Gue lirik jam di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Langkah kaki auto ngacir, menyusuri jalan yang sama dengan siapa tadi? Ah, iya. Almira! Gadis cantik, tapi nggak ada sopan-sopannya.
Dari jauh, langkahnya masih tertangkap jelas. Buru-buru, celingukan sambil megang tali tas selempang butut, belum lagi jinjit-jinjit. Ngapain, sih? Astaga! Aneh beud.
Sementara di sekitar kampus, sepi. Mungkin, seluruh penghuninya sudah masuk ke kelas. Takut, kalau sampai keduluan dosen-dosen galak seperti Pak Budiman.
Aih, bentar? Astaga! Hari ini, kan jadwalnya Pak Budiman? Mati gue kalau sampai telat lagi. Sial! Ini semua gara-gara Almira, nih.
Ambil langkah seribu, gue susul langkah kaki si cewek bawel berponi Dora itu. Almira, siapa lagi kalau bukan dia?
“Awas!”
Gue menepuk dan menarik cepat pundak Almira begitu langkah kaki sampai di sebelahnya. Dia tersentak, bergidik dengan kedua alis hampir bertaut. “Apa, sih?” tanyan
Lama setelah menikmati pelajaran Pak Budiman dengan suasana yang waw, karena harus bersebelahan dengan si Bawel, akhirnya kelas selesai. Dosen galak itu pun keluar dengan beberapa buku di tangan.Sementara gue, tentu saja bernapas lega. Selain karena bisa duduk bersantai dengan menyelonjorkan kaki, gue pun bebas bersiul sambil bersandarkan kedua tangan. Ini waktunya beristirahat, tidur sudah pasti, untuk mengganti waktu yang gue habiskan dengan bergadang hampir semalaman.Anehnya, kali ini mata gue justru nggak bisa merem. Melek aja gara-gara si bawel yang terus menarik perhatian. Berulang kali dia mengibas rambut, atau menyibaknya saat menjuntai ke depan saat ia bersedekap di meja. Belum lagi bibir tipisnya itu, seksi walau tanpa polesan tebal.Ukh, cantik. Model begini jarang banget, kan, di kota metropolitan?“Hei, cewek bawel!”Dengan sekali entakkan gue bangkit dari bersandar, lalu d
“Dasar dekil! Pergi sana. Bikin aroma rumah jadi sumpek aja karena bau badanmu yang busuk itu. Cuih!” titah seorang wanita tambun, saat Laras baru saja menginjakkan kaki di halaman rumah tetangganya.Laras menunduk malu, karena untuk ke sekian kali, gadis usia tujuh tahun yang memakai baju butut selutut itu harus menerima hinaan dari warga di pedesaan, tempatnya tinggal. Dia pun melangkah mundur setelah lama terdiam, lalu berbalik dan berlari meninggalkan sekumpulan anak seusianya yang tengah asyik bermain.Padahal, niat hati hanya ingin ikut bermain, ikut tertawa bersama anak sebaya yang juga satu sekolahan dengannya. Namun, nyatanya, keadaan yang tak sederajat membuat Laras terkucil, sampai hanya segelintir orang peduli akan keberadaannya.Laras yang tak tahu akan kesalahannya pun lagi-lagi memilih untuk menyendiri. Menyusuri jalan setapak dengan tatapan iri p
Laras menelan ludah dengan susah payah. Menyapu air mata yang membuat hampir seluruh wajahnya basah. Napasnya kian tersengal, sampai sesak seperti tengah terikat. Namun, setengah dari kesadarannya membuat Laras melonggarkan pelukan, lalu menyimpan bayi mungil itu di ranjang dengan perlahan-lahan.“Bagus, Sayang. Kamu pasti bisa,” lirih Dewi sambil menghela napas lega. “Sekarang ... coba tarik dan buang napasmu perlahan-lahan.”Awalnya Laras menggeleng kuat, menolak saat Dewi mengarahkan untuk bersikap tenang. Namun, begitu sesak di dadanya kian berkurang, emosinya pun tak lagi meradang. Pelan wajahnya menengadah, lalu menunduk dengan kedua tangan menangkup mulut. Dia terguguk, lalu terduduk.“Maafin aku, Bu. Aku nggak bisa mengendalikan emosi lagi,” katanya sambil memukul dan menjambak rambut sendiri.“Berhenti, Nak. Jangan sakiti dirimu seperti itu. Pelan-pelan, ibu yakin kamu bisa,” timpal Dewi sambil mela
“Bukan gitu, Dek. Mas benar-benar sibuk setelah ada kenaikan jabatan di kantor. Tiap hari ngurus ini dan itu sampai lupa makan.” Arya nyerocos saat di telepon.“Aku ngerti kalau memang kamu sibuk, Mas. Tapi ya masa kuteleponi sibuk dan dialihkan terus. Sekalinya nggak sibuk, nomormu ini nggak aktif. Gimana aku nggak khawatir? Curiga mah iya!” sungut Laras tak mau kalah. “Kamu nggak pernah kayak gini, loh, sebelumnya.”“Ya Allah, Dek. Percaya sama mas. Pokoknya, kamu sama adek baik-baik di rumah. Satu mingguan lagi mas pulang,” jawabnya cepat. “Sekarang mas capek. Mau mandi, makan, terus istirahat.”“Kan ... gitu, deh. Baru juga lima menit kita ngobrol. Mas nggak kangen aku?” Sambil menyusui bayinya Laras cemberut. “Ini malam minggu, loh.”“Kangen, dong. Masa nggak. Tapi mas capek. Sumpah.” Arya mendengkus, terdengar lelah.“Ya, sudah. Awas aja kala
Satu hari berlalu, dua hari terlewati dengan begitu cepat. Saat ditakut-takuti kalau Laras ingin tinggal bersama, Arya pun tiba-tiba kembali berubah hangat. Nomornya selalu aktif, membuat Laras bebas menelepon setiap waktu.Namun, sebagai wanita dewasa, Laras paham dengan reaksi Arya yang justru berbalik menjadi berlebihan. Dari suaranya, dapat dengan jelas Laras tangkap, kalau Arya selalu tertekan dan ketakutan.Terlebih lagi selepas Isya, Arya kerap mengatakan berbagai alasan untuk tidur lebih awal. Seperti malam ini, saat untuk ketiga kalinya Laras menelepon dalam sehari, Arya terdengar gelagapan.“Mas beneran ngantuk, sumpah,” katanya buru-buru.“Ya, sudah. Kalau gitu mas tidur duluan. Aku mau makan dulu,” timpal Laras mengiyakan.“Habis makan jangan langsung begadang. Istirahat yang cukup,” kata Arya lagi sebelum mengucap salam.Telepon terputus setelah Laras membalas salam. Lantas ia beranjak, mening
“I-iya ... tadi kebelet. Adek udah lama bangun?” Arya gelagapan sambil menelan ludah dengan susah payah.Laras mengangguk tanpa menoleh, masih dalam keadaan duduk membelakangi Arya di sisi ranjang. “Tadi aku kebelet juga. Tapi nggak jadi karena Mas lama,” timpalnya parau, kali ini sambil menoleh.Dalam sekejap Arya tercengang. Betapa menyedihkan wajah istrinya yang sedikit tembam itu berurai air mata. Seketika Arya pun sadar, Laras pasti mendengar percakapannya saat di kamar mandi.Hening.Arya bergeming barang sejenak, sebelum akhirnya berjalan cepat, dan bersimpuh dengan memegang kedua tangan istrinya di atas lutut. Dia menghela napas, menunggu Laras bertanya atau menegur seperti setiap kali dirinya melakukan kesalahan. Namun, Laras justru bergeming, menangis tanpa suara.Arya menunduk, berpikir, kata apa yang pas untuk mengelak dari apa yang dipikirkan istrinya. Dia tidak mungkin mengaku, tapi lebih tidak mungkin lagi kalau sampai harus berbohon
“Serius?” tanya Al-Pian saat Laras menceritakan perselingkuhan suaminya di laman chat.“Yeah ...,” balas Laras sambil menikmati secangkir kopi di teras. Ditemani sang ibu yang asyik berceloteh dengan cucunya.“Dan kamu memaafkannya?” Di kantor, Al-Pian bersandar santai setelah selesai makan siang.“Mau bagaimana lagi?”“Keren, keren. Tapi, jangan lantas percaya begitu saja ... menurutku,” balas Al-Pian lagi dengan sederet emoticon menyengir. “Tentu. Dan aku nggak bakal kasih maaf untuk yang kedua kali.”“Yeah ... semoga saja dia beneran tobat.” Al-Pian menarik bibirnya tipis-tipis, ragu jika harus mengakui sebuah penyesalan yang tiba-tiba terjadi.Sebenarnya Laras setuju. Itu kenapa, dua minggu setelah Arya kembali pergi ke kota, Laras tak lantas membiarkan Arya begitu saja. Ia tetap mengontrol, bahkan dengan menghubungi beberapa teman sekantor Arya lewat nomor yang dicurinya.Dia pun tidak memungkiri peruba
“Astagfirullah, Dek?” Arya terperangah begitu masuk ke rumah. “Kok?” lanjutnya terheran-heran.Sambil melangkah maju Arya mengucek mata. Barang kali apa yang dilihatnya hanya halusinasi. Namun, begitu Laras berbalik dan membuka mata, Arya pun sadar kalau pandangannya memanglah benar.“Baru pulang?”Laras melirik jam yang menggantung di sisi ranjang sekilas. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia pun bangkit dan bersila di ranjang.“I-iya,” timpal Arya, cukup lama. “Kamu kapan datang? Kok, nggak bilang nau ke sini? Emang Adek berani pergi berdua sama bayi?”“Berani. Mana, sini ponselmu, Mas?” seloroh Laras tanpa basa-basi. Tak peduli, meski matanya terasa perih.“Eh, itu ... anu. Bentar, belum mas hapus,” celetuknya tanpa sadar.“Hapus? Apanya yang perlu dihapus?” Laras pun bangkit dan menghampiri Arya yang tengah merogoh ponsel. “Sini!” lanjutnya sambil merebut ponsel Arya secara paksa.“Dek ... di ponsel beneran nggak