Ada yg punya suami seperti Hayden? Sungguh beruntung lho ...
Dua minggu berlalu dengan cepat dan super sibuk.Darline mempersiapkan pengunduran dirinya sementara Bu Alma mempersiapkan sekretaris pengganti Darline.Hanya Hayden yang masih seperti biasanya. Dia menyerahkan semuanya pada pihak WO dan Darline yang mengurusnya.Ketika semua tampak sudah berjalan sebagaimana mestinya, pria itu meminta Darline mengundurkan diri lebih cepat.“Kenapa, Mas? Aku sebenarnya masih sangat ingin membantumu. Lagipula, sekretaris baru perlu diajar terlebih dahulu.” Darline berkilah, tapi sesungguhnya itu hanyalah alasannya belaka.Semakin mendekati hari pengunduran dirinya, rasa hatinya semakin berat, bahkan ada rasa tak rela menggelanyut di sana.Tapi Hayden tidak membiarkannya. “Kamu sudah banyak membantuku, Sayang. Lagipula, kita sudah membicarakan ini. Dengan kamu terus menjadi sekretarisku, statusmu terhadapku jadi saling bentrok. Aku tidak menginginkan itu.Yang aku inginkan adalah bisa membawamu berjalan di sampingmu, memperkenalkanmu kepada semua orang
“Kenapa denganmu? Are you okay?”Suara Hayden menyapanya di telinga. Tanpa Darline sadari pria itu sudah berada di sampingnya dan memeluk mesra pinggangnya.Ingin menjawab baik, lidah Darline kelu.Hatinya kembali perih apalagi ketika dia membayangkan wanita seperti Leana yang menemani Hayden nantinya.Tidak mungkin dia rela!“Hei, kenapa denganmu? Kenapa juga hanya ada kopiku? Mana jeruk hangatmu?”Dengan terpaksa Darline harus menjawab. “Aku sedang tidak mood mau minum. Mas minum sendiri saja.”Suaranya kering dan kaku. Dia juga langsung membalik tubuh sambil memeluk nampannya untuk kembali ke ruangannya.Tapi tangan Hayden menahan.“Darline, kenapa denganmu? Ada masalah?”“Nggak! Nggak ada apa-apa.”Lagi-lagi, suara Darline terdengar ketus.“Kalau nggak ada apa-apa, kenapa tidak mau minum bersama?”Darline terpaksa berbalik dan menjawabnya, “Bukan nggak mau minum bersama. Tapi aku sedang nggak ingin minum. Sudah ya, Mas. Aku masih ada kerjaan.”Darline cepat-cepat kembali ke mejany
Sepanjang perjalanan pulang, mereka melewatinya dalam diam.Darline mogok bicara. Ini pertama kalinya dia merajuk. Seperti anak kecil.Darline menyadarinya, tapi dia pun sedang tidak ingin menjadi cuek di luar tapi ternyata sebal di dalam.Darline ingin melihat seberapa peka Hayden pada dirinya.Tapi yang terjadi, pria itu tampak tidak mengerti. Hayden menyetir tanpa memedulikan dirinya yang sedang diam. Padahal biasanya mereka selalu berbincang hangat.“Mau makan apa?” tanya Hayden pada akhirnya.Darline sempat mengira mereka akan turun di apartemen tanpa bicara sepatah katapun. Jika itu yang terjadi, dia akan membanting pintu di depan muka Hayden.Tapi ternyata, pria itu menanyakannya juga.Meski lapar, Darline cukup gengsi. Dia sedang merajuk, masa mengiyakan ajakan makannya begitu saja.Karena itulah, akhirnya jawaban andalan kaum wanita yang keluar. “Terserah.”“Hm, kalau begitu bagaimana kalau ... makanan Jepang?” tanya Hayden yang langsung mendapat pelototan dari Darline.“Oh,
“Kalau bukan wanita yang dibawa Bu Alma itu, lalu siapa?”Darline merasa teramat malu saat itu. Dia seperti tertangkap basah akan pikiran buruknya.Tapi hatinya masih enggan mengakui. Lagipula, sepertinya Hayden hanya menebak-nebak saja alasan dari rajukannya ini. Karena itulah, dia masih berkilah.“Apa maksud Mas bra merah? Apa juga maksudmu sekretaris baru bukan yang Bu Alma bawa tadi? memangnya aku ada mengatakan sesuatu tentang bra merah dan sekretaris baru itu?”“Tadi kan kamu menyuruhku pulang agar istirahat, mumpung sekretaris baru belum aktif bekerja. Siapa tahu saat sekretaris baru sudah bekerja malah-”“Ya, tapi kan aku tidak mengait-ngaitkan dengan bra merah. Apa coba maksudnya singgung bra merah. Terpesona ya dengan bra merah milik wanita tadi? Atau dengan apa yang dibaliknya?”Pluk!Tangan Hayden tiba-tiba menepuk pucuk kepala Darline. Lalu dia memelototi Darline.“Pikiranmu yang kotor. Padahal kalau tidak mendengarmu sebut-sebut bra merah, aku tidak sadar ada bra merah y
Setelah semalam Darline membuat Hayden keluar apartemen malam-malam berkendara hanya untuk membelikannya martabak, maka pagi ini, Darline bersolek dengan semangat yang berbeda.Hayden mengerang ketika diminta membelikan martabak. Tapi pada akhirnya dia melakukan itu dengan hati penuh tanggung jawab.Ini pertama kalinya Darline mengidam. Sudah pasti harus dia penuhi.Meski jarak cukup jauh, Hayden melajukan mobil dengan hati berbunga-bunga.Ketika pulang, dia masih menemani Darline memakan dua potong martabak keju. Selesai itu, barulah Hayden kembali ke unit penthousenya. Itupun dia lakukan dengan setengah hati. Dengan raut terpaksa yang sengaja dia tunjukkan pada Darline.“Sudah sana, pulang. Aku juga mau tidur. Udah kenyang sih. Makasih lho Mas martabaknya. Nanti aku bilangin boss-ku kalau Mas baiiiik banget sama aku. Nanti biar bossku kasih hadiah ke Mas. Hehehe.”Hayden pun akhirnya pulang dengan senyum masam karena gagal tidur di tempat Darline. langkahnya terasa berat.Tapi setia
Bukan hanya kata-kata Laura Bella yang meminta Willson untuk menemaninya. Willson lebih terkesima pada cara wanita itu membujuknya. Memintanya. Dari tatapan mata hingga gerak bibirnya, semua menyiratkan jiwa manja wanita itu pada Willson. Dan itu membuat kelelakiannya seakan digelitik untuk memberikan apa yang diminta Laura Bella. “Tentu saja aku bersedia, Bella. Ayo!” Malam itu, mereka minum bersama. Dan untuk pertama kalinya, minum-minum sambil berbincang yang diselipi berbagai curhat dari Laura Bella, membuat mereka akhirnya saling berciuman. Tak putus hanya sampai di situ, Laura Bella memohon pada Willson untuk melanjutkannya. Mereka berakhir di hotel. Itu adalah titik awal kebersamaan mereka yang berbeda, karena mulai membuat Willson mengkhianati Darline. Tak sampai empat minggu kemudian, Laura Bella datang padanya dengan memberikan test pack bergaris dua. Willson dilanda berbagai rasa. Dari panik, terpana, hingga pada akhirnya bersyukur. Laura Bella lalu berhasil meyaki
Semakin dipikirnya, semakin lama menunggu sambil memencet bell, semakin Willson yakin di dalam sana tidak ada Meysia ataupun Laura Bella.Entah mengapa, hatinya tak tenang. Sebuah kecurigaan muncul di benaknya.Willson frustrasi dan dia pun mulai mengetuk lebih keras, lalu karena tak kunjung dibukakan, Willson mulai menendang-nendang pintu. Semakin menendang semakin dia merasa takut kecurigaannya benar. Bahwa dia ditipu. Bahwa Laura Bella dan adiknya sudah pergi setelah mendapatkan dana ratusan juta.Yang mengesalkannya adalah bahwa jika itu terjadi, dia tak bisa berbuat apa-apa karena jaminan yang digunakan Laura Bella dan Meysia adalah mobilnya.Mobilnya!'Sialaaaan!'Willson menendang-nendang lebih brutal lagi, hingga tetangga sebelah keluar dan menatapnya sengit."Hei, ngapain sih? Yang punya unit tidak ada di dalam!" Willson kembali blank. Andai ada badai tornado, dia akan melemparkan saja diriinya agar terseret badai daripada harus menghadapi kenyataan teramat pahit ini.
“Apa maksudnya semua ini? Bellaaaaa ... Bellaaaaa ... BELLAAAAAAAA!!!!”Willson tanpa sadar meraung dalam tangisnya. Meskipun saat itu dia masih berada di bar. Suara musik yang kencang semakin membuat Willson leluasa berteriak sesuka hati. Melampiaskan kemarahannya.“Emang kenapa sih, Willson?” Anna bertanya sambil mengambil ponsel dari tangan Willson. “Lo kenapa sih? Cengeng!”Bersama Vitta mereka melihat-lihat slide yang dilihat Willson.Vitta tiba-tiba terkejut. “Oh Tuhan! Karena lo bilang lo ada hubungan sama Laura Bella, gue tiba-tiba merasa postingan ini rancu deh. Jadi, ini apa maksudnya?Kandungan Laura Bella itu ... anak lo, Willson?”Willson sudah sedikit mabuk, tapi dia masih bisa menjawab, “Harusnya sih itu anak gue. Itu yang gue percayai selama ini. Tapi setelah baca captionnya seperti itu, kenapa gue merasa ‘ayah’ yang dimaksud dalam postingan itu bukan gue?Coba deh lo baca-baca. Itu mobil, mobil gue. Tapi captionnya kenapa seperti itu? Dan pada kenyataannya, dia menghi