Semakin dipikirnya, semakin lama menunggu sambil memencet bell, semakin Willson yakin di dalam sana tidak ada Meysia ataupun Laura Bella.Entah mengapa, hatinya tak tenang. Sebuah kecurigaan muncul di benaknya.Willson frustrasi dan dia pun mulai mengetuk lebih keras, lalu karena tak kunjung dibukakan, Willson mulai menendang-nendang pintu. Semakin menendang semakin dia merasa takut kecurigaannya benar. Bahwa dia ditipu. Bahwa Laura Bella dan adiknya sudah pergi setelah mendapatkan dana ratusan juta.Yang mengesalkannya adalah bahwa jika itu terjadi, dia tak bisa berbuat apa-apa karena jaminan yang digunakan Laura Bella dan Meysia adalah mobilnya.Mobilnya!'Sialaaaan!'Willson menendang-nendang lebih brutal lagi, hingga tetangga sebelah keluar dan menatapnya sengit."Hei, ngapain sih? Yang punya unit tidak ada di dalam!" Willson kembali blank. Andai ada badai tornado, dia akan melemparkan saja diriinya agar terseret badai daripada harus menghadapi kenyataan teramat pahit ini.
“Apa maksudnya semua ini? Bellaaaaa ... Bellaaaaa ... BELLAAAAAAAA!!!!”Willson tanpa sadar meraung dalam tangisnya. Meskipun saat itu dia masih berada di bar. Suara musik yang kencang semakin membuat Willson leluasa berteriak sesuka hati. Melampiaskan kemarahannya.“Emang kenapa sih, Willson?” Anna bertanya sambil mengambil ponsel dari tangan Willson. “Lo kenapa sih? Cengeng!”Bersama Vitta mereka melihat-lihat slide yang dilihat Willson.Vitta tiba-tiba terkejut. “Oh Tuhan! Karena lo bilang lo ada hubungan sama Laura Bella, gue tiba-tiba merasa postingan ini rancu deh. Jadi, ini apa maksudnya?Kandungan Laura Bella itu ... anak lo, Willson?”Willson sudah sedikit mabuk, tapi dia masih bisa menjawab, “Harusnya sih itu anak gue. Itu yang gue percayai selama ini. Tapi setelah baca captionnya seperti itu, kenapa gue merasa ‘ayah’ yang dimaksud dalam postingan itu bukan gue?Coba deh lo baca-baca. Itu mobil, mobil gue. Tapi captionnya kenapa seperti itu? Dan pada kenyataannya, dia menghi
Gelak tawa membahana di sebuah meja makan restoran Ritz Carlton. Keluarga Hayden telah tiba di Jakarta dan saat ini Hayden mengajak mereka semua makan bersama, sembari membuat mereka lebih mengenal Darline.Sekalipun tampil anggun dalam balutan gaun anggun yang sederhana, sekalipun Hayden selalu meyakinkannya bahwa keluarganya open minded, Darline tetap merasa gugup. Ada banyak pertanyaan di benaknya bagaimana keluarga Hayden akan berpikir tentangnya.Biar bagaimana pun bukan hal mudah untuk menerima wanita yang tadinya merupakan istri keponakan, bahkan berstatus cucu, kini menjadi menantu.“Sorry, Hay, kami terlalu mepet datang ke sini. Seharusnya kami sudah di sini dua hari lalu.”Ayah Hayden berbicara dengan senyum menawan terpeta di wajah.Pria itu tampak sama baiknya dengan Hayden.“It’s okay, Dad. Semua sudah siap. Besok kalian hanya perlu hadir. Semuanya sudah diurus wedding organizer. Jadi, tidak ada yang perlu direpotkan lagi.”Steven Lewis mengangguk sembari dengan tatapanny
Kemarahan masih menguasai Willson sampai berhari-hari.Masih teringat jelas di benaknya bagaimana dia yang begitu marah saat membaca surat dari Bella sampai-sampai tanpa berpikir panjang dia meremat kertas surat itu lalu membuangnya ke tanah begitu saja.Dia tak memikirkan kemungkinan surat itu menjadi bukti atas apa yang dilakukan Laura Bella. Willson membuang kertas dan sorenya langit menumpahkan hujan sangat deras, menghanyutkan dan menghancurkan semua bukti.Willson tergugu di jendela kamar memandangi air hujan yang tumpah dari langit.Andai segala kebodohannya terhadap Laura Bella pun bisa tersapu derasnya hujan seperti ini, dia akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki. Andai segala kehilangannya bisa digantikan, hatinya pastilah takkan sesesak ini.Saat ini, Willson tidak menginginkan banyak hal. Dia hanya menginginkan penghasilannya secara utuh, tanpa dipotong pembayaran cicilan kredit yang dibawa lari Laura Bella, serta cicilan pengembalian dana warisan Darline yang diharusk
Darline tampak memutar tubuhnya sambil menatap ke cermin besar di hadapannya. Dia sudah bangun pagi-pagi untuk di make up lalu bersiap dengan balutan gaun pengantin.Spesial hari ini, Heaven yang menemani Darline bermake up, sembari wanita itu juga bersolek untuk dirinya sendiri.“Kamu cantik sekali,” kata Heaven ketika ikut memandangi Darline di cermin besar yang menempel di sepanjang tembok di depan mereka.“Kak Heaven juga cantik,” balas Darline seraya memberikan wanita itu senyum lebar.Senyum yang dibalas dengan senyum juga oleh Heaven.Bagi Darline saat ini, Heaven bagaikan seorang sahabat yang menemaninya melalui prosesi pernikahannya ketika Darline tidak memiliki seorang sahabat pun untuk menemaninya berias.Ya, tidak apa-apa. Darline menghibur hatinya sendiri. Yang terpenting sekarang, dia memiliki Hayden.Hayden sosok yang bisa menjadi suami, paman, serta sahabat untuknya.Tak berapa lama, pintu ruangan make up dibuka dan salah satu karyawan WO memanggilnya gegas bersiap unt
“Mari semua bersulang untuk pasangan pengantin kita yang berbahagia kali ini. Mr. Hayden Lewis dan Darline Limanso! Bersulang, cheers!”Suara MC menggema dari dalam hingga keluar seakan menegaskan pada Bu Alma dan rombongan bahwa pengantin wanita benar adalah Darline.Disebutnya nama Darline bersandingan dengan Hayden membuat Bu Alma termangu.‘Bagaimana mungkin adalah Darline? Bagaimana bisa? Mana boleh begitu! Darline adalah anak bau kencur yang bahkan baru kembali berkarier setelah beberapa tahun mendedikasikan diri menjadi ibu rumah tangga.Selain itu juga, bagaimana aku yang masih single ini bisa kalah pada Darline yang sudah pernah menikah?Dari segi jabatan dalam karier, Darline jauh dibawahku!Hey, Pak Hayden, harusnya Bapak melirik saya! Bukan malah menyia-nyiakan hidup dan kekayaan bapak dengan wanita yang pernah gagal berumah tangga seperti Darline!Saya ini masih ting-ting, Pak! Dan hanya pria seperti Bapak yang pantas mendapatkan semua-semuanya dari saya!’Meski terdiam d
Resepsi pernikahan yang melelahkan tapi juga membahagiakan akhirnya selesai. Hayden menawarkan Darline untuk memilih negara yang dia inginkan untuk berbulan madu. “Terserah kamu mau ke mana. Ke Zimbabwe sekalipun, aku akan menurutimu.” Hayden merentangkan tangannya mempersilakan Darline melihat-lihat pilihan negara di tablet yang ada dalam pangkuannya. “Janganlah, Mas, ke Zimbabwe. Negara hiperinflasi seperti itu. Nanti bukannya senang-senang malah terjebak di sana, berabeh!” Hayden terkekeh. “Ya, namanya juga menawarkan. Siapa tahu kamu mencari tempat yang bisa memicu adrenalin. Biar lebih seru, begitu?” “Idih! Mana mau aku ke tempat begituan. Nanti kita nggak bisa pulang, nggak mau lah!” Hayden terkekeh lagi seraya mendaratkan bibirnya ke pucuk kepala Darline. “Iya, iya. Aku hanya bercanda saja. Sekarang, kamu pilihlah.” Darline melihat-lihat. Dari seluruh negara, ada dua tempat yang mencuri perhatiannya. Jepang dan ... “Ah, ini saja, Mas. Sudah lama kepingin ke sini.” Ketika
“Maafkan aku, Darline. Aku sungguh tidak tahu menahu tentang Hailley.”Bisikan Hayden melekat di telinga Darline, begitu lirih dan berusaha mengiba hati istrinya itu.Hayden sendiri tak pernah membayangkan bahwa selama ini dia ternyata memiliki seorang putri.Bahkan putrinya itu sekarang sudah berusia 14 tahun.Tahun demi tahun yang terlewati di mana dia lalui dengan bekerja keras, melupakan Ashley, lalu move on dan mendedikasikan hidupnya hanya untuk perusahaan, ternyata merupakan waktu di mana Hailley, putri yang merupakan darah dagingnya berjuang keras untuk tumbuh melewati masa kanak-kanak tanpa seorang ayah di sampingnya.Mengingat itu saja hati Hayden terasa pilu.Rasa bersalah menyelimutinya dalam kesesakan.“Nggak, Mas. Nggak perlu minta maaf. Mas nggak bersalah. Mas nggak tahu tentang dia. Tapi aku yang meminta maaf.”Darline mengucapkan itu semua dengan nada yang berusaha keras dia jaga agar terdengar datar. Tak dapat dipungkirinya, hatinya terasa sesak.Memang secara logika