tak sekaya itu."Aku suntuk di rumah mau shooping aja," ungkapnya datar namun, terlihat sombong dan angkuh. Bella memainkan jari jemarinya memamerkan kuku panjangnya yang berwarna biru muda."Shooping ke mana?" tanya Ririn antusias. Ia berharap sesuatu kepada mantu kesayangannya. Shooping adalah hobinya semasa dulu."Mall Taman Anggrek, mau main jauh sekalian," ujarnya. Bella sedikit menekan kalimat tersebut.&nb
Part 9"Ceraikan aku, Bang!" ucap Airi dengan tenang. Suaranya tak bergetar sedikit pun."Tidak! Abang tidak bisa," tolak Faisal. Wajahnya terkejut mendengar ucapan istrinya. Airi memakai hijab putih menatap tajam Faisal."Kamu tak ingin menceraikanku, makapilih salah satu dari kami. Itu jalan pilihannya. Aku tak mau dimadu dan tak mengizinkannya." Ucapan Airi membuat kepala Putra menjadi pening."Maaf, Abang tak bisa. Aku akan bersikap adil. Abang janji. Percayalah!" Faisal memohon kepada wanita yang telah terluka hatinya."Tidak! Kalau Abang tak memilih, aku yang akan mundur." Airi terlihat tegar. Raut wajahnya tak bersedih. Ia sudah yakin dengan keputusannya."Tapi, Abang tak bisa meninggalkan salah satunya." Ucapan Faisal membuat Airi geram."Serakah kamu, Bang!" maki Airi. Wanita mana yang mau dimadu tanpa izin."Abang tak bisa meninggalkan kalian. Aba
Part 10Dengan elegan Airi turun dari mobil barunya. Faisal terpana melihat sikap istri pertama. Ia merasa jatuh cinta pada gadis itu. Airi sekarang berbeda dengan yang dulu.Airi mulai merawat wajah dan tubuhnya. Ia ingin menikmati hidup sebelum semuanya berakhir. Faisal semakin terbuai oleh paras wajah cantik Airi. Ia tidak lemah dan cengeng seperti dulu."Mulai hari ini, jangan panggil aku Airi kalau aku tak bisa melakukan semuanya," ucapnya kepada mereka yang berdiri di depan.Airi mengandeng lengan Faisal dengan mesra tatapan mereka saling beradu. Ririn dan Bella hanya memandangnya sinis."Dasar udik, sombong!" maki Bella setelah mereka sudah berada dalam rumah."Awas kamu!" Bella menendang mobil baru milik Airi."Aw, sakit Ma!" ringisnya. Memegang jari kakinya yang masih mengenakan sepatu high heel."Kamu benda mati dilawan," kelakar mertuanya. Bella melirik ke arah
Part 11Pak Joko merasa malu melihat sikap Ririn yang tak berakhlak. Perkataan dan sikapnya harus di ruqiah. Tak punya sisi kebaikkan yang ada hanya memaki dan menghina."Dasar kamu pelakor rumah tangga orang. Mertua kamu garap juga," teriak Ririn tanpa peduli sekitar cafe."Cukup! Jaga mulutmu! Kamu jangan membuat fitnah Ma. Airi bukan pelakor. Kami hanya berbicara tidak melakukan zina."Ririn kesal dan cemburu ia tak terima dengan kejadian ini. Segera pergi angkat kaki dan mengadukan semuanya pada anaknya."Lihat saja kamu akan menyesal!" ancam Ririn."Maaf Pak Putra, sikap istri saya yang kurang ajar," permohonan maaf pak Joko."Tidak apa-apa Pak Joko, saya maklumin kok.""Airi, apa kamu baik-baik saja?""Iya, terima kasih Pak." Airi hanya menundukkan kepala.Putra berpamitan k
Part 12GoodnovelAiri dan Putra saling bersenda gurau. Mereka berkeliling komplek perumahan. Airi berjalan kaki mengunakan alas sandal jepit merek burung terbang. Putra meminta Airi untuk menemaninya jogging."Ayo lari! Masa jalan kaki. Apa berat badan kamu bertambah sepuluh kilo?" ejek Putra. Ia menertawakan Airi yang bernapas naik turun. Sudah lama Airi tak olah raga. Badannya terasa berat."Pak, saya pake sendal susah untuk lari dan gamis ini bikin ribet. Mana ada jogging pakai baju begini." Airi mengerucutkan bibirnya. Putra memaksanya untuk ikut."Ada kok. Kamu yang pakai." Putra tertawa dan berlari meninggalkan Airi. Wanita itu hendak mengejarnya.Airi tak sanggup lagi untuk berlari. Ia duduk di atas batu pinggir jalan yang biasa digunakan untuk pejalan kaki. Napasnya terputus-putus. Keringat membasahi tubuh.Mengibas-ngibaskan tangan menghasilkan angin yang sejuk. T
Part 13GoodnovelBanyak para tetangga, pejabat, artis, dan pengusaha-pengusaha yang bekerja sama dengan perusahaan milik pak Rio. Datang untuk mengantar beliau ke tempat pembaringan terakhir. Hampir setengah rumah beliau penuh.Para pelayan sibuk melakukan acara pemakaman. Airi membantu mereka menyiapkan perlengkapan dan melayani para penyelawat."Non, Airi. Duduk saja di sana. Biar pelayan yang melakukannya.""Tidak, apa-apa Bu. Saya bisa," ungkap Airi. Ia mengambil nampan yang berisi air mineral."Terima kasih sudah bantuin kita," ungkapnya. Ia meninggalkan Airi dan melanjutkan pekerjaannya.Proses pemakamam telah tiba. Pak Rio sudah dimandikan, dikafani dan di salatkan. Lokasi pemakaman tak jauh dari kediaman mereka.Putra memeluk bingkai foto dengan berjalan lunglai. Matanya terlihat sembab. Airi hanya menatap di
Malam Tanpa Noda Perut Lily semakin membesar. Mereka sudah melakukan syukuran tujuh bulan dan kini menunggu kehadiran sang buah hati. Fian selalu Siaga. Begitu juga Airi dan Putra. Tak ingin cucu pertamanya mengalami hal buruk. Lily dan Fian kembali ke rumah Mahendra. "Aduh!" teriak Lily melepaskan ponsel hingga membentur lantai keramik putih. Fian menghampiri istrinya dan menutup panggilan begitu saja. "Drian, kita harus pulang!" pinta Prily. "Tidak bisa. Kita baru sehari di sini?" "Kamu tak dengar kalau Lily teriak kesakitan." "Belum waktunya ia lahiran masih satu bulan lagi." "Tapi, aku khawatir sekali!" "Kita hubungi adik kembar. Mereka pasti tahu." Jemari kekar Drian menekan kontak Afisah dan menunggu panggilan terangkat. Dua kali berdering baru diangkat oleh gadis manis yang beranjak dewasa.
Malam Tanpa NodaDua orang sejoli berada di sebuah hotel bintang lima. Sang lelaki berada di atas tubuh wanita. Meliuk-liuk bagaikan ular.Suara mereka bagaikan nyanyian kerinduan. Rindu setelah semua terjadi. Rindu setelah kehampaan menyelimuti. Pikiran negatif selalu menghantui. Kecemburuan membuat Drian tak berpikir jernih.Drian melepaskan diri dan terbaring di samping wanita tanpa sehelai kain. Wanita berwajah boneka bibir manis istri Drian.Prily selamat dari aksi penembakan itu. Walaupun, dirinya koma untuk beberapa hari.Seluruh keluarga Mahendra berdoa kepada sang pencipta agar Prily diselamatkan dari maut.Airi melakukan amal secara besar-besaran meminta doa kepada anak-anak yatim piatu.Prily meletakkan kepala di dada bidang Drian. Memainkan jemari lentik memutar-mutar. Membentuk nama dirinya dan juga lelaki yang dicintainya.“Aku lapar,” rengek Prily.&n
Malam Tanpa NodaTubuh Prily dibawa dengan mobil ambulance. Selama perjalanan tangan Drian tak lepas dari wanita berwajah boneka.Pengorbanan untuk orang tuanya sangat besar. Rela mengorbankan nyawa demi belahan jiwanya."Prily, bertahanlah!"Air mata menetes di pipi lelaki itu. Para medis menawarkan diri untuk mengobati luka Drian."Tidak usah! Selamatkan saja istri saya."Tubuh Prily terkujur kaku bagian perut mengalir noda merah. Tangan petugas menekan bagian itu agar tak kehilangan banyak darah.Semua setok darah sudah dipersiapkan untuk Prily sesuai golongan darahnya. Golongan darah Prily mudah dicari, memudahkan para medis melakukan operasi.--Drian menunggu Prily di ruang tunggu operasi. Gelisah dan takut kehilangan wanita itu. Tak peduli Prily telah mengkhiantinya. Bermain api dengan Johan dan berakhir di tempat tidur.Melihat tubuh
Malam Tanpa NodaSemua serangan Drian tak dapat menyentuh kulit Johan sedikitpun. "Kamu tak akan bisa melawanku." Johan menyeringai. Setiap serangan selalu ditangkis.Kaki kekar Drian menendang ke arah perut Johan hingga lelaki perusak itu terjerembab di lantai, tawa terdengar di bibir Johan.Johan segera bangkit dan memiringkan kepala, Drian hendak menghampiri Johan namun, lawannya mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya.Senyum menyeringai menghampiri Airi. Wajah tampan milik Johan menatap ibu dari anak-anak Mahendra. Menarik wanita itu kasar, Prily hendak menghalanginya namun kalah cepat."Drian!" panggil Airi.Johan menodongkan senjata dengan pelatuk menempel di jarinya. Tersenyum menyeringai, sekali tekan sejata api itu akan meledak dan masuk ke dalam kepala Airi dan napas akan terhenti dalam hitungan detik."Kamu mendekat aku pecahkan kepalanya. Mundur!" Membulatkan
"Kalau begitu. Jauhkan dia dan jangan ganggu wanita itu. Kamu tak ingat berapa umurnya?""Tentu Sayang. Sekarang kita selesaikan semua dan setelah itu kita bersenang-senang."Johan kembali menatap penerus Mahendra."Bawa semuanya ke mari dan habiskan mereka sekarang juga!"Teriakkan Johan menyadarkan Airi. Wanita itu membuka mata perlahan. Makian Drian membuat dirinya sadar sesuatu telah terjadi."Prily ...."Johan menoleh ke arah Airi. "Selamat datang Bunda. Bagaimana tidurmu?"Airi ingin bergerak namun, tubuhnya terikat."Lepaskan aku.""Lepas? Tidak!" Johan menyeringai."Prily, tolong ...."Wajah Prily berubah pucat. Ia tak tega melihat wanita yang telah mencurahkan kasih sayang untuknya.Johan melirik Drian sinis. "Lepaskan wanita ini!"Tali yang mengikat Airi terlepas satu persatu. Airi menyent
Malam Tanpa NodaJohan sangat bergairah melihat hal ini. "Sangat cantik dan memesona," puji Johan. Drian berteriak memaki Lelaki itu dengan segala macam nama binatang. "Jangan sentuh dia!" teriak Drian. Rahangnya mengeras dan wajah memerah. Johan tak peduli tetap berjalan menuju wanita itu. Wanita cantik bagaikan bidadari. "Hentikan Johan! Kamu menyentuhnya akan aku bunuh!" ancam Drian. Wajahnya memerah urat leher terlihat membesar. Napasnya terputus-putus. Satu pukulan menimpa punggung Drian. Lelaki itu tetap bertahan. Johan menghentikan langkahnya, berbalik arah dan menghampiri Drian. Tersenyum menyeringai. Tubuhnya menjongkong menarik rambut belakang hingga rontok."Kamu ancam aku. Padahal, umurmu tak lama lagi. Ha ... ha ...." Menjambak rambut Drian lebih keras."Cuih!"Johan mengusap wajahnya dengan tangan kiri.Anak buah Johan menendang tubuh Drian berkali-k
Malam Tanpa NodaKedua tangan Fian terikat ke belakang, Fian tak sadarkan diri sejak beberapa jam lalu. Johan menatap lelaki gagah dan tampan dihadapannya."Bang ... bangun ...." Drian menatap kakak kandungnya yang belum sadarkan diri sejak beberapa jam. Memastikan keadaan lelaki itu baik-baik saja.Putra juga berada bersama mereka. Tiga lelaki terikat dengan lutut bertekuk di hadapan Johan.Putra juga diculik ketika mengantar kedua anak kembarnya ke sekolah. Fian tak menyadari kalau sang ayah telah diculik oleh mereka."Jangan sakiti anakku, Johan!" ancam Putra menatap tajam lelaki yang telah dianggap keponakan olehnya."Tenang saja Om. Rasa sakitnya hanya sekilas." Tawa mengema di pabrik tua itu."Mengapa kamu lakukan ini, Johan?""Om tak ingat?" Menaikkan satu alis ke atas. "Papaku meninggal karena Om." Kebencian terlihat jelas di mata Johan."Itu buk
Malam Tanpa NodaHari penembusan Lily telah tiba, Fian di temani Faisal menuju pabrik kosong pada malam hari."Om, yakin ini tempatnya?""Tentu saja.""Sepi sekali!""Pabrik ini sudah tak digunakan bertahun-tahun tentu saja tak berpenghuni."Fian mendesah panjang. Kedua tangannya membawa dua tas besar hitam kaluar dari mobil."Om, tunggu di sini," ucap Faisal."Baik, aku akan mencari mereka." Fian berjalan ke arah pintu masuk pabrik.Bulu leher Fian bergidik ngeri. Pasalnya, tempat yang sudah lama tak berpenghuni banyak sekali makhluk halus. Fian membuang pikiran negatif. Tujuannya saat ini adalah menjemput Lily."Tega sekali mereka kalau Lily berada di tempat ini."Fian berjalan hingga berada di pintu masuk pabrik. Pintu itu telah rusak dan tak terbentuk lagi.Suara dering telepon Fian memecahkan pikirannya saat ini. Fia
Malam Tanpa Noda"Sakit!" rintih Lily menyentuh perutnya."Kita ke bidan kemarin. Kamu tahan dulu." Prily menyalakan mesin mobil dan meninggalkan kediaman Johan."Aku gak mau, Prily. Aku ingin Fian." Lily meringis berkali-kali. Mengapa nasibnya seperti ini.Kehamilan pertama adalah hal yang ditunggu-tunggu. Seharusnya, Lily dimanja dan disayang Fian. Namun, ia jadi tahanan."Please! Kamu bersabar dulu. Kita gak mungkin melawan Johan. Keselamatan bayi dan dirimu bisa bahaya.""Aku ingin Fian. Aku ingin pulang," rengeknya bagaikan anak kecil."Sudah, jangan pikirkan hal itu. Lebih baik kita periksa kandunganmu. Bersabarlah!""Aku kangen suamiku. Apa aku salah jika merindukannya. Prily, tolong bebaskan aku!""Tidak bisa. Ini bisa berbahaya. Johan itu nekad."Prily membawa Lily ke bidan. Wajah istri mantan kekasihnya itu pucat dan merintih berkali-kal