[Temui aku di paviliun kosong belakang taman!] Darline membaca pesan chat dari Willson yang baru saja masuk. Ada rasa sesak yang menyelinap saat membaca pesan yang tidak disertai sapaan untuknya sama sekali. Meski begitu, Darline sudah tidak heran lagi karena begitulah cara suaminya itu bersikap dan bertutur kata. Keras dan kasar. Namun, yang membuatnya heran kali ini adalah kenapa Willson mengajaknya bertemu di tempat seperti itu, sedangkan saat ini mereka sedang berada di pesta ulang tahun kakek Willson. Akan aneh jika mengajak bertemu di ruang kosong. “Maaf, ya, semuanya, aku harus temui Willson sebentar.” Darline akhirnya mengangkat wajah dan berujar pada tiga temannya yang lain, yang sedang asyik membahas topik yang teramat seru menurut mereka. Saat ini, dia memang sedang berbincang dengan teman-temannya sesama wanita. Willson pun sedang berkumpul dengan temannya sendiri. Jika memang ingin bertemu, Willson tinggal mendatanginya saja, tidak perlu mengajak bertemu di tempat k
Wajah pria yang sekarang hanya berjarak sepuluh senti itu terlihat terkejut akibat pekikan suara Darline. Kedua matanya membuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan cahaya matahari di sekitarnya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak yang rendah dan berat, sembari menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang mendera kepalanya. “Pam—Paman Hayden?” seru Darline yang suaranya kini bagai tertahan di tenggorokannya. Dia sungguh tak bisa mempercayai penglihatannya. “Jad—jadi ... semalam yang bersamaku— semalam kit- kita berdua-” Lagi, kalimat Darline jadi tak selesai karena dirinya terlalu shock atas pemahaman satu ini. Paman Hayden adalah pamannya Willson. Bagaimana bisa dia malah menghabiskan malam bersama paman suaminya? Bukankah Willson yang mengirimkannya pesan untuk datang ke kamar kosong ini? Tapi kenapa yang menghabiskan malam bersamanya malah Paman Hayden? “Kenapa begitu berisik saat hari masih pagi, huh?” Suara Hayden pun akhirnya bergema lagi. Pria yang diperkiraka
Darline menatap heran pada Anna yang juga menatap lebih heran lagi kepadanya. Lalu ketika dia menyapukan pandangannya ke sekelilingnya, Darline tidak melihat keberadaan Willson, Bu Mira, dan Lisa. Semua keluarga Limanso ada di sana, kecuali ketiga orang itu. “Jadi ... Willson sudah pulang?” tanya Darline dengan suara lirih. Pertanyaan ini terdengar aneh bagi yang lainnya. Tapi, Darline sendiri kebingungan. Bagaimana mungkin Willson sudah pulang semalam? Padahal, Willson sendiri yang mengirim pesan agar dia mendatangi paviliun belakang, semalam. Oh! Darline terkesiap lagi ketika di benaknya dia terpikir akan sesuatu hal. ‘Bagaimana kalau ternyata Willson semalam telah melihatku di paviliun dan malah memasuki kamar yang salah? Apakah itu berarti Willson melihat keberadaanku di paviliun yang ternyata malah bersama Paman Hayden?’ batin Darline bergemuruh gelisah. Saat ini, Darline benar-benar kebingungan harus memberi alasan apa pada keluarga Limanso. Jika dia bilang bahwa dia keting
Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya? Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang] Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden. Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi. Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!] Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak? Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu
Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah. “Iya, Will?” “Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?” Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. “Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.” Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?” “Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!” “Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih
Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu. Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson. Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini. Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan. Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega. Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun. *** Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai m
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Di hari H, mereka serombongan melakukan perjalanan udara dan saat tiba di bandara Soekarno Hatta, Hayden dan Darline menjemput bersama.Perut Darline sudah terlihat buncit meski tubuhnya masih langsing seperti dulu.Melihat Heaven yang terlebih dahulu keluar dari exit door, Hayden melambaikan tangannya.Heaven memimpin rombongan menghampiri Hayden.Satu demi satu mereka berpelukan.Hanya saat tiba giliran Darline, Oma Jenny merasa canggung, tapi akhirnya dia memeluk lebih dulu.“Maafkan Mom yang dulu sempat menuduh kamu mandul, Sayang. Maafkan ya.” Oma Jenny berbisik di telinga Darline.Tentu saja dia malu jika Hayden mendengar permintaan maafnya.Ketika pelukan mereka terurai, Darline tersenyum pada ibu suaminya itu. “Nggak pa-pa, Mom. Itu juga kesalahan kami, lupa memberitahu Mom tentang kehamilan ini.”Mendengar itu, Hayden langsung menimbrung, “Iya, Mom. Aku yang lupa. Terlalu banyak pekerjaan.”“Ya, ya, sekarang istrimu sudah mengandung, kau harus kurangi kerjamu, jaga dia baik-b
Hailley pulang dengan hati hancur. Sehabis dari apartemen baru mommy-nya, dia nongkrong di dermaga dengan ditemani Mike.Driver dimintanya menjemput di sore hari dengan alasan dia memiliki pelajaran tambahan.Jadi, Hailley nongkrong hingga sore, ditemani Mike. Meski begitu, gadis itu tidak banyak curhat pada Mike.Mereka hanya duduk diam, merenung sendiri-sendiri. Angin kencang menerpa wajah Hailley membuat gadis itu kembali teringat kata-kata ibunya sebelum dia disuruh pulang sesegera mungkin.“Hailley, dengarkan Mommy. Mommy terpaksa melakukan ini semua! Mommy tidak punya uang lagi. Untuk kembali pada daddy-mu itu tidak mungkin. Kita sudah berakhir lama sekali. Itupun juga karena mommy yang salah sudah meninggalkan daddy-mu.Lalu ada pria ini, yang melamar mommy. Dia bisa menunjang hidup mommy. Hanya saja, dia hanya bersedia menerima seorang istri, tidak dengan anak-anaknya. Jadi, karena inilah, Mommy terpaksa memintamu tinggal bersama Daddy-mu.”“Ck! Sudah kuduga! Mommy tega! Kau m
Hailley semakin sakit hati.Kenapa ibunya menikah tapi tidak memberitahunya?Dan benarkah perkiraan oma-nya tadi?“Tidak! Aku harus mencaritahu!”Hailley menekan nomor Mike dan menghubunginya.Suara di ujung sana menjawab, “Hei, kenapa telpon malam-malam begini? Hpku perlu dicas.”“Aku hanya ingin menanyakan alamat apartemen tempat ibumu bekerja. Bisa berikan padaku?”“Maksudmu, tempat tinggal baru ibumu?”“Iya.”Hailley teramat sesak rasanya ektika menjawab pertanyaan Mike. Dia sendiri tak pernah menyangka akan menanyakan alamat ibunya pada orang lain.Di sisi lain, hati kecil Hailley masih tak percaya.Setelah Mike mengirimkannya alamat, Hailley memaksa diri untuk tidur, meski itu sulit sekali. Di benaknya sudah terukir rencananya untuk esok hari. ***Hailley memang berangkat ke sekolah dengan mobil dari Opa. Tiba di sekolah, dia turun dan menunggu di gerbang dalam, sampai mobil pergi, Hailley pun keluar lagi.Tapi tepukan di bahunya membuatnya terkejut. Saat dia men
Sudah berminggu-minggu berlalu dengan Hailley dibawa pulang Oma ke Singapura.Sekalipun terasa melegakan karena tidak ada lagi tekanan dari gadis itu, tetap saja rumah yang sempat dihuni 3 orang, lalu berkurang satu, terasa sepi.Sedikit banyak Darline juga merindukan Hailley. Andai Hailley tidak bermasalah, dia pasti dengan senang hati menjadi ibu sambungnya.“Hei, perutmu seperti tidak bulat.”Suara Hayden tiba-tiba membuyarkan lamunan Darline ketika malam itu mereka menonton TV bersama sambil berpelukan.“Eh, iya ya, Mas. Terasa seperti kram. Oh, ini baby nya lagi bergerak kali. Kayak ada yang mendorong dari dalam.”Hayden gegas bangun untuk melihat apa yang terjadi.Di bagian bawah perut Darline terlihat sesuatu yang kecil tercetak di permukaan perut.Benar kata Darline, baby sepertinya sedang mendorong dari dalam. “Sepertinya dia pegal, jadi sekarang sedang stretching,” canda Hayden sambil memeragakan stretching ala baby yang di bayangkannya sendiri. Darline sampai tertawa dibuat
“Halo, Mom, ada apa yang terjadi?” Hayden tidak merasa perlu berbasa basi lagi. Dia langsung menunjukkan bahwa dia sudah mengetahui semuanya. “Oh, berarti kamu sudah tahu bahwa Mom membawa Hailley ke Singapura?” “Iya, Darline baru saja menelpon.” “Oh, bagus kalau begitu. Mom mengambil keputusan ini karena istri kamu itu tidak terlihat keinginannya untuk mengurus cucuku. Dia seringkali menindas Hailley!” “Menindas bagaimana, Mom? Setahuku justru Darline sudah sangat bersabar dalam menghadapi Hailley. Sikap Hailley sering kasar. Bukan saja pada Darline, tapi pada siapa saja. Tapi Darline dengan sabar mendidiknya. Dia memang tidak mengabulkan semua keingingan Hailley, tapi aku tahu Darline melakukan semua itu untuk kebaikan Hailley.” “Omong kosong, Hayden! Itu sih hanya akal-akalannya saja agar kau tidak mengira dia menindas Hailley. Mana mungkin dia bisa seperti itu karena Hailley kan bukan darah dagingnya. Maka dari itu, mom membawa Hailley pulang ke Singapura. Mom tidak rela ji
Brak!!!Hailley bangkit dari duduknya dengan mendorong kursi sekuat tenaga.Gadis itu tak jadi makan dan kembali ke kamarnya.Tiba di kamar, Hailley mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan pada Hayden.[Daddy, aku nggak mau tinggal sama-sama istrimu lagi! Dia keterlaluan! Dia sering mengejekku! Dia itu nggak pantas jadi istri daddy. Lebih nggak pantas lagi jadi penggantinya mommy!Aku benci dia! Kalau daddy benaran sayang padaku, kalau daddy benaran ingin menjadi ayah yang baik untukku, daddy harus meninggalkannya! Aku nggak mau tinggal di sini lagi, selama dia masih di sini!!!]Setelah mengirim pesan, Hailley terduduk dengan wajah cemberut. Kedua matanya basah akan air mata dengan pinggiran matanya menjadi merah.Dia benar-benar marah dan membenci Darline.Diliriknya lagi ponsel di tangan. Kenapa daddy nggak balas-balas, sih?Hailley semakin kesal.Tepat saat dia melempar ponsel itu, balasan dari ayahnya masuk.[Maafkan istriku kalau dia sering mengejekmu. Tapi aku yakin Darline hanya
“Hailley! Kenapa kamu harus sekasar itu pada seseorang? Dia hanya bertanya!”Bukannya menyesali, tapi Hailley malah menjawab acuh, “Apaan sih, Dad? Ngapain dia tanya-tanya? Kenal juga nggak!”“Hailley, dia bertanya karena melihat wajahmu seperti kurang sehat.”Saat Darline menjelaskan, Hailley bertambah murka. Daddy yang menegur saja dia tak terima, apalagi saat Darline yang menegur. Tidak mungkin dia bisa terima.“Mana ada kurang sehat? Mukaku beginilah! Dia saja yang caper! Cari-cari perhatian! Cuih!”Tak enak pertanyaannya ditanggapi seperti itu, pelayan tadi pun berkata, “Maaf, Nona. Saya tidak sengaja.”“Tidak sengaja, tidak sengaja! Tugasmu itu hanya melayani customer, ngapain pake-”“HAILLEY!”Hayden benar-benar murka. Perilaku Hailley tidak bisa dia tolerir lagi. Sekalipun Hailley adalah putrinya, tapi dia tidak bisa menerima sikap kurang ajar seperti itu.Apalagi Hailley meremehkan pelayan.“Kalau kamu tidak bisa berkata yang baik, maka lebih baik kamu diam!”“Daddy! Aku ngga
“Kamu beneran nggak mau ikut Oma ke Singapura? Di sana kamu tinggal sama Oma, nemenin Oma lho, Hailley.”Oma Jenny tak mengira jika Hailley akan menolak ajakannya.Dia jadi bersedih.“Iya, Oma. Aku di sini aja dulu. Sudah daftar sekolah juga.”“Oh, ya sudah. Baiklah. Oma akan datang lagi bulan depan. Kamu baik-baik di sini ya?”“Iya, Oma.”“Kalau istri daddy-mu itu menindasmu, laporkan pada oma. Akan oma adukan pada daddy-mu,” bisik Oma Jenny saat sedang menyusun isi kopernya.Hailley mengangguk dengan hatinya membatin sengit, ‘Tentu saja, Oma. Aku nggak mungkin sebodoh itu membiarkan dia menindasku. Malahan aku yang akan menindasnya. Tapi di belakang Daddy tentunya!Karena mommy sudah beratus-ratus kali mengingatkanku untuk menjaga sikap di depan Daddy. Tapi mommy tak pernah memintaku bersikap baik pada istrinya daddy.So, kalau aku nggak bersikap baik pada Darline, aku nggak bisa disebut melanggar perintah mommy juga, kan?’Hailley tersenyum licik pada dirinya sendiri.Pada akhirnya,
“Astaga, Mas! Apa di rumah kurang?”Pertanyaan polos Darline membuat Hayden terkekeh. Setelah itu, mereka selesai bertelpon dengan Hayden meminta Darline lekas berganti pakaian.Dia sendiri langsung menekan nomor ibunya untuk memberitahu perihal jamuan makan malam yang akan dia hadiri bersama Darline.Tidak butuh waktu lama, panggilannya dijawab sang ibu.“Ya, Hayden? Ada apa menelpon di jam begini?” sambut ibunya dengan suara teramat lembut.“Ini, Mom, aku ada jamuan makan malam dan akan mengajak Darline. Mom menemani Hailley dulu di rumah, tidak apa-apa kan?”“Oh, iya, tentu. Bagus juga kamu mengajak Darline keluar. Seharian ini dia di rumah tidak mengerjakan apa-apa. Bahkan dia juga tidak masak makan malam.”Niat ibunya untuk mengadu, tidak mendapatkan perhatian dari Hayden.“Ya, nanti mom delivery saja. Atau mau aku yang pesankan?”“Ah, nggak usah. Biar Mom minta Hailley saja yang pesankan. Dia pintar menggunakan aplikasi online.”“Oh, oke, Mom. Begitu juga bagus.”Selesai menelpo