Lama setelah menikmati pelajaran Pak Budiman dengan suasana yang waw, karena harus bersebelahan dengan si Bawel, akhirnya kelas selesai. Dosen galak itu pun keluar dengan beberapa buku di tangan.
Sementara gue, tentu saja bernapas lega. Selain karena bisa duduk bersantai dengan menyelonjorkan kaki, gue pun bebas bersiul sambil bersandarkan kedua tangan. Ini waktunya beristirahat, tidur sudah pasti, untuk mengganti waktu yang gue habiskan dengan bergadang hampir semalaman.
Anehnya, kali ini mata gue justru nggak bisa merem. Melek aja gara-gara si bawel yang terus menarik perhatian. Berulang kali dia mengibas rambut, atau menyibaknya saat menjuntai ke depan saat ia bersedekap di meja. Belum lagi bibir tipisnya itu, seksi walau tanpa polesan tebal.
Ukh, cantik. Model begini jarang banget, kan, di kota metropolitan?
“Hei, cewek bawel!”
Dengan sekali entakkan gue bangkit dari bersandar, lalu d
“Dasar dekil! Pergi sana. Bikin aroma rumah jadi sumpek aja karena bau badanmu yang busuk itu. Cuih!” titah seorang wanita tambun, saat Laras baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah tetangganya.Laras menunduk malu, karena untuk ke sekian kali, gadis usia tujuh tahun yang memakai baju butut selutut itu harus menerima hinaan dari warga di pedesaan, tempatnya tinggal. Dia pun melangkah mundur setelah lama terdiam, lalu berbalik dan berlari meninggalkan sekumpulan anak seusianya yang tengah asyik bermain.Padahal, niat hati hanya ingin ikut bermain, ikut tertawa bersama anak sebaya yang juga satu sekolahan dengannya. Namun, nyatanya, keadaan yang tak sederajat membuat Laras terkucil, sampai hanya segelintir orang peduli akan keberadaannya.Laras yang tak tahu akan kesalahannya pun lagi-lagi memilih untuk menyendiri. Menyusuri jalan setapak dengan tatapan iri p
Laras menelan ludah dengan susah payah. Menyapu air mata yang membuat hampir seluruh wajahnya basah. Napasnya kian tersengal, sampai sesak seperti tengah terikat. Namun, setengah dari kesadarannya membuat Laras melonggarkan pelukan, lalu menyimpan bayi mungil itu di ranjang dengan perlahan-lahan.“Bagus, Sayang. Kamu pasti bisa,” lirih Dewi sambil menghela napas lega. “Sekarang ... coba tarik dan buang napasmu perlahan-lahan.”Awalnya Laras menggeleng kuat, menolak saat Dewi mengarahkan untuk bersikap tenang. Namun, begitu sesak di dadanya kian berkurang, emosinya pun tak lagi meradang. Pelan wajahnya menengadah, lalu menunduk dengan kedua tangan menangkup mulut. Dia terguguk, lalu terduduk.“Maafin aku, Bu. Aku nggak bisa mengendalikan emosi lagi,” katanya sambil memukul dan menjambak rambut sendiri.“Berhenti, Nak. Jangan sakiti dirimu seperti itu. Pelan-pelan, ibu yakin kamu bisa,” timpal Dewi sambil mela
“Bukan gitu, Dek. Mas benar-benar sibuk setelah ada kenaikan jabatan di kantor. Tiap hari ngurus ini dan itu sampai lupa makan.” Arya nyerocos saat di telepon.“Aku ngerti kalau memang kamu sibuk, Mas. Tapi ya masa kuteleponi sibuk dan dialihkan terus. Sekalinya nggak sibuk, nomormu ini nggak aktif. Gimana aku nggak khawatir? Curiga mah iya!” sungut Laras tak mau kalah. “Kamu nggak pernah kayak gini, loh, sebelumnya.”“Ya Allah, Dek. Percaya sama mas. Pokoknya, kamu sama adek baik-baik di rumah. Satu mingguan lagi mas pulang,” jawabnya cepat. “Sekarang mas capek. Mau mandi, makan, terus istirahat.”“Kan ... gitu, deh. Baru juga lima menit kita ngobrol. Mas nggak kangen aku?” Sambil menyusui bayinya Laras cemberut. “Ini malam minggu, loh.”“Kangen, dong. Masa nggak. Tapi mas capek. Sumpah.” Arya mendengkus, terdengar lelah.“Ya, sudah. Awas aja kala
Satu hari berlalu, dua hari terlewati dengan begitu cepat. Saat ditakut-takuti kalau Laras ingin tinggal bersama, Arya pun tiba-tiba kembali berubah hangat. Nomornya selalu aktif, membuat Laras bebas menelepon setiap waktu.Namun, sebagai wanita dewasa, Laras paham dengan reaksi Arya yang justru berbalik menjadi berlebihan. Dari suaranya, dapat dengan jelas Laras tangkap, kalau Arya selalu tertekan dan ketakutan.Terlebih lagi selepas Isya, Arya kerap mengatakan berbagai alasan untuk tidur lebih awal. Seperti malam ini, saat untuk ketiga kalinya Laras menelepon dalam sehari, Arya terdengar gelagapan.“Mas beneran ngantuk, sumpah,” katanya buru-buru.“Ya, sudah. Kalau gitu mas tidur duluan. Aku mau makan dulu,” timpal Laras mengiyakan.“Habis makan jangan langsung begadang. Istirahat yang cukup,” kata Arya lagi sebelum mengucap salam.Telepon terputus setelah Laras membalas salam. Lantas ia beranjak, mening
“I-iya ... tadi kebelet. Adek udah lama bangun?” Arya gelagapan sambil menelan ludah dengan susah payah.Laras mengangguk tanpa menoleh, masih dalam keadaan duduk membelakangi Arya di sisi ranjang. “Tadi aku kebelet juga. Tapi nggak jadi karena Mas lama,” timpalnya parau, kali ini sambil menoleh.Dalam sekejap Arya tercengang. Betapa menyedihkan wajah istrinya yang sedikit tembam itu berurai air mata. Seketika Arya pun sadar, Laras pasti mendengar percakapannya saat di kamar mandi.Hening.Arya bergeming barang sejenak, sebelum akhirnya berjalan cepat, dan bersimpuh dengan memegang kedua tangan istrinya di atas lutut. Dia menghela napas, menunggu Laras bertanya atau menegur seperti setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Namun, Laras justru bergeming, menangis tanpa suara.Arya menunduk, berpikir, kata apa yang pas untuk mengelak dari apa yang dipikirkan istrinya. Dia tidak mungkin mengaku, tapi lebih tidak mungkin lagi kalau sampai harus berbohon
“Serius?” tanya Al-Pian saat Laras menceritakan perselingkuhan suaminya di laman chat.“Yeah ...,” balas Laras sambil menikmati secangkir kopi di teras. Ditemani sang ibu yang asyik berceloteh dengan cucunya.“Dan kamu memaafkannya?” Di kantor, Al-Pian bersandar santai setelah selesai makan siang.“Mau bagaimana lagi?”“Keren, keren. Tapi, jangan lantas percaya begitu saja ... menurutku,” balas Al-Pian lagi dengan sederet emoticon menyengir. “Tentu. Dan aku nggak bakal kasih maaf untuk yang kedua kali.”“Yeah ... semoga saja dia beneran tobat.” Al-Pian menarik bibirnya tipis-tipis, ragu jika harus mengakui sebuah penyesalan yang tiba-tiba terjadi.Sebenarnya Laras setuju. Itu kenapa, dua minggu setelah Arya kembali pergi ke kota, Laras tak lantas membiarkan Arya begitu saja. Ia tetap mengontrol, bahkan dengan menghubungi beberapa teman sekantor Arya lewat nomor yang dicurinya.Dia pun tidak memungkiri peruba
“Astagfirullah, Dek?” Arya terperangah begitu masuk ke rumah. “Kok?” lanjutnya terheran-heran.Sambil melangkah maju Arya mengucek mata. Barang kali apa yang dilihatnya hanya halusinasi. Namun, begitu Laras berbalik dan membuka mata, Arya pun sadar kalau pandangannya memanglah benar.“Baru pulang?”Laras melirik jam yang menggantung di sisi ranjang sekilas. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pun bangkit dan bersila di ranjang.“I-iya,” timpal Arya, cukup lama. “Kamu kapan datang? Kok, nggak bilang nau ke sini? Emang Adek berani pergi berdua sama bayi?”“Berani. Mana, sini ponselmu, Mas?” seloroh Laras tanpa basa-basi. Tak peduli, meski matanya terasa perih.“Eh, itu ... anu. Bentar, belum mas hapus,” celetuknya tanpa sadar.“Hapus? Apanya yang perlu dihapus?” Laras pun bangkit dan menghampiri Arya yang tengah merogoh ponsel. “Sini!” lanjutnya sambil merebut ponsel Arya secara paksa.“Dek ... di ponsel beneran nggak
“Ya, Rabb ....”Laras mendesah, berdoa sepanjang jalan saat Arya membawanya ke puskesmas dengan sepeda motor milik tetangga kos. Dipeluknya tubuh mungil bayi yang tak lagi menangis. Namun, suhu tubuh yang tadi tiba-tiba memanas berhasil membuat Laras kian khawatir. Terlebih saat bayinya berubah pucat, ia semakin takut kalau sampai terjadi apa-apa.Pun dengan Arya yang berusaha fokus menyetir, komat-kamit melafazkan doa-doa agar tak terjadi apa-apa pada anaknya. Sesekali Arya menepuk keras dadanya dengan sebelah tangan. Sebab merasa sesak, setiap kali membayangkan tamparan tadi.“Demi Allah ... maafin aku, Dek.” Akhirnya Arya berucap pelan dengan bibir bergetar. “Mas benar-benar kalap.”Laras tak menggubris. Diam tanpa suara karena tak mau memikirkan hal lain, terlebih masalah yang membuatnya nekat datang ke Jakarta. Dia hanya menunduk, menatap tubuh mungil bayinya yang tak berdaya.“Dek ....” Arya men
Setelah beberapa waktu tak sempat pergi ke pemakaman karena sibuk bekerja, Arzan pun akhirnya berangkat hari itu juga tanpa ditemani siapa pun. Dia memang sengaja ingin pergi seorang diri, setelah terakhir kali pergi bersama keluarga juga anaknya. Selain karena ingin khusuk saat mengirim doa, lelaki berambut cepak itu pun ingin mencurahkan seluruh kerinduannya dalam setiap untaian kata.Dinyalakannya mesin motor yang biasa Arzan pakai untuk membonceng Nafisa ke mana pun. Lantas, ia lajukan motornya itu sehingga keluar dari halaman rumah sang Ibu. Ya, setelah sebelumnya mengontrak rumah sederhana dengan Nafisa, Arzan pun memilih untuk kembali tinggal dengan orang tuanya untuk bisa menitipkan Razan saat ia pergi ke pasar. Lagi pula, keluarga Nafisa benar-benar menyerahkan anaknya itu sebagai pengganti Nafisa.Di sepanjang jalan, isi pikiran Arzan dipenuhi oleh kenangan-kenangan bersama Nafisa. Mulai dari bagaimana dirinya bisa be
“Di mana ada pertemuan, kita pun akan menjumpai sebuah perpisahan. Dan rasa sakit karena kehilangan, seharusnya menjadi cambuk untuk melanjutkan perjuangan.”***Malam semakin larut, tapi Nafisa belum juga melahirkan bayi yang diharapkannya. Bayi yang menjadi satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup saat tenggelam dalam tekanan batin. Ia hanya terus mengerang kesakitan, mengejan setiap kali terjadi kontraksi yang mengencangkan perut serta otot-ototnya. Membuat kaki yang semula menekuk seperti orang tengah berjongkok lurus seketika, menegang seiring jempol dan telunjuk bertaut. Barulah setelah hilang rasa sakit di perut, otot-ototnya melerai lagi. Ia tergolek lemah di tengah-tengah isak tangisnya.“Aa bangga padamu, Neng. Semangatlah.”Arzan berbisik seraya mengusap kening. Suasana di dalam ruang persalinan tersebut membuatnya kepanasan, semakin berkeringat karena perasaan cemas yang sedari tadi kem
SELEPAS ISYA, setelah Ibnu memberi tahu rencananya pada Said, ia pamit pergi pada ibunya. Walau dilarang dan dihalang-halangi, Ibnu justru menerobos dengan mata menyorot tajam pada ibunya sendiri.Wanita itu tak bisa apa-apa selain melepas buah hatinya pergiIbnu berjalan keluar, menghentikan angkot kemudian menaikinya cepat-cepat. Ia begitu tidak sabar ingin segera memukul bagian kemaluan Zein, seperti yang dilakukan orang suruhannya.Setengah jam ia sampai di perempatan jalan. Menengok ke sisi kiri dan kanan, kemudian ia turun dari angkot dan memberi selembar uang.Gelap. Di daerah itu memang jarang ada lampu penerang jalan. Ibnu melangkah hendak menyebrang. Tapi ...BRUKKK ... Seseorang memakai helm menubruknya kencang-kencang dengan motor. Ibnu terpental beberapa meter dari lokasi. Tubuhnya menggelinding di jalan aspal.“I-ibu ....”Gamer’s king itu terengah-engah, sekarat. Wajahnya berlumuran darah tak berupa. C
Seseorang datang, terperangah dengan kaki membeku. Mulutnya ternganga dengan kedua tangan menangkupnya. Ia berdiri tepat di kaki Ibnu yang masih tidak sadarkan diri.“Tttttt-tolonggg ...!” Wanita sekitar dua puluh tahunan itu berteriak. “T-tolong!”Menit kemudian keadaan masih sepi tanpa seorang pun yang datang. Setelah menetralkan keterkejutannya, wanita itu berlari menuju ke rumah Pak Rt setempat.Lalu sepuluh menit kemudian, Ibnu sudah sadarkan diri dan meringis kesakitan. Perlahan, ia menggeser tubuhnya ke tepi jalan. Menyenderkan pundaknya di tembok rumah kosong, sepertinya.“I-itu, Pak!” kata seorang perempuan yang menemukan Ibnu, menunjuk. “Dia sudah sadar, sepertinya.”Pak Rt yang melihat Ibnu langsung mendekat melihat kondisi Ibnu. “Adek, kenapa?”Tak mendapat jawaban, Pak Rt dan satu warga lainnya membopoh Ibnu, membawanya ke rumah Pak Rt untuk penanganan pertama.Di dalam rumah yang tidak terlalu besar, Ibnu berbaring di at
BEGITU TIBA DI RUMAH, Ibnu mendapati ibunya tertidur di ruang tengah dengan televisi menyala. Itu adalah sebuah kebiasaan. Katanya, Nuri tidak bisa tidur tanpa ditemani suara dari televisi, ponsel, atau radio. Karena ia memiliki mimpi yang sama setiap kali tertidur.Ibnu berjinjit menuju ke lantai atas. Sesampainya di kamar, ia segera mengganti baju dan membuka ponsel. Tapi kali ini bukan untuk berman game, dia membuka kontak dengan nama Zein, kemudian mengirim pesan panjang lebar dan sok akrab.“Sore ... kamu Zein, temannya Aurel tukang mereview sebuah game? Kenalin, gue Ibnu temannya Aurel. Singkat kata, maaf gue ganggu dan sok kenal. Tapi gue mau sebuah game yang menantang dan berdarah-darah. Bisa?”Pesan terkirim.Sembari menunggu sebuah balasan, Ibnu membuka laptop dan bermain-main di dalam akun facebooknya. Membalas sebuah chat, komentar, dan lain-lain.Dia berjengkit meraih ponsel yang bergetar. Satu pesan telah masuk dari Zein.
Di KANTIN, Said menunjukkan review sebuah game android berbayar. Alih-alih menyimak setiap penjelasan permainan itu, Ibnu menatap fokus pada Zein, remaja seusianya yang mereview sebuah game balapan mobil.Ibnu menyenderkan pundaknya di kursi. “Lu tahu dari mana kalau dia teman Aurel?”Said meletakkan ponselnya di meja, memutar tubuhnya mengubah posisi duduk, menghadap Ibnu. “Dari Aurel?”Ibnu tersentak dari posisinya, mendekatkan wajahnya pada Said. “Sejak kapan Lu mulai dekat dengan Aurel? Perasaan dulu Lu nggak suka sama dia!”Said tergelak, tawanya sangat keras membuat banyak mata menatapnya. Kemudian ia berbisik, “tenang, Bro. Gue nggsk nikung.”Ibnu menghela napas lega. “Katakan! Gue tahu Lu mau ngomong sesuatu.”“Goog boy. “Said kembali berbisik-bisik, “Saat Lu masuk rumah sakit, gue sering ketemu dia buat ngasih tahu keadaan, Lu. Dan gue sudah bilang tentang perasaan, Lu, Bro.”“What?” Ibnu terperangah. “Gila, Lu?”“Kaga
DI WARNET, di dalam bilik pembatas Ibnu tengah asik bermain game kesukaannya. Ia merasa kesal karena tiga minggu penuh tidak memegang ponsel. Akibatnya, ia tertinggal beberapa level dan kalah saingan dengan beberapa teman onlinenya.Setelah puas bermain game, Ibnu membuka akun facebook, twitter, dan instagram. Ia tercengang dengan notiv yang memenuhi pemberitahuannya. Pun dengan pesan yang menumpuk di mesenger.Ia membukanya, kemudian membalas satu-persatu. Memberi tahu mereka, bahawa sang gamer’s king telah kembali. Remaja sembilan belas tahun itu tidak peduli, walau sang Ibu telah melarangnya bermain gadged, bahkan Nuri tidak memberikan ponsel anaknya sendiri demi kesehatan. Tapi, Ibnu justri bermain game di warnet hingga beberapa jam. Sementara di rumah, ibunya menghawatirkan Ibnu yang tak kunjung pulang.Tiga jam kemudian, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ibnu merentangkan tangannya, menggeliat. Ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulut, ten
MUTIA, Said dan Aurel baru saja sampai di rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya mereka datang menjenguk. Dan tahukah? Kedatangan Aurellah yang sedikit membuat Ibnu membaik.Mutia membuka pintu ruangan, kemudian masuk diikuti Said dan Aurel. Mendapati Ibnu yang tengah tertidur, mereka saling berbisik menyapa ibunya Ibnu.“Gimana keadaannya sekarang, Bu?” tanya Aurel. Sebelah tangannya meraih tangan Ibnu, menggenggam.“Dokter bilang, Ibnu akan segera pulang.”“Syukurlah.” Mutia menjawab singkat mendahului Aurel yang hendak bercakap. “Kira-kira kapan?”“Katanya nunggu kondisi sore ini. Kalau benar-benar tidak ada keluhan lagi, Ibnu boleh pulang sore ini juga.” Nuri menatap manik Mutia dan Aurel bergantian.Sebagai seorang Ibu yang pastinya sedikit lebih banyak memiliki pengalaman, ia tahu betul arti tatapan dua remaja itu.“Baguslah,” timpal Said yang berada di samping Ibnu.Mendengar suara-suara bisikkan, Ibnu terbangun. Ia
DI DALAM KAMAR, Ibnu duduk pokus pada laptopnya. Jari-jari tangannya begitu cepat menjelajahi setiap situs diinternet. Kali ini, ia akan mengapload sebuah video yang ia buat sepulang dari sekolah.Ia merekam beberapa siswa yang berhamburan, kendaraan yang berlalu-lalang, pejalan kaki dan dirinya sendiri yang berjalan menyusuri trotoar seorang diri. kemudian diedit sedemikian rupa dengan iringan musik.Selesai mengapload video, Ibnu menjelajahi youtube untuk mencari sebuah review game android terbaru. Ia pikir, benar menurut Said tentang permainan lamanya. Membosankan.Klik, Ibnu menekan tombol play dan menonton sebuah ulasan tentang permainan berdarah di dalamnya. Seorang remaja menjelaskan tentang beberapa aturan dan keseruan game tersebut.Tak berhenti di situ, Ibnu kembali mencari review game yang lain. Alhasil, ia mengunduh empat permainan berdarah sekaligus. Kemudian mencobanya satu persatu.Ketergantungannya pada sebuah game online semakin me